“Jadi.. kamu membohongiku! Kamu bilang aku yang menghamilimu!” Mas Galih tiba-tiba muncul, membuat aku dan Lisa kompak terperanjat dan menoleh padanya.“Mas Galih…” ucapku.“Pak Galih…” Lisa pun refleks memanggilnya.“Sejak kapan Mas disitu?” aku bangkit lalu menghampirinya.“Kau… hamil anak Papa?” suara Mas Galih bergetar, dia menepis tanganku yang menyentuh lengannya.“Pak.. maafkan saya…” suara isakan Lisa terdengar menyayat hati.“Aku harus telepon Papa!” tangan Mas Galih bergetar meraih benda pipih miliknya.“Pak! Jangan… saya mohon! Kalau Bu Retno tau, saya bisa dibunuh…” Lisa memohon sambil berlutut di kaki Mas Galih.“Kau sudah mempermainkanku, aku memang suka padamu, tapi aku ingat betul bahwa aku tidak pernah tidur denganmu!” hardik Mas Galih.“Iya.. Pak! Saya lakukan itu karena terpaksa. Saat itu, ketika Bapak sedang mabuk dalam ruang kerja, saya mengambil kesempatan untuk pura-pura tidur di samping Bapak. Saya hanya ingin anak ini mempunyai Ayah, jangan laporkan pada Pak
“Mur.. bisa bicara sebentar?” suara khas Pak Dodi membuatku menghentikan langkah.“Ada apa, Pak Dod?” tanyaku.“Mur.. kamu masih marah sama saya?”“Marah kenapa?” aku mengernyit.“Yang di taman waktu itu…”“Sudahlah, Pak Dod. Gak ada yang perlu dibahas, saya permisi dulu,” ucapku sambil meneruskan langkah keluar ruangan.“Mur, sebenarnya saya….”Aku membalik badan, “bapak mau ngomong apa? Saya buru-buru, Pak.”“Saya sebenarnya ingin balikan dengan Winda, kamu bisa bantu saya?”“Saya sendiri gak punya solusi untuk membuat suami saya menjauhi dia, Pak, bagaimana saya bisa membantu bapak?” ucapku kesal.“Dia melakukan itu terpaksa, Mur.” Terlihat dari raut wajahnya, bahwa dia tidak berbohong, pria yang biasanya ceria itu kini mamasang wajah yang sangat serius. Tapi sekali lagi, aku tidak bisa percaya pada siapapun.“Terpaksa karena apa? Terpaksa harus menghancurkan rumah tanggaku?” ucapku ketus.“Benar, dia memang terpaksa membuat rumah tanggamu hancur, kalau tidak dia bisa mati..” sua
“Lisa.. buka pintunya!” teriakku.Tak ada jawaban, ku intip lubang kunci, ternyata dia mengunci pintu dari dalam. Membuatku semakin panik.“Lisaaa!!” aku memanggilnya sekali lagi sambil menggedor pintu kamar.Masih tak ada jawaban, aku keluar dan mencoba mengintip keadaan dalam kamar dari jendela. Sialnya, dia juga mengunci jendela dan menutup tirainya.“Apa aku telpon polisi saja? Kalau kasih tau Mas Galih akan percuma,” gumamku.Dering telpon mengejutkanku, nama Mas Galih tertera pada layar.“Halo, Mas.”“Mur, kamu di rumah kan? Buatkan bubur jagung dong!” pintanya.“Mas lagi pengen bubur jagung?” tanyaku heran.“Bukan, Winda lagi ngidam bubur jagung yang di masak di rumah, kalau beli dia gak mau,” ujar Mas Galih dengan entengnya.“Mas! Ini bukan waktunya memikirkan ngidamnya si Winda, jangan pulang ke rumah kalau kamu gak mau dapat masalah!” aku menghardik cukup keras. Bisa-bisanya dia memikirkan Winda sedangkan aku di rumah sedang pusing mikirin Lisa.Segera aku menelepon polisi u
“Arrggghhhh….” Aku mengacak rambutku hingga berantakan. “Kamu kenapa, Mur? Ini ada apa? Kenapa banyak garis polisi disini?” suara Papaku membuat jantungku yang tadinya bedegup normal kini berdetak seakan ingin lompat dari posisinya. “Pa-papa… sejak kapan papa sampai?” aku tergagap, entah kenapa aku merasa ngeri melihat pria paruh baya yang selama ini aku anggap baik dan teduh. “Barusan, Papa mampir karena kebetulan lewat, Galih mana?” “Belum pulang, Pa,” jawabku. “Ini ada apa, Mur? Coba jelaskan!” dari raut wajahnya sepertinya Papa benar-benar gelisah. “Li-Lisa…. Ditemukan tewas dalam kamar, Pa.” aku menjelaskan dengan suara gemetar. “Lisa? Gadis yang menjadi sekretaris Galih? Kenapa bisa?” papa menghunjani pertanyaan-pertanyaan seolah dia tidak tahu apa-apa. Aku hanya menggelengkan kepala, tak mampu menjawab dengan kata. Karena puncak kehancuran hidup Lisa ada pada pria yang saat ini duduk berhadapan denganku. “Lebih baik kamu pindah dari rumah ini, kamu dan Galih bisa tingga
“Apa ini ada kaitannya dengan Winda dan Pak Dodi?” aku hanya asal menuduh, tapi ucapanku itu sukses membuat Mas Galih bangkit dan melotot kearahku.“Murti.. sebaiknya kamu gak usah ikut campur urusan Lisa, kamu hanya perlu diam dan tak usah bicara.”Suamiku menggeram, menggertakkan giginya. Aku mundur satu langkah saat Mas Galih mendekatiku dengan ekspresi menyeramkan. Kenapa dia harus marah?“Kenapa, Mas? Kamu tahu sesuatu kan? Apa ini semua ulahmu? Kamu berencana membunuh Lisa?!”Plak!Satu tamparan lolos di pipiku, Mas Galih belum berubah. Dia masih seperti ini. Dia masih sanggup memukulku, dan masih juga membela Winda.“Kamu berubah, Mur. Sekarang kamu sudah berani melawanku dan berkata sangat lancang!” cibirnya.“Aku gak ngerti sama kamu, kenapa kamu harus marah. Baiklah, Mas. Aku akan ikuti permainanmu. Tapi ingat, sebaik apapun kamu menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium juga.”Aku meninggalkan Mas Galih yang sedang diselimuti emosi. Sikapnya membuatku semakin penasara
“Langsung saja, aku malas berbasa basi denganmu,” ucapku.“Minum dulu dong!” dia menawarkan minuman yang sudah dipesannya sambil tersenyum.“Gak perlu, aku pesen sendiri aja.” Aku melambaikan tangan memanggil pelayan.Winda tersenyum sinis, dia terlihat kecewa minuman yang dia tawarkan kutolak. Tentu saja aku tak semudah itu menerima apapun darinya, bisa saja dia telah memberi racun? Aku hanya tak bisa percaya kepada siapapun lagi saat ini.“Jangan jutek-jutek, nanti suamimu pergi..” ledeknya.“Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan, lebih baik aku pergi! Aku malas berbasa basi denganmu, jangan buang waktuku yang berharga!” ucapku tegas.“Kenapa terburu-buru sekali, jarang-jarang kita bisa duduk bersama seperti ini, santai saja..” wanita itu berujar lalu meminum es teh di depannya.“Baiklah, aku pergi!” aku bangkit dari dudukku, benar-benar muak melihat wajahnya.“Bantu aku!” suara wanita itu sedikit meninggi ketika aku akan beranjak pergi. Aku pun membalikkan badan dan duduk kembal
“Arya akan melakukan berbagai cara termasuk hal yang tak logis, aku sendiri telah menjadi korbannya,” mata Winda mulai bekaca-kaca.“Korban Arya? Kamu diapain?” tanyaku.“Gini deh, aku gak bisa cerita secara keseluruhan, intinya, dia pakai dukun!” bisik Winda.Aku menarik napas kasar, aku merasa wanita ini mempermainkanku. Atau dia sedang mengulur waktu untuk seuatu hal yang akan terjadi lagi.Brak!Aku memukul meja cukup keras sampai orang-orang di sekitar menoleh ke meja kami. Winda mengerjap kaget, dia mengusap dadanya.“Aku dari tadi masih sabar dengerin kamu ngoceh, tapi omonganmu sama sekali gak ada yang masuk diakal aku sebagai orang waras!” hardikku.Winda terlihat santai, memasang wajah datar dan serius.“Kamu gak akan bisa mencerna ucapanku kalau cara kamu menanggapi pakai emosi, aku tau kamu sangat membenciku, tapi kamu harus percaya setidaknya satu persen saja, karena suatu hari kamu bakalan buktiin ini sendiri, aku cuma kasih kamu kisi-kisinya doang kamu udah marah banget
“Aku mau belajar banyak, Kak. Ditengah beratnya masalah yang kuhadapi saat ini, aku bukannya semakin mendekatkan diri sama Allah, malah semakin menjauh,” ucapku menyesal.“Ya udah..” ucap Kak Dea.***Sebelum ikut Kak Dea ke pengajian, aku bersama Kak Dea mampir ke rumah Ibu dulu untuk berganti pakaian, meminjam gamis dan hijab milik Ibu.“Murti pergi dulu ya, Bu.” Aku berpamitan pada Ibu sambil mencium tangannya.Kak Dea juga melakukan hal yang sama.Sampai di suatu balai, sudah banyak jama’ah yang datang, mulai dari remaja sampai Ibu-ibu. Aku measa gugup, ini kali pertamaku mengikuti kajian agama.“Mur, kok gugup, kayak kamu aja yang mau ngisi ceramah?” kekeh Kak Dea.“Baru pertama kali ikut perkumpulan yang rame orang begini, Kak,” jawabku.“Ini rame karna ustadznya ganteng, biasanya juga sedikit yang datang,” Kak Dea tertawa kecil.Aku ikut tersenyum, mengikuti langkah wanita bergamis biru di depanku itu.Kami duduk di paling depan, aku merasa tak nyaman, Kak Dea mungkin menyadari
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do