Bab 158Pov Bu Dewi Rasa lega pun terasa ketika selesai sudah acara kirim doa pada Mas Hasan. Dan, hari ini kami beserta Nesya dan Bu Rini berencana untuk berziarah ke makam Mas Hasan yang letaknya memang sengaja kami buat dekat dengan anak Nesya yang kemarin meninggal saat dalam kandungan itu. Tentunya tanpa Lio karena menurutku dia masih terlalu kecil.Siang ini aku dan Fika telah sampai di depan rumah Nesya, lebih tepatnya rumahku yang aku dipinjamkan pada Bu Rini dan Nesya. Saat kami sampai di teras, mereka berdua sudah siap dan langsung masuk ke mobil kami."Duh, Nesya kamu nampak cantik banget deh!" seru Fika spontan saat adiknya, karena mereka dari ayah yang sama, itu memasuki mobil.Sebenarnya jika tadi Fika tak berucap, maka aku pasti yang akan menanyakan hal itu terlebih dahulu."Masak sih? Kamu aja kali Fik, yang nggak pernah sadar dengan kecantikanku semenjak dulu!" jawab Nesya yang langsung membuat kami berempat tertawa.Menurutku dandanan yang digunakan oleh Nesya sedik
Bab 159Pov Bu DewiJadi itu ya yang membuat Bu Rini akhirnya seperti itu. Ah mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nesya, dan karena saking khawatirnya aku malah berpikiran negatif terus. Padahal seharusnya aku gak sadar jika tak selamanya setiap hal yang terjadi pada mereka itu harus aku ketahui. Rasa kepo yang begitu besar pun sebenarnya tak begitu pantas sih."Ya Allah Bu Rini. Jangan terlalu larut dalam kesedihan masa lalu seperti itu. Bukankah sekarang apa yang Bu Rini mau sudah terlaksana? Nesya sudah berubah menjadi baik dan menerima ibu. Kurang apa lagi? Bisa kumpul dengan anak itu bukankah suatu kebahagiaan tersendiri, Bu?" tanyaku sambil menoleh ke belakang. Sedangkan Fika masih terus fokus mengemudi.Kali ini setelah berucap aku tak langsung kembali menghadap ke depan, tapi aku tetap menoleh ke belakang dan menatap wajah Bu Rini.Sepertinya saat itu dia salah tingkah. "I-iya, Bu. Saya sangat senang sekali karena sekarang Nesya sudah mau menerima saya. Tetapi memang sampai
Bab 160Pov Bu DewiAkhirnya kami pun sampai di makam. Ada rasa sedih juga dalam hati meski itu hanya sedikit. Fika dan Nesya berjalan lebih dulu dari kami, sedangkan aku menyeimbangi Bu Rini yang berjalan dengan pelan di belakang. Dari parkir mobil ke lokasi, memang jalannya sedikit jauh."Bu Rini baik-baik saja?" tanyaku lirih, atau mungkin bisa dibilang berbisik. Agar anak-anak yang di depan tak mendengarkan ucapanku.Bu Rini diam dan kemudian menarik nafas dalam-dalam. "Doakan agar semua berjalan seperti yang terlihat ya, Bu." Hanya ucapan singkat itu saja yang dia katakan. Tentu saja hal itu tak membuat hatiku merasa puas, malah sekarang aku makin merasa jika semua tak baik-baik saja."Insyaallah saya aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kita semua, Bu. Tetapi jika memang ada sesuatu yang menurut Bu Rini tak benar, insyaallah saya bisa dipercaya orangnya," ucapku lagi, mencoba untuk membuka sedikit keanehan ini.Bukannya menjawab pertanyaanku, Bu Rini malah saat ini menatap p
Bab 161Pov Bu DewiAku dan Fika langsung pulang setelah menurunkan Bu Rini dan Nesya di depan rumah. Sebenarnya saat ini aku ingin mampir sebentar, tetapi mood Fika sedang jelek karena ucapan Nesya yang tak tepat tadi. Jadi, dari pada nanti terjadi pertengkaran antara mereka aku pun lebih memilih untuk langsung pergi."Bu Rini yang sabar ya. Insyaallah semua akan indah pada waktunya," ucapku ketika berpamitan dengan Bu Rini.Tadi, saat turun dari mobil si Nesya memang langsung masuk ke rumah tanpa mengucapkan basa-basi pada kami, sedangkan Bu Rini masih menunggu hingga kami pergi. "Doakan ya Bu. Rasa bersalah ini sungguh sangat menyakitkan," jawabnya yang bagiku sedikit mengambang.Aku mengangguk dengan cepat, "Tentu Bu. Doa terbaik selalu saya panjatkan untuk kita semua." Ketika dia tertutup seperti itu, tentu hanya doa sajalah yang bisa aku lakukan."Tante, jika Nesya kurang ajar atau berlaku tak wajar. Tolong jangan sungkan menghubungi saya. Biar bagaimana pun dia itu anak Tante,
Bab 162Pov Author Bu Rini melambaikan tangan lemah saat mengantar kepergian Bu Dewi dan Fika. Sebenarnya dia sungguh tak telat melihat keduanya pergi. Banyak hal yang ingin dia ceritakan pada mereka, tetapi tentu saja dia takut pada Nesya.Bukan takut jika anaknya itu akan menghajarnya atau memarahi seperti biasa, tapi dia lebih takut jika nanti Nesya akan pergi dan hilang. Sudah cukup baginya dua puluh tahun yang hilang itu."Ya Allah berikan kekuatan hamba untuk menjalani semua cobaan ini. Dan segera bukankan pintu hati Nesya, agar dia segera mengerti mana yang benar dan mana yang salah," ucapnya lirih seraya berjalan menuju ke rumah.Badannya memang sekarang kurus meski baru satu minggu tinggal bersama anaknya itu. Raut wajahnya pun memancarkan kesedihan yang mendalam, hal itu tak bisa dia tutupi dari orang lain meski telah berusaha sedemikian rupa.Wanita ini sedikit banyak kadang memang masih menyalahkan takdir. Takdir yang sejak dulu dirasa tak pernah baik dan tak pernah berpi
Bab 163Pov AuthorBu Rini hanya bisa terus menangis menanggapi perilaku anaknya itu. Sebenarnya dalam hati dia ingin melawan dan mengatakan jika yang terjadi selama ini adalah salah. Tetapi kembali dia pun diselimuti oleh rasa bersalah yang amat dalam hingga membuat dia diam dan terima saja saat diperlakukan bak pembantu oleh anaknya sendiri.Padahal, sesungguhnya Bu Rini adalah orang yang pemberani. Saat bekerja dulu jika ada yang berani menggoda atau berbuat tak baik padanya maka dia akan berontak. Hanya saja wanita pemberani itu kalah telak di hadapan sang putri kandung."Kenapa masih diam dan duduk manis saja disini?! Lekas berdiri dan masak! Aku lapar tahu!" seru Nesya kembali dengan lantangnya.Selama hidup di panti dan sebelum kuliah, sebenarnya Nesya selalu berusaha menjadi gadis yang baik pada siapa pun. Tetapi itu hanyalah kamuflase belaka, karena dari kecil hatinya telah menghitam dengan cara membenci ibu kandungnya sendiri dan menyimpan rasa iri yang besar pada sesama.Ke
Bab 164Pov NesyaAku hanya tersenyum ketika melihat ibu lari terbirit-birit menuju ke dapur. Ancaman untuk menghancurkan seluruh isi rumah ini nyatanya selalu berhasil membuat dia dengan cepat melakukan apa yang aku mau. "Dasar perempuan bodoh!" umpatku kasar lalu duduk di sofa empuk berwarna coklat ini.Kuambil sebungkus rokok yang berada di tas kecilku, dengan segera menyalakannya dan menghisapnya dalam-dalam."Hufft!"Meski katanya merokok itu bisa menyebabkan kematian atau penyakit, nyatanya hanya dengan begini aku bisa merasa tenang. Menghembuskan asap tebal di depan mata, seperti membuang rasa penat dalam hati."Ternyata menjadi orang yang jahat itu enak sekali! Bodohnya aku kenapa sejak dulu tak berpikir seperti ini! Mungkin aku sekarang menjadi gadis yang kaya raya ya!" ucapku sambil tertawa renyah.Hampir dua puluh tahun aku selalu bersikap munafik, sok baik dan lugu di depan orang lain. Sehingga dulu aku di pantai dan juga si sekolah selalu mendapatkan predikat Si baik dan
Bab 165Pov NesyaMas Hasan, ah menyebut nama itu langsung membuatku tersenyum saat ini. Nama itu selalu sukses membuat jantungku berdebar dan juga membuat sesuatu dalam diri ini menjadi bergairah. Karena bagaimana pun juga dia adalah cinta pertamaku, lelaki yang bisa membuat aku merasakan indahnya surga dunia, hanya Mas Hasan seorang.Jangan ada yang bilang juga jika aku ini adalah perempuan gila, karena mencintai ayah kandungnya sendiri. Hello, ini hidup aku jadi tak usah berusaha mengatur! Apa yang menurutku benar maka itu lah yang aku lakukan! Mengerti! Tak perlu sok pintar di hadapanku!"Mas, apa kamu bahgaia hidup denganku?" tanyaku kala itu pada Mas Hasan. Ketika kami kembali bersatu setelah berpisah beberapa saat waktu itu. Tentu ketika si Rini yang bodoh itu belum datang."Tentu Sayang. Aku sungguh sangat bahagia karena bisa kembali dengan kamu, dan bersama dengan calon bayi kita." Mas Hasan menjawab sambil mengelus perutku yang buncit."Jawab dengan jujur ya. Kamu lebih men