Bab 40Setelah perjalanan panjang, akhirnya kini kami sampai juga di rumah. Fika segera membersihkan diri, begitu pula denganku yang memang sudah merasa kegerahan sekali."Lio masih di kamar tamu, Bik?" tanyaku sebelum mandi, pada Bik Nur."Iya, Nyonya. Den Lio itu pinter banget, seharian nggak rewel sama sekali, malah terus senyum-senyum. Sepertinya kayak ada yang ngajak bercanda gitu Nyonya, sampek saya ngerasa merinding loh," ucap Bik Nur dengan suara khasnya."Ah yang bener, Bik. Ada-ada aja sih, Bik,hahaha," kataku yang memang tak begitu percaya dengan hal- hal mistis semacam itu."Beneran, Nyonya. Tapi Den Lio nggak nangis kok, malah kelihatan seneng banget. Mungkin saja, itu ibunya yang telah meninggal dunia lagi kangen saja, Nyonya."Apa yang dikatakan Bik Nur mungkin memang ada benarnya, apalagi tadi kan memang ada acara pemakaman Adelia, mungkin saja saat itu Adel sedang pamit atau bagaimana, tak tahu juga. Yang penting tidak membuat Lio rewel saja, tidak apa-apa sih menuru
Bab 41Akhirnya kami pun sampai juga di klinik, dan hasil dari tes DNA antara Lio dan mas Hasan, menunjukkan hasil positif. Berarti apa yang diucapkan Adelia adalah bukan sebuah kebohongan."Ma, boleh nggak sih, jika saat ini aku ngerasa senang, karena ternyata Lio ini benar-benar anak Papa? Takutnya mama marah sih," tanya Fika sembari tersenyum."Aduh, Fik! Kamu itu loh! Gitu aja kok pakai nanya segala sih, mama aja bahagia kok, jadi kamu pun boleh dong bahagia. Anak dari siapapun, yang pasti saat ini, mama sudah menganggap Lio ini, anak kandung mama sendiri," jawabku sembari tersenyum.Malam itu, kami pun pulang dalam keadaan hati amat bahagia, meski mungkin orang lain melihat sikap kami ini menjadi sebuah keanehan. Terserahlah, toh hidup kita, kita sendiri lah yang akan menjalaninya. Orang lain hanya bisa melihat dan mengoreksi saja.Handphone yang kuletakkan di tas tangan tiba-tiba berbunyi, dan tentu saja aku langsung mengangkatnya, sepertinya ini dari kantor polisi yang kemarin.
Bab 42"Benar sekali, Bu. Saudara HS, adalah otak dari pembunuhan Adelia. Dua anak buahnya jug sudah kami tangkap tadi. Setelah kami mengintrogasinya tentang pembunuhan Adelia, tersangka langsung menjadi seperti ini," jelas petugas itu.Otakku saat ini masih berpikir dengan keras, apa iya Mas Hasan saat ini sedang kehilangan akal sehatnya karena ketakutan dengan hantu Adel? Atau mungkin juga ..."Ma, apa Papa sudah tak waras lagi?" Pertanyaan dari Fika itu membuatku bingung untuk memberikan jawaban."Entahlah. Kamu banyak berdoa saja ya," jawabku mencoba menenangkan.Tak bisa dipungkiri sih sebenarnya, meski memang Mas Hasan telah melakukan kesalahan yang fatal, tetapi jika kondisinya menjadi seperti ini tentu saja aku dan Fika pun menjadi tak tega."Lalu sekarang bagaimana, Pak?" tanyaku lagi pada petugas untuk memastikan. Sedangkan saat ini masih terdengar teriakan dari Mas Hasan."Kami akan melakukan pemeriksaan yang insentif pada tersangka HS. Silahkan jika ingin kembali pulang, n
Bab 43Wanita muda yang tadi menunduk itu pun kini mendongakkan kepalanya padaku. Cantik. Satu kata itulah yang langsung saja terlintas saat melihat wajahnya yang saat ini pucat. Pantas saja jika Mas Hasan sangat terpesona olehnya."Tetapi ... Aku sebenarnya lebih suka jika Lio dirawat oleh Mbak Dewi saja. Karena ada Mas Hasan juga," ucapnya lirih.Jika boleh memilih, aku pun pasti akan memiliki merawat sendiri bayi itu. "Tetapi kasihan orang tua kamu, Del. Setelah kepergian Arum dan juga kamu mereka menjadi kesepian dan bahkan ibu kamu terlihat sangat drop. Dengan adanya Lio, pasti nanti akan menjadi pelipur lara mereka," tegasku lagi.Adelia hanya diam, kembali sosok itu pun menunduk saat ini. "maafkan semua kesalahan yang aku buat semasa hidup ya, Mbak," ucapnya lagi dengan lirih.Segera kutarik nafas dalam dan mengehmbuskannya dengan pelan saat mendengar ucapannya itu. Jujur, jika saja saat ini Adel belum meninggal mungkin aku pun akan memberikan sedikit pelajaran padanya, sepert
Bab 44"Lalu sekarang bagaimana Pak?" tanyaku lebih lanjut."Ada sanksi yang harus diterima oleh tersangka," jawaban dari petugas itu kurasa sudah menjawab sekali rasa penasaranku.Rasanya sebuah sanksi menang harus dengan tegas diberikan kepada Mas Hasan, agar dia tak terus mempermainkan orang lain.Hampir dua puluh tahun kami menikah, satu kali pun dia tak pernah melakukan sedikit pun gak yang membuatku sakit hati. Tapi nyatanya itu semua hanya sebuah kebohongan belaka, yang akhirnya ketika Fika sudah dewasa malah semua terungkap secara gamblang.Satu harapanku saat ini, semoga saja Fika kuat mental dan bisa mengambil hikmah dari semua yang terjadi.Beberapa saat setelah obrolan di telepon itu kuakhiri, Fika yang tadi terdiam pun mulai menangis terisak."Fika, kamu kenapa?" tanyaku sambil memberikan Lio pada Bi Nur.Gadis kecilku yang sudah beranjak dewasa itu pun langsung memelukkku. Firasatku mengatakan jika dia menangis pasti karena kecewa dengan yang dilakukan Mas Hasan."Ma ...
Bab 45Rasanya masih sangat sulit menerima jika orang tua Adel mengikhlaskan kepergian putrinya yang telah nyata dihabisi oleh Mas Hasan. Aku adalah seorang ibu, jika aku berada di posisi mereka, maka aku pastikan orang yang menghabisi nyawa anakku mendapatkan balasan yang setimpal. Atau malah jika bisa akan kuhabisi dengan tanganku sendiri."Rasanya kok nggak mungkin ya Ma, orang tua Adel mencabut tuntunan itu? Kemarin saat kita kesana saja, terlihat sekali jika keduanya itu sangat kehilangan. Apa iya semudah itu mereka mengikhlaskan?" Fika memiliki perasaan yang sama sepertiku. Bukan Fika saja, bahkan pembantu kami pun memiliki keraguan yang sama."Mama pun rasanya masih belum bisa mempercayainya hal ini. Hanya saja, jika memang ini kenyataan yang terjadi, kita bisa apa? Kita tak bisa memaksakan kehendak pada orang lain bukan?" ucapku yang mungkin masih mengambang.Kehilangan dua putri kembar, kurasa sangat memukul hati merrka. Arum yang meninggal karena kecelakaan mungkin masih bi
Bab 46"Apa ada tekanan dari pihak luar, yang meminta bapak untuk mencabut laporan pada Papa?" tanya Fika tiba-tiba, yang langsung membuat Pak Supar yang tadi menunduk langsung mendongakkan kepala. Aku langsung menatap Fika, rasanya kok kurang pas jika dia menanyakan hal seperti itu."Maaf atas kelancangan putri kami ya, Pak," ucapku karena merasa tak enak.Kedua lelaki dewasa itu hanya mengangguk. Kemudian Pak Supar pun angkara bicara."Tidak ada paksaan atau tekanan dari pihak mana pun. Semua ini berasal dari saya dan istri sendiri. Semalam, kamu berdua berpikir. Semua ini sudah takdir Adel, rasanya tak perlu menyalahkan orang lain atas kematiannya. Sudah digariskan dia meninggal dengan cara seperti itu, seperti yang terjadi juga pada Arum," jawabnya lirih.Aku kembali mencoba memaklumi jalan pikiran mereka. Karena emang sudah sangat ikhlas, dan menginginkan putrinya itu tenang saja. Mungkin seperti itu cara berpikiran mereka."Padahal kan kalian sudah tahu, jika Papa yang telah me
Bab 47Entah kenapa setelah kedatangan Pak Supar kemarin rasanya hati ini masih saja tak tenang. Meski seperti sebuah mimpi Lio telah dikembalikan pada kami, tetapi tetap rasanya ada yang berbeda. Untuk mengatasi semua kegundahan dalam hati ini, akhirnya aku dan Fika pun memutuskan untuk datang ke rumah keluarga almarhumah Adel. Tapi kali ini aku sengaja tak menghubungi mereka dulu, karena ada hal yang ingin kami ketahui.Pun saat ini kami berangkat bersama Bi Nur, karena memang aku ingin mengajak serta Lio. Jika memang benar keluarga mamanya ikhlas menyerahkan bayi itu pada kami, maka tentu kami sangat senang sekali.Tetapi kami pun tak egois, kami ingin mempertemukan Lio dengan kakek dan neneknya itu."Ma, aku masih berpikir jika itu semua pastì ada campur tangan yang tak benar dari Papa!" Sepanjang perjalanan menyetir, Fika memang masih terus menggerutu karena pencabutan laporan itu."Entahlah, Fik. Mama pun sebenarnya masih merasa ada yang tak benar. Tetapi kita juga tak boleh