Perlahan sepasang mata yang terpejam mengerjap perlahan, hingga akhirnya terbuka.
Tubuh Adelia mematung menatap sekeliling ruangan yang begitu asing. Ruangan yang terlihat begitu mewah, tapi entah kenapa membuat Adelia takut.‘A-aku ada di mana? I-ini bukan kamarku.’ Batin Adelia. Bulir keringat dingin mulai terlihat membasahi kening gadis itu, hingga suara berisik cukup mengusik telinganya saat ia mengerakkan kakinya.Kedua mata Adelia terbelalak menatap rantai besi yang melingkar sempurna di pergelangan kakinya, rantai yang terikat pada kaki ranjang mewah berukuran king size dalam ruangan itu.Adelia berusaha untuk melepaskan rantai itu, tetapi tak bisa. Tiba-tiba bayangan akan kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran melintas di benaknya.Adelia ingat jelas, saat itu ia tengah keluar untuk membeli bahan makanan. Karena bahan makanan di kosnya sudah habis. Namun, saat dirinya berniat untuk kembali ke kosnya. Tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya, hingga Adelia kehilangan kesadaran.“A-aku diculik?” bibir Adelia bergetar kala mengatakan hal itu.Di benaknya terlintas berjuta pertanyaan. Kenapa dia diculik? Keuntungan apa yang penculik itu dapatkan? Dia hanya ada yatim piatu, jadi tidak akan ada yang membayar uang tebusan untuk membebaskannya.Lalu, kenapa? Apa mungkin penculik itu bukan ingin meminta tebusan, tapi ingin menjualnya?Adelia bergidik ngeri membayangkannya. Dia berharap bukan kemungkinan yang itu.Suara pintu terbuka terdengar masuk ke dalam Indra pendengaran Adelia, membuat wanita itu sontak menoleh ke pintu.“Tuan...” lirih Adelia. Sesaat hatinya merasa lega melihat sosok itu, tapi sedetik kemudian takut saat sosok tersebut menampilkan tatapan tak suka.Tatapan yang seolah berkata jijik melihat Adelia.“Aku pikir kau masih terlelap karena pengaruh obat bius.” Ucap tajam Kaisar dengan wajah tanpa ekspresi.Adelia menelan kasar ludahnya mendengar ucapan itu. Apa pagi tadi suara dan tatapan pria di hadapannya itu seperti ini?Mendadak peringatan bahaya seolah berbunyi di kepala Adelia. Seakan memberitahu Adelia untuk menjauh saat Kaisar perlahan melangkah semakin dekat.Kaisar menghentikan langkahnya tepat di depan Adelia yang duduk di lantai dengan kaki terantai. Seringai kecil terbit di bibir Kaisar melihat tubuh gemetar Adelia, lalu berjongkok menyejajarkan tingginya dengan Adelia kemudian menarik kasar rambut wanita yang terpojok itu.“ARGH!” Adelia berteriak merasakan sakit saat rambutnya ditarik kasar oleh Kaisar. Tanpa perasaan pria itu menyeret tubuh Adelia sedikit menjauh dari tempat tidur tak peduli akan teriakan kesakitan wanita itu.Kaisar menghempaskan kepala Adelia hingga terbentur pada lantai yang dingin.Belum selesai dengan rasa sakit di kepalanya, Adelia kembali tersentak saat Kaisar mencengkeram kuat kedua pipinya dengan satu tangan.“Sudah puas hidup bebas di luar sana setelah kejahatan yang kau lakukan?” desis Kaisar tajam. Kilatan kemarahan terlihat jelas di wajah pria itu, tapi dia mencoba untuk menahan diri agar tak langsung melenyapkan wanita di hadapannya.Kejahatan? Kejahatan apa yang telah dia lakukan?Adelia tak tahu arah pembicaraan Kaisar. Bahkan dia tak tahu kejahatan apa yang telah dirinya lakukan, hingga membuat pria itu memperlakukannya seperti ini.“Sa-sakit. To-tolong lepaskan,” lirih Adelia bersusah payah untuk mengutarakan hal yang ia rasakan.Sungguh itu sangat menyakitkan. Kepalanya berdenyut, rahangnya terasa akan hancur jika semakin ditekan oleh pria di hadapannya itu.“Sakit?” tanya Kaisar seakan tak tahu.Air mata Adelia mulai jatuh membasahi pipinya tanpa bisa dia hentikan.“Ini bahkan belum seberapa dibandingkan hal yang telah kau lakukan!” teriak Kaisar murka, lalu menghempaskan kasar wajah Adelia.Tiba-tiba suara dering ponsel Kaisar terdengar memenuhi ruangan, membuat pria yang telah diselimuti oleh kemarahan itu merogoh saku celananya dengan perasaan kesal.Sesaat kening Kaisar mengerut melihat nama yang tertera di layar ponselnya.“Ada apa, Bram?” tanya Kaisar to the point sembari melangkah mendekati wanita yang kini terbaring di lantai dengan cairan merah terlihat mengalir membasahi marmer putih itu.“Tuan, segera ke rumah sakit. Keadaan Nona Raila tiba-tiba memburuk.”Seketika Kaisar menghentikan langkahnya. Tubuhnya mematung dengan wajah terkejut. Sontak Kaisar segera berbalik keluar dari ruangan itu, bergegas ke rumah sakit tanpa peduli dengan sosok di dalam kamar tersebut.Bram melangkahkan kakinya mendekati sepasang suami istri yang kini berdiri dengan raut wajah tegang menatap ke arah pintu ruang rawat di depan mereka.Revan menoleh saat mendengar langkah kaki mendekati. Menatap saksama sekretaris putranya.“Kamu sudah menghubungi Kaisar?” Tanya Revan yang dibalas anggukan kepala oleh Bram.“Raila ... Raila.”Revan segera memeluk tubuh Istrinya yang kini gemetar takut sambil menyebut nama Putri mereka.“Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja.”Perlahan Rania mendongak, menatap wajah suaminya dengan mata berkaca-kaca. Padahal semuanya cukup baik beberapa menit yang lalu, tapi kenapa jadi seperti ini? Tubuh Raila tiba-tiba kejang tanpa sebab, membuat Rania yang saat itu duduk di dalam ruang rawat sontak berteriak memanggil nama suaminya.Revan dapat merasakan pundak Rania yang gemetar takut dalam dekapannya. Ia mencoba mengusap pelan punggung istrinya, berusaha untuk menenangkan meski jauh di lubuk hatinya ia juga khawatir.Beberapa menit kemudian.Sebu
Kaisar duduk diam di kursi kebesarannya. Pria itu duduk diam dengan tatapan lurus ke depan.Perkataan yang ia dengar semalam dari sosok ipar saudari Ayahnya, terus berputar tanpa henti.“Sebaiknya kau berganti pakaian dulu sebelum mendekati orang tuamu atau masuk ke dalam ruangan adikmu.” Ucap Lion dengan tatapan dingin, membuat Kaisar terdiam dengan menelan kasar ludahnya.Lion melangkah untuk pergi. Sesaat langkahnya terhenti tepat di samping Kaisar, menyentuh pundak pria muda itu lalu berucap pelan.“Aku tidak berhak mengatakan hal ini padamu. Tapi sepertinya aku perlu mengatakannya karena aku sudah menganggapmu seperti putraku sendiri.”Kaisar memalingkan wajahnya hingga menatap lekat wajah Lion.“Jangan berhubungan dengan hal yang tidak baik. Seburuk apa pun amarahmu, jangan bertindak gegabah. Kedua orang tuamu pasti tidak ingin melihat salah satu anak mereka memiliki sisi seperti itu.” Lion menepuk pelan pundak Kaisar, kemudian melangkah pergi meninggalkan Kaisar yang terdiam me
Seorang pria tengah memeriksa keadaan wanita yang terbaring di atas tempat tidur mewah, sosok yang terlihat begitu pucat.“Bagaimana keadaannya?” Sontak pria itu menoleh mendengar pertanyaan tersebut, “dia baik-baik saja ‘kan?”Seketika wajah pria itu berubah datar. Apa wajah pucat pasi dengan luka di kening bisa dibilang baik-baik saja? Heh! Apa pria yang bertanya itu adalah manusia?Ia menghela napas pelan, “sekarang sudah membaik. Untungnya Anda segera menghubungi saya, jika telat sedikit saja maka saya tidak akan menjamin keselamatannya.”Rahang kaisar mengetat marah. Tetap mencoba mendatarkan ekspresinya agar pria berstatus dokter di hadapannya itu tak melihat kemarahan di wajahnya.“Terima kasih, Dokter Arya.” Ucap Kaisar sedikit membungkuk.Dokter Arya kembali menggeleng pelan. Sebagai dokter yang bekerja dibawa naungan keluarga Argantara, ia hanya bisa diam tanpa berani bertanya lebih jauh akan penyebab kondisi mengenaskan wanita yang ia periksa. Apalagi saat ini dia berhadapa
Tubuh Lion mematung dengan napas tercekat di tenggorokan kala sosok wanita keluar dari balik tirai itu. Bibir Lion mengatup rapat dengan rasa gemetar yang tiba-tiba terasa di tubuhnya.“Ah, dia siapa?” Wanita itu sedikit berbisik pada pria muda itu. Sedikit mengerutkan keningnya kala merasa jika wajah yang kini berada di hadapannya terlihat tidak asing.“Dia dokter yang akan memeriksa kakek, Mom.” Sahut Liorand menatap wanita yang tidak lain adalah Ibunya.‘Mom?’ batin Lion bertanya-tanya dengan perasaan sesak di dadanya.“Oh, begitu.” Ia tersenyum, lalu mengulurkan tangan pada Lion.“Halo, dokter.” Wanita itu tetap tersenyum manis, menatap saksama wajah yang benar-benar terasa tidak asing hingga membuat jantungnya berdetak kencang.Sesaat Lion menatap uluran tangan wanita itu. Wanita yang selalu menghantui tidurnya tanpa kenal waktu. Malam, siang, dan pagi. Hanya terbayang wajahnya setiap saat.Wajah yang membuat hidupnya cukup kacau karena rasa kehilangan.“Risya,” gumam Lion dengan
“Saya sungguh tidak tahu apa-apa, Tuan. Sungguh saya tidak tahu apa pun.” Lirih Adelia tepat di hadapan sosok jangkung yang tengahmenatapnya datar. Sosok yang baru saja memasuki kamar itu terlihat tak peduli, hanya diam bagai patung dengan tatapan menusuk.“Ha’ah.” Kaisar menghela napas, membuat tubuh Adelia tersentak. Mendongak dengan ragu, hingga tatapannya bertemu dengan tatapan tajam Kaisar yang siap menusuknya kapan saja.“Apa menurutmu ada pencuri yang akan mengaku sebagai pencuri?” Kaisar balik bertanya dengan nada tak peduli.Ia baru saja tiba di mansionnya. Memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamar dan memeriksa kondisi Adelia, karena Kaisar tidak ingin penjahat yang melukai adiknya mati begitu saja tanpa adanya penderitaan.Namun, hal yang ia dapati saat masuk sungguh mengejutkannya. Sosok Adelia tiba-tiba mendekat dan bersimpuh di hadapannya dengan kaki yang terantai.Kaisar tersenyum miring. Dilepaskan? Bersusah payah dirinya mencari selama beberapa bulan tanpa henti d
"Kaisar..."Seketika Kaisar tersentak dari lamunannya. Pria itu menoleh menatap Sang Ibu yang terlihat khawatir di sampingnya."Iya, Mom?" ucap Kaisar menatap lekat mata Rania yang begitu menenangkan, hingga membuat ia sesaat lupa akan masalahnya."Kamu baik-baik saja?" Rania bertanya dengan ragu. Sudah sejak tadi ia memperhatikan Putra sulungnya itu.Sejak Kaisar memasuki ruang rawat Raila, pria itu lebih banyak melamun tanpa mengeluarkan sepatah kata.Ya, walau memang pada dasarnya putranya itu cukup pendiam. Ia jadi merindukan Putra kecilnya yang cerewet.Kaisar tersenyum lembut menanggapi pertanyaan Sang Ibu. Ia mengangguk pelan, "aku baik-baik saja, Mom. Tidak perlu khawatir."Kaisar meraih tangan Ibunya. Menggenggamnya erat, hingga suara dehaman membuat ia mengalihkan pandangan ke sumber suara.Sosok pria setengah baya kini tengah menatapnya tajam, seperti menatap musuh yang siap dilenyapkan. Siapa lagi jika bukan Ayahnya."Aku anakmu, Dad." ucap Kaisar melepaskan genggam tangan
"Tu-Tuan ...""Jangan mengeluarkan suaramu yang menjijikkan itu." Kaisar menatap tajam tanpa ekspresi iba di wajahnya. Tatapannya begitu datar menatap Adelia yang bersimpuh di lantai dengan darah segar mengalir dari keningnya akibat goresan di pintu masuk.Adelia ingin mengeluarkan suara, mengadu kesakitan akibat luka di keningnya. Namun, ia mengurungkan hal itu mendengar ucapan dingin Kaisar.Adelia kembali mengatupkan bibirnya yang gemetar. Pita suaranya seakan rusak seketika, tak mampu untuk mengeluarkan bait demi bait kata dari bibirnya.Hanya genangan air mata pada pelupuk mata yang dapat menjelaskan rasa sakit Adelia saat ini. Tetap saja, Kaisar tak peduli pada hal itu.Pria itu sedikit berjongkok. Menatap lurus dan tajam pada iris mata wanita yang kini gemetar di hadapannya."Bertingkahlah seperti wanita bisu. Agar kau tidak merasakan rasa sakit yang menyakitkan seperti penyiksaan beberapa hari sebelumnya." ucap Kaisar dingin.Kaisar meraih dagu Adelia. Mencengkeramnya dengan s
Adelia diam menatap penampilannya di depan kaca. Tubuh mungilnya begitu cocok mengenakan pakaian pelayan saat ini."Nona."Tubuh Adelia tersentak. Ia menoleh ke belakang, menatap sosok wanita yang memakai pakaian serupa dengan dirinya. Sosok gadis yang baru saja bekerja di kediaman itu."Anda sangat cantik," ucap pelan dengan senyum manis tak lepas dari bibirnya.Adelia tersipu malu mendengar hal itu. Ia ingin mengatakan terima kasih, tapi tak bisa. Bibirnya seakan kaku, apalagi mengingat ucapan Kaisar kepadanya.Lora, gadis manis yang berusia 19 tahun itu menatap Adelia dengan tatapan sendu dan kasihan.Gadis itu cukup senang saat mendapat telepon dari kakaknya yang mengatakan jika ada pekerjaannya untuknya.Ia bergerak dengan antusias menyiapkan diri setelah menerima telepon itu semalam, bersiap untuk tiba di kediaman yang akan menjadi tempat kerjanya.Seharusnya saat ini ia melanjutkan studinya, tapi karena terkendala akan biaya Lora memutuskan untuk berhenti. Walau Kakaknya mengat
Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
“Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona. Sampai ketemu di esok hari.”Perlahan pintu tertutup rapat, meninggalkan Adelia sendiri di dalam kamarnya dengan bulir keringat dingin yang terlihat jelas membasahi keningnya. Adelia menghela napas lega dengan tubuh mendadak lemas. Kegugupan itu mampu membuat Adelia sulit untuk berkonsentrasi.‘Rasanya lelah sekali,’ Adelia membatin sambil menggigit bibir bawahnya, ‘tapi aku tidak boleh mengeluh. Pasti Tuan Demian sudah mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membayar guru privat untukku. Aku harus bekerja keras agar bisa membayar semua kebaikan yang Tuan Demian berikan.’Adelia menyentuh dadanya. Di dalam sana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia sungguh berterima kasih, tapi juga merasa terbebani. Dan lagi, sisi hatinya terus saja merindukan sosok yang telah menyiksanya dahulu.Apakah dia mengalami kelainan hingga merindukan sosok kejam itu? Segera Adelia menggelengkan kepala mengusir segala pemikiran aneh dalam benaknya. Semakin k
Sosok pemillik dari perusahaan KR Group itu kini terlihat duduk melamun dalam ruang tamu apartemen adiknya. Kaisar menghela napas pelan sambil mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi dia melamun membayangkan kehadiran Adelia di sisinya. Nyatanya semua hanya angan sahaja.Penampilan Kaisar sudah sedikit berubah hari ini. Begitu berbeda dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di Milan. Raila sungguh mengurus kakaknya dengan baik.Wanita cantik itu terus saja mengingatkan kakaknya untuk makan tepat waktu, bahkan saat Raila tak berada di apartemen tersebut, dia selalu menyempatkan diri menelepon Kaisar meski hanya beberapa menit.“Kakak, tadi malam aku mimpi indah. Aku melihat kakak tersenyum begitu manis pada seorang wanita di sebuah taman yang penuh dengan bunga bermekaran.” Raila bercerita begitu antusias mengenai mimpinya, membuat Kaisar tersenyum kecil menanggapi hal itu sebelum akhirnya Raila berpamitan untuk pergi ke Universitas.“Adelia…” Kaisar bergumam lirih dengan punggung bersan
Pembicaraan penting masih berlanjut di ruang keluarga kediaman Salvatore. Namun, ada hal yang terasa berbeda di ruangan itu, hingga membuat Kaisar sesekali melirik penuh tanya pada sepupunya yang mendadak menjadi pendiam setelah ia kembali dari dalam kamar mengambil beberepa dokumen penting.“Masih ada beberapa hal penting yang kurang bagiku dalam kontrak kerja sama ini.” Devian meletakkan dokumen yang ia baca ke atas meja, menatap fokus pada Kaisar yang tak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi, “kamu tidak keberatan jika aku menambahkan beberapa hal penting ‘kan?”Kaisar segera menggeleng, “bukankah itu hal wajar? Lagi pula aku masih akan melihatnya sebelum menyetujuinya.”“Baiklah. Tapi, sepertinya itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu akan tinggal berapa hari lagi di Negara ini?” ucap Devian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin membalas tatapan mata sepupunya yang terlihat menyipitkan mata curiga.Sejenak keheningan mencekam menguasai. Kaisar tak kunjung
‘Akhirnya tiba juga.’Kaisar menatap sekeliling bandara dengan tatapan datar. Ia menghela napas pelan, menaikkan sebelah alisnya menatap sosok pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.Perlahan Kaisar melangkah mendekati sosok itu. Menarik pelan koper kecilnya dengan wajah datar yang senang tiasa terlihat.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kaisar menaikkan sebelah alisnya bertanya.Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Devian, sosok kembaran dari Demian.“Menjemputmu,” balas Devian santai. Tak terlalu peduli dengan ekpresi yang terlihat di wajah sepupunya itu. Karena Devian cukup mengenal seperti apa sifat seorang Kaisar Argantara.“Seharusnya tidak perlu.” Keduanya mulai melangkah keluar, “seharusnya kamu tidur saja. Aku bisa ke hotel terdekat menggunakan taksi,” lanjut Kaisar yang terlihat tak dipedulikan oleh Devian.Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devian memasuki mobilnya. Kaisar hanya bisa menggeleng pelan melihat hal tersebut. Segera masuk setelah mel
Keheningan masih menguasai di dalam ruang tamu sebuah mansion. Sosok wanita yang duduk di sofa panjang itu hanya menunduk dengan meremas kuat tangannya. Ia takut untuk mendongak, menatap pria yang terlihat seperti orang lain saat ini.“Sepertinya sudah saatnya aku untuk pergi.” Ucap Devian tiba-tiba, melihat arloji yang melingkar di tangannya.Adelia menoleh ke sumber suara. Mengerjap menatap sosok yang kini beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan mansion itu. Padahal sosok itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu.Devian tersenyum simpul pada wanita yang kini menatapnya bingung, “kalau begitu, aku pamit undur diri. Masih ada hal yang harus aku lakukan, jika ada kesempatan aku aka mengunjungimu lain kali. Dan lain kali aku membawa buah tangan, sampai jumpa.”Devian melambaikan tangannya pada Adelia, berjalan begitu santai sambil bersiul riah hingga menghilang di balik pintu.Kedua mata Adelia mengerjap beberapa kali. Namun, ia segera mencoba untuk menstabilkan pe
“Mansion siapa ini?” Devian bergumam menatap seksama tembok mansion di hadapannya. Setelah tadi mengikuti mobil Demian, kini ia telah tiba di depan gerbang mansion yang entah milik siapa. Seingatnya, kakaknya itu tak pernah membeli mansion itu. Dengan segera Devian merogoh saku celana kainnya. Meraih benda pipih di sana, lalu segera menghubungi nomor Kakaknya. Tidak lama berdering, sosok di seberang telepon mengangkat panggilannya. “Hm.” Hanya suara dehaman yang terdengar, menandakan jika kakaknya tak ingin diganggu saat ini. “Kau ada di mana?” tanya Devian, kembali mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Terlihat cukup asri dan nyaman di pandang. “Di luar,” jawab singkat Demian. Sesaat hening menguasai, hingga Devian kembali membuka suara. “Kau berada di Milan ‘kan?” Keheningan kembali menguasai setelah Devian mengutarakan pertanyaan itu. Pria berusia dua puluh dua tahun itu tahu, jika kakaknya tengah terkejut saat ini dan pasti berpikir keras akan maksud pertanyaannya. “A
Kedua mata Kaisar mengerjap beberapa kali. Memandang lama ke arah Ayahnya yang baru saja melemparkan bantal sofa, hingga tepat mengenai wajah tampannya. “Aneh-aneh saja kamu,” ucap Revan menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya ke sofa. Rania menghela napas pelan, berniat untuk bangkit dari duduknya dan memasuki dapur. “Aku serius, Dad.” Ucap Kaisar tanpa ragu. Seketika kedua orang tuanya menatapnya terkejut, “aku sudah menikah diam-diam dengan seorang wanita.” Lanjutnya lirih. Revan mematung di sofa dengan mulut sedikit terbuka mendengar ucapan lirih Putranya. Sedikit melirik ke arah istrinya yang tak jauh berbeda, benar-benar terkejut mendengar kejujuran Putra sulung mereka. “Kaisar…” panggil Revan dengan suara bergetar. Pria setengah baya itu mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan, mencoba untuk tenang agar tak mencerca Putranya dengan pertanyaan. “Kapan?” tanya Revan pelan, memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Rania kembali duduk di tempatnya. Me
Kaisar menggenggam erat ponsel di tangannya mendengar ucapan di seberang sana. Ia tahu jika hal itu sangat menganggu, tetapi amarah dan rasa penasaran tak bisa menghentikan niatnya untuk segera menghubungi sepupunya itu."Aku tanya, kamu waras?" Tanya Demian lagi, terdengar jelas nada datar di seberang telepon.Sesaat Kaisar tetap diam. Tatapannya menajam menatap tembok ruang kerjanya, tak memedulikan sosok adiknya yang kini memasuki ruangan itu."Aku tanya, di mana dia?!" Sentak Kaisar mengabaikan pertanyaan Demian.Helaan napas pelan terdengar di seberang telepon."Dia siapa?"Terdengar jelas nada tak tahu dari ucapan sepupunya itu."Adelia!" Sentak Kaisar mengebrak meja kerjanya.Tubuh Raila terkesiap mendengar suara teriakan dan gebrakan meja itu. Ia menatap kakaknya dengan mengerjapkan mata beberapa kali.'Adelia... Apa itu nama Istri Kak Kaisar?' batin Raila mulai menyimpulkan.Keheningan menguasai di seberang sana, membuat kening Kaisar mengerut lalu menjauhkan benda pipih itu d