Satu bulan sudah berlalu sejak kejadian penembakan itu, Callista belum berhasil menemukan pelaku penembakan yang sudah membunuh Fernando. Meski kepolisian masih menyelidikinya, tapi dia tak bisa berdiam diri dan menunggu. Ambisinya untuk melakukan balas dendam sudah tak bisa ditahan lagi. Sudah tiga minggu dirinya mencari-cari si pelaku dan hanya mendapatkan sedikit informasi dari orang lain.
Callista tidak akan menyerah begitu saja dan harus menemukan si pelaku entah bagaimana caranya. Untuk sekarang, dia sudah berhasil mengetahui kalau ada seseorang yang mungkin bisa membantu. Menurut informasi yang dia dapatkan, seorang pria berkulit hitam memiliki akses lebih tentang aktivitas kriminal di kota ini. Tak mau kehilangan kesempatan, maka Callista harus mencari keberadaannya.
Tepat di kawasan sudut kota, Callista berjalan seorang diri. Dia mencari keberadaan orang yang dimaksud oleh si pemberi informasi dan di tangannya terdapat sebuah foto yang menunjukkan wajah pria tersebut. Wanita ini pun masuk ke dalam gang, berharap dia menemukan seseorang yang mungkin bisa ditanyainya.
Namun hal tak terduga terjadi, dirinya melihat beberapa pria menghajar pria lainnya dan tampak brutal. Callista terkejut saat melihat salah satu orang yang dia kenal tengah berdiri di dekat orang-orang itu. Dia bergumam, “Orang itu ada di sana, tapi kenapa dia membiarkan mereka menghajar orang lain?”
“Mungkinkah orang itu adalah bos mereka?” lanjutnya. Tak mau kehilangan kesempatan, Callista pun mendekati mereka. Tentu saja dia mengendap-endap agar tidak ketahuan. Setelah memastikan bahwa salah satu dari mereka adalah orang yang dia cari, Callista pun keluar dari persembunyiannya.
“Maaf mengganggu kesenangan kalian, aku hanya ingin bertanya,” kata dia dengan lantang tanpa rasa takut. Kehadirannya membuat para pria itu berhenti menghajar dan menolehkan kepala, termasuk orang yang sedang dia cari.
“Berani sekali seorang wanita datang menghampiri kami,” ujar salah satu dari mereka. Callista enggan membalas, dia malah menunjukkan foto seorang pria yang sedari tadi dia genggam.
“Aku hanya ingin bertanya, apakah kalian mengenal orang ini?” tanyanya. Mereka pun mengernyitkan dahi lalu menolehkan kepala ke arah pria yang sama seperti di foto.
“Sepertinya kau memiliki penggemar, Bos,” sindir mereka.
“Aku tak suka orang lain mencariku, apalagi seorang wanita. Bawa dia dan habisi!” suruh orang itu tanpa ingin berbicara dengan Callista. Sebagian dari mereka tampak tertawa lalu berjalan mendekat.
“Aku datang hanya untuk menanyakan beberapa informasi kepadamu, bukannya menimbulkan masalah,” ujar Callista kepada pria berkulit hitam itu yang kini berdiri cukup jauh. Terpaksa dia harus memundurkan diri untuk menjauhi para pria itu.
“Cih! Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan kepada polisi, bukan kepada bosku! Justru kehadiranmu di sini hanya akan menjadi santapan enak untuk kami.” Pria yang lain menyahut dengan wajah penuh nafsu. Terlihat jelas matanya terus menatap ke arah tubuh Callista. Mendengar ucapan itu membuat Callista menjadi kesal, dia tidak bisa membuang waktunya dengan perdebatan tidak penting.
Dirinya berpikir kalau percuma saja terus berdebat, orang yang ingin dia tanyakan tentang penembakan waktu itu malah bersikap tidak peduli. Menurut informasi, pria tersebut memang seperti itu. Sulit untuk diajak berbicara serta kerja sama, alih-alih membantu, malah membuat masalah. Callista tak suka situasi ini, dia memilih untuk berhenti meminta bantuan dan berniat untuk membatalkan keinginannya itu.
Diam-diam dirinya mengambil pepper spray yang dia sembunyikan di saku belakang celananya lalu menyemprotkan isi benda itu ke wajah para pria yang mendekat. Mereka tampak berteriak seraya menutup mata akibat rasa perih yang ditimbulkan oleh benda itu. Tak terima dengan apa yang dilakukan wanita ini, para pria yang tidak terkena semprotan pun menghalangi Callista agar tidak bisa melarikan diri.
Callista tak bisa kabur karena mereka mengerumuni dirinya. Di tangan dia terdapat pepper spray yang siap kapan saja untuk disemprotkan ke wajah mereka. Namun orang-orang ini terlalu banyak dan benda yang dipegangnya itu tak mungkin cukup untuk membuat mereka menjauh. Hanya perkelahian dengan tangan kosong yang bisa dia lakukan. Di dalam hatinya, dia ingin melakukan hal itu demi menyelamatkan diri sendiri daripada menjadi bahan amukan mereka.
Saat Callista hendak melakukan ancang-ancang, seketika saja seorang pria lainnya menghajar beberapa dari mereka. Tak sengaja, mata Callista dan orang itu bertemu. Tanpa suara, pria tersebut berkata, “Larilah!”
Karena ada peluang untuk kabur, dengan cepat Callista melarikan diri dan membiarkan orang itu menghajar mereka. Setelah dirasa aman dan cukup jauh dari lokasi perkelahian itu, dia berhenti berlari lalu mengatur napasnya.
“Sial! Aku malah mengorbankan orang lain,” gumam Callista. Dia pun melihat foto yang tadi dia genggam lalu merobeknya hingga menjadi beberapa potongan. Dia kesal karena pria yang ada di foto sangat menyebalkan dan tidak bisa diajak bekerja sama. Tak mungkin juga dirinya memohon-mohon demi sebuah informasi.
“Ternyata nyalimu besar juga.” Seseorang berkata begitu membuat Callista menoleh. Ternyata pria tadi berhasil melarikan diri dan wajahnya tampak babak belur.
“Kau … bukankah kau yang dihajar mereka tadi?” tanya Callista.
“Ya, ada sedikit masalah antara aku dengan orang-orang itu hingga aku dihajar, dan terima kasih banyak karena kau menyelamatkanku,” jawabnya.
“Aku tidak menyelamatkan siapapun,” balas wanita itu.
“Ya, bagiku itu adalah sebuah penyelamatan. Sekali lagi terima kasih, sekarang kita menjadi seri, bukan?” Callista meliriknya lalu mengangguk. Tak mau berurusan dengan orang asing, wanita ini pun berjalan meninggalkan pria itu.
“Tunggu dulu!” cegahnya lalu berjalan mendekat dan berdiri di depan Callista. “Aku ingin mentraktirmu sebagai tanda terima kasihku. Ku dengar di sekitar sini ada bar yang menjual informasi. Mungkin kau bisa mendapatkan informasi yang ingin kau ketahui.”
Penawarannya cukup menarik dan ucapannya meyakinkan. Mungkin saja Callista bisa menemukan informasi yang dia inginkan. Tanpa pikir panjang, wanita ini menganggukkan kepala. Mereka pun berjalan menuju ke sebuah bar yang disebutkan oleh pria itu.
“Namaku Richard Valfredo Holtzman, aku seorang CEO dari perusahaan yang tak begitu terkenal. Gang tadi adalah jalanan yang selalu aku lalui. Sengaja aku melalui jalan itu karena aku tidak suka kebisingan di luar gang. Suara mobil yang berlalu lalang membuatku enggan melangkahkan kaki di trotoar, makanya aku memilih untuk masuk gang karena sepi dan tidak bising,” jelas pria bernama Richard itu. Callista tidak merespon, dia hanya mendengarkan seraya menatap ke depan.
“Ehm … orang-orang tadi adalah pemeras. Mereka meminta sejumlah uang kepadaku serta barang berharga, tapi aku menolak dan memukul salah satu dari mereka. Akibat kelakuanku itu, mereka menghajarku sampai seperti ini,” lanjutnya.
Terdengar suara desisan dari Callista. Dia membalas, “Kenapa tidak kau hajar saja mereka? Dengan begitu kau tak akan babak belur.”
“Kau lihat sendiri jumlah mereka lebih banyak daripada aku, kan? Tak mungkin aku bisa memenangkan perkelahian walau aku bisa berkelahi. Lagi pula aku tak semahir itu.”
“Benar juga,” sahut Callista. Mereka pun saling terdiam satu sama lain hingga tak terasa bar yang dimaksud Richard pun sudah di depan mata. Keduanya masuk ke dalam sana dan duduk di kursi bar lalu memesan alkohol.
Seraya menunggu, Richard bertanya, “Kau belum menyebutkan namamu. Bolehkah aku tahu siapa kau?”
“Florencia Fleischer, hanya seorang pengangguran,” jawab Callista dengan nada singkat tanpa ingin memberitahukan tentang dia dan sengaja menggunakan nama lain untuk menutupi identitas aslinya.
“Aku melihatmu mengenal salah satu dari mereka. Sebenarnya apa yang ingin kau ketahui dari orang itu?” Pria itu tampak ingin tahu. Sebenarnya Callista enggan untuk memberi tahu, tapi dia tak bisa menyembunyikan hal ini. Apalagi Richard melihat sendiri bagaimana dirinya berbicara dengan orang yang ada di foto tadi.
Saat hendak menjawab, seketika saja seseorang menyerukan nama Callista. Merasa tak asing dengan suara itu, Callista menoleh seraya berkata, “Fernando?!”
Bersambung …
Ternyata yang memanggilnya adalah Fritz Ryker, seorang pria yang dikenal Callista dari suatu tempat. Pria tersebut tampak tersenyum, tapi Callista malah mendengkus kesal karena dia salah mengira kalau Fernando yang menyerukan namanya. Suara Fritz tak jauh berbeda dengan sang mantan suami.“Maaf! Aku kira Fernando,” kata Callista kepada pria itu.“Tak perlu meminta maaf. Kau sedang apa di sini? Tidak biasanya kau pergi ke bar.” Fritz tampak penasaran. Dia duduk di samping Callista.“Kebetulan aku lewat jalanan ini dan mampir sebentar. Kata orang ini, mereka menjual informasi, siapa tahu mereka bisa membantuku,” jawab Callista seraya menunjuk Richard lalu sedikit mengubah posisi duduknya agar Fritz bisa melihat pria di sampingnya itu.Alih-alih membalas, Fritz malah menunjukkan raut wajah terkejut. Kedua matanya membelalak dengan lebar. Hal ini membuat Callista mengernyitkan dahi karena kebingungan. Ada apa dengan pria ini? Tanyanya dalam hati.“Kenapa wajahmu tampak terkejut begitu?” t
Callista berhenti melangkahkan kakinya dan berbalik menghadap ke arah Fritz. Dia sangat terkejut ketika mendengar ucapan pria itu. Dia kembali bertanya, “Apa kau bilang? Dia seorang bos mafia?”“Ya, dia berbahaya. Kau harus menjauhinya, Callista. Jika kau berurusan dengan dia, kemungkinan kau tidak akan dilepaskan olehnya. Ka-““Apakah kau memiliki bukti? Jika tidak ada bukti, jangan berbicara sembarangan! Dia hanyalah seorang CEO dari sebuah perusahaan, tidak mungkin seorang bos mafia. Terlihat dari wajahnya, tidak mungkin dia berbohong kepadaku,” tukas Callista tidak terima. Wanita ini tidak mengerti kenapa dirinya berkata begitu kepada Fritz. Padahal di dalam benaknya, dia ingin mempercayai ucapan temannya itu.“Kau tidak percaya kepadaku?” tanya Fritz dengan raut wajah menahan kesal.“Bukannya aku tidak percaya, aku hanya tidak mau kau berbicara sembarangan tentang orang lain,” jawab Callista.“Apakah kau membelanya setelah melihat wajah tampannya itu dalam jarak dekat?” sindir Fr
Callista berjalan seorang diri di sekitaran taman yang menjadi lokasi penembakan pada bulan lalu. Meski kenangan pahit itu kembali dia ingat, dirinya tidak ingin menyerah dan terus menelusuri kawasan itu. Siapa tahu ada sesuatu yang tertinggal, yang bisa menjadi petunjuk baginya. Padahal sudah berulang kali dia datang kemari, tetapi dia tidak menemukan apapun.Karena informasi yang dia dapatkan semalam cukup meyakinkan, makanya dia kembali ke sini untuk memastikannya sendiri. Kini dia berhenti di depan sebuah gang yang dimaksud oleh Fliora. Gang tersebut menjadi saksi kematian seorang pria yang dibunuh oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Ada kemungkinan si pelaku adalah orang yang sama, mengingat kalau pelaku itu pergi ke sini setelah kejadian penembakan di taman sekitaran kawasan ini.Callista menghampiri seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari rumahnya. Dia menanyakan tentang kejadian waktu itu. Menurut pria tersebut, sebelum para medis dan kepolisian datang
Dengan cepat Callista membalikkan arah jalannya lalu menarik kerah pakaian Letizia. Dia mengancam, “Jika kau tahu tentang si pelaku itu, katakan kepadaku! Kalau tidak, aku akan membunuhmu!”Secara perlahan, Letizia menarik tangan Callista. Wanita ini tertawa pelan. “Jangan terburu-buru, Senior! Aku tak akan memberikan informasi secara percuma. Sebagai anggota dari Foreszther, seharusnya kau tahu akan hal itu,” balasnya.“Aku bukan anggota mereka lagi dan tidak sudi bekerja sama denganmu! Ka-““Tidak masalah kalau kau bukan lagi anggota di sana, aku tak begitu memedulikannya, tapi kita harus bekerja sama. Kau ingin informasi itu, kan?” tukas Letizia membuat Callista berdecak. Dengan kasar, wanita itu menarik tangannya yang sedari tadi digenggam oleh Letizia lalu menjauh.Callista sangat kesal karena di saat dia ingin mendapatkan informasi tentang si pelaku penembakan, malah ada orang lain yang ingin memanfaatkannya, terutama orang asing seperti Letizia. Ditambah wanita itu adalah anggo
Pria di depan wanita ini terlihat tertawa pelan, membuat Callista menjadi kesal sendiri. Dengan perlahan, dia memegang senjata itu seraya menatap tajam mata Callista. Dirinya berkata, “Jangan seperti itu kepada bosmu sendiri, Zouch! Aku ingin kau kembali bergabung. Sebagai gantinya, aku akan menjawab semua keingintahuanmu tentang Fernando Foligno.”Alih-alih membalas, Callista hanya bergeming seraya menatapnya dengan tajam. Karena tak ada balasan, pria itu melanjutkan, “Silakan lubangi leherku! Alih-alih aku yang mati, malah kau yang tergeletak bersimbah darah akibat peluru anak buahku.”“Bagus, Bos Alberto! Dengan begitu kau kehilangan orang seperti aku.” Alberto langsung terdiam. Pria itu terlihat menahan emosinya setelah Callista berkata begitu. Melihat bagaimana reaksinya, Callista hanya mendesis.“Lebih baik kau beri tahu aku informasi tentang Fernando! Aku masih bisa sabar. Kalau tidak, aku akan benar-benar menghancurkan tempat ini meski harus kehilangan nyawaku sendiri!” ancam
Callista sudah membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan kelompok ini dan bekerja di bawah perintah Alberto. Dirinya terpaksa memutuskan hal tersebut demi menuntaskan balas dendam. Dia merasa hanya ini jalan satu-satunya. Kalau ada kesempatan besar, kenapa dia harus membuang kesempatan itu? Meski nyawa taruhannya dan memiliki risiko tinggi, Callista tak peduli.Mendengar keputusan yang disampaikan Callista membuat Alberto tertawa. Dia begitu senang karena wanita yang telah dia tunggu selama ini, kini bersedia bekerja sama. Tentu saja banyak rencana yang Alberto siapkan agar Callista tetap bergabung dan enggan untuk meninggalkan kelompok ini. Termasuk memasukkannya ke dalam tim yang sudah disiapkan dari jauh-jauh hari sebelum wanita di depannya itu datang ke hadapan dia.“Keputusan yang bagus, Zouch. Dengan begini kita sudah sepakat, bukan?” tanya pria itu. Callista menganggukkan kepalanya.“Ya, asalkan kau menepati janjimu. Kalau tidak, aku tak akan segan untuk melakukan sesuatu kep
Teman-teman Vittoria terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Callista. Mereka sempat meminta wanita itu untuk melepaskan Vittoria. Namun dia enggan menjauh dan masih menatap tajam mata Vittoria yang kini terlihat membalas dengan tatapan tajam juga. Hal ini membuat Callista menjadi kesal kepadanya. “Vittoria, lebih baik kita tidak perlu tahu sampai sejauh itu. Kita bukanlah siapa-siapa baginya, apalagi baru kenal beberapa menit lalu.” Kini Justin menegur Vittoria. Wanita itu pun mendesis setelah Callista menjauhkan diri darinya. Terlihat jelas dia juga kesal dengan Justin. “Atas nama Vittoria, aku minta maaf, Zouch! Dia tidak bermaksud begitu,” katanya kepada Callista. “Katakan kepada anak buahmu itu untuk menutup mulutnya,” balas Callista tanpa menoleh. Justin menganggukkan kepala. Dia pun menyuruh mereka untuk duduk, termasuk Callista. Wanita ini menurut dan duduk kembali di sofa yang sebelumnya. Daripada membahas hal yang tak perlu dibicarakan, Justin memilih untuk memberitahukan
Callista berhenti menyerang dan terkejut ketika melihat siapa orang yang kini ada di hadapan dia. Dirinya bertanya, “Richard? Huft! Ku kira siapa.”“Sepertinya kau hebat dalam bertarung dan memiliki kepekaan akan bahaya yang akan menyerangmu,” ujar Richard membuat Callista terkekeh pelan.“Hanya kebetulan saja. Aku sangat khawatir kalau seseorang membuatku celaka, ditambah sebelum ke sini aku sempat dijahili oleh orang lain, makanya aku mencoba menyerang meski tak pandai berkelahi,” dalihnya. Tak mungkin dia mengatakan kalau dirinya bisa berkelahi dan memiliki kepekaan akan situasi di sekitarnya. Callista tak mau pria di depannya itu tahu kalau dia tidak selemah yang dikira Richard.Richard manggut-manggut setelah mendengar penjelasan dari Callista. Dia pun bertanya, “Lalu kenapa kau ke ruangan ini?”“Aku mencoba memancing orang yang menjahiliku. Tidak ku sangka ternyata kau yang datang,” jawab Callista. Richard kembali manggut-manggut. Kini giliran Callista yang bertanya kenapa pria
Hal tersebut mengejutkan Richard dan Callista. Alberto malah menodongkan benda itu kepada anak buahnya sendiri. Tentu saja Callista tidak terima. Dirinya langsung mengomel. “Apa-apaan kau ini? Kenapa kau menodongku?”“Ku bilang pilihlah! Kau berpihak kepada siapa? Aku atau orang itu hah?” tanya Alberto tanpa menjawab pertanyaan Callista.“Apa maksudmu aku harus memilih?” tanya Callista lagi.“Cih! Sadar dirilah, Wanita sialan! Belakangan ini kau terus membela pria itu. Bahkan kau menggagalkan misimu dan terus menentang aku. Aku curiga kalau kau memiliki perasaan khusus kepadanya sehingga kau bersikap begitu. Iya, kan?” geram Alberto membuat Callista menganga tak percaya. Sang bos malah mempertanyakan hal seperti itu kepadanya. Pertanyaan tersebut cukup sulit untuk dijawab Callista untuk saat ini.“Ja-jangan main-main denganku, Pak Tua! Mana mungkin aku memiliki perasaan seperti itu kepadanya. Bukankah
Sepertinya Richard tak begitu terkejut dengan apa yang dilakukan Callista kepadanya. Alih-alih menghindar, Richard malah berjalan maju sehingga ujung pisau tepat berada di leher dia. Hal ini membuat Callista mendesis lalu menurunkan benda tersebut. Richard yang sudah tahu reaksi Callista hanya tersenyum lalu memeluk wanita itu. Anehnya, meski kesal, Callista tak menghindar bahkan membiarkan Richard memeluk dirinya.“Kenapa kau begitu berani meski senjata tepat di depan matamu? Aku bisa saja membunuhmu dalam jarak sedekat ini,” tanya Callista yang keheranan.“Karena aku yakin kalau kau tak akan berani melakukannya. Buktinya saja sekarang kau menurunkan senjatamu,” jawab Richard. Lagi-lagi Callista tak menyangkal, dia hanya memasang wajah sedih. Karena Richard sedang memeluknya, bos mafia itu tidak melihat bagaimana raut wajah Callista sekarang.“Kau tahu? Aku merasa kalau kau tak memiliki alasan untuk membenciku. Ku akui aku menyembu
Callista terkejut ketika melihat Fernando membelalakkan matanya. Pria itu pun terjatuh begitu saja membuat Callista menjerit. Ternyata tembakan itu berasal dari belakang Fernando. Callista melihat ke arah pelaku yang sudah melepaskan pelurunya ke mantan suaminya itu. Ternyata Richard, Bos ValHolitz yang selama ini tidak terlihat. Callista terkejut karena Richard menembak Fernando.“Kenapa kau menembaknya?” tanya Callista.“Karena dia akan menembakmu,” jawab Richard seraya berjalan mendekati mereka. Callista melihat tubuh Fernando yang sudah dipenuhi darah. Pria tersebut mengerang kesakitan di area punggungnya.“Aku tidak mengenai titik vitalnya, dia akan baik-baik saja,” ucap Richard setelah berhasil mendekati mereka dan berdiri tak jauh dari keduanya.“B-bos?! Ke-kenapa kau ke sini?” tanya Fernando terbata-bata.“Karena aku melihat istriku akan dibunuh oleh anak buahku sendiri,” jawabnya.
Perang dimulai, lokasi yang ditentukan sudah dipenuhi oleh dua kelompok yang sedang bertarung. Sesuai dengan perjanjian bahwa tak ada pengeboman. Kini murni hanya pertarungan keduanya yang menggunakan senjata api dan senjata tajam. Suara tembak menembak terdengar di medan perang, tak sedikit yang sudah tumbang akibat terkena peluru musuh. Bahkan sniper tersembunyi juga melakukan aksinya dari suatu tempat yang tak diketahui oleh siapapun. Begitupula dengan para pemimpin.Demi menguatkan pasukan, Forezsther bergabung dengan anggota dari kelompok Fulgen Famiglia. Meski tak semua anggota dari kelompok tersebut turun tangan, tapi pasukan Forezsther menjadi bertambah. Tentu saja ValHolitz kewalahan karena tak ada kelompok pendukung, mereka berjuang sendiri. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari Forezsther dan Fulgen Famiglia, sayangnya, kebanyakan orang yang terkapar di tanah dari kelompok mafia ternama di Kota Napoli itu. Untuk saat ini, Forezsther jauh lebih unggul ketimbang ValHo
“Secara langsung, aku melihat bagaimana Easter disiksa di depan mataku, bahkan tanpa hati mereka mempermainkannya. Aku yang sudah tidak sanggup mulai berbicara demi bisa menyelamatkan diriku serta temanku. Meski Easter terus memarahi, aku tetap mengatakan kepada mereka tentang Forezsther. Namun sialnya, mereka tidak menepati janji dan justru semakin mempermainkan Easter di depan mataku. Tubuhnya yang sudah dipenuhi darah, tanpa sehelai kain, dan terus menyiksanya tanpa henti meski dia tak lagi berteriak kesakitan. Aku … aku hanya bisa melihatnya, tanpa bisa melakukan apapun dan hanya bisa menangis dalam diam. Ba-bahkan ketika Easter disakiti, aku ….” Justin melihat Callista yang berusaha untuk menahan diri agar tidak menangis. Padahal sedari tadi Callista terus memegangi dadanya dengan tubuh yang bergemetar dan suara yang mulai bergetar. Namun wanita tersebut tetap melanjutkan. Justin mencoba untuk meminta Callista untuk berhenti, sayangnya, Callista terus berbicara.
Dalam satu jam, Kristian pun datang menghadap ke bosnya. Sang bos langsung mengomeli Kristian yang sudah lengah. Tentu saja pria itu tak mengerti kenapa dirinya sampai dimarahi. Richard menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya. Hal ini mengejutkan Kristian. Dirinya tak menyangka kalau Callista akan mengikutinya, bahkan mendengarkan pembicaraan dia dengan Gabriel.“Kau sangat bodoh, Kristian! Bukankah aku sudah peringati agar tidak usah menceritakannya kepada siapapun? Kau tidak menepati janjimu bahkan secara sembarangan mengungkapkan hal ini ke orang lain. Karena kecerobohanmu, Callista mengetahui semuanya dan dia malah menanyakannya kepadaku. Dengan terpaksa aku memberi tahu dia,” omel Richard seusai memberi tahu Kristian tentang kehadiran Callista satu jam lalu.“Maafkan aku, Bos! Gabriel sangat memaksa sehingga aku harus menceritakan kepadanya. Ka-““Jangan menyalahi orang lain karena kesalahanmu sendiri!” tukas Richard memb
Seusai berkata begitu, Richard pun melepaskan Callista. Wanita tersebut segera menjauhi Richard dan menatapnya dengan tajam. Meski dia tahu kalau dirinya akan kalah, Callista tetap ingin menyerang Richard karena baginya ini adalah kesempatan. Sayang sekali, Richard jauh lebih kuat daripada dia.“Jika kau melakukan hal itu di kantorku, para anak buahku tidak akan tinggal diam. Kau akan diserang oleh mereka, Callista! Lebih baik tahan dirimu sebelum waktunya tiba, lagi pula ketika penyerangan nanti, aku akan turun tangan langsung untuk menyerang kalian bersama dengan para anak buahku. Aku tak akan melarikan diri,” kata Richard lagi.“Harusnya aku membunuhmu waktu itu,” geram Callista membuat Richard tertawa pelan.“Sekarang kau menyesal tidak membunuhku?” tanya Richard. Callista tidak menjawab pertanyaan itu, wanita tersebut hanya menatap Richard dengan tajam. “Entah apa alasanmu, tapi kau memberikan aku kesempatan. Dengan
Callista terdiam, berusaha untuk mengingat tentang pasangan yang sudah dibunuhnya. Melihat Callista yang kebingungan, Richard pun mengambil dokumen dari dalam laci mejanya lalu memberikannya kepada wanita itu. Callista melihat isi dari dokumen tersebut yang menampilkan informasi tentang dua pasangan yang mereka bicarakan.“Mereka adalah kedua orang tua Kristian yang bekerja sebagai agen rahasia untuk beberapa kelompok mafia. Mereka hanya tinggal berdua di apartemen itu. Kau pergi ke sana untuk membunuh keduanya. Kebetulan Fernando berada di tempat lain dan ketika melihat orang tuanya, mereka sudah tiada dengan luka tusukan di mana-mana. Sempat ada perlawanan, terbukti dari beberapa barang yang hancur. Sekarang kau sudah mengingatnya?” ungkap Richard seraya melihat ke arah Callista.Wanita menganggukkan kepalanya. “Ya, aku baru ingat dengan misi itu. Misi yang diberikan oleh bosku karena mereka pernah bekerja dengannya dan berkhianat. Karena pengkhiana
“Hah?! Apa maksudmu?” tanya Callista.“Aku hanya ingin tahu, siapa yang akan kau bela ketika peperangan itu terjadi,” jawabnya.“Cih! Kau masih saja memikirkan hal seperti ini, bukankah seharusnya kau mengkhawatirkan kelompokmu sendiri? Ditambah kau sudah menyatakan perang kepadaku yang notabenenya adalah anggota Forezsther. Mungkin kau juga sudah memberi tahu Alberto,” kata Callista.Richard mengernyitkan dahi keheranan. Kemarin sang istri tampak berbeda seperti biasanya, tapi sekarang malah bersikap sama. Perubahan Callista membuat Richard menjadi bingung. Pria itu pun membalas, “Aku lebih khawatir kau akan menjadi korban atas peperangan yang akan terjadi. Akan jauh lebih baik kalau kau tidak terlibat dan tak perlu ikut perang. Ka-““Jangan naif, Bos Mafia! Sekeras apapun aku menyangkal, aku tetaplah anggota Forezsther dan tak mungkin bagiku untuk bersembunyi. Berjuang bersama temanku akan jauh lebih