Tendero menatap pantuan dirinya di cermin, mengamati penampilannya. Setelah dirasa semuanya terlihat sudah sempurna dan tidak ada yang terlewatkan. Pria itu pun akhirnya berbalik dan keluar dari kamarnya.
Saat Tendero menuruni anak tangga. Kahan terlihat sudah berdiri diambang pintu mansion bersama dengan tiga bodyguard di sisi kiri dan kananya. Tendero bergerak mendekati mereka, mereka semua pun langsung menundukan kepala, hormat kepada Tendero begitu pria itu berjalan melewati mereka.
Kahan mengekor di belakang dengan ketiga bodyguard itu. Dengan sigap pria paruh baya itu pun membukakan pintu untuk Tendero. Tendero pun segera masuk ke dalam mobil dan duduk. Pintu di sampingnya pun ditutup kembali.
Kahan menyusul masuk ke dalam mobil, menyupiri mobil tersebut. Saat mobil yang disupiri Kahan mulai bergerak maju, meninggalkan pelataran mansion. Dua mobil yang berisikan bodyguard Tendero juga ikut bergerak mengekori mobil
Tendero terlihat tidak tenang, kesabarannya pun mulai habis karena Andrew tidak kunjung memberikan informasi yang dia inginkan. Karenanya Tendero pun akhirnya memutuskan keluar dari rumah Johseon, Kahan otomatis mengikutinya. Tendero bersiap untuk pergi namun mendadak ponselnya berbunyi membuat Tendero menghentikan langkahnya begitu pula dengan Kahan.Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya berasal dari Andrew. Dengan cepat Tendero pun segera membuka pesan itu dan terkejut begitu melihat isi pesanya.[Mobil itu milik tuan Johseon.] Itulah pesan yang dikirim oleh Andrew, tidak hanya pesan itu saja Andrew juga menyertakan beberapa bukti kepemilikan mobil yang diduga menabrak Kanisa itu memanglah milik Johseon. Tendero seketika mengepalkan tangannya, rahangnya mengetat. Pantas saja dia sulit melacak keberadaan Kanisa, pria itu ternyata berada di balik semua kesulitan yang dia dapatkan selama ini.Begitu berhasil mengeta
Kartika tampak selesai mengobati luka-luka di wajah Johseon. Saat Zeva datang, pria itu menghadap Johseon dengan wajah datarnya. Selain Kartika, Zeva juga merupakan orang kepercayaan Johseon. Pria itu selalu bisa menghandel setiap urusan yang tidak bisa Kartika lakukan.“Tuan, bagaimana dengan pesta hari ini?” tanya pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari Johseon.“Bubarkan saja. Aku sedang tidak mood untuk melanjutkan pesta ini. Katakan apa pun pada para tamu agar mereka mau mengerti dengan keadaanku sekarang ini,” perintah Johseon. Zeva mengangguk, setelah mengantongi perintah mutlak dari sang tuan dia pun kembali pergi dari sana untuk melaksanakan perintah yang diberikan Johseon padanya.Sepeninggalan Zeva. Kartika mulai membereskan peralatan yang tadi dia gunakan untuk mengobati luka Johseon. Sesekali wanita itu terlihat melirik Johseon, Kartika bahkan ta
Johseon tersungkur ke lantai saat dia kembali mendapatkan pukul dari Tendero yang syok dan juga marah saat tahu bahwa Kanisa koma terlebih bayi yang dikandungnya keguguran.Jujur saja ada rasa bahagia saat Tendero mendengar Kanisa mengandung anaknya tapi sayangnya kebahagiaan itu harus dihempaskan kembali saat Tendero mendengar kenyataan kalau Kanisa keguguran akibat kecelakaan yang dia alami. Itu artinya bayinya sudah meninggal.“Sialan! Semua ini gara-gara kau! Jika saja kau tidak menabrak Kanisa dia tidak akan koma seperti ini terlebih dia tidak akan keguguran!” teriak Tendero terus melampiaskan amarahnya pada Johseon.Mendengar teriakan Tendero. Kahan, Yutaka dan juga Marl langsung masuk ke dalam kamar mereka semua terkejut saat melihat Tendero kembali memukuli Johseon, kali ini jauh lebih beringas. Untuk sesaat mereka bertiga bahkan menahan nafas sebelum kemudian mereka bertiga pun mu
Tendero menggeliat kemudian membuka kedua matanya. Tatapannya langsung jatuh pada sosok wanita di sebelahnya yang masih saja betah memejamkan matanya.Tendero tersenyum tipis dengan sorot mata yang sayu, dia mendekatkan wajahnya pada Kanisa. Mencium pipi wanita itu.“Good morning, sayang.” Tendero bergerak memeluk Kanisa, dia lalu menghela nafas dan bangkit dari posisi tidurnya. Duduk bersila di sebelah Kanisa tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Kanisa untuk beberapa saat.Masih sama, tidak ada tanda-tanda perubahan berarti pada Kanisa dan itu membuat Tendero kembali merasa kecewa.“Hari ini aku harus berangkat ke kantor. Tidak papakan kamu aku tinggal sebentar,” ujar Tendero mengelus pipi Kanisa dan menyingkirkan beberapa helaian rambutnya yang jatuh di wajah Kanisa.“Kalau begitu aku siap-siap dulu ya.” Tendero merunduk dan kembali menc
Begitu mobil terparkir di depan mansion. Tendero langsung keluar dari dalam mobil tanpa menunggu Kahan membukakan pintu mobil untuknya lebih dulu saking tidak sabarannya ingin segera melihat keadaan Kanisa.Tendero melangkahkan kakinya lebar-lebar memasuki mansion. Beberapa pelayan termasuk Netra berdiri diambang pintu. Dokter pribadi yang di sewa oleh Tendero terlihat keluar dari dalam kamar Kanisa. Tendero pun segera menghampiri dokter tersebut.“Apa yang terjadi dengan Kanisa. Apa dia bangun?” tanya Tendero penuh harap. Tapi sebelum dokter itu menjawab pertanyaan Tendero, pria itu sudah lebih dulu menerobos masuk ke dalam kamar Kanisa dengan tidak sabaran.Perasaan bahagia yang sempat melingkupinya karena berharap Kanisa bangun langsung sirnah secara perlahan tergantikan dengan perasaan kecewa kembali begitu melihat Kanisa masih dalam keadaan samad ari terakhir kali Tendero melihatnya.
Kanisa mematung, matanya membelalak menatap tidak percaya pada sosok yang berdiri di ambang pintu itu.“Bibi Elsa,” gumam Kanisa matanya perlahan memanas dan berkaca-kaca.Nyonya Elsa, wanita itu bergerak masuk ke dalam kamar dan langsung berhambur memeluk Kanisa dengan erat. Merasakan tubuh wanita itu yang gemetar hebat. Tangis wanita paruh baya itu pun seketika pecah, nyonya Elsa semakin mengerstkan pelukannya pada Kanisa seolah takut wanita itu akan pergi darinya.“Nona, akhirnya nona sadarkan diri juga. Maafkan bibi yang tidak bisa menjaga nona dengan baik,” cicit nyonya Elsa dengan air mata yang berurai deras.Nyonya Elsa perlahan melepaskan pelukannya, dia memandang Kanisa dengan dengan tatapan sendu khas seorang ibu yang menyayangi putrinya. Rasa lega bercampur bahagia terpancar dari raut wajah keriput wanita yang sudah tidak muda lagi itu.“B
Di tengah-tengah metting yang sedang dilakukan Tendero, pria itu beberapa kali mendapatkan panggilan pada ponselnya tapi Tendero selalu mematikan panggilan tersebut tanpa melihat siapa yang memanggil dan kembali fokus pada metting.Sekali lagi ponselnya pun berdering membuat Tendero berdecak marah, akhirnya dia pun mengangkat panggilan tersebut membuat metting yang berlangsung terhenti untuk beberapa saat setelah menerima panggilan tersebut. Tanpa pikir panjang Tendero keluar dari ruang metting meninggalkan semua karyawan yang ada di dalamnya, mereka semua terlihat kebingungan karena mendadak Tendero pergi di tengah-tengah metting yang berlangsung. Bukan hanya mereka saja Kahan selaku tangan kanan dan sekertaris pribadinya juga dibuat kebingungan.Karena tindakan Tendero yang gegabah itu, Kahan pun mengambil alih kendali dan dia segera mengubungi Andrew untuk menyusul Tendero, memastikan keadaan pria itu. Jujur saja Kahan
“Nona Kanisa mengalami trauma yang cukup dalam, maka dari itu perlu dilakukan perawatan khusus untuk nona Kanisa dan terus perhatikan apa pun kebutuhannya.”“Selain mengalami trauma mendalam nona Kanisa juga mengalami stres berat. Karena itu, besar kemungkinan nona Kanisa bisa melakukan percobaan bunuh diri, makanya saya sarankan untuk jauhkan benda-benda tajam dari dekat nona Kanisa dan selalu memperhatikannya selama dua puluh empat jam penuh.”Tendero mengusap kasar wajahnya. Kata demi kata yang dibeberkan dokter khusus yang dia sewa untuk merawat Kanisa tadi kembali bermunculan di kepalanya membuat Tendero merasa begitu prustasi dan merasa bersalah. Karena dirinya Kanisa harus mengalami semua itu, melewati penderitaanya seorang diri.Tendero menyenderkan kepalanya ke kursi, dia mendongakan wajahnya menatap kosong langi-langit ruang kerjanya yang menyatu dengan kamar