“Arya akan melakukan berbagai cara termasuk hal yang tak logis, aku sendiri telah menjadi korbannya,” mata Winda mulai bekaca-kaca.“Korban Arya? Kamu diapain?” tanyaku.“Gini deh, aku gak bisa cerita secara keseluruhan, intinya, dia pakai dukun!” bisik Winda.Aku menarik napas kasar, aku merasa wanita ini mempermainkanku. Atau dia sedang mengulur waktu untuk seuatu hal yang akan terjadi lagi.Brak!Aku memukul meja cukup keras sampai orang-orang di sekitar menoleh ke meja kami. Winda mengerjap kaget, dia mengusap dadanya.“Aku dari tadi masih sabar dengerin kamu ngoceh, tapi omonganmu sama sekali gak ada yang masuk diakal aku sebagai orang waras!” hardikku.Winda terlihat santai, memasang wajah datar dan serius.“Kamu gak akan bisa mencerna ucapanku kalau cara kamu menanggapi pakai emosi, aku tau kamu sangat membenciku, tapi kamu harus percaya setidaknya satu persen saja, karena suatu hari kamu bakalan buktiin ini sendiri, aku cuma kasih kamu kisi-kisinya doang kamu udah marah banget
“Aku mau belajar banyak, Kak. Ditengah beratnya masalah yang kuhadapi saat ini, aku bukannya semakin mendekatkan diri sama Allah, malah semakin menjauh,” ucapku menyesal.“Ya udah..” ucap Kak Dea.***Sebelum ikut Kak Dea ke pengajian, aku bersama Kak Dea mampir ke rumah Ibu dulu untuk berganti pakaian, meminjam gamis dan hijab milik Ibu.“Murti pergi dulu ya, Bu.” Aku berpamitan pada Ibu sambil mencium tangannya.Kak Dea juga melakukan hal yang sama.Sampai di suatu balai, sudah banyak jama’ah yang datang, mulai dari remaja sampai Ibu-ibu. Aku measa gugup, ini kali pertamaku mengikuti kajian agama.“Mur, kok gugup, kayak kamu aja yang mau ngisi ceramah?” kekeh Kak Dea.“Baru pertama kali ikut perkumpulan yang rame orang begini, Kak,” jawabku.“Ini rame karna ustadznya ganteng, biasanya juga sedikit yang datang,” Kak Dea tertawa kecil.Aku ikut tersenyum, mengikuti langkah wanita bergamis biru di depanku itu.Kami duduk di paling depan, aku merasa tak nyaman, Kak Dea mungkin menyadari
“Sihir merupakan upaya yang dilakukan seseorang dengan meminta pertolongan kepada setan dengan maksud dan tujuannya adalah untuk menghancurkan hidup seseorang, bahkan dalam ayat tadi dikatakan bahwa sihir bisa membuat hubungan suami istri menjadi hancur berantakan.”Setelah mendengarkan penjelasan dari Ustadz Azzam, aku pun paham, bahwa yang diucapkan Winda saat itu mungkin benar. Tapi aku tidak habis pikir, jika Arya sampai segitunya ingin membalas dendam denganku dan bersekutu dengan setan.Ustadz Azzam bilang, solusi untuk masalah ini bisa diatasi dengan melakukan ruqyah. Apa Mas Galih mau kuajak ruqyah?Acara pengajian selesai, ustadz Azzam mengakhiri acara dengan doa. Setelah itu semua jama’ah mulai membubarkan diri. Aku masih menunggu Kak Dea, dia masih duduk santai, mungkin masih menunggu semua keluar supaya tidak desak-desakan.“Mbak, mau pulang bareng?” tiba-tiba ustadz Azzam menghampiriku dan Kak Dea. Dia menawari siapa? Aku terkesiap dan salah tingkah.“Gak usah, Mbak bawa
“Loh, Mas.. bukannya tadi lagi duduk di taman belakang? Kok bisa tiba-tiba di kamar?”“Apa sih, Mur?” Mas Galih tampak bingung.“Aku tadi liat kamu duduk di taman, Mas. Barusan banget,” tegasku.“Ngawur kamu, aku baru siap mandi. Nih, liat rambut pun masih basah.” Wajah Mas Galih tampak serius.“Jangan bercanda, deh,” paksaku.“Dari pada ngehalu, mending cepetan buatin makanan!” Mas Galih lalu pergi ke ruang tengah dan menyalan TV.Astaghfirullah.. tadi itu siapa yang kulihat di taman, jelas-jelas aku melihat Mas Galih. Tapi, wajahnya sangat pucat dan ekspresinya datar. Ya Allah.. apa itu tadi? Apa kini kiriman Arya sudah mulai menampakkan diri?Selesai masak, aku menata makanan diatas meja, sekalian banyak saja biar bisa untuk makan malam.Kupanggil suamiku yang masih duduk menonton TV, tapi ternyata dia ketiduran.“Mas, makanannya udah siap, jangan tidur sore-sore, gak baik, Mas.” Aku menggoyangkan tubuhnya.Mas Galih bangun dengan malas, aku menemaninya duduk di meja makan.“Kamu k
“Apa kamu sangat menginginkannya?” tanya Mas Galih lembut, memecah keheningan.Aku mengangguk sambil tersenyum.“Jangan ngimpi!” ucapnya lalu berbaring dan menarik selimut.Sialan! Kena prank sama suami. Aku menarik napas kasar, adakah wanita yang sudah menikah tetapi masih perawan sampai setahun sepertiku ini? Aku tak yakin ada, cuma aku wanita langka.Mas Galih sudah tertidur, aku masih menunggu waktu isya kemudian akan menyusulnya tidur juga. Sambil menunggu adzan isya, aku memainkan ponsel. Tiba-tiba masuk chat dari sosial mediaku, nama pemilik akunnya sangat aneh, tapi ketika aku buka foto profilnya, ternyata itu Arya.[Hai,] katanya.Kuabaikan saja, aku malas meladeninya. Perkataan Winda belum bisa kubuktikan, seenggaknya jangan dulu berhubungan dengan dia, kalau memang benar dia menggunakan ilmu hitam untuk menghancurkan hidupku, aku harus berhati-hati dengannya.[Mur, besok sibuk? Bisa ketemu gak?] tulisnya lagi.Gila ni orang, istrinya cantik, kelihatannya juga baik, pakaiann
“Murti…!!!! Hentikan itu!!” teriak Mas Galih sambil menutup kedua telinganya.“Astaghfirullah…” aku bergegas menghampiri suamiku yang berteriak tak karuan.Mas Galih masih meraung seperti orang kesrasukan, rekaman murotal di HP belum kumatikan. Suamiku itu memohon sampai menjambak rambutnya sendiri seperti orang tidak waras.“Mas, kamu kenapa?” tanyaku panik.“Hentikan suara itu, Mur. Kepalaku terasa mau pecah!!” dia terus berteriak, matanya melotot seperti bukan suamiku.Selama ini aku memang tidak pernah mengaji, sholat pun jarang, apalagi memutar rekaman murotal begini. Ini kali pertama aku memutarnya dan Mas Galih bereaksi seperti ini. Sangat mengejutkan, aku semakin yakin bahwa ini ada kaitannya dengan sihir yang Arya kirim padaku.Darah segar keluar dari hidung suamiku, aku segera mematikan rekaman murotal. Seketika itu, suamiku langsung tenang. Dia menatapku tajam, kilat kemarahan menyambar mataku saat menatapnya.“Kamu gila ya, Mur? Kamu mau bunuh aku, ha?” Mas Galih membentak
“Winda..” lirih suamiku lalu menjatuhkan pisau yang ia pegang.“Galih, sadar… kamu harus lawan!” tegas Winda.Setelah itu, dia pingsan. Mas Galih berlari menghampirinya, terlihat begitu khawatir. Aku diabaikan disini, seperti layaknya menonton drama romantis.Beberapa menit kemudian, sebuah mobil masuk ke perkarangan rumahku.“Itu pasti Kak Dea,” aku bergerak ke depan untuk menjemput mereka.Kak Dea, Azzam dan satu orang lelaki muda yang tak kukenali, masuk dan mengucap salam.Belum apa-apa, Mas Galih sudah ngamuk dan mengancam.“Jangan apa-apakan Winda, dia mengandung anakku!” teriak Mas Galih pada Azzam.Kak Dea membelalak mata sambil menatapku, aku mengangguk. Benar, Winda memang hamil, tapi itu anak Mas Galih atau bukan, belum bisa dipastikan, namun kelihatannya suamiku begitu yakin.Azzam hanya tersenyum, dia menyapa suamiku dengan ramah.“Tenang, Mas…” Azzam mendekat, menepuk bahu Mas Galih. Dia langsung menepis dengan tatapan mata yang tajam.Azzam dan rekannya izin berwudhu, a
“Sebenarnya hubungan kamu dengan Arya itu gimana? Tadi Azzam menjelaskan kalau kamu sudah terikat dengannya, dan kalian melakukan ini karena saling menguntungkan satu sama lain, apa maksudnya?” tanyaku panjang lebar.Untuk beberapa saat Winda hanya terdiam sambil menunduk, sesekali dia menyeka sudut matanya dengan punggung tangan, lantas meneguk air putih di dekatnya hingga tandas.“Aku sudah diperdaya olehnya, dia menjanjikan harta yang melimpah untuk saya. Wanita mana yang tidak tergiur dengan uang, apalagi saat itu ekonomi keluarga saya sangat terpuruk. Karena merasa putus asa, saya pun menerima tawarannya sebagai perantara perusak hubungan kamu dan Galih.” Dia menghentikan ucapnnya sembari menarik napas sesaat. Aku mengambil kesempatan untuk bertanya.“Kamu kenal dia dimana?” tanyaku.“Dia itu tetangga aku, rumahku hanya selang tiga rumah di belakangnya, makanya dulu kalau kamu datang ke rumah dia, tidak pernah nampak. Rumahku seperti gubuk yang sudah reok, aku tinggal bersama Ibu
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do