Share

UNGKAPAN WINDA

Author: DEAR GREEN
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Sebenarnya hubungan kamu dengan Arya itu gimana? Tadi Azzam menjelaskan kalau kamu sudah terikat dengannya, dan kalian melakukan ini karena saling menguntungkan satu sama lain, apa maksudnya?” tanyaku panjang lebar.

Untuk beberapa saat Winda hanya terdiam sambil menunduk, sesekali dia menyeka sudut matanya dengan punggung tangan, lantas meneguk air putih di dekatnya hingga tandas.

“Aku sudah diperdaya olehnya, dia menjanjikan harta yang melimpah untuk saya. Wanita mana yang tidak tergiur dengan uang, apalagi saat itu ekonomi keluarga saya sangat terpuruk. Karena merasa putus asa, saya pun menerima tawarannya sebagai perantara perusak hubungan kamu dan Galih.” Dia menghentikan ucapnnya sembari menarik napas sesaat. Aku mengambil kesempatan untuk bertanya.

“Kamu kenal dia dimana?” tanyaku.

“Dia itu tetangga aku, rumahku hanya selang tiga rumah di belakangnya, makanya dulu kalau kamu datang ke rumah dia, tidak pernah nampak. Rumahku seperti gubuk yang sudah reok, aku tinggal bersama Ibu
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • TAK INGIN BERCERAI   KEDATANGAN ISTRI ARYA

    “Aku tak ingin bercerai!” ucapku bersikeras. Akhirnya air mataku yang sejak tadi kutahan lolos begitu saja.Winda menarik napas kasar, lalu beranjak dari duduknya menuju kamar.“Mur…Murtiii..” panggil mas Galih dari dalam kamar.Aku berlari agar segera sampai, takut suamiku itu kenapa-napa.“Ada apa, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Galih yang masih terbaring sambil memejamkan mata.“Mas, kamu ngigau?” tanyaku sambil terus membangunkannya.“Murti, kamu jangan jauh-jauh, aku takut sendirian!” rengeknya.Mas Galih berubah manja, dia bahkan menarik lenganku dan menggenggamnya erat sekali.“Iya, Mas, aku disini temani kamu, lepasin dulu ya..” ucapku.“Murti, jangan pernah tinggalin aku apapun yang terjadi,” lirih Mas Galih. Suamiku itu kini membuka matanya.Aku mengangguk sambil tersenyum. Banyak perubahan sikap Mas Galih semenjak di ruqyah. Aku sangat bersyukur.Malam itu aku tidur sambil berpelukan dengan suamiku, hal yang tidak pernah lagi terjadi. Dulu, saat awal menikah kami pernah ti

  • TAK INGIN BERCERAI   MENITIPKAN ZAHRA

    “Mas, Nadya kenapa?” bisikku pada Mas Galih.“Anaknya memanggilku Papa, aku juga gak ngerti..” mas Galih mengangkat bahunya.“Ya Allah, dia pasti kangen Papanya..” lirihku. Kupandang gadis kecil yang tak berdosa itu, wajahnya polos dan lucu, kenapa Arya bisa buta? Istrinya cantik, baik, lemah lembut, anaknya juga lucu, ingin rasanya segera memiliki buah hati.“Diminum dulu, ini cemilannya sayang..” aku menawarkan pada Nadya dan anaknya yang terus merengek.“Saya bingung harus mencari suami saya kemana, jadi saya tanya ke orang-orang rumah Mbak Murti, karena saya takut dia nekad membalas dendam dan pergi kesini..” ungkap Nadya.“Tapi selama seminggu ini, alhamdulillah kami baik-baik saja, dan suami saya juga sudah sembuh setelah di ruqyah,” ucapku.“Di ruqyah?” ulangnya.Aku mengangguk, “Winda bilang.. semua ini karena perbuatan Arya..” ucapku lirih.“Ma-maksudnya, Mbak? Winda itu siapa?” tanya Nadya. Kukira dia tidak tahu perbuatan Arya terhadapku, apa sebaiknya tak usah kuungkapkan s

  • TAK INGIN BERCERAI   AKU AYAHNYA

    “Mbak, uang ini buat mbak saja, saya bisa membiayai Zahra, saya akan anggap dia sebagai anak saya sendiri,” ucapku.“Jangan, Mbak. saya gak enak ninggalin Zahra gitu aja, saya janji gak akan lama, saya akan jemput Zahra secepatnya.” Ucap Nadya dengan suara bergetar, punggung tangannya tak henti menyeka air mata yang tak kunjung mereda.Setelah berpamitan, Nadya pergi dengan wajah sembab akibat banyak menangis. Dia pasti sangat terpukul harus menitipkan anaknya pada orang yang baru dia kenal, apalagi aku sebagai mantan kekasih suaminya. Aku tak bisa membayangkan sesakit apa hatinya selama ini, ketika sang suami lebih sering membayangkan dirinya sebagai orang lain bahkan saat berhubungan. Arya memang iblis, dia tidak bisa dikatakan sebagai manusia.Setelah Nadya sudah tidak terlihat lagi, aku kembali masuk ke kamar, menyusul Mas Galih yang sedang menemani Zahra tidur.Aku melihat dari balik pintu yang sedikit terbuka, suamiku itu tersenyum manis sambil memandangi Zahra. Sorot matanya pe

  • TAK INGIN BERCERAI   TAMAN BERMAIN

    “Wi-winda… kamu apa kabar? Selama ini kemana?”Wanita itu membuka kacamatanya lalu tersenyum padaku.“Kamu tau dimana Arya sekarang?” tanyaku lagi.“Aku gak berani kasih tau, aku bisa hidup sampai sekarang karena ada anaknya dia di dalam perut ini, aku gak mau ambil resiko lagi, Ibu dan adikku sudah menjadi tumbalnya dia..” suara isakan dan tubuhnya yang gemetar memilukan hati. Aku menutup mulut, menyaksikan betapa tragisnya hidup Winda. Wanita yang sangat kubenci karena merebut suamiku, lagi-lagi, aku dibuat iba dengan wanita yang membuat hatiku hancur saat awal memergokinya bermesraan dengan suamiku.Aku hanya bisa berharap, semoga tidak terjadi lagi hal mengerikan seperti yang dialami oleh Lisa.“Semua ini karena kamu, Murti! Apa susahnya bercerai saja dengan Galih, kalian tidak akan pernah bahagia, Mur..” cecar Winda.“Win.. aku sekarang udah bahagia, Mas Galih udah berubah, dan aku…”“Percuma Mur.. kamu gak bakalan ngerti!” ucap Winda dengan kilat kemarahan lalu pergi begitu saja

  • TAK INGIN BERCERAI   PERUBAHAN SIKAP SUAMIKU

    Acara sykuran pun tiba, kami ke lokasi restoran baru papa tepat pukul 12.00 waktu makan siang. Zahra juga ikut, awalnya aku menolak ikut dan menjaga Zahra saja di rumah, tapi Zahra merengek ingin ikut mas Galih.Sampai disana, Bapak, Ibu, Kak Rian dan kak Nita sudah hadir, juga beberapa karyawan kepercayaan papa, tak begitu ramai, hanya orang terdekat saja yang diundang.Banyak yang memuji penampilanku yang kini mulai berhijab, tapi tidak dengan mama mertuaku, beliau tampak tidak senang dan sewot melihatku dipuji orang. Aku juga tak terbuai dengan pujian itu, malah aku merasa malu, karena seharusnya selama ini aku menutup aurat, tapi aku baru melaksanakannya sekarang, beruntung aku masih diberi umur dan masih ada waktu untuk memperbaiki diri.“Sok alim!” begitulah cibiran mama mertua yang terdengar olehku.Setelah acara dimulai, kami pun menikmati menu-menu lezat yang disuguhkan, menu ini adalah semua yang tersedia direstoran nantinya.Aku, suamiku dan Zahra duduk di meja lesehan, saa

  • TAK INGIN BERCERAI   PEMBERSIHAN

    Hari yang dinanti tiba, Mas Galih bahkan tidak sholat jum’at ke masjid seperti biasanya. Hanya berdiam diri di rumah, termenung di taman belakang, lalu memainkan ponsel. Sikapnya benar-benar berubah mulai acara syukuran kemarin.“Mas, makan dulu!” ajakku saat dia duduk di taman dengan tatapan kosong ke depan.Dia tak menjawab, hanya langsung bergerak menuju meja makan. Zahra juga sudah ada disana, dia sedang menyantap ayam goreng dengan lahapnya.Dengan wajah lesu, suamiku itu mengambil lauk keatas piringnya.“Kamu kenapa gak ke masjid, mas?” tanyaku akhirnya, sebab selama ini setiap jum’at mas Galih selalu bersemangat pergi sholat. Menggunakan sarung dan baju koko putih serta kopiah warna senada dengan bajunya, penampilan yang sangat disukainya ketika hari jum’at tiba.“Males, Mur.. sholat cuman gitu-gitu aja,” jawab mas Galih sekenanya.Aku menarik napas kasar sambil beristighfar dalam hati, perubahannya sangat drastis, ibarat dari langit terjun ke bumi. Aku sengaja tidak memberitah

  • TAK INGIN BERCERAI   BERTEMU NADYA

    Esok harinya, pasca ruqyah terakhir kemarin, Zahra tiba-tiba demam tinggi. Aku dan mas Galih segera membawanya ke klinik terdekat karena tidak memungkinkan jika dibawa ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh.Dokter di klinik langsung sigap memberi pertolongan, karena Zahra sempat kejang. Aku ketakutan dan menangis,mas Galih memelukku dan terus menenangkanku. Aku merasa Zahra sudah seperti anakku sendiri. Aku tidak mau terjadi apa-apa padanya.Alhamdulillah setelah satu jam diberi obat, suhu tubuh Zahra akhirnya turun, tapi dia harus dirawat inap. Satu malaman aku tidak berani memejamkan mata, karena takut terjadi apa-apa lagi pada Zahra.“Tidur, Mur. Biar aku yang gantikan jaga,” ucap Mas Galih.“Gak apa-apa, mas. Aku gak ngantuk,” jawabku dengan suara sedikit serak.“Gak boleh gak tidur sama sekali, nanti yang ada kamu jadi ikutan sakit.”Mendengar penuturan suamiku itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidur barang sebentar. Kurebahkan tubuhku di atas sofa, sementara mas Galih duduk d

  • TAK INGIN BERCERAI   CINTA MONYET

    “Kenapa mesti main rahasia-rahasiaan? Emang kamu gak percaya sama aku?” mas Galih berujar sambil tetap fokus menyetir.“Itu.. tadi… aku ketemu sama Nadya,” cicitku.Mas Galih spontan mengalihkan pandangannya padaku.“Loh, jadi gimana? Dia gak jemput anaknya?” tanya mas Galih heran.“Katanya belum bisa jemput, jadi dia minta kita untuk menjaganya lagi, dia kasih uang ini buat biaya Zahra,” jelasku.Mas Galih menarik napas kasar, entah apa yang dia pikirkan. Aku menatap Zahra yang sedang melihat jalanan dari jendela, tampaknya dia belum paham arti pembicaraan kami, andai saja dia tahu kalau tadi aku bertemu Ibunya, pasti dia marah padaku karena tidak memberitahunya, atau dia akan kecewa kenapa ibunya tidak mau menemuinya dulu.Sampai di rumah.Aku mengajak Zahra untuk istirahat di kamar, tapi dia tidak mau, dia ingin menonton TV saja. Aku memutar acara kartun untuknya. Sedangkan suamiku mandi, lalu duduk di ruang TV menemani Zahra.“Mas, malam ini mau makan apa, biar aku masak,” ucapku.

Latest chapter

  • TAK INGIN BERCERAI   DIUJUNG TAKDIR (TAMAT)

    Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si

  • TAK INGIN BERCERAI   PUBER?

    Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa

  • TAK INGIN BERCERAI   KEMUNCULAN PAPA

    “Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”

  • TAK INGIN BERCERAI   BUKAN MAHRAM

    “Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe

  • TAK INGIN BERCERAI   IKHLAS

    “Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau

  • TAK INGIN BERCERAI   MEMBELIKAN RUMAH

    Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan

  • TAK INGIN BERCERAI   MENJALANI PERAN

    Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib

  • TAK INGIN BERCERAI   BAYIKU

    “Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa

  • TAK INGIN BERCERAI   PEMERIKSAAN

    “Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do

DMCA.com Protection Status