Tendero menyipitkan matanya saat cahaya menyilaukan itu menyambutnya. Beberapa saat Tendero mengerjap-ngerjapkan matanya hingga akhirnya dia pun mulai terbiasa dengan suasana di tempat itu. Asing. Satu kata yang menggambarkan tempatnya berada saat ini.
Tendero mengerjitkan keningnya. Berusaha mengamati tempat asing itu, sebuah taman hijau yang membentang luas, danau dengan air jernih terlihat berada di sisi barat dengan hiasan bunga di beberapa tempat memperindah taman itu.
Tatapan Tendero berhenti pada satu objek tidak asing yang menarik perhatiannya. Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
“Kanisa?” gumam Tendero dengan suara gemetar, dia mengucek matanya berusaha meyakinkan penglihatannya kalau wanita yang tengah duduk santai dipinggiran danau itu benar-benar sosok Kanisa.
Begitu Tendero sudah yakin kalau wanita itu adalah Kanisa. Tendero langsung bergerak
Tendero tersentak hebat seakan dirinya baru saja dijatuhkan dari ketinggian. Kedua matanya lantas terbuka sempurna dengan nafas terengah. Titik-titik keringat terlihat bermunculan di wajah dan lehernya, Tendero kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskan nafasnya secara beratur, dia merasakan denyut jantungnya berdetak cepat sebelum kembali berdetak secara normal. Tendero mengerjit, merasakan rasa sakit disekujur tubuhnya hal pertama yang menyambutnya pun adalah ruangan serba putih, bau obat-obatan dan juga suara tit alat bantu kontrol detak jantung yang berada di sebelahnya.Selain infus tampak tertancap di tangan kirinya juga alat bantu pernapasan yang terpasang dari hidung ke mulutnya. Dia pun akhirnya sadar bahwa saat ini dirinya sedang terbaring menjadi salah satu pasien tidak berdaya di sebuah rumah sakit dan di tempatkan di ruangan yang bisa dikatakan vvip.Tendero melirik pintu di sebelah kananya yang terbuka, tidak lama k
Suasana di ruangan itu tampak hening, Tendero terlihat berdiri di dekat jendela menatap pemandangan yang tersuguh di luar. Keningnya terlihat berkerut samar, pria itu tengah memikirkan penyerangan yang sudah terjadi padanya tanpa bisa dia ketahui siapa dalangnya. Pertama saat dirinya di indonesia ketika Kanisa berkunjung ke rumah keluarganya kedua saat dirinya tengah mencari Kanisa. Tendero mengepalkan tangannya dia sangat benci menjadi orang yang lamban dalam mengatasi masalah seperti ini.Tidak pernah sebelumnya Tendero kecolongan dua kali seperti saat ini.“Apa mungkin benar orang yang berusaha menyakitiku itu adalah orang yang sama dengan yang sudah membunuh keluargaku bertahun-tahun lalu,” batin Tendero. Dia menghela nafas lantas berbalik saat mendengar pintu di belakangnya berderit terbuka.Kahan masuk ke dalam ruangan, menatap Tendero.“Tuan anda sudah sadar,” sap
Terik matahari yang mengenai wajah Johseon membuat pria itu terbangun dari tidur panjangnya, pria itu terlihat menggeliatkan tubuhnya lalu membuka matanya dan menguap lebar.Johseon melirik jam wecker yang ditaruh di atas nakas yang berada tepat di samping tempat tidurnya, waktu terlihat menunjukan pukul sepuluh pagi. Johseon mendesah lirih dia lantas bangkit terduduk.Untuk sejenak Johseon hanya duduk berusaha mengumpulkan seluruh nyawanya sebelum akhirnya pria itu bangkit turun dari atas ranjangnya dan pergi ke kamar mandi untuk mandi sebelum memulai kegiatan hari ini.***Siang ini Johseon berencana berkunjung ke rumah Tendero sesampainya di mansion pria itu, Johseon dibuat heran dengan keadaan pria itu. Tendero terlihat tidak bersemangat menjalani hidup belum lagi dengan wajah pria itu yang tampak muram luar biasa, oh dan jangan lupakan dengan
Tendero menatap pantuan dirinya di cermin, mengamati penampilannya. Setelah dirasa semuanya terlihat sudah sempurna dan tidak ada yang terlewatkan. Pria itu pun akhirnya berbalik dan keluar dari kamarnya.Saat Tendero menuruni anak tangga. Kahan terlihat sudah berdiri diambang pintu mansion bersama dengan tiga bodyguard di sisi kiri dan kananya. Tendero bergerak mendekati mereka, mereka semua pun langsung menundukan kepala, hormat kepada Tendero begitu pria itu berjalan melewati mereka.Kahan mengekor di belakang dengan ketiga bodyguard itu. Dengan sigap pria paruh baya itu pun membukakan pintu untuk Tendero. Tendero pun segera masuk ke dalam mobil dan duduk. Pintu di sampingnya pun ditutup kembali.Kahan menyusul masuk ke dalam mobil, menyupiri mobil tersebut. Saat mobil yang disupiri Kahan mulai bergerak maju, meninggalkan pelataran mansion. Dua mobil yang berisikan bodyguard Tendero juga ikut bergerak mengekori mobil
Tendero terlihat tidak tenang, kesabarannya pun mulai habis karena Andrew tidak kunjung memberikan informasi yang dia inginkan. Karenanya Tendero pun akhirnya memutuskan keluar dari rumah Johseon, Kahan otomatis mengikutinya. Tendero bersiap untuk pergi namun mendadak ponselnya berbunyi membuat Tendero menghentikan langkahnya begitu pula dengan Kahan.Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya berasal dari Andrew. Dengan cepat Tendero pun segera membuka pesan itu dan terkejut begitu melihat isi pesanya.[Mobil itu milik tuan Johseon.] Itulah pesan yang dikirim oleh Andrew, tidak hanya pesan itu saja Andrew juga menyertakan beberapa bukti kepemilikan mobil yang diduga menabrak Kanisa itu memanglah milik Johseon. Tendero seketika mengepalkan tangannya, rahangnya mengetat. Pantas saja dia sulit melacak keberadaan Kanisa, pria itu ternyata berada di balik semua kesulitan yang dia dapatkan selama ini.Begitu berhasil mengeta
Kartika tampak selesai mengobati luka-luka di wajah Johseon. Saat Zeva datang, pria itu menghadap Johseon dengan wajah datarnya. Selain Kartika, Zeva juga merupakan orang kepercayaan Johseon. Pria itu selalu bisa menghandel setiap urusan yang tidak bisa Kartika lakukan.“Tuan, bagaimana dengan pesta hari ini?” tanya pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Johseon.“Bubarkan saja. Aku sedang tidak mood untuk melanjutkan pesta ini. Katakan apa pun pada para tamu agar mereka mau mengerti dengan keadaanku sekarang ini,” perintah Johseon. Zeva mengangguk, setelah mengantongi perintah mutlak dari sang tuan dia pun kembali pergi dari sana untuk melaksanakan perintah yang diberikan Johseon padanya.Sepeninggalan Zeva. Kartika mulai membereskan peralatan yang tadi dia gunakan untuk mengobati luka Johseon. Sesekali wanita itu terlihat melirik Johseon, Kartika bahkan ta
Johseon tersungkur ke lantai saat dia kembali mendapatkan pukul dari Tendero yang syok dan juga marah saat tahu bahwa Kanisa koma terlebih bayi yang dikandungnya keguguran.Jujur saja ada rasa bahagia saat Tendero mendengar Kanisa mengandung anaknya tapi sayangnya kebahagiaan itu harus dihempaskan kembali saat Tendero mendengar kenyataan kalau Kanisa keguguran akibat kecelakaan yang dia alami. Itu artinya bayinya sudah meninggal.“Sialan! Semua ini gara-gara kau! Jika saja kau tidak menabrak Kanisa dia tidak akan koma seperti ini terlebih dia tidak akan keguguran!” teriak Tendero terus melampiaskan amarahnya pada Johseon.Mendengar teriakan Tendero. Kahan, Yutaka dan juga Marl langsung masuk ke dalam kamar mereka semua terkejut saat melihat Tendero kembali memukuli Johseon, kali ini jauh lebih beringas. Untuk sesaat mereka bertiga bahkan menahan nafas sebelum kemudian mereka bertiga pun mu
Tendero menggeliat kemudian membuka kedua matanya. Tatapannya langsung jatuh pada sosok wanita di sebelahnya yang masih saja betah memejamkan matanya.Tendero tersenyum tipis dengan sorot mata yang sayu, dia mendekatkan wajahnya pada Kanisa. Mencium pipi wanita itu.“Good morning, sayang.” Tendero bergerak memeluk Kanisa, dia lalu menghela nafas dan bangkit dari posisi tidurnya. Duduk bersila di sebelah Kanisa tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Kanisa untuk beberapa saat.Masih sama, tidak ada tanda-tanda perubahan berarti pada Kanisa dan itu membuat Tendero kembali merasa kecewa.“Hari ini aku harus berangkat ke kantor. Tidak papakan kamu aku tinggal sebentar,” ujar Tendero mengelus pipi Kanisa dan menyingkirkan beberapa helaian rambutnya yang jatuh di wajah Kanisa.“Kalau begitu aku siap-siap dulu ya.” Tendero merunduk dan kembali menc