Hari yang dinanti tiba, Mas Galih bahkan tidak sholat jum’at ke masjid seperti biasanya. Hanya berdiam diri di rumah, termenung di taman belakang, lalu memainkan ponsel. Sikapnya benar-benar berubah mulai acara syukuran kemarin.“Mas, makan dulu!” ajakku saat dia duduk di taman dengan tatapan kosong ke depan.Dia tak menjawab, hanya langsung bergerak menuju meja makan. Zahra juga sudah ada disana, dia sedang menyantap ayam goreng dengan lahapnya.Dengan wajah lesu, suamiku itu mengambil lauk keatas piringnya.“Kamu kenapa gak ke masjid, mas?” tanyaku akhirnya, sebab selama ini setiap jum’at mas Galih selalu bersemangat pergi sholat. Menggunakan sarung dan baju koko putih serta kopiah warna senada dengan bajunya, penampilan yang sangat disukainya ketika hari jum’at tiba.“Males, Mur.. sholat cuman gitu-gitu aja,” jawab mas Galih sekenanya.Aku menarik napas kasar sambil beristighfar dalam hati, perubahannya sangat drastis, ibarat dari langit terjun ke bumi. Aku sengaja tidak memberitah
Esok harinya, pasca ruqyah terakhir kemarin, Zahra tiba-tiba demam tinggi. Aku dan mas Galih segera membawanya ke klinik terdekat karena tidak memungkinkan jika dibawa ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh.Dokter di klinik langsung sigap memberi pertolongan, karena Zahra sempat kejang. Aku ketakutan dan menangis,mas Galih memelukku dan terus menenangkanku. Aku merasa Zahra sudah seperti anakku sendiri. Aku tidak mau terjadi apa-apa padanya.Alhamdulillah setelah satu jam diberi obat, suhu tubuh Zahra akhirnya turun, tapi dia harus dirawat inap. Satu malaman aku tidak berani memejamkan mata, karena takut terjadi apa-apa lagi pada Zahra.“Tidur, Mur. Biar aku yang gantikan jaga,” ucap Mas Galih.“Gak apa-apa, mas. Aku gak ngantuk,” jawabku dengan suara sedikit serak.“Gak boleh gak tidur sama sekali, nanti yang ada kamu jadi ikutan sakit.”Mendengar penuturan suamiku itu, akhirnya aku memutuskan untuk tidur barang sebentar. Kurebahkan tubuhku di atas sofa, sementara mas Galih duduk d
“Kenapa mesti main rahasia-rahasiaan? Emang kamu gak percaya sama aku?” mas Galih berujar sambil tetap fokus menyetir.“Itu.. tadi… aku ketemu sama Nadya,” cicitku.Mas Galih spontan mengalihkan pandangannya padaku.“Loh, jadi gimana? Dia gak jemput anaknya?” tanya mas Galih heran.“Katanya belum bisa jemput, jadi dia minta kita untuk menjaganya lagi, dia kasih uang ini buat biaya Zahra,” jelasku.Mas Galih menarik napas kasar, entah apa yang dia pikirkan. Aku menatap Zahra yang sedang melihat jalanan dari jendela, tampaknya dia belum paham arti pembicaraan kami, andai saja dia tahu kalau tadi aku bertemu Ibunya, pasti dia marah padaku karena tidak memberitahunya, atau dia akan kecewa kenapa ibunya tidak mau menemuinya dulu.Sampai di rumah.Aku mengajak Zahra untuk istirahat di kamar, tapi dia tidak mau, dia ingin menonton TV saja. Aku memutar acara kartun untuknya. Sedangkan suamiku mandi, lalu duduk di ruang TV menemani Zahra.“Mas, malam ini mau makan apa, biar aku masak,” ucapku.
Selesai makan, Dilla memanggil karyawannya untuk membereskan meja dan menggantinya dengan makanan penutup.Dua orang pelayan, yang satu laki-laki dan yang satu perempuan. Mataku terbelalak melihat pelayan wanita, wajahnya sangat mirip dengan Lisa. Hanya saja hidungnya lebih mancung dan juga dia lebih kurus. Aku memperhatikan gadis cantik itu dengan seksama, sampai akhirnya dia menghadap kearahku untuk mengambil piring di dekatku.Jantungku berdegup kencang saat melihat nama di bajunya tertulis ‘Intan’. Apakah dia Intan adiknya Lisa?Karena merasa sejak tadi kuperhatikan, Intan menjadi gugup dan salah tingkah.“A-ada yang bisa saya bantu, Bu..” tanya Intan.Membuat Dilla dan Mas Galih yang sedang asyik mengobrol ikut menoleh.“Saya mau ke toilet, bisa tolong antarkan saya?” akhirnya aku mendapat ide dan alasan untuk mengajaknya ngobrol berdua. Semoga saja dugaanku benar, bahwa dia adalah Intan adiknya Lisa. Karena delapan puluh persen wajahnya sangat mirip.“Temani Ibu ini!” perintah
“Kamu itu gak wajar bersikap begitu pada wanita lain, Mas. Apalagi ada aku, kenapa kamu gak bisa menghargai aku sebagai istrimu, mas?” ucapku kesal.“Ngapain sih kamu cemburu, Mur. Kamu tuh yang gak wajar, ngapain cemburu sama Dilla,” sanggahnya.Apanya yang gak wajar, dia wanita dewasa. Cantik, seksi, dan kaya. Siapa lelaki yang tak tergoda dengannya.Aku memutuskan untuk menghentikan perdebatan ini, karena rasanya akan percuma, mas Galih pasti tidak akan mau disalahkan.Sampai di rumah, aku meletakkan Zahra di kasurnya tak jauh dari kasur kami. Mas Galih memang membelikannya kasur khusus untuk Zahra.Aku bergegas membersihkan diri dan sholat isya, begitupun dengan mas Galih.“Mur.. aku lagi pengen..” ucap mas Galih.“Tapi kan aku lagi datang bulan, mas,” ucapku.Mas Galih mencebik, lalu pergi tidur, menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya sampai kepala. Aku jadi seuzon, apa gara-gara melihat lekuk tubuh Dilla tadi sampai membuat suamiku ingin melakukannya malam ini, apalagi wan
“Untuk apa memikirkan perasaanmu, kamu saja gak pernah memikirkan perasaan saya! Malah seenaknya ngadopsi anak, emang kamu tahu dari mana asal usul anak itu? Jangan-jangan dia sama sepertimu, anak pembawa sial!”“Ma.. jangan sembarangan bicara! Zahra itu masih kecil, gak pantas Mama menghinanya seperti itu!” ucapku emosi.“Kami tidak mengadopsi anak! Zahra itu…” belum sempat aku menjelaskan, sudah dipotong olehnya.“Alah, sudah lah, Murti! Saya gak mau dengar apa pun, pokoknya kamu harus menyetujui Galih menikah lagi. Mama mau mereka menikahnya sah secara hukum negara juga, jadi kamu harus menandatangani surat persetujuan!” setelah mengucapkan itu, mama mertuaku angkat kaki, meninggalkanku yang masih terpaku.Ya Rabb… kenapa hidupku harus begini. Aku tidak rela mas Galih menikah lagi, aku yakin bisa memberinya keturunan, hanya saja saat ini masih belum rezeki. Jika mas Galih menerima perjodohan yang dilakukan mamanya, aku lebih baik meminta cerai.Tetapi, tiba-tiba aku teringat perju
Aku menatap mereka dengan perasaan kesal, sementara mereka berdua tertawa kecil, entah apa yang membuat mereka senang.Aku memutar bola mata, malas melihat mereka saat keduanya sudah berdiri di dekat tempatku duduk.Tidak dianggapkah aku disini, mereka masih saja asyik mengobrol.“Ya ampun, aku tuh gak nyangka banget, Lih. Kok bisa sih?” ucap Dilla.Sepertinya wanita ini sengaja membuat darahku mendidih. Nada bicaranya yang manja, suaranya yang dibuat mendayu-dayu. Menjijikan.“Hahah, memang dunia ini sempit ya!” sahut Mas Galih, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak ingin tahu, dan malas bertanya.Dilla duduk di hadapanku, sementara mas Galih ke dapur melihat pekerjaan para karyawan.“Sebentar ya, aku tinggal dulu!” ujar mas Galih.Dilla mengangguk sambil tersenyum. Aku mencium bibit-bibit pelakor dari tubuhnya.Merasa aku meliriknya sinis, Dilla pun salah tingkah.“Udah lama nyampe nya, Mur?” tanya Dilla.“Ya,” jawabku singkat.“Eh, Zahra juga ikut… udah makan cantik?” Dilla men
Setelah pembahasan yang membuatku pusing itu, kami memutuskan untuk pulang saja. Lagian Zahra juga sudah bosan. Mas Galih pulang bareng denganku, dia melarangku untuk naik taksi. Karena kupikir dia akan tetap tinggal di restoran menemani atau masih ingin mengobrol dengan Dilla. Sedangkan Dilla juga pulang, katanya akan dijemput oleh pacarnya. Sama sekali tidak penting bagiku, kami pulang lebih dulu meninggalkannya sendirian di restoran.“Kita duluan ya, Dil..” pamit mas Galih.“Iya gak apa-apa, Lih..” sahutnya.Wanita itu melempar senyum padaku, tapi aku membalasnya dengan wajah sinis. Sebagai sesama wanita, aku mempunyai firasat, bahwa dia menyukai suamiku.***Tak ada pembicaraan antara aku dan mas Galih saat berada di dalam mobil. Aku lebih banyak diam dan bersikap dingin. Zahra juga sudah tertidur di kursi belakang. Suasana begitu hening, aku hanya bisa menatap jalanan dari jendela mobil.Suamiku pun lebih sering menatap ke depan, fokus menyetir. Seperti tak ada niat untuk menghib
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do