Callista berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik menghadap ke arah Fritz. Dia sangat terkejut ketika mendengar ucapan pria itu. Dia kembali bertanya, “Apa kau bilang? Dia seorang bos mafia?”
“Ya, dia berbahaya. Kau harus menjauhinya, Callista. Jika kau berurusan dengan dia, kemungkinan kau tidak akan dilepaskan olehnya. Ka-“
“Apakah kau memiliki bukti? Jika tidak ada bukti, jangan berbicara sembarangan! Dia hanyalah seorang CEO dari sebuah perusahaan, tidak mungkin seorang bos mafia. Terlihat dari wajahnya, tidak mungkin dia berbohong kepadaku,” tukas Callista tidak terima. Wanita ini tidak mengerti kenapa dirinya berkata begitu kepada Fritz. Padahal di dalam benaknya, dia ingin mempercayai ucapan temannya itu.
“Kau tidak percaya kepadaku?” tanya Fritz dengan raut wajah menahan kesal.
“Bukannya aku tidak percaya, aku hanya tidak mau kau berbicara sembarangan tentang orang lain,” jawab Callista.
“Apakah kau membelanya setelah melihat wajah tampannya itu dalam jarak dekat?” sindir Fritz membuat Callista terkejut. Seketika saja wajahnya memerah menahan malu. Dia tak menyangka kalau Fritz melihat kejadian singkat itu.
“Te-tentu saja tidak! Jangan bicara begitu!” sanggah Callista seraya memandang ke arah lain.
“Kalau kau memang tidak percaya, aku akan membuktikannya. Kau akan tahu betapa kejamnya seorang bos mafia terhadap orang lain, sekalipun kepada seorang wanita,” balas pria itu lalu meninggalkan Callista. Jelas sekali dia marah karena wanita di depannya tadi berbicara seakan-akan membela Richard yang diyakininya seorang bos mafia. Callista hanya bisa mendengkus pelan lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumahnya.
Di tempat lain, Richard tampak menghampiri sekumpulan pria di dalam gang. Melihat ada Richard, para pria itu berdiri dari duduknya. Salah satu dari mereka berkata, “Bagaimana, Bos? Apakah kau bisa membuatnya percaya denganmu?”
“Ya, sepertinya kami akan berteman terlebih dahulu. Aku tidak mau terburu-buru,” jawabnya.
“Ehm … Bos, maafkan kami karena sudah menghajarmu. Kau sendiri yang ingin kami melakukan hal itu, jangan salahkan kami,” ucap pria lainnya.
Richard tertawa pelan lalu membalas, “Aku tidak menyalahkan kalian, justru aku berterima kasih karena kalian bisa membuat wanita itu percaya bahwa pengeroyokan tadi tampak nyata dan bukan sekedar akting belaka. Rasa sakit di tubuh ini bukanlah apa-apa. Kalian tak perlu merasa bersalah.”
Wajah para pria itu terlihat kesenangan karena orang yang mereka panggil bos ini tidak menyalahi mereka atas apa yang mereka lakukan sebelumnya. Karena tak ada lagi hal yang ingin dibicarakan, sang bos pun meninggalkan orang-orang itu dan keluar dari gang. Dia menghampiri salah satu mobil yang terparkir lalu masuk ke dalam. Mobil pun melaju ke suatu tempat.
Sesampainya di sebuah bangunan, Richard langsung turun dan disambut oleh seorang pria bersetelan jas. Pria tersebut bernama Oscar Sutcliff, asisten Richard yang sudah bekerja selama beberapa tahun. Sang bos sangat mempercayai serta mengandalkan Oscar dalam menangani semua hal, termasuk pekerjaan dan melindungi bosnya dari para musuh. Dia juga yang mengatur para pekerja yang bekerja dengan mereka.
Kedua pria ini naik ke lantai dua lalu masuk ke dalam ruang kerja Richard. Baru saja sang bos duduk di kursi kerjanya, Oscar langsung memberitahukan beberapa hal tentang pekerjaan. Richard hanya bisa mendengarkan dan meminta Oscar untuk mengaturnya lagi.
“Oh iya, Bos. Apakah kau sudah berhasil mengajak wanita itu berbicara?” tanya Oscar.
“Ya, rencana berpura-pura sebagai pria lemah dan dikroyok oleh banyak orang sangat berhasil, kami juga sempat mengobrol di bar. Namun ada satu teman dia yang sempat terkejut melihatku. Aku yakin orang itu tahu siapa aku. Ada kemungkinan orang tersebut akan memberitahunya,” jawab Richard tanpa menatap Oscar. Pria ini sedang membaca berkas yang diberikan oleh sang asisten.
“Apakah aku harus menyingkirkannya?”
“Jangan dulu! Aku ingin melihat reaksi wanita itu, dan ingin tahu plihan mana yang akan dia pilih. Tetap mempercayai aku sebagai CEO atau justru menjauh?” Richard melirik Oscar setelah menjawab seperti itu.
Pria di depannya ini tersenyum tipis lalu membalas, “Baiklah. Jika itu yang kau inginkan, tapi aku tak akan ragu kalau seandainya orang tersebut membuat kacau rencanamu. Setidaknya kita beri dia peringatan agar tidak mencampuri urusan kita.”
“Ya, cari tahu juga dia dan teman-teman dekat wanita itu sekarang juga! Kami belum sempat berkenalan karena dia langsung melarikan diri setelah melihat aku,” kata Richard seraya menutup berkas yang tadi dirinya baca. Dia memberikannya kepada sang asisten.
“Baik, kalau begitu akan ku cari tahu siapa saja teman dekat Nyonya Callista Austerlitz Zouch.” Oscar langsung pergi meninggalkan Richard. Jelas sekali kalau asisten pria ini bersemangat untuk bekerja. Richard hanya tersenyum tipis seraya menggelengkan kepala.
Setelah asistennya keluar dari ruangan, Richard pun mengambil sesuatu dari laci meja kerjanya. Sebuah kotak kecil dia simpan di atas meja lalu membukanya dan mengambil isi dari benda tersebut. Kalung berwarna perak dengan liontin berhuruf C dia pegang lalu memperhatikannya. Mata Richard tidak berpaling dari benda ini, bahkan mengingatkan dia kepada suatu kejadian.
Richard pun tersenyum tipis lalu bergumam, “Akan ku pastikan kau menjadi milikku. Lihat saja perjuanganku untuk mendapatkanmu. Pertemuan kita barulah awal, Zouch.”
***
“Hahaha …,” tawa beberapa pria yang tengah berkumpul di dalam gang sepi. Mereka terlihat sedang pesta alkohol seraya menertawakan suatu hal. Salah satu di antara mereka memilih untuk duduk sendirian dan tidak ikut bergabung, dia terlihat melamun, seperti sedang memikirkan sesuatu. Maxton, anggota yang lainnya menghampiri dia.
“Hei, The Meister! Ada apa denganmu? Kenapa kau melamun dan tak ikut bergabung dengan kami?” tanya Maxton kepada pria yang dia panggil The Meister itu.
Pria tersebut menoleh, tapi dia kembali menundukkan kepala. “Aku hanya memikirkan tentang dia dan merasa bersalah. Sungguh, aku sangat mencintainya,” jawabnya dengan nada lesu.
Maxton mendesis lalu duduk di samping The Meister, dia merangkul bahu pria itu kemudian berkata, “Jangan memikirkannya, The Meister! Apakah kau tak ingat tentang ayah dia? Dia sudah membunuh keluargamu, jangan harap anaknya harus bahagia, sementara kau tidak. Dendammu lebih besar daripada cintamu yang naif itu.”
The Meister hanya terdiam seraya menggelengkan kepala. Maxton pun mendengkus pelan melihat temannya seperti itu. “Tak perlu memikirkan wanita seperti dia. Dia hanyalah musuh, dan anak seorang pembunuh yang sudah merusak kebahagiaanmu. Ingatlah itu!” imbuhnya.
“Tapi, Max. Ak-“
“Membunuh atau terbunuh? Pilih yang mana? Kalau kau mau terbunuh, silakan temui wanitamu itu! Aku tidak akan melarang lagi,” tukas Maxton membuat The Meister terdiam. Dia tahu betul kalau sang teman tak mau kalau dirinya terus seperti ini, tapi dia tak bisa melupakan seorang wanita yang sedang dibicarakan mereka itu.
The Meister memikirkan perkataan Maxton, selama beberapa menit dia terus terpikirkan hingga membenarkan ucapan temannya itu. Kini dirinya bergabung dan enggan lagi memikirkan tentang wanita tersebut. Mereka pun saling mengadukan botol alkohol lalu meneguknya. Di dalam hati, The Meister berkata kalau dia akan berusaha untuk melupakan orang lain dan mengutamakan balas dendam daripada perasaannya.
Karena malam semakin larut, dan khawatir ada polisi yang berpatroli, mereka memilih untuk membubarkan diri. The Meister dan Maxton pun keluar dari gang, dan mereka berpisah di persimpangan jalan. Maxton melangkahkan kaki sendirian di jalan yang berlawanan dengan temannya itu. Jalan ini biasa dia lalui untuk pulang ke rumah.
Tiba-tiba saja, Maxton langsung terjatuh ke tanah dengan punggung yang mengeluarkan darah. Ya, seseorang melepaskan peluru ke arahnya. Maxton masih hidup, dia meringis kesakitan di area itu. Saat dia berbalik, orang tersebut mengarahkan pistol ke arah tubuh dia.
“Tidak! Jangan bunuh aku! Ja- AAARRRGGHHH!”
DOR!
Bersambung …
Callista berjalan seorang diri di sekitaran taman yang menjadi lokasi penembakan pada bulan lalu. Meski kenangan pahit itu kembali dia ingat, dirinya tidak ingin menyerah dan terus menelusuri kawasan itu. Siapa tahu ada sesuatu yang tertinggal, yang bisa menjadi petunjuk baginya. Padahal sudah berulang kali dia datang kemari, tetapi dia tidak menemukan apapun.Karena informasi yang dia dapatkan semalam cukup meyakinkan, makanya dia kembali ke sini untuk memastikannya sendiri. Kini dia berhenti di depan sebuah gang yang dimaksud oleh Fliora. Gang tersebut menjadi saksi kematian seorang pria yang dibunuh oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Ada kemungkinan si pelaku adalah orang yang sama, mengingat kalau pelaku itu pergi ke sini setelah kejadian penembakan di taman sekitaran kawasan ini.Callista menghampiri seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari rumahnya. Dia menanyakan tentang kejadian waktu itu. Menurut pria tersebut, sebelum para medis dan kepolisian datang
Dengan cepat Callista membalikkan arah jalannya lalu menarik kerah pakaian Letizia. Dia mengancam, “Jika kau tahu tentang si pelaku itu, katakan kepadaku! Kalau tidak, aku akan membunuhmu!”Secara perlahan, Letizia menarik tangan Callista. Wanita ini tertawa pelan. “Jangan terburu-buru, Senior! Aku tak akan memberikan informasi secara percuma. Sebagai anggota dari Foreszther, seharusnya kau tahu akan hal itu,” balasnya.“Aku bukan anggota mereka lagi dan tidak sudi bekerja sama denganmu! Ka-““Tidak masalah kalau kau bukan lagi anggota di sana, aku tak begitu memedulikannya, tapi kita harus bekerja sama. Kau ingin informasi itu, kan?” tukas Letizia membuat Callista berdecak. Dengan kasar, wanita itu menarik tangannya yang sedari tadi digenggam oleh Letizia lalu menjauh.Callista sangat kesal karena di saat dia ingin mendapatkan informasi tentang si pelaku penembakan, malah ada orang lain yang ingin memanfaatkannya, terutama orang asing seperti Letizia. Ditambah wanita itu adalah anggo
Pria di depan wanita ini terlihat tertawa pelan, membuat Callista menjadi kesal sendiri. Dengan perlahan, dia memegang senjata itu seraya menatap tajam mata Callista. Dirinya berkata, “Jangan seperti itu kepada bosmu sendiri, Zouch! Aku ingin kau kembali bergabung. Sebagai gantinya, aku akan menjawab semua keingintahuanmu tentang Fernando Foligno.”Alih-alih membalas, Callista hanya bergeming seraya menatapnya dengan tajam. Karena tak ada balasan, pria itu melanjutkan, “Silakan lubangi leherku! Alih-alih aku yang mati, malah kau yang tergeletak bersimbah darah akibat peluru anak buahku.”“Bagus, Bos Alberto! Dengan begitu kau kehilangan orang seperti aku.” Alberto langsung terdiam. Pria itu terlihat menahan emosinya setelah Callista berkata begitu. Melihat bagaimana reaksinya, Callista hanya mendesis.“Lebih baik kau beri tahu aku informasi tentang Fernando! Aku masih bisa sabar. Kalau tidak, aku akan benar-benar menghancurkan tempat ini meski harus kehilangan nyawaku sendiri!” ancam
Callista sudah membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan kelompok ini dan bekerja di bawah perintah Alberto. Dirinya terpaksa memutuskan hal tersebut demi menuntaskan balas dendam. Dia merasa hanya ini jalan satu-satunya. Kalau ada kesempatan besar, kenapa dia harus membuang kesempatan itu? Meski nyawa taruhannya dan memiliki risiko tinggi, Callista tak peduli.Mendengar keputusan yang disampaikan Callista membuat Alberto tertawa. Dia begitu senang karena wanita yang telah dia tunggu selama ini, kini bersedia bekerja sama. Tentu saja banyak rencana yang Alberto siapkan agar Callista tetap bergabung dan enggan untuk meninggalkan kelompok ini. Termasuk memasukkannya ke dalam tim yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum wanita di depannya itu datang ke hadapan dia.“Keputusan yang bagus, Zouch. Dengan begini kita sudah sepakat, bukan?” tanya pria itu. Callista menganggukkan kepalanya.“Ya, asalkan kau menepati janjimu. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk melakukan sesuatu kep
Teman-teman Vittoria terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Callista. Mereka sempat meminta wanita itu untuk melepaskan Vittoria. Namun dia enggan menjauh dan masih menatap tajam mata Vittoria yang kini terlihat membalas dengan tatapan tajam juga. Hal ini membuat Callista menjadi kesal kepadanya. “Vittoria, lebih baik kita tidak perlu tahu sampai sejauh itu. Kita bukanlah siapa-siapa baginya, apalagi baru kenal beberapa menit lalu.” Kini Justin menegur Vittoria. Wanita itu pun mendesis setelah Callista menjauhkan diri darinya. Terlihat jelas dia juga kesal dengan Justin. “Atas nama Vittoria, aku minta maaf, Zouch! Dia tidak bermaksud begitu,” katanya kepada Callista. “Katakan kepada anak buahmu itu untuk menutup mulutnya,” balas Callista tanpa menoleh. Justin menganggukkan kepala. Dia pun menyuruh mereka untuk duduk, termasuk Callista. Wanita ini menurut dan duduk kembali di sofa yang sebelumnya. Daripada membahas hal yang tak perlu dibicarakan, Justin memilih untuk memberitahukan
Callista berhenti menyerang dan terkejut ketika melihat siapa orang yang kini ada di hadapan dia. Dirinya bertanya, “Richard? Huft! Ku kira siapa.”“Sepertinya kau hebat dalam bertarung dan memiliki kepekaan akan bahaya yang akan menyerangmu,” ujar Richard membuat Callista terkekeh pelan.“Hanya kebetulan saja. Aku sangat khawatir kalau seseorang membuatku celaka, ditambah sebelum ke sini aku sempat dijahili oleh orang lain, makanya aku mencoba menyerang meski tak pandai berkelahi,” dalihnya. Tak mungkin dia mengatakan kalau dirinya bisa berkelahi dan memiliki kepekaan akan situasi di sekitarnya. Callista tak mau pria di depannya itu tahu kalau dia tidak selemah yang dikira Richard.Richard manggut-manggut setelah mendengar penjelasan dari Callista. Dia pun bertanya, “Lalu kenapa kau ke ruangan ini?”“Aku mencoba memancing orang yang menjahiliku. Tidak ku sangka ternyata kau yang datang,” jawab Callista. Richard kembali manggut-manggut. Kini giliran Callista yang bertanya kenapa pria
“Kau siapa? Apa alasanmu ingin membunuhku?” tanya Callista tanpa menoleh.“Jangan banyak bertanya! Aku akan membawamu ke suatu tempat dan kau akan dibunuh di sana. Sekarang berjalanlah dan jangan bicara!” Orang yang menodongkan senjata itu pun mendorong Callista agar melangkahkan kakinya. Dengan arahan dia, wanita ini terpaksa menurut. Tentu saja dirinya dilarang agar tidak menoleh, mengajukan pertanyaan dan hanya bisa menurut. Ditambah Callista penasaran, apa yang diinginkan orang itu darinya?Tak lama, mereka sampai di sebuah bangunan. Callista diminta untuk masuk ke dalam bersama si penodong itu. Ruangan di bangunan ini terlihat remang-remang. Callista tidak bisa melihat apa saja yang ada di sini, bahkan sangat sepi sekali. Orang yang ada di belakang wanita ini pun terus menuntunnya sampai naik tangga berulang kali hingga berhenti di rooftop.Tiba-tiba saja Callista didorong dengan keras hingga hampir terjatuh. Dengan sigap dia berbalik dan melihat seseorang memakai topeng tengah m
Tim ini sudah sampai di depan sebuah rumah besar yang ada di salah satu perumahan elit dan sekarang mereka tengah memantau dari dalam mobil. Seraya menunggu Federico meretas kamera pengawas di rumah itu, Justin memberitahukan bagaimana rencana mereka masuk ke dalam sana. Ada kemungkinan rumah tersebut dijaga oleh para penjaga, orang-orang ini harus berhati-hati dalam melakukan misi. Seusai berdiskusi dan disetujui, serta Federico sudah memberikan kode aman, mereka langsung turun dari mobil lalu berjalan mengendap-endap menuju ke rumah besar itu. Di telinga mereka terdapat alat komunikasi, dengan begitu, mereka bisa saling berbicara tanpa harus bertemu langsung. Justin sengaja memecah timnya menjadi dua, dia bersama dengan Callista, sedangkan Vittoria bersama Lionello. Mereka masuk melalui jendela yang tidak dijaga oleh si penjaga, tim yang satunya lagi melakukan pengalihan kepada para penjaga di depan pintu agar tidak mendengar jendela yang hendak dibuka. Dengan lihai, Justin membukan
Hal tersebut mengejutkan Richard dan Callista. Alberto malah menodongkan benda itu kepada anak buahnya sendiri. Tentu saja Callista tidak terima. Dirinya langsung mengomel. “Apa-apaan kau ini? Kenapa kau menodongku?”“Ku bilang pilihlah! Kau berpihak kepada siapa? Aku atau orang itu hah?” tanya Alberto tanpa menjawab pertanyaan Callista.“Apa maksudmu aku harus memilih?” tanya Callista lagi.“Cih! Sadar dirilah, Wanita sialan! Belakangan ini kau terus membela pria itu. Bahkan kau menggagalkan misimu dan terus menentang aku. Aku curiga kalau kau memiliki perasaan khusus kepadanya sehingga kau bersikap begitu. Iya, kan?” geram Alberto membuat Callista menganga tak percaya. Sang bos malah mempertanyakan hal seperti itu kepadanya. Pertanyaan tersebut cukup sulit untuk dijawab Callista untuk saat ini.“Ja-jangan main-main denganku, Pak Tua! Mana mungkin aku memiliki perasaan seperti itu kepadanya. Bukankah
Sepertinya Richard tak begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Callista kepadanya. Alih-alih menghindar, Richard malah berjalan maju sehingga ujung pisau tepat berada di leher dia. Hal ini membuat Callista mendesis lalu menurunkan benda tersebut. Richard yang sudah tahu reaksi Callista hanya tersenyum lalu memeluk wanita itu. Anehnya, meski kesal, Callista tak menghindar bahkan membiarkan Richard memeluk dirinya.“Kenapa kau begitu berani meski senjata tepat di depan matamu? Aku bisa saja membunuhmu dalam jarak sedekat ini,” tanya Callista yang keheranan.“Karena aku yakin kalau kau tak akan berani melakukannya. Buktinya saja sekarang kau menurunkan senjatamu,” jawab Richard. Lagi-lagi Callista tak menyangkal, dia hanya memasang wajah sedih. Karena Richard sedang memeluknya, bos mafia itu tidak melihat bagaimana raut wajah Callista sekarang.“Kau tahu? Aku merasa kalau kau tak memiliki alasan untuk membenciku. Ku akui aku menyembu
Callista terkejut ketika melihat Fernando membelalakkan matanya. Pria itu pun terjatuh begitu saja membuat Callista menjerit. Ternyata tembakan itu berasal dari belakang Fernando. Callista melihat ke arah pelaku yang sudah melepaskan pelurunya ke mantan suaminya itu. Ternyata Richard, Bos ValHolitz yang selama ini tidak terlihat. Callista terkejut karena Richard menembak Fernando.“Kenapa kau menembaknya?” tanya Callista.“Karena dia akan menembakmu,” jawab Richard seraya berjalan mendekati mereka. Callista melihat tubuh Fernando yang sudah dipenuhi darah. Pria tersebut mengerang kesakitan di area punggungnya.“Aku tidak mengenai titik vitalnya, dia akan baik-baik saja,” ucap Richard setelah berhasil mendekati mereka dan berdiri tak jauh dari keduanya.“B-bos?! Ke-kenapa kau ke sini?” tanya Fernando terbata-bata.“Karena aku melihat istriku akan dibunuh oleh anak buahku sendiri,” jawabnya.
Perang dimulai, lokasi yang ditentukan sudah dipenuhi oleh dua kelompok yang sedang bertarung. Sesuai dengan perjanjian bahwa tak ada pengeboman. Kini murni hanya pertarungan keduanya yang menggunakan senjata api dan senjata tajam. Suara tembak menembak terdengar di medan perang, tak sedikit yang sudah tumbang akibat terkena peluru musuh. Bahkan sniper tersembunyi juga melakukan aksinya dari suatu tempat yang tak diketahui oleh siapapun. Begitupula dengan para pemimpin.Demi menguatkan pasukan, Forezsther bergabung dengan anggota dari kelompok Fulgen Famiglia. Meski tak semua anggota dari kelompok tersebut turun tangan, tapi pasukan Forezsther menjadi bertambah. Tentu saja ValHolitz kewalahan karena tak ada kelompok pendukung, mereka berjuang sendiri. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari Forezsther dan Fulgen Famiglia, sayangnya, kebanyakan orang yang terkapar di tanah dari kelompok mafia ternama di Kota Napoli itu. Untuk saat ini, Forezsther jauh lebih unggul ketimbang ValHo
“Secara langsung, aku melihat bagaimana Easter disiksa di depan mataku, bahkan tanpa hati mereka mempermainkannya. Aku yang sudah tidak sanggup mulai berbicara demi bisa menyelamatkan diriku serta temanku. Meski Easter terus memarahi, aku tetap mengatakan kepada mereka tentang Forezsther. Namun sialnya, mereka tidak menepati janji dan justru semakin mempermainkan Easter di depan mataku. Tubuhnya yang sudah dipenuhi darah, tanpa sehelai kain, dan terus menyiksanya tanpa henti meski dia tak lagi berteriak kesakitan. Aku … aku hanya bisa melihatnya, tanpa bisa melakukan apapun dan hanya bisa menangis dalam diam. Ba-bahkan ketika Easter disakiti, aku ….” Justin melihat Callista yang berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis. Padahal sedari tadi Callista terus memegangi dadanya dengan tubuh yang bergemetar dan suara yang mulai bergetar. Namun wanita tersebut tetap melanjutkan. Justin mencoba untuk meminta Callista untuk berhenti, sayangnya, Callista terus berbicara.
Dalam satu jam, Kristian pun datang menghadap ke bosnya. Sang bos langsung mengomeli Kristian yang sudah lengah. Tentu saja pria itu tak mengerti kenapa dirinya sampai dimarahi. Richard menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Hal ini mengejutkan Kristian. Dirinya tak menyangka kalau Callista akan mengikutinya, bahkan mendengarkan pembicaraan dia dengan Gabriel.“Kau sangat bodoh, Kristian! Bukankah aku sudah peringati agar tidak usah menceritakannya kepada siapapun? Kau tidak menepati janjimu bahkan secara sembarangan mengungkapkan hal ini ke orang lain. Karena kecerobohanmu, Callista mengetahui semuanya dan dia malah menanyakannya kepadaku. Dengan terpaksa aku memberi tahu dia,” omel Richard seusai memberi tahu Kristian tentang kehadiran Callista satu jam lalu.“Maafkan aku, Bos! Gabriel sangat memaksa sehingga aku harus menceritakan kepadanya. Ka-““Jangan menyalahi orang lain karena kesalahanmu sendiri!” tukas Richard memb
Seusai berkata begitu, Richard pun melepaskan Callista. Wanita tersebut segera menjauhi Richard dan menatapnya dengan tajam. Meski dia tahu kalau dirinya akan kalah, Callista tetap ingin menyerang Richard karena baginya ini adalah kesempatan. Sayang sekali, Richard jauh lebih kuat daripada dia.“Jika kau melakukan hal itu di kantorku, para anak buahku tidak akan tinggal diam. Kau akan diserang oleh mereka, Callista! Lebih baik tahan dirimu sebelum waktunya tiba, lagi pula ketika penyerangan nanti, aku akan turun tangan langsung untuk menyerang kalian bersama dengan para anak buahku. Aku tak akan melarikan diri,” kata Richard lagi.“Harusnya aku membunuhmu waktu itu,” geram Callista membuat Richard tertawa pelan.“Sekarang kau menyesal tidak membunuhku?” tanya Richard. Callista tidak menjawab pertanyaan itu, wanita tersebut hanya menatap Richard dengan tajam. “Entah apa alasanmu, tapi kau memberikan aku kesempatan. Dengan
Callista terdiam, berusaha untuk mengingat tentang pasangan yang sudah dibunuhnya. Melihat Callista yang kebingungan, Richard pun mengambil dokumen dari dalam laci mejanya lalu memberikannya kepada wanita itu. Callista melihat isi dari dokumen tersebut yang menampilkan informasi tentang dua pasangan yang mereka bicarakan.“Mereka adalah kedua orang tua Kristian yang bekerja sebagai agen rahasia untuk beberapa kelompok mafia. Mereka hanya tinggal berdua di apartemen itu. Kau pergi ke sana untuk membunuh keduanya. Kebetulan Fernando berada di tempat lain dan ketika melihat orang tuanya, mereka sudah tiada dengan luka tusukan di mana-mana. Sempat ada perlawanan, terbukti dari beberapa barang yang hancur. Sekarang kau sudah mengingatnya?” ungkap Richard seraya melihat ke arah Callista.Wanita menganggukkan kepalanya. “Ya, aku baru ingat dengan misi itu. Misi yang diberikan oleh bosku karena mereka pernah bekerja dengannya dan berkhianat. Karena pengkhiana
“Hah?! Apa maksudmu?” tanya Callista.“Aku hanya ingin tahu, siapa yang akan kau bela ketika peperangan itu terjadi,” jawabnya.“Cih! Kau masih saja memikirkan hal seperti ini, bukankah seharusnya kau mengkhawatirkan kelompokmu sendiri? Ditambah kau sudah menyatakan perang kepadaku yang notabenenya adalah anggota Forezsther. Mungkin kau juga sudah memberi tahu Alberto,” kata Callista.Richard mengernyitkan dahi keheranan. Kemarin sang istri tampak berbeda seperti biasanya, tapi sekarang malah bersikap sama. Perubahan Callista membuat Richard menjadi bingung. Pria itu pun membalas, “Aku lebih khawatir kau akan menjadi korban atas peperangan yang akan terjadi. Akan jauh lebih baik kalau kau tidak terlibat dan tak perlu ikut perang. Ka-““Jangan naif, Bos Mafia! Sekeras apapun aku menyangkal, aku tetaplah anggota Forezsther dan tak mungkin bagiku untuk bersembunyi. Berjuang bersama temanku akan jauh lebih