Aku menatap mereka dengan perasaan kesal, sementara mereka berdua tertawa kecil, entah apa yang membuat mereka senang.Aku memutar bola mata, malas melihat mereka saat keduanya sudah berdiri di dekat tempatku duduk.Tidak dianggapkah aku disini, mereka masih saja asyik mengobrol.“Ya ampun, aku tuh gak nyangka banget, Lih. Kok bisa sih?” ucap Dilla.Sepertinya wanita ini sengaja membuat darahku mendidih. Nada bicaranya yang manja, suaranya yang dibuat mendayu-dayu. Menjijikan.“Hahah, memang dunia ini sempit ya!” sahut Mas Galih, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak ingin tahu, dan malas bertanya.Dilla duduk di hadapanku, sementara mas Galih ke dapur melihat pekerjaan para karyawan.“Sebentar ya, aku tinggal dulu!” ujar mas Galih.Dilla mengangguk sambil tersenyum. Aku mencium bibit-bibit pelakor dari tubuhnya.Merasa aku meliriknya sinis, Dilla pun salah tingkah.“Udah lama nyampe nya, Mur?” tanya Dilla.“Ya,” jawabku singkat.“Eh, Zahra juga ikut… udah makan cantik?” Dilla men
Setelah pembahasan yang membuatku pusing itu, kami memutuskan untuk pulang saja. Lagian Zahra juga sudah bosan. Mas Galih pulang bareng denganku, dia melarangku untuk naik taksi. Karena kupikir dia akan tetap tinggal di restoran menemani atau masih ingin mengobrol dengan Dilla. Sedangkan Dilla juga pulang, katanya akan dijemput oleh pacarnya. Sama sekali tidak penting bagiku, kami pulang lebih dulu meninggalkannya sendirian di restoran.“Kita duluan ya, Dil..” pamit mas Galih.“Iya gak apa-apa, Lih..” sahutnya.Wanita itu melempar senyum padaku, tapi aku membalasnya dengan wajah sinis. Sebagai sesama wanita, aku mempunyai firasat, bahwa dia menyukai suamiku.***Tak ada pembicaraan antara aku dan mas Galih saat berada di dalam mobil. Aku lebih banyak diam dan bersikap dingin. Zahra juga sudah tertidur di kursi belakang. Suasana begitu hening, aku hanya bisa menatap jalanan dari jendela mobil.Suamiku pun lebih sering menatap ke depan, fokus menyetir. Seperti tak ada niat untuk menghib
Setelah bersenda gurau dan menghibur Zahra, gadis kecil nan cantik itu tertidur, kelelahan bermain dengan mas Galih.Suamiku itu memang penyayang dan lembut, pada anak orang lain saja dia sayang apalagi nanti jika mempunyai anak sendiri.Entah kenapa aku teringat, saat dia berlaku kasar padaku hanya demi Winda. Saat itu mas Galih mungkin tidak ingin melakukan hal itu padaku, tapi semua karena pengaruh makhluk fasik yang menganggu.Setelah meletakkan Zahra di kamar, aku kembali ke ruang tengah dan mengobrol banyak hal dengan suamiku itu. Seketika semua prahara dalam rumah tanggaku terlupakan. Aku berharap tak ada lagi gangguan, baik itu dari makhluk kasat mata maupun tak kasat mata.“Kamu belum selesai datang bulannya, Mur?” tanya mas Galih, aku paham kemana arah pembicaraan ini nantinya.“Belum, mas. Kayaknya besok. Kenapa?” tanyaku pura-pura.“Mau buat Galih junior lah!” candanya.Tak bisa terungkapkan betapa bahagianya aku saat ini. setelah keromantisan suamiku kembali, dia juga leb
Zahra seperti orang dewasa yang menangis dalam tenang, senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya saat bertatapan dengan ibunya di panggilan video. Sementara Nadya sampai tak bisa berkata apa-apa sangking terharunya, akhirnya bisa menghubungi putri kesayangannya. Meskipun aku tak tahu, masalah apa sebelumnya yang membuat dia tidak bisa menghubungi Zahra dan menjemputnya segera.Setelah reda rasa sesak di dada, Nadya mengatakan bahwa dia akan menjemput Zahra besok pagi. Aku mengangguk lemah. Mana mungkin aku larang dia, walaupun aku keberatan jika Zahra harus diambil, tapi aku tidak punyak hak.Zahra, gadis kecil yang baik hati ini akan diambil ibunya. Dan aku akan merasa sangat kesepian lagi. Entah kenapa ada rasa perih dihatiku, aku sudah sangat menyayangi Zahra, aku dan mas Galih sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Berkali-kali aku menyeka air mata yang tak mau berhenti menetes.“Baiklah, Nad. Zahra juga sudah sangat merindukan kamu, datanglah jika memang sudah saatnya,” ucapku
“Jadi ini kita mau antar Dilla pulang atau gimana, Mas? Zahra udah ngantuk tuh, kasian!” ucapku ketus. Padahal aku yang mulai tak nyaman karna ada Dilla bersama kami.“Dia ikut aja sama kita, gimana?” kata Mas Galih.“Gak, Mas! Aku maunya kita menghabiskan waktu hanya bertiga saja dengan Zahra, besok dia sudah dijemput Nadya, Mas!” aku protes. Kesal sekali kalau Dilla harus ikut.Kulihat ke belakang, Zahra sudah tertidur di pangkuan Dilla. Sedangkan wajah Dilla sama sekali tak menunjukkan rasa sungkan.“Liat tuh, Zahra sudah tidur. Kelamaan nunggu sih!” aku menggerutu kesal.“Dia keliatannya nyaman sama aku,” ucap Dilla seraya membelai rambut Zahra. Aku menoleh ke belakang, melihat senyuman licik tersungging dari bibirnya.Aku sudah berfirasat sejak awal kalau ini hanya akal-akalan Dilla saja supaya bisa mengganggu keharmonisan kami.“Udah gak apa-apa, itung-itung buat jagain Zahra,” kata Mas Galih sambil menggenggam tanganku.Aku mendengus kesal, tak bisa lagi menolak.Sekitar tiga p
Lima belas menit kemudian kami tiba di kebun binatang. Semoga sesuai janjinya, bahwa wanita berambut panjang itu hanya menunggu kami di mobil.“Kamu yakin disini aja?” tanya Mas Galih.Aku meliriknya dengan tatapan tajam, ngapain pakai ditanya segala. Yang ada nanti dia berubah pikiran.“Yakin, Lih. Tapi aku mau ke toilet dulu deh, abis itu balik ke mobil lagi,” ujarnya.Alah modus lagi kan, aku sudah yakin dia akan mencari cara untuk menganggu kami dengan cara yang halus.Mas Galih mengangguk. Zahra sudah merengek tidak sabar. Dia menarik tangan suamiku untuk segera masuk ke dalam kebun binatang.“Papa Lih.. ayo cepatan.. Zahra pengen liat jerapah..” rengeknya.“Oke, Papa Lih beli tiketnya dulu ya, sayang..” kata mas Galih lembut.Brak.Pintu mobil di tutup Dilla, saat akan beranjak beberapa langkah dari mobil, Dilla keseleo oleh sepatu hak tingginya, sehingga Mas Galih refleks memeluknya. Persis ala-ala drama korea, saling tatap beberapa detik lalu tersadar. Aku mendengus kesal, sem
“Dill.. minta maaf banget.. kamu pulang duluan aja ya. Kita tungguin sampai kamu dapet taksi,” kata Mas Galih akhirnya.Aku tersenyum puas, Dilla tampak mencebikan bibirnya.“Tapi aku takut banget, Lih..” lirihnya.“Kita bakalan tungguin kamu sampe dapat taksi, aman. Untuk sementara HP kamu matiin aja, biar dia gak bisa lacak lokasi kamu,” saran Mas Galih.“Ya udah, makasih!”Brak! Dilla keluar dari mobil dan membanting pintu dengan keras. Dia berjalan menghentaka kakinya.“Lah? Ngapa dia marah-marah?” kekehku.“Liat tuh, Mur! Gara-gara kamu, dia ngambek,” ucap mas Galih.“Loh, kok jadi aku yang disalahin, Mas?”“Kamu tuh kayak anak-anak, tau! Cemburu-cemburu gak jelas.” Mas Galih terkekeh.“Jadi aku cemburu sama suami sendiri itu salah?”“Udah lah, ayo kita lanjut jalan! Debat sama kamu gak ada ujungnya. Aku udah laper,” mas Galih tertawa kecil, lalu melajukan mobil.***Setelah makan siang, kami lanjutkan ke taman bermain. Akhirnya tidak ada lagi penganggu. Aku dan mas Galih meneman
“Mama.. ada apa? Bukannya Mama lagi di kampung?” tanyaku saat kulihat wajahnya seperti singa yang siap menerkam mangsanya.Ekspresi itu membuat Zahra ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuhku.“Galih mana?” Mama bertanya dengan penuh emosi. Entah apa yang membuatnya semarah itu, masih pagi pula.“Sudah berangkat ke restoran, Ma.” Aku menjawab dengan tenang.“Ya sudah, Mama pergi dulu! Mama gak ada keperluan sama kamu!” Wanita tua itu membalik badan, meninggalkan rumah. Aku mengernyit bingung. Ada apa Mama datang sepagi ini sambil marah-marah, padahal katanya sedang pulang ke kampung halaman.Lima menit setelah Mama mertuaku pergi, datang sebuah mobil memasuki halaman rumahku. Aku dan Zahra mendongak, memastikan siapa yang datang, berharap itu Nadya, orang yang kami tunggu. Kulirik jam yang melingkar ditangan kiriku, sudah tepat jam sepuluh.Aku tersenyum saat Nadya dan seorang gadis muda turun. Zahra masih belum bereaksi, mungkin karena Nadya menggunakan cadar.“Assalamu’alaikum…
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do