Cahaya bulan menerobos celah atap bangunan tua itu, menciptakan bayangan aneh di dinding yang retak dan berjamur. Malam mulai menggantikan keheningan siang, tetapi di dalam ruangan kecil itu, ketegangan belum mereda. Dante duduk di dekat pintu, matanya tajam mengawasi setiap suara yang terdengar dari luar. Di sisi lain ruangan, Ayra menggenggam perangkat kecil itu erat, seperti berpegangan pada harapan terakhirnya.Elena tengah mempersiapkan peralatan mereka untuk perjalanan selanjutnya. Tangannya cekatan, meski matanya menunjukkan kelelahan yang sudah menumpuk. Ia sesekali melirik ke arah Ayra, yang terlihat tenggelam dalam pikirannya.“Dante,” panggil Elena pelan, memecah keheningan.“Hm?” Dante menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu.“Menurutmu... kita akan sampai di titik penghubung tanpa masalah?” Elena mencoba menjaga nada suaranya tetap netral, meski kekhawatirannya jelas terasa.Dante menghela napas panjang. “Kita harus. Kalau tidak, semua yang kita lakukan akan si
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan saat kendaraan mereka melaju dengan kecepatan sedang. Elena menggenggam kemudi dengan erat, matanya fokus pada jalan kecil di depan. Dante duduk di kursi sebelahnya, sesekali menatap ke cermin untuk memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Sementara itu, Ayra duduk di kursi belakang, berusaha meredakan rasa paniknya.Perjalanan itu berlangsung dalam keheningan yang berat. Udara di dalam kendaraan terasa dingin meskipun mesin penghangat sudah menyala. Ayra terus memandangi perangkat kecil di pangkuannya—data yang berhasil ia selamatkan menjadi inti dari misi mereka. Tetapi pikirannya terusik.“Berapa lama lagi kita sampai di tempat aman?” tanyanya, memecah keheningan.“Kurang lebih satu jam lagi,” jawab Elena tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.Dante menoleh ke belakang, menatap Ayra. “Kau baik-baik saja?”Ayra mengangguk pelan, meskipun sorot matanya menunjukkan hal lain. “Aku hanya... masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Mereka h
Langkah kaki mereka bergema di hutan yang mulai sepi, seolah seluruh alam menahan napas. Dante memimpin perjalanan dengan mata tajam, memindai setiap sudut. Matahari perlahan merangkak naik, menghangatkan kulit mereka, tapi tidak meredakan ketegangan yang merayap di hati. Di belakangnya, Ayra berjalan dengan langkah kecil namun penuh tekad. Perangkat di tangannya terus menyala, memancarkan cahaya biru redup yang seolah menjadi pengingat akan beban yang ia bawa. Elena, seperti biasa, berjalan di paling belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. “Hati-hati dengan jejak yang kita tinggalkan,” ujar Dante, suaranya rendah namun tegas. “Seharusnya kita tidak melalui hutan ini,” gumam Elena. “Terlalu banyak celah untuk disergap.” “Kita tidak punya pilihan lain,” jawab Dante tanpa menoleh. “Rute lain terlalu berisiko. Ini yang paling aman untuk sekarang.” Ayra diam saja, tetapi jari-jarinya terus bekerja pada layar perangkat. Ia mencoba mencari petunjuk baru yang bisa membant
Dingin malam menyelimuti perjalanan mereka, menggigit kulit meski pakaian tebal menutupi tubuh. Langkah-langkah mereka nyaris tak bersuara, hanya suara ranting patah atau daun yang terinjak sesekali terdengar di antara gemerisik angin. Langit penuh bintang memandang hening dari atas, seolah menyaksikan perjuangan mereka. Ayra berjalan di belakang Dante, menjaga jarak dari pria terluka yang kini ditopang oleh Elena. Wajah pria itu tampak semakin pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Berapa lama lagi kita harus berjalan?” tanya Elena dengan suara rendah, nadanya menunjukkan kelelahan yang ia coba sembunyikan. Dante tidak menjawab langsung. Ia menoleh ke belakang, memastikan mereka masih di jalur yang benar, lalu menatap ke arah horizon yang gelap. “Kita harus mencapai tempat berlindung sebelum fajar. Jika mereka mengejar, kita tidak bisa membiarkan mereka menemukan jejak kita di sini.” “Dia tidak akan bertahan lama,” gumam Ayra sambil melirik pria itu. Dante berhenti sej
Hujan rintik-rintik jatuh membasahi jalan berbatu di depan markas tua itu. Udara dingin menguar, menyusup ke sela-sela pakaian dan menimbulkan kabut tipis di kaca jendela yang pecah. Di tengah suasana muram itu, langkah kaki terdengar di sepanjang koridor gelap, menggema seperti denting jam yang menghitung sisa waktu.Dante berjalan perlahan, sorot matanya tajam seperti mata elang yang sedang memburu mangsa. Setiap gerakan tubuhnya memancarkan kehati-hatian yang terlatih. Di belakangnya, Ayra dan Elena mengikuti, saling bertukar pandang dengan keraguan yang menguar di udara."Ini pasti jebakan," bisik Ayra pelan, hampir tidak terdengar di antara gemericik air hujan.Dante berhenti sejenak, menolehkan wajahnya ke arah Ayra. Cahaya lampu redup dari langit-langit yang hampir runtuh menyinari sebagian wajahnya. "Kalau itu benar jebakan, kita harus siap. Tidak ada lagi jalan mundur."Ayra menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, Elena menatap Dante dengan tatapan penuh teka
Suasana di sekitar mereka terasa lebih mencekam. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan langit yang gelap seperti mengintip setiap gerak-gerik mereka. Dante, Elena, dan Ayra berdiri dalam lingkaran kecil di tengah jalan yang sepi, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar mengisi kehampaan malam.Dante menyilangkan tangannya, wajahnya tampak keras, namun matanya yang gelap menunjukkan kekosongan yang lebih dalam. Ketika ia berbicara, suara itu terdengar lebih tajam dari yang ia inginkan, memecah keheningan."Aku tak tahu harus percaya pada siapa lagi, Elena," katanya, matanya tak lepas dari Elena. "Kau terus mengubah arah, dan aku semakin tersesat dalam semua ini. Aku tidak bisa terus-menerus menjadi bagian dari permainan ini tanpa tahu apa yang sebenarnya kau inginkan."Elena menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Namun, di balik wajah tegar itu, ada kekhawatiran yang mendalam. "Kau masih berpikir begitu tentangku?" tanyanya, suaranya hampir terdengar terluka, meskip
Langit mulai memerah saat matahari perlahan terbenam di cakrawala. Di tengah senja yang tenang, atmosfer di markas mereka begitu kontras—tegang dan penuh dengan ketidakpastian. Dante berdiri di depan meja besar yang dipenuhi peta dan dokumen, tatapannya kosong namun pikirannya sibuk. Suara langkah ringan terdengar mendekat, tetapi ia tidak bereaksi.Elena muncul dari balik pintu, membawa dua cangkir teh yang uapnya masih mengepul. “Kupikir kau membutuhkannya,” katanya, menaruh salah satu cangkir di meja, di samping Dante.Dante mengangkat pandangannya, menatap Elena dengan mata yang lelah. “Terima kasih,” gumamnya, suaranya rendah.Elena duduk di kursi di seberang Dante, menyesap teh perlahan sambil mengamati pria itu. "Sejak kapan kau mulai terdiam seperti ini? Biasanya kau selalu punya rencana, meskipun dunia ini runtuh."Dante menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Aku tidak yakin kali ini. Semuanya terasa... salah. Setiap langkah yang kita ambil hanya membawa kita semakin ja
Dante berdiri di tengah medan perang yang hening, setelah pertarungan panjang yang memakan banyak tenaga dan air mata. Matahari yang terbenam di ufuk barat seolah mencerminkan perjuangan mereka hari ini, melukiskan langit dengan warna merah darah dan oranye yang suram. Tubuhnya lunglai, namun pikirannya penuh dengan kekacauan.Dari sudut matanya, ia melihat Ayra. Wajah gadis itu dipenuhi debu dan sedikit goresan, tetapi matanya tetap memancarkan keteguhan yang tidak pernah luntur. Ia sedang membalut luka kecil di lengannya sendiri, tanpa sedikit pun mengeluh.“Ayra,” panggil Dante, suaranya parau.Ayra menoleh, bibirnya membentuk senyum kecil meskipun jelas ia kelelahan. “Aku baik-baik saja,” katanya sebelum Dante sempat bertanya.“Aku tahu kau baik-baik saja. Kau selalu begitu,” jawab Dante, mendekat. “Tapi itu tidak berarti kau harus memikul semuanya sendiri.”Ayra menatap Dante, matanya melembut. “Aku tidak memikul semuanya sendiri, Dante. Aku tahu kau ada di sini. Itu sudah cukup.
Mentari pagi memancarkan sinar hangatnya, menyusup di antara tirai jendela rumah Dante dan Ayra. Udara terasa segar, membawa harapan baru. Di meja makan, Ayra sudah sibuk menata sarapan. Aroma kopi bercampur dengan harum roti panggang memenuhi ruangan.Dante muncul dari lorong, mengenakan kaus santai dan celana pendek. Ia menghampiri Ayra, melingkarkan tangannya di pinggangnya dengan lembut. "Pagi, cantik," bisiknya dengan suara berat yang masih terasa hangat dari tidur.Ayra tersenyum, mengaduk teh di cangkirnya. "Pagi juga. Tidurmu nyenyak?""Nyenyak. Tapi aku lebih suka begini, bangun pagi dan melihatmu." Dante mencium pipi Ayra sekilas sebelum duduk di kursi meja makan.Ayra menggeleng, tawa kecilnya melayang di udara. "Kau tahu cara membuat hari seseorang jadi lebih cerah, ya?"Dante hanya tersenyum lebar, lalu mulai menyantap sarapannya. "Apa rencanamu hari ini?"Ayra duduk di depannya, menyesap teh hangat. "Aku ingin
Langit malam menghamparkan taburan bintang yang membisikkan ketenangan. Dante berdiri di beranda rumahnya, memandang jauh ke cakrawala. Pikirannya melayang pada pertemuan terakhir antara Ayra dan Elena. Sebuah akhir yang damai, tetapi baginya, itu juga menjadi awal baru."Masih belum bisa tidur?" Ayra muncul dari balik pintu, membawakan secangkir teh hangat. Ia mengenakan sweater rajut yang longgar, rambutnya dibiarkan tergerai.Dante tersenyum kecil, menerima cangkir itu. "Aku hanya berpikir... tentang semua yang telah terjadi."Ayra berdiri di sampingnya, ikut memandang langit malam. "Kadang sulit dipercaya, bukan? Bahwa kita masih di sini, bersama, setelah semua yang kita lalui."Dante menatap Ayra, matanya mengandung kehangatan. "Aku selalu percaya kita bisa melewati semuanya, Ayra. Karena aku tahu... kau adalah rumahku."Ayra tertegun mendengar kata-kata itu. Ia menatap Dante, merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan yang hang
Angin pagi meniupkan kesejukan yang lembut saat Dante memarkir mobilnya di depan rumah Ayra. Langit masih pucat, pertanda matahari baru saja bangkit dari tidurnya. Dante keluar, membuka pintu untuk Ayra, yang tampak sedikit lelah tetapi tetap bersemangat. "Aku masih merasa seperti mimpi," Ayra berkata sambil melangkah keluar. Matanya menatap Dante dengan sorot bingung dan kagum. "Mimpi seperti apa?" Dante bertanya, menutup pintu mobil di belakangnya. "Bahwa aku bisa merasa begini... merasa cukup hanya dengan satu orang." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti gumaman, tetapi Dante mendengarnya jelas. Dante mendekat, menyentuh lengan Ayra dengan lembut. "Aku ingin kau tahu, aku juga merasa begitu. Dan aku akan memastikan kau selalu merasa cukup denganku." Ayra tersenyum kecil. "Aku percaya padamu." Langkah mereka menuju teras terasa seperti simbol dari awal yang baru. Tidak ada lagi beba
Angin malam menyentuh wajah Dante saat ia berdiri di balkon kecil apartemennya. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat, tetapi pikirannya jauh dari kehangatan yang seharusnya dirasakannya. Cahaya lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, membentuk pemandangan yang sepi meskipun penuh warna.Di belakangnya, suara langkah pelan mengisi keheningan. Ayra berdiri di ambang pintu balkon, mengenakan sweater oversize yang menggantung hingga lututnya. Matanya memancarkan keraguan, seakan langkah kecil itu memerlukan keberanian besar."Dante," suaranya hampir tenggelam dalam angin, tetapi Dante mendengarnya. Ia berbalik, pandangannya bertemu dengan mata cokelat Ayra yang dipenuhi pergolakan."Ada apa?" tanyanya lembut, menurunkan cangkir kopi ke meja kecil di sebelahnya.Ayra terdiam sesaat, menatap ke lantai sebelum mengangkat pandangannya kembali. "Aku... aku ingin kita bicara. Tentang semuanya."Dante menatapnya dengan penuh perhatian.
Langit mendung menggantung, menyelimuti kota dengan suasana muram. Hujan yang turun sejak dini hari menciptakan genangan di sepanjang jalan, seperti memantulkan perasaan Dante yang masih diliputi kebimbangan.Dante duduk di ruang kerjanya, matanya menatap kosong layar komputer yang menyala di depannya. Deretan angka dan data yang biasa memberinya rasa aman kini hanya terlihat seperti simbol-simbol tak berarti. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi satu-satunya hal yang mengisi kesunyian ruangan.“Dante,” suara Ayra memecah lamunannya.Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran, rambutnya tergerai alami. Ada kekhawatiran dalam matanya yang cokelat pekat, seolah dia bisa melihat pergulatan yang bergejolak di dalam hati Dante.“Aku sudah memanggilmu tiga kali,” katanya, melangkah masuk.“Maaf.” Dante mengalihkan pandangan, menggosok pelipisnya dengan frustrasi. “Aku hanya—ada banyak hal di pikirank
Langit mendung menggantung rendah, seolah meramalkan badai besar yang akan datang. Lembah di depan mereka memancarkan kesunyian yang mencekam, hanya diselingi suara angin yang berdesir melewati pepohonan. Dante berdiri di tepi jurang kecil, menatap pemandangan di depannya dengan mata tajam. Jauh di kejauhan, bangunan besar yang menjadi markas musuh tampak seperti bayangan kelabu di tengah kabut.Elena mendekat perlahan, membawa sebotol air untuk Dante. Ia tahu Dante sudah terlalu lama memandang ke arah itu tanpa beristirahat. “Kau harus menjaga energimu, Dante,” katanya lembut sambil menyerahkan botol itu.Dante menerimanya, tetapi ia tidak langsung meminumnya. “Markas itu… tampak lebih terjaga dari yang kuduga,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Elena memandang bangunan itu dengan mata yang tidak kalah serius. “Kita tahu ini tidak akan mudah. Tapi kita sudah sejauh ini. Tidak ada jalan kembali.”Dari kejauhan, Ayra duduk di atas sebata
Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, menggigilkan tubuh Ayra yang masih lemah akibat perjalanan semalam. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Dante dan Elena. Kedua orang itu kini tampak lebih tegas dalam gerakan mereka, seolah mereka sudah menetapkan tujuan yang jelas. Dante memimpin langkah, mengamati setiap sudut dengan saksama. Pepohonan lebat yang melingkupi mereka memberikan perlindungan sementara, tetapi tidak menghilangkan bahaya yang terus membayangi. “Berapa lama lagi kita akan sampai di tempat persembunyian itu?” Ayra bertanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik kata-katanya. Dante menoleh sekilas, matanya tajam namun tetap teduh. “Tidak jauh lagi. Jika kita tetap bergerak tanpa berhenti, kita bisa sampai sebelum matahari terbenam.” Ayra mengangguk, meski tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga. Ia tidak ingin menjadi b
Matahari perlahan merangkak naik, menyemburatkan cahaya lembut ke langit kelabu. Udara pagi terasa dingin menusuk kulit, tetapi Dante tidak bergeming dari posisinya di puncak batu besar yang menghadap lembah. Tangannya menggenggam gagang belati kecil yang selalu ia bawa, seolah benda itu adalah jangkar terakhir dari kewarasan di tengah badai pikirannya. Di belakangnya, Ayra duduk dengan tangan terlipat di dada, punggungnya bersandar pada pohon besar. Ia tak berbicara sepatah kata pun sejak pertengkaran malam sebelumnya. Sinar matahari menyoroti wajahnya yang terlihat lelah tetapi tetap anggun, dengan mata yang memandang kosong ke depan. Sementara itu, Elena berdiri tak jauh dari keduanya, mengamati Dante dengan tatapan penuh tanya. Ia tahu, sejak pertemuan mereka pertama kali, ada luka yang selalu Dante sembunyikan di balik sikap tegasnya. Namun, luka itu kini tampak lebih jelas dari sebelumnya, seperti retakan kecil di kaca yang perlahan melebar.
Matahari mulai naik, membiaskan sinarnya melalui dedaunan yang lebat. Di tengah perjalanan kembali ke tempat persembunyian, suasana terasa sunyi. Hanya derap langkah kaki Dante, Elena, dan Ayra yang terdengar di atas jalan berbatu kecil. Namun, di balik keheningan itu, hati masing-masing penuh dengan pertanyaan dan emosi yang saling bertubrukan. Elena berjalan di depan, bahunya sedikit menegang meskipun ia mencoba bersikap tenang. Luka di pelipisnya telah dibalut oleh Ayra, tetapi Dante masih memandangi luka itu dengan rasa bersalah. Ia merasa gagal melindungi Elena, sekalipun ia tahu wanita itu cukup tangguh untuk menjaga dirinya sendiri. “Terima kasih sudah datang,” kata Elena tiba-tiba, suaranya rendah namun jelas. Dante melangkah lebih cepat, menyamai langkah Elena. “Aku tak akan membiarkanmu sendirian terlalu lama.” Elena menoleh padanya, matanya menyiratkan kelelahan yang ia coba sembunyikan. Namun, senyum tipis di bibirnya cukup memberi tahu bahwa ia menghargai keberadaan