Share

18. PERANG TELAH DATANG

last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-27 09:58:52

Panah-panah tersebut dengan cepat menghujani Bayu. Bayu dengan segala sisa kemampuannya mencoba menghindar sambil sesekali memekik antara ketakutan, panik, mengumpulkan keberanian, dan meminta pertolongan. Ada beberapa yang sempat menyerempet bagian tubuhnya, namun tak sampai membunuhnya.

Bayu dengan penuh kesakitan berlari sambil terus memegangi panah yang menancap tubuhnya ke arah pintu. Ia berlari dengan gontai sambil memanggil Sandanu, Jumara, Rukmana, Sutha, bahkan siapa saja yang diharapnya mampu mendengarnya. Di tengah derita itu, ia sempat mendengar derap kaki panik mendekatinya. Sandanu memeluk tubuhnya dengan kepanikan. Di belakangnya ada Jumara, Sutha dan Rukmana dengan raut wajah tak kalah cemas.

“Panggil pengawal segera!!!” pekik Sandanu dengan cemas. Ia memeluk tubuh Bayu yang basah kuyup dengan darah.

Sutha segera berlari ke luar menemui pengawal yang nampaknya tak menyadari ada kejadian ini di kamar Bayu.

“Jumara, bawa Rukmana ke tempa

Ryandhika Rahman

Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih

| Sukai
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   19. GERBANG PERLINDUNGAN

    Bayu terbangun dengan keringat mengucur deras dari dahinya. Ia seperti baru saja melakukan pertarungan yang begitu keras. Untuk beberapa saat ia merasa panadangannya nanar, semua yang ditangkap oleh kornea matanya hanya berupa visualisasi buram. Ia seperti melihat bayangan banyak benda pada air yang sedang bergejolak, perlahan dan perlahan sehingga kembali normal. Hal pertama yang ia sadari adalah ia merasakan nyeri yang begitu dalam pada sisi di bawah tulang iganya. Ia mengeluh tertahan. Kemudian ia menoleh ke sisi kananya, seorang perempuan tua sedang mengupas apel di situ. “Jangan terlalu banyak bergerak, Nak. Akan membuat lukamu semakin membesar...” ucap perempuan itu sambil terus mengupas apelnya. “Apa yang terjadi sebenarnya...?” Bayu berusaha mengumpulkan memorinya. “Kau terluka parah, hampir mati, dan sejak tadi malam kau terus-terusan mengerang kesakitan sambil memejamkan mata. Kau membuat murid-muridku, para perawat pemula itu menjadi panik.

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-29
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   20. TAWANAN YANG KABUR

    “Kita akan aman di sini, Nak...” kata Ibunda Ratu itu menenangkan Bayu yang tampak pucat semenjak perjalanan tadi. “Belum pernah ada pasukan yang bisa menembus ruang bawah tanah kerajaan Danta.” sambungnya lagi sambil memanggil seorang pelayan. “Kau ingin anggur?” tawar perempuan simpatik itu kepada Bayu. Bayu menggeleng cepat. “Permentasi anggur ini akan menghangatkan tubuhmu dan tidak akan membahayakan lukamu...” Bayu sejenak memandang luka di bawah tulang iganya yang kini dibalut perban tebal. “Maaf, Paduka, bukan bermaksud lancang, tapi saya tak biasa minum anggur.” “Pelayan...” ibunda Ratu itu tersenyum mengerti, “Bawakan Bayu minuman hangat, selain anggur” “Terima kasih, Paduka..” Bayu menunduk hormat. Bayu lalu memandang ke sekeliling ruangan itu, mencoba mencari sesuatu. “Mencari siapa?” tanya ibunda sang Ratu. “Paman Sandanu, Bibi Jumara, dan teman-teman saya, Paduka...” “Mereka ak

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-30
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   21. MENYUSURI MAUT

    Bayu perlahan berlari menuju area pertempuran, ia mencoba mengingat tiap jalan yang sempat dilaluinya menuju ruang bawah tanah tadi. Sayup sayup di dengarnya suara pedang beradu, teriakan, dan asap mengepul. Ia menyadari ia semakin dekat dengan tujuannya. Meski rasa gugup berpacu cepat dalam dadanya. Ia terus menyusuri jalan itu, berlindung di setiap tumbuhan, pohon, dinding yang ia temui. Tangannya memegang pedang yang berhasil ia curi dari salah satu pengawal di ruang bawah tanah, meski tidak begitu ringan, namun ia berusaha senyaman mungkin untuk membawanya. Ia tahu suatu saat dalam kondisi seperti ini pedang ini harus dapat ia gunakan. Bayu merasa beruntung pernah menjadi pencopet selama beberapa tahun. Ternyata pengalamannya itu berguna untuk mencuri sebilah pedang prajurit dan menyusup dalam diam meninggalkan ruang persembunyian itu. Tak ada satupun yang memperhatikannya saat itu. Namun kali ini ia harus lebih hati-hati. Apa yang akan dihadapinya mungkin akan l

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-01
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   22. Panglima Perang Pembawa Tombak

    “Paman Sandanu?” Bayu terpekik kaget “Mengapa kau di sini, Bayu? Tempat ini berbahaya!” Sandanu mencoba membantu Bayu berdiri. “Di mana yang lain?” Bayu tak menghirauan pertanyaan cemas dari Sandanu. “Mereka aman! Mereka dilindungi oleh Patih Tarkas! Kau sendiri sedang apa di sini?” “Mencari kalian! Aku ingin tahu keadaan kalian!” Bayu memegangi luka yang masih mengucurkan darah di bahunya. “Kau sudah menemukan jawabannya!” sahut Sandanu cepat, “Sekarang ikut aku, kau harus menyelamatkan diri!” Sandanu lalu berusaha membantu Bayu berjalan. Di tengah perjalanan mereka masih sempat dihadang oleh beberapa prajurit musuh yang tampaknya tidak akan dengan sukarela memberikan mereka jalan. Mau tak mau Bayu kembali dengan sisa-sisa tenaganya mengayunkan pedang memberikan serangan pada prajurit-prajurit haus darah itu. Namun kondisinya yang terluka parah dan kemampuan terbatasnya dalam menggunakan pedang membuat serangan Bayu tak berarti apa-ap

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-03
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   23. TOMBAK YANG BERAPI

    Di lain sisi, Bayu masih meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari cekikkan panglima itu. Nafasnya sudah hampir habis, matanya nanar. Sementara panglima itu menyeringai penuh kesenangan menikmati kematian Bayu yang tampaknya sebentar lagi akan datang. Namun Bayu masih belum menyerah, perlahan tangannya yang masih menggenggam pedang panglima itu bergerak, dan dengan spontan menghunjam di mata orang kejam itu. Orang besar itu menjerit, merasakan sakit, ia terhuyung-huyung ke belakang. Dan melepaskan bayu dari cekikkannya. Bayu terjatuh ke tanah. Sejenak ia terduduk lesu sambil terbatuk-batuk. Ia melirik panglima itu yang masih meronta kesakitan sambil menutup sebelah matanya yang masih tertancap pedang. Bayu sadar, bahwa pertarungan ini harus diselesaikan. Ia mencari-cari senjata untuk menghabisi panglima itu. Matanya tertuju pada tombak berapi yang tergeletak di tanah. Apinya masih belum padam, masih sebesar ketika pertama kali menusuk lengan Sandanu. Dengan terseok-

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-05
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   24. KAU SELALU TAHU, RATUKU

    Negeri Danta, dua hari setelah perang.... Ayunda melihat kembali dengan samar adegan ketika perlahan pasukan Adighana bergerak mundur ketika Dirga dengan gagah mengangkat sebuah benda mirip kepala yang tertancap di ujung pedangnya. Penglihatan itu berulang-ulang datang dalam pandangannya, juga teriakan-teriakan prajuritnya. “Ayunda, anakku....” Ia kini mendengar suara ibunya berbisik pelan di antara suara teriakan para prajuritnya di medan perang. Ia melihat kembali adegan kemunduran pasukan Adighana, ia merasakan kembali ketika darah yang mengucur dari bibirnya terasa hangat. Ia terpejam. “Ayunda, Nak...” Kembali bisikkan ibunya mampu ditangkapnya dari teriakan pasukannya. “Paduka akan baik-baik saja...” Ayunda menangkap suara lain di antara adegan yang terhampar di pandangannya dan dentingan pedang yang beradu. Ia merasa pandangannya kini lebih jelas melihat kemunduran pasukan Ad

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-06
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   25. PENYELAMAT SI PEMBUNUH

    Bayu lalu kembali masuk ke dalam rumah. Ia berkeliling rumah tersebut. Ada beberapa ruangan besar, dapur, tiga pendopo, dan lima kamar di dalam rumah tersebut, hanya satu yang terbuka, yaitu kamar yang ia tempati, sedangkan sisanya terkunci rapat. Lantai rumah tersebut tampaknya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding dan langi-langitnya, dari kayu yang kuat dan mahal. Cukup menjelaskan bahwa rumah itu dimiliki oleh seorang bangsawan, Mahapatih tepatnya seperti yang dijelaskan oleh pengawal tadi. Bayu berjalan ke pekarangan belakang rumah itu. Ada beberapa kandang burung yang tampaknya menjadi hewan peliharaan sang Mahapatih, Bayu sendiri tak tahu jenis burung apa yang terdapat di sana, yang jelas ia berpikir bahwa mereka merupakan hewan yang mahal. Selain itu di samping rumah juga ada 3 ekor kuda yang masing-masing berwarna cokelat, kuda-kuda tersebut tampak sehat dengan setumpuk rumput yang ditaroh di kandang mereka sebagai santapan segar. Tak jauh dari situ ad

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-09
  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   26. PANGERAN ADOPSI

    Bayu menunduk, ia mengakui dalam hati bahwa apa yang dikatakan oleh Cadudasa itu benar adanya. “Maafkan saya, Gusti..” lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulut remaja itu. “Simpan kata maafmu itu untuk hal-hal yang lebih mendesakmu suatu hari nanti. Tapi tidak saat ini. Karena tak perlu jawaban. Kau punya sesuatu yang lebih layak dari kata maaf. Kau hanya perlu memastikan bahwa tanah itu cukup kuat untuk menahan pijakanmu, dan langkah kakimu mengarah pada jalan yang tepat. Hanya itu” Bayu mencengkeram jari-jari tangannya sendiri. Kalimat yang diucapkan Cadudasa seperti butiran salju yang turun dengan lantang tepat di sanubarinya. Ia terlalu takut dengan apa yang belum pasti dihadapinya, Cadudasa benar. Ia hanya perlu memastikan bahwa ia berada di posisi yang tepat untuk berpijak. “Jangan jadi orang yang suka cemas, Bayu. Itu akan melemahkan pijakanmu. Jangan mencari kekhawatiran. Sikapmu sejauh ini, adalah sikap seorang yang tak memiliki dua tangan,

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-10

Bab terbaru

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   113. ESTUNGKARA

    Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   112. TRISULA DI BIBIR PANTAI

    Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   111. MIMPI DARI TAHTA YANG DIRAMPAS

    Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   110. DERMAGA PERJALANAN

    Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   109. JALAN PARA PEJUANG

    Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   108. HUTAN PADANG SEBAT

    Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   107. PUSAKA SENGKETA

    “HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   106. MEMANCING MURKA

    Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se

  • Syair Singgasana 1 : Prahara Di Balik Kabut   105. DINASTI YANG TERKUBUR

    “Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s

DMCA.com Protection Status