Share

DASAR RUBAH!

Author: DEAR GREEN
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Lima belas menit kemudian kami tiba di kebun binatang. Semoga sesuai janjinya, bahwa wanita berambut panjang itu hanya menunggu kami di mobil.

“Kamu yakin disini aja?” tanya Mas Galih.

Aku meliriknya dengan tatapan tajam, ngapain pakai ditanya segala. Yang ada nanti dia berubah pikiran.

“Yakin, Lih. Tapi aku mau ke toilet dulu deh, abis itu balik ke mobil lagi,” ujarnya.

Alah modus lagi kan, aku sudah yakin dia akan mencari cara untuk menganggu kami dengan cara yang halus.

Mas Galih mengangguk. Zahra sudah merengek tidak sabar. Dia menarik tangan suamiku untuk segera masuk ke dalam kebun binatang.

“Papa Lih.. ayo cepatan.. Zahra pengen liat jerapah..” rengeknya.

“Oke, Papa Lih beli tiketnya dulu ya, sayang..” kata mas Galih lembut.

Brak.

Pintu mobil di tutup Dilla, saat akan beranjak beberapa langkah dari mobil, Dilla keseleo oleh sepatu hak tingginya, sehingga Mas Galih refleks memeluknya. Persis ala-ala drama korea, saling tatap beberapa detik lalu tersadar. Aku mendengus kesal, sem
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • TAK INGIN BERCERAI   MAMA DATANG

    “Dill.. minta maaf banget.. kamu pulang duluan aja ya. Kita tungguin sampai kamu dapet taksi,” kata Mas Galih akhirnya.Aku tersenyum puas, Dilla tampak mencebikan bibirnya.“Tapi aku takut banget, Lih..” lirihnya.“Kita bakalan tungguin kamu sampe dapat taksi, aman. Untuk sementara HP kamu matiin aja, biar dia gak bisa lacak lokasi kamu,” saran Mas Galih.“Ya udah, makasih!”Brak! Dilla keluar dari mobil dan membanting pintu dengan keras. Dia berjalan menghentaka kakinya.“Lah? Ngapa dia marah-marah?” kekehku.“Liat tuh, Mur! Gara-gara kamu, dia ngambek,” ucap mas Galih.“Loh, kok jadi aku yang disalahin, Mas?”“Kamu tuh kayak anak-anak, tau! Cemburu-cemburu gak jelas.” Mas Galih terkekeh.“Jadi aku cemburu sama suami sendiri itu salah?”“Udah lah, ayo kita lanjut jalan! Debat sama kamu gak ada ujungnya. Aku udah laper,” mas Galih tertawa kecil, lalu melajukan mobil.***Setelah makan siang, kami lanjutkan ke taman bermain. Akhirnya tidak ada lagi penganggu. Aku dan mas Galih meneman

  • TAK INGIN BERCERAI   KEPULANGAN ZAHRA

    “Mama.. ada apa? Bukannya Mama lagi di kampung?” tanyaku saat kulihat wajahnya seperti singa yang siap menerkam mangsanya.Ekspresi itu membuat Zahra ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuhku.“Galih mana?” Mama bertanya dengan penuh emosi. Entah apa yang membuatnya semarah itu, masih pagi pula.“Sudah berangkat ke restoran, Ma.” Aku menjawab dengan tenang.“Ya sudah, Mama pergi dulu! Mama gak ada keperluan sama kamu!” Wanita tua itu membalik badan, meninggalkan rumah. Aku mengernyit bingung. Ada apa Mama datang sepagi ini sambil marah-marah, padahal katanya sedang pulang ke kampung halaman.Lima menit setelah Mama mertuaku pergi, datang sebuah mobil memasuki halaman rumahku. Aku dan Zahra mendongak, memastikan siapa yang datang, berharap itu Nadya, orang yang kami tunggu. Kulirik jam yang melingkar ditangan kiriku, sudah tepat jam sepuluh.Aku tersenyum saat Nadya dan seorang gadis muda turun. Zahra masih belum bereaksi, mungkin karena Nadya menggunakan cadar.“Assalamu’alaikum…

  • TAK INGIN BERCERAI   IBU NGEDROP

    “Ya Allah, Ibu…” ucapanku terpotong, saat mendengar suara kakak iparku, Kak Nita, berteriak memanggil nama ibu.Aku tersentak mendengar suara kak Nita.“Halo.. halo! Ibu.. Kak Nita…” aku terus memanggil.Namun tak ada yang menjawab, suara beberapa orang mulai terdengar. Aku khawatir, segera kumatikan telepon dan bergegas pergi ke rumah ibu.Kuambil motor di garasi, yang sudah berdebu karena jarang kugunakan semenjak aku berhenti bekerja.“Ya Allah, Ibu.. apa yang terjadi..” meskipun dalam keadaan cemas, aku harus tetap tenang mengendarai motor agar sampai di rumah Ibu dengan selamat.Empat puluh lima menit menempuh perjalanan, akhirnya aku sampai di rumah Ibu.Suasana rumah sepi, padahal tadi aku mendengar suara ramai orang terdengar panik.“Bu.. Murti datang! Bapak…!” aku berteriak dari luar.“Murti…” sambut Kak Nita saat membuka pintu.“Ibu mana, kak?” masuk tanpa disuruh.“Ibu sedang istirahat, Mur. Duduk sini!” titah kakak iparku itu.“Ibu kenapa, kak? Sakit? Tadi kenapa suaranya

  • TAK INGIN BERCERAI   MENABRAK PEJALAN KAKI

    Setelah menghibur ibu, memasak dan membersihkan rumah ibu, aku pamit pulang. Ibu juga sudah jauh lebih baik setelah mendengar penjelasan dariku, dan minum obat.Aku harus meluruskan masalah ini pada mertuaku. Jangan terus menganggap aku istri yang diam. Aku tak peduli, siapa pun itu yang membuat ibuku bersedih sampai jatuh sakit, tidak akan kumaafkan.Aku menelepn Mas Galih setelah sampai di rumah. Menanyakan dimana keberadaan Mama.“Ada apa tanya Mama, Mur?” mas Galih tampak cemas, apalagi mendengar suara napasku yang memburu, emosi.“Aku mau ketemu Mama, Mas. Ada yang mau aku omongin,” ucapku.“Mama sudah pulang ke rumah, katanya Papa baru pulang dari luar kota,” jelas mas Galih.Baguslah, kalau ada Papa. Sekalian saja aku ungkapkan supaya Papa mertuaku itu tahu bagaimana sikap istrinya kepada keluargaku. Papa Mas Galih sangat menghormati keluargaku, dia pasti kecewa dengan tindakan istrinya.“Kamu dimana? Aku mau ke rumah Mama,” ucapku.“Masih di rumah sakit, Mur. Nengokin Dilla.

  • TAK INGIN BERCERAI   MENDADAK JADI PENITIPAN ANAK

    “Mbak, saya antar ke klink ya, saya khawatir.. mbaknya lagi hamil. Maafkan saya tadi tidak sengaja,” ucapku menyesal.Dia tidak menjawab, hanya tangannya melambai tanda menolak.“Tapi, Mbak…”Aku terus memaksa karena khawatir dengan keadaannya. Tadi aku menabrak kakinya sehingga di tersungkur.Aku mengambil motor dan mengejar wanita itu yang setengah berlari di trotar.“Mbak, jangan lari. Bahaya buat anak dalam kandungan Mbak!” aku sedikit berteriak, khawatir.Tiba-tiba dia terjatuh, sambil memegang perutnya. Aku berlari menghamiprinya kembali.“Mbak, saya panggilin ambulance ya!” ucapku panik.Dia menggeleng dan terus menunduk.‘Apa wanita ini bisu?’ pikirku.Saat itu, tak sengaja angin berhembus kencang sehingga menyingkap kain selendangnya. Dia mendongak karena kaget. Aku terbelalak ketika mengetahui siapa wanita itu.“Winda?”Dia buru-buru berdiri dengan susah payah sambil memegang perutnya.“Winda.. ayo saya antar ke rumah sakit atau klinik, kamu pasti sangat kesakitan!”Meskipun

  • TAK INGIN BERCERAI   MUDAH LULUH

    Winda mengangguk, mengerti. Semoga saja aku bisa secepatnya hamil. Aku tidak ingin berurusan lagi dengan Winda. Meskipun aku sudah memaafkannya, tapi kenangan buruk tentangnya belum bisa kulupakan.Hari sudah semakin sore. Aku pamit pulang. Tapi sebelum itu, aku menelepon Pak Dodi untuk menemani Winda. Sudah dua panggilan, namun pak Dodi masih belum mau menjawab teleponku. Lalu aku mengiriminya pesan.[Pak, angkat dulu! Ini tentang Winda!] Tulisku.Setelah dia membaca pesanku, aku meneleponnya kembali."Pak, tolong jaga Winda. Saya tak sengaja bertemu dengannya di jalan, dia mencoba mencelakai dirinya sendiri agar bayi dalam kandungannya meninggal. Sekarang dia sedang dirawat di klinik Sehati, di jln. Purnama." Aku menjelaskan cepat saat telepon tersambung."Baiklah.." hanya itu jawaban dari Pak Dodi."Pak Dod.. saya harap Pak Dodi mau mengerti keadaan Winda. Dia tidak boleh stress dan banyak pikiran. Kandungannya sudah besar, Pak. Bayi dalam kandungannya itu sudah bernyawa. Jangan j

  • TAK INGIN BERCERAI   MENEMUI DOKTER OBGYN

    Aku membalas ucapan Mas Galih dengan senyuman. Betapa mudahnya hati ini luluh jika sudah melihat senyum manis yang terukir di wajah suamiku yang tampan itu.Selesai makan malam dan sholat isya berjama'ah di dalam kamar, kami melanjutkan kegiatan ibadah yang berpahala besar dan nikmat pula.Mas Galih seakan tidak memberiku ampun. Dia terus meminta melakukannya sampai tiga kali. Setelah melakukan ibadah suami istri sampai pukul dua dini hari, kami berdua tertidur karena kelelahan.Aku bahkan melupakan rasa lelahku setelah seharian kesana kamari. Ke rumah Ibu, lalu ke rumah Mama, sampai ke klinik mengantar Winda.Niatnya aku ingin mengadu pada Mas Galih atas perbuatan Mama pada Ibuku, tapi suamiku keburu menggoda sehingga aku lupa semua permasalahan yang menimpaku hari ini.Dan untuk masalah Winda, aku memang sengaja tidak ingin memberitahunya. Karena aku tidak ingin Mas Galih mengingat wanita yang pernah mengusik hatinya.*** Kumandang adzan subuh membangunkanku. Kulihat Mas Galih mas

  • TAK INGIN BERCERAI   RASA PENASARAN

    "Duduk diam disini saja, Mas! Jangan kepo sama urusan orang!" Ujarku."Tapi..." mas Galih terlihat ragu, lantas duduk kembali.Bersamaan dengan itu, dokter Cyndi masuk. Dia tersenyum dan mengangguk satu kali. Aku dan Mas Galih membalas anggukannya, menyambutnya dengan senyum ramah."Selamat pagi.. maaf ya sudah menunggu," ucap dokter Cyndi seraya duduk di kursi kerjanya."Silahkan duduk disini!" Dokter Cyndi menyeru untuk duduk di kursi komsultasi di hadapannya.Sebelumnya, Mas Galih ternyata sudah menceritakan semua permasalahannya pada dokyer Cyndi. Jadi sekarang kami tidak banyak menjelaskan apa pun dan langsung pada tahap pemeriksaan.Setelah tiga puluh menit proses pemeriksaan antara aku dan Mas Galih, dokter cyndi menyimpulkan bahwa kami berdua dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Tidak ada masalah pada sistem reproduksi kami berdua, hanya tinggal menunggu proses yang sedang berjalan saja. Apalagi saat ini, aku dalam kondisi masa subur dan baru saja melakukan hubungan suami i

Latest chapter

  • TAK INGIN BERCERAI   DIUJUNG TAKDIR (TAMAT)

    Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si

  • TAK INGIN BERCERAI   PUBER?

    Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa

  • TAK INGIN BERCERAI   KEMUNCULAN PAPA

    “Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”

  • TAK INGIN BERCERAI   BUKAN MAHRAM

    “Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe

  • TAK INGIN BERCERAI   IKHLAS

    “Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau

  • TAK INGIN BERCERAI   MEMBELIKAN RUMAH

    Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan

  • TAK INGIN BERCERAI   MENJALANI PERAN

    Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib

  • TAK INGIN BERCERAI   BAYIKU

    “Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa

  • TAK INGIN BERCERAI   PEMERIKSAAN

    “Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do

DMCA.com Protection Status