Aku membalas ucapan Mas Galih dengan senyuman. Betapa mudahnya hati ini luluh jika sudah melihat senyum manis yang terukir di wajah suamiku yang tampan itu.Selesai makan malam dan sholat isya berjama'ah di dalam kamar, kami melanjutkan kegiatan ibadah yang berpahala besar dan nikmat pula.Mas Galih seakan tidak memberiku ampun. Dia terus meminta melakukannya sampai tiga kali. Setelah melakukan ibadah suami istri sampai pukul dua dini hari, kami berdua tertidur karena kelelahan.Aku bahkan melupakan rasa lelahku setelah seharian kesana kamari. Ke rumah Ibu, lalu ke rumah Mama, sampai ke klinik mengantar Winda.Niatnya aku ingin mengadu pada Mas Galih atas perbuatan Mama pada Ibuku, tapi suamiku keburu menggoda sehingga aku lupa semua permasalahan yang menimpaku hari ini.Dan untuk masalah Winda, aku memang sengaja tidak ingin memberitahunya. Karena aku tidak ingin Mas Galih mengingat wanita yang pernah mengusik hatinya.*** Kumandang adzan subuh membangunkanku. Kulihat Mas Galih mas
"Duduk diam disini saja, Mas! Jangan kepo sama urusan orang!" Ujarku."Tapi..." mas Galih terlihat ragu, lantas duduk kembali.Bersamaan dengan itu, dokter Cyndi masuk. Dia tersenyum dan mengangguk satu kali. Aku dan Mas Galih membalas anggukannya, menyambutnya dengan senyum ramah."Selamat pagi.. maaf ya sudah menunggu," ucap dokter Cyndi seraya duduk di kursi kerjanya."Silahkan duduk disini!" Dokter Cyndi menyeru untuk duduk di kursi komsultasi di hadapannya.Sebelumnya, Mas Galih ternyata sudah menceritakan semua permasalahannya pada dokyer Cyndi. Jadi sekarang kami tidak banyak menjelaskan apa pun dan langsung pada tahap pemeriksaan.Setelah tiga puluh menit proses pemeriksaan antara aku dan Mas Galih, dokter cyndi menyimpulkan bahwa kami berdua dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Tidak ada masalah pada sistem reproduksi kami berdua, hanya tinggal menunggu proses yang sedang berjalan saja. Apalagi saat ini, aku dalam kondisi masa subur dan baru saja melakukan hubungan suami i
Pantas saja dia ingin mengantarkanku pulang, ternyata ingin memastikan aku benar-benar pulang. Kamu salah, Mas. Aku juga kembali kesini karena ingin tahu keadaan Winda.Mas Galih mulai memasuki rumah sakit, aku mengikutinya di balakang sambil mengendap-endap. "Ah, kenapa aku harus mengendap-endap, apa yang salah? Emang kenapa kalau ketahuan?" Aku bergumam seorang diri, bingung.Mas Galih pun berjalan pelan, dia terlihat ragu dan bingung mau kemana. Sepertinya dia kembali ke ruang dokter Cyndi. Sebelum ruangan dokter Cyndi, ada meja resepsionis untuk pendaftaran, dan ada simpang belok ke kanan, sepertinya itu ruang bersalin.Aku berjalan terus di belakangnya, sudah jelas bahwa dia akan melihat Winda. Dia pasti sangat penasaran. Suamiku itu tiba-tiba berbalik badan, refleks aku juga berbalik badan dan pura-pura main HP."Aduh... malah jaraknya deket banget lagi," bisikku.Aku mengintip pelan-pelan sambil memutar kepalaku ke belakang. Ternyata dia sedang bertanya pada seorang suster.
"Kalian berisik!" Pak Dodi membuka pintu, menyembulkan kepalanya, raut wajahnya datar. Tapi tergambar kekesalan disana.Kami semua seketika terdiam."Maaf, Pak. Boleh saya masuk?" Cicitku."Lebih baik kalian pulang saja, kalian berisik! Urusan rumah tangga sebaiknya dibicarakan di rumah, jangan diumbar dimana-mana!" "Kita udah selesai. Saya masuk sebentar ya, ada yang ingin saya bicarakan dengan Winda," ucapku seraya menarik gagang pintu.Mas Galih berjalan mendekat, ingin ikut masuk."Mas tunggu aku diluar aja!" Aku memelototinya. Dia pun menurutiku dan mundur.Aku sungguh tidak ingin dia bertemu dengan Winda lagi, karena bagaimana pun mereka lumayan lama kenal dan pernah berhubungan. Pernah ada rasa sayang dan cinta meski dalam pengaruh jin pengganggu, tapi aku merasa mereka tidak mudah saling melupakan.Masih terbayang dibenakku bagaimana pertama kali aku memergoki mereka berdua yang sedang bermesraan. Mas Galih bersikap kasar padaku demi membela Winda, lalu tak pernah menghirauka
"Mas.. aku gak mau ikut!" Aku menolak tegas seraya melepaskan cengkraman tangan suamiku dengan lembut."Jangan gitu dong, aku gak mau kamu salah sangka lagi..!" Ucapnya memohon."Mas, itu urusan kamu! Lagian kalau aku ikut, pasti aku akan menyaksikan hal yang membuat aku sakit hati lagi nantinya."Suamiku bergeming, dia menarik napas panjang."Gak bakalan, ayo ikut saja!" pintanya, memohon."Tapi, Mas..." aku mengeluh, malas. Aku yakin ini hanya akal-akalan Dilla untuk mendapat perhatian dari suamiku dan Mama mertua.Mas Galih tidak mengindahkan keluhanku. Dia menggenggam erat tangaku sampai ke parkiran. Lalu membukakan pintu untukku, kemudian dia menuju kursi kemudinya sendiri."Kamu kok kayak buru-buru banget? Seneng kedatangan Dilla yang tergila-gila sama kamu, sampai rela keluar dari rumah sakit begitu?" Aku sewot melirik sinis ke Mas Galih yang tengah sibuk memasang sabuk pengaman."Udah, kamu liat aja ntar apa yang bakal aku lakuin. Ini semua untuk membuktikan bahwa aku akan se
Di perjalanan, Mas Galih terus bertanya siapa gadis itu. Kenapa aku bisa mengenalnya, dan apa hubungannya denganku. Aku bingung harus menjawab apa. Tapi akhirnya aku mencoba jujur juga, kami sudah berjanji akan saling terbuka dan jujur satu sama lain."Dia itu... ah sudah lah tak penting untuk dibahas, Mas." Aku tersenyum kecut, nyaliku menciut untuk menjelaskan siapa Intan."Tapi sebaiknya kamu temui dia, Mur. Aku khawatir kalau dia terluka. Kita harus tanggung jawab meskipun dia sudah memaafkan. Setidaknya berikan dia biaya pengobatan." "Baik, Mas." Aku bernapas lega saat Mas Galih tak lagi bertanya tentang Intan. Seharusnya tadi itu kesempatan untukku menemuinya. Semoga ada waktu lain yang tepat."Tapi rasanya aku gak asing dengan wajah itu," gumam suamiku sambil terus berpikir.Aku meliriknya sesekali, dan tetap diam. Ingin mengalihkan pembahasan, tapi tentang apa?"Mas.. kita pulang ke rumah Mama dengan tangan kosong? Gak perlu bawa apa-apa?" ceplosku."Gak usah lah, kita cuma
Mama memanggil kami berdua saat sup buatannya sudah siap. Sementara aku dan Mas Galih masih bermandikan peluh sehabis memadu cinta. Tak pernah kusangka, Mas Galih sengaja memanasi Dilla, demi aku. Aku semakin yakin kalau suamiku sudah sepenuhnya berubah dan menjadi milikku seutuhnya.Tidak ada lagi alasanku untuk mencurigainya maupun meragukannya."Cepetan! Ntar keburu dingin!" Mama mertuaku terus berteriak. Aku dan Mas Galih kocar kacir gak karuan, malu kalau harus keluar dalam keadaan berpeluh seperti ini. Mana napas masih ngos-ngosan."Sebentar, Ma. Ini kita baru selesai senam..!" sahut Mas Galih ngawur."Kok senam sih?" bisikku."Udah cepetan mandi, sana!" "Mana bisa mandi wajib buru-buru, Mas. Cuci muka aja lah, nanti mandi sekalian pas mau ashar aja!" ucapku, lalu berjalan menuju kamar mandi."Senam apaan, sih! Ntar kecapean Murtinya!!!" Kini suara Mama mulai mendekati kamar. Mas Galih seketika masuk ke kamar mandi sambil mendorongku ke dalam."Cepetan!" Aku tak menjawab, hany
"Mur.. udah selesai makan nya?" Suara Mas Galih mengejutkanku. Entah sejak kapan dia berdiri di anak tangga terakhir."U-udah, Mas." Aku tergagap, sedikit takut melihat wajah suamiku yang tampak sangar dan dingin."Ayo pulang!" Ajaknya sambil bergerak menuju pintu keluar."Tapi, Mama..." aku mengkhawatirkan Mama, entah apa yang baru terjadi padanya. Kenapa Mas Galih malah berubah dingin."Mama lagi istirahat, gak mau diganggu," ucap Mas Galih, membalik badan menoleh padaku yang masih terdiam bersama Bi Resti yang masih memegang tumpukan piring."Bi, gak pegel itu tangan megang piring begitu?" Mas Galih beralih pada asisten rumah tangga berbadan gempil itu."Eh, iya.. Bibi ke belakang dulu, Non.. Den." Aku menarik napas kasar, entah kenapa perasaanku tidak enak dengan keadaan Mama. Berjalan gontai menghampiri suamiku, tangannya merentang sebelah hendak merangkulku."Kamu juga harus istirahat!" Mas Galih merangkulku sampai ke mobil.Ingin rasanya ku bertanya tentang keadaan Mama, tapi
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do