Di lain sisi, Bayu masih meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari cekikkan panglima itu. Nafasnya sudah hampir habis, matanya nanar. Sementara panglima itu menyeringai penuh kesenangan menikmati kematian Bayu yang tampaknya sebentar lagi akan datang. Namun Bayu masih belum menyerah, perlahan tangannya yang masih menggenggam pedang panglima itu bergerak, dan dengan spontan menghunjam di mata orang kejam itu.
Orang besar itu menjerit, merasakan sakit, ia terhuyung-huyung ke belakang. Dan melepaskan bayu dari cekikkannya. Bayu terjatuh ke tanah. Sejenak ia terduduk lesu sambil terbatuk-batuk. Ia melirik panglima itu yang masih meronta kesakitan sambil menutup sebelah matanya yang masih tertancap pedang.
Bayu sadar, bahwa pertarungan ini harus diselesaikan. Ia mencari-cari senjata untuk menghabisi panglima itu. Matanya tertuju pada tombak berapi yang tergeletak di tanah. Apinya masih belum padam, masih sebesar ketika pertama kali menusuk lengan Sandanu. Dengan terseok-
Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan duania kepenulisan lokal. Terima kasih
Negeri Danta, dua hari setelah perang.... Ayunda melihat kembali dengan samar adegan ketika perlahan pasukan Adighana bergerak mundur ketika Dirga dengan gagah mengangkat sebuah benda mirip kepala yang tertancap di ujung pedangnya. Penglihatan itu berulang-ulang datang dalam pandangannya, juga teriakan-teriakan prajuritnya. “Ayunda, anakku....” Ia kini mendengar suara ibunya berbisik pelan di antara suara teriakan para prajuritnya di medan perang. Ia melihat kembali adegan kemunduran pasukan Adighana, ia merasakan kembali ketika darah yang mengucur dari bibirnya terasa hangat. Ia terpejam. “Ayunda, Nak...” Kembali bisikkan ibunya mampu ditangkapnya dari teriakan pasukannya. “Paduka akan baik-baik saja...” Ayunda menangkap suara lain di antara adegan yang terhampar di pandangannya dan dentingan pedang yang beradu. Ia merasa pandangannya kini lebih jelas melihat kemunduran pasukan Ad
Bayu lalu kembali masuk ke dalam rumah. Ia berkeliling rumah tersebut. Ada beberapa ruangan besar, dapur, tiga pendopo, dan lima kamar di dalam rumah tersebut, hanya satu yang terbuka, yaitu kamar yang ia tempati, sedangkan sisanya terkunci rapat. Lantai rumah tersebut tampaknya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding dan langi-langitnya, dari kayu yang kuat dan mahal. Cukup menjelaskan bahwa rumah itu dimiliki oleh seorang bangsawan, Mahapatih tepatnya seperti yang dijelaskan oleh pengawal tadi. Bayu berjalan ke pekarangan belakang rumah itu. Ada beberapa kandang burung yang tampaknya menjadi hewan peliharaan sang Mahapatih, Bayu sendiri tak tahu jenis burung apa yang terdapat di sana, yang jelas ia berpikir bahwa mereka merupakan hewan yang mahal. Selain itu di samping rumah juga ada 3 ekor kuda yang masing-masing berwarna cokelat, kuda-kuda tersebut tampak sehat dengan setumpuk rumput yang ditaroh di kandang mereka sebagai santapan segar. Tak jauh dari situ ad
Bayu menunduk, ia mengakui dalam hati bahwa apa yang dikatakan oleh Cadudasa itu benar adanya. “Maafkan saya, Gusti..” lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulut remaja itu. “Simpan kata maafmu itu untuk hal-hal yang lebih mendesakmu suatu hari nanti. Tapi tidak saat ini. Karena tak perlu jawaban. Kau punya sesuatu yang lebih layak dari kata maaf. Kau hanya perlu memastikan bahwa tanah itu cukup kuat untuk menahan pijakanmu, dan langkah kakimu mengarah pada jalan yang tepat. Hanya itu” Bayu mencengkeram jari-jari tangannya sendiri. Kalimat yang diucapkan Cadudasa seperti butiran salju yang turun dengan lantang tepat di sanubarinya. Ia terlalu takut dengan apa yang belum pasti dihadapinya, Cadudasa benar. Ia hanya perlu memastikan bahwa ia berada di posisi yang tepat untuk berpijak. “Jangan jadi orang yang suka cemas, Bayu. Itu akan melemahkan pijakanmu. Jangan mencari kekhawatiran. Sikapmu sejauh ini, adalah sikap seorang yang tak memiliki dua tangan,
Cadudasa semakin tak mengerti dengan sikap Bayu yang tak mau menaiki kuda. Baginya kuda adalah sahabat manusia, anak ingusan saja sudah mampu menaiki kuda. “Apa hewan ini begitu menakutkan bagimu?” Cadudasa mengelus-elus kuda cokelat itu, kuda itu menyambutnya dengan ringkikan manja. “Tidak sama sekali, Gusti. Saya hanya...... hanya merasa nyaman jika berjalan kaki. Mungkin saya perlu olahraga..” Bayu berkilah “Olahraga? Kau tak punya niat segigih itu, jarak istana dengan tempat ini memakan waktu cukup lama, itu juga perjalanan dengan berkuda.” “Ya. Bukankan itu berarti lebih bagus. Saya akan lebih sehat, bukan?” Bayu tersenyum dibuat-buat. “Jika kau pikir bocah seusiamu bisa membodohi orang setua aku. Maka kau akan melihat istana akan dipenuhi para remaja sepertimu..” Bayu perlahan menjauhi kuda itu, dalam raut wajahnya yang dibikin sesantai mungkin ia berusaha mencari alasan yang tepat agar tak dipaksa mengendarai kuda itu. Namun, ta
Cadudasa membawa Bayu memasuki gerbang istana. Seumur-umur baru kali ini Bayu memasuki gerbang istana yang sesungguhnya. Ketika di negeri Danta, ia tak pernah melihat istana secara langsung. Ia hanya berada di komplek rumah para pejabat istana. Cukup mewah, tapi yang ia lihat kali ini ratusan kali lebih mewah. Istana itu besar sekali, dengan pondasi yang sangat kuat. Dijaga oleh ratusan prajurit dengan persenjataan lengkap. Para prajurit yang gagah berpakaian seragam berwarna kuning menyala dengan ikat kepala berwarna serupa menambah gagah kerajaan Adighana. Tepat di titik tengah halaman depan istana, berkibar sebuah bendera berukuran sedang bergambar singa dengan warna merah keemasan, yang tampaknya menjadi simbol negeri adidaya ini. Begitu tiba di pintu istana, mereka disambut oleh dua pengawal berbadan tegap yang langsung memberi hormat dan lantas mengantar mereka ke ruang utama istana. Ruang utama istana ternyata tak berada di bangunan depan, melainkan harus mema
Ayunda sengaja mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya untuk membicarakan beberapa hal bukan di balairung istana, melainkan di pekarangan belakang istananya yang luas. Tempat itu memang dikhususkan hanya untuk Ratu dan para keluarganya bersantai. Hari itu ia berada di sana bersama kedua orang tuanya, Patih Tarkas, Dirga, Gama, dan Tadana. Dengan disaksikan beberapa gelas minuman mewah kerajaan, Sang Ratu yang jelita itu meminta agar diceritakan apa yang terjadi sebenarnya dengan perang beberapa waktu lalu. “Kita tahu, itu bukanlah perang terbesar yang pernah kita lalui, tapi lawan kita adalah Adighana, salah satu kerajaan yang paling besar yang pernah ada di dunia di balik kabut. Dan kita memenangkannya. Setidaknya kita berhasil memukul mundur mereka.” “Tapi bagaimana caranya?” Ayunda masih tak mengerti. Ia memandang pada Patih Tarkas. “Dirga berhasil memenggal leher Pemimpin mereka, Panglima perang mereka. dari kabar yang aku dengar, namanya adala
Malam itu sesosok berjubah hitam dengan penutup kepala dan cadar tampak mengendap-endap di atap istana kerajaan Danta. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggang kirinya. Ia berjalan dengan cekatan dan hati-hati sehingga tak sedikitpun bunyi deretakkan atap terinjak muncul dari sana. Ia sedikit menunduk ketika dua orang pengawal melintas di bawahnya sedang berpatroli. Pengawal tersebut tampanya tak memperhatikan ke atap, sehingga ia terus berjalan menjalankan patrolinya. Sosok bercadar itu kembali melanjutkan aksinya, dengan sigap ia melompat ke tembok tinggi yang berjarak sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri. Sosok ini mendarat di sana dengan keseimbangan tubuh yang mengagumkan. Sejenak ia merunduk, mengawasi penjaga tembok yang ternyata gerbang istana itu. Ada empat penjaga yang sedang bertugas di sana. Ia tak mungkin turun, hal itu tentu akan membuat para penjaga tertarik. Ia lalu memutar otak, dilihatnya sebatang pohon rimbun sekitar beberapa meter dari pos penjag
“Bagaimana Paduka begitu yakin bahwa Pusaka Gajahsora akan bisa ditemukan..?” “Harus yakin. Kalau tidak yakin, kekuatan apalagi yang bisa saya andalkan...” Ayunda berusaha mengikat rambutnya yang terurai, “Lagipua Ampu sendiri yang menyatakan dalam surat rahasia itu kalau Ampu mendapat penerawangan mengenai keberadaan kalung itu.” Sang Ampu agak berpikir sejenak. “Bagaimana...?” “Saya sendiri tidak begitu yakin, hanya saja saya merasa Pusaka Gajahsora ada di suatu tempat..” “Di mana itu?” “Saya tidak bisa memastikannya, Paduka. Tempat itu seperti terlindungi oleh suatu kekuatan yang begitu besar.” “Ganendra Aryasathya?” tanya Ayunda begitu antusias. “Entahlah.” Ampu itu menggeleng, “Lagi pula Ganendra Aryasathya telah meninggal, kan?” “Saya tidak yakin, ia telah meninggal. Entah mengapa...” Ayunda lebih terkesan berbicara pada dirinya sendiri ketika mengucapkan kalimat itu. “Saya juga tak yakin, Paduka...” Mereka terdiam agak lama.
Gua kawah berapi malam itu diserbu hujan. Agak aneh mengingat selama berbulan-bulan terakhir tak ada satupun tetes hujan yang sedia mampir di area gunung kecil dengan kawah api dan gurun pasir luas itu. Apalagi hujan yang datang kali ini cukup deras disertai deru angin yang cukup liar. Debu-debu dari gurun pasir berterbangan menuju entah. Area pepohonan tak jauh dari sana juga memamerkan liukan mengerikan tanda angin tak main-main mengutus serdadunya. Air telaga di area sana juga beriak riuh. Cuaca seolah ingin mengabarkan bahwa dirinya sedang tak baik-baik saja. Di dalam gua kawah berapi itu, obor-obor penopang cahaya yang menempel di dinding gua nampak terseok seok mempertahankan diri dari sapuan angin yang juga masuk ke sana. Meski suara hujan tak sampai menganggu heningnya suasana gua yang semakin ke dalam semakin luas itu, namun desir angin yang tak biasa itu sudah cukup membuat rambut putih si pertapa tua penjaga gua yang sedang khusyuk dengan semedinya bergoyang lembut. Kain
Sandanu yang terluka parah mencoba berjalan meski dengan terseok-seok ke arah pantai. Wajahnya belepotan pasir, debu, darah, dan air mata yang setengah mengering. Bajunya compang camping, robek sana sini seperti baru saja diserang serigala. Ia berjalan dengan susah payah sembari menahan sakit dan perih yang menyerang hampir seluruh bagian tubuhnya. Ada nyeri dan pedih yang ia sendiri tak tahu di bagian mana tepatnya, saking banyaknya rasa itu menggerogoti tubuhnya. Namun ia tetap berusaha menggapai pantai, ia hanya ingin menemukan air, meski ia tak yakin umurnya akan lebih panjang hanya karena hal itu. Dengan segala upaya akhirnya ia mencapai tepi pantai, ombak-ombak kecil langsung menerpa tubuh kurusnya, menyapu jenggot dan rambut kotornya dengan lembut. Sandanu memejamkan mata lalu mencoba meminum air laut yang asin itu, ia tak peduli lagi dengan rasanya. Rasa sakit saja sudah ia tahan berminggu-minggu ini, apalagi hanya rasa asin. Setelah cukup puas meminum air laut itu, ia lal
Sore mulai beranjak pergi digantikan oleh petang yang menebarkan siluet jingga. Burung-burung di sekitar penginapan berkicau sembari terbang meninggalkan arena bermainnya dan kembali ke peraduannya. Langit jingga pun perlahan tergeser oleh cahaya biru menghitam yang kian lama kian mengambil alih tugas. Bersama rembulan dan para pasukan bintangnya, utusan alam itu membuat suasana di sekitar penginapan semakin senyap. Hanya terdengar sesekali suara ombak bergumul dari dermaga yang tak jauh dari tempat itu, namun tak mengganggu, bahkan menambah lelap bagi para penghuni penginapan yang kelelahan. Seperti halnya yang ditempati Ayunda dan Bayu, hanya diterangi lilin yang temaram. Bayu tertidur pulas di lantai dengan selimut seadanya. Sedangkan Ayunda berbaring di atas kasur utama sambil memandangi liukan cahaya lilin yang memancarkan lidah-lidah api. Ayunda mendekatkan telapak tangannya pada lidah api itu, mencoba menyamakan hangat yang akan dirasakannya di tangan dan hangat yang sedari be
Kapal itu sudah hampir mencapai daratan ketika Bayu untuk kesekian kalinya mengeluh pusing di kepalanya. Ombak dan sapuan gelombang beberapa hari terakhir membuat benda apapun yang berada di permukaan laut. Malangnya kapal yang membawa Bayu dan Ayunda menyebrang dari pulau Candramawa ke Lalawangan Muara Dipa di negeri Tirtayana itu berukuran jauh lebih kecil dari kapal yang membawa mereka ke Pulau Candramawa beberapa hari lalu, dan hal itu membuat Bayu semakin pusing karena terjangan ombak yang tak begitu sempurna ditahan oleh kapal ini hingga menimbulkan goyangan yang membuat isi perutnya seolah meledak. Namun Bayu dan Ayunda tak dapat memilih, kapal ini adalah satu-satunya kapal yang mau menampung mereka keluar dari pulau kucing itu. Jarang sekali ada kapal yang mau berlabuh di pulau Candramawa kecuali ada sesuatu yang mendesak, itulah sebabnya Bayu dan Ayunda akhirnya memilih kapal itu. itupun setelah mereka membayar dengan harga yang cukup tinggi bagi nakhoda kapal itu. “Kau men
Patih Tarkas dan Guwabarong segera keluar tenda untuk memastikan apa yang terjadi, dan alangkah kagetnya mereka ketika suasana perkemahan itu sudah kocar-kacir dengan pembakaran dan pembantaian. Mereka melihat ribuan pasukan berkuda dengan gila membantai pasukan mereka, dari pakaian dan panji-panjinya, pasukan itu adalah pasukan Argani. Patih Tarkas menoleh pada Guwabarong, tak menyangka jika rencana penyerangan mereka diketahui oleh pasukan Argani. “Guwabarong! Ayo cabut pedangmu, kita hadapi sambutan mendadak ini!” Setelah mengucapkan kalimat lantang itu, Patih Tarkas lantas mencabut pedangnya dan menghambur ke medan perang diiringi lengkingan marah sambil menebas lawan yang coba menghadang. Ia mengamuk dan terlihat sekali kehebatan orang tua itu dari caranya menghadapi lawan-lawannya yang jauh lebih muda. Satu persatu lawannya roboh berlumuran darah, kepala yang bocor, usus yang terburai, bagian tubuh yang terpotong, semuanya oleh amukan Tarkas dan pedang besarnya. Namun kondisi
Derap kaki kuda berpacu begitu rapi malam itu. Menembus pekatnya suasana malam yang senyap dengan dendang sinar rembulan yang menyerebak melampiaskan cahayanya menembus sela-sela pohon yang berjejer tak beraturan di hutan itu. Kian lama ribuan pasukan gagah itu semakin dekat, dan semakin nampak. Pasukan berkuda dengan seragam keprajuritan berwarna biru dengan panji yang berkibar berlambang gading gajah itu memasuki area Hutan Padang Sebat setelah berjam-jam menempuh perjalanan dengan medan cukup berat. Hutan Padang Sebat adalah hutan lebat nan luas yang berbatasan langsung dengan Dusun Padang Sebat, Dusun Padang Sebat sendiri adalah desa terdekat dengan Pintu Gerbang Lalawangan Waringkas. Dan seperti yang telah dijanjikan oleh Patih Tarkas, pimpinan mereka, mereka akan beristirahat di hutan itu sambil mengatur strategi dan melanjutkan perjalanan subuh besoknya. Mereka memperlambat kudanya sebelum kemudian berhenti setelah menerima komando dari Guwabarong yang bertugas mendampingi Pat
“HEY, SANDANU!” Tiba-tiba Bayu telah bangkit dengan tangan mengepal, wajah merah, dan mata yang begitu menakutkan. Ia tampak sangat marah. Badannya terasa begitu tegap dari biasanya, darah dari beberapa bagian tubuhnya yang terluka kini tak begitu banyak lagi menetes, termasuk luka robek di perutnya yang kini hanya menetes-netes kecil seolah tak dihiraukan pemuda yang tengah dikuasai amarah luar biasa. Sandanu menghentikan tindakannya pada Ayunda, lalu menatap Bayu dengan senyum sumringah, seolah menantang kemarahan anak muda itu. “JIKA KAU BERANI MENYENTUHNYA, MAKA AKU AKAN MENGGILA....” suara Bayu seolah begitu menggelegar menyimpan kemarahan yang tiada tara. Ayunda yang sebelumnya pernah menyaksikan hal ini, agak takut sambil beringsut memperbaiki pakaiannya yang agak robek karena perbuatan Sandanu. Ayunda merasakan jika kemarahan Bayu kali ini jauh lebih besar dari yang pernah dilihatnya di Lembah Bernawa. Sandanu perlahan bangkit sambil memasang kuda-kuda dengan menggenggam e
Duel yang jika dilihat dari sisi jumlah benar-benar tak seimbang itu ternyata sama sekali tak berpengaruh banyak terhadap fakta di arena pertarungan, Sandanu masih terlalu tangguh untuk Bayu dan Ayunda meskipun mereka telah bersama-sama menyerangnya. Jarang sekali ada pukulan atau tendangan yang bersarang di tubuhnya, jika ada itupun tak begitu mempengaruhi kecepatan dan ketahanan tubuhnya. Sementara itu Ayunda dan Bayu tampak sudah begitu kelelahan menghadapi Sandanu yang begitu kuat dan sepertinya bukan tandingan mereka. Namun mereka tetap berusaha bertahan dan melakukan serangan dengan sisa tenaga mereka, namun yang terjadi malah hal yang sama sekali tak diinginkan oleh mereka, Ayunda terlempar dan hampir saja terjatuh dari bukit itu jika tak berpegangan pada salah satu bongkahan yang agak mampu menahannya akibat tendangan bertubi-tubi dari Sandanu. Bayu menoleh ke arah Ayunda yang terlempar dengan roman khawatir, untungnya perempuan itu masih bisa menyelamatkan dirinya sendiri se
“Paman Sandanu...” gumam Bayu hampir tak percaya menatap pria berjubah lusuh di depannya itu. Pria itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah sambil memainkan kalung Gajahsora yang tergenggam di tangan kanannya. Pria itu memang Sandanu, namun dengan wajah dan senyum yang lebih keji. Seolah jauh berbeda dengan pria yang begitu baik pada Bayu empat tahun yang lalu. “Paman, apa maksudnya ini?” cecar pemuda itu dengan nada yang sangat tak menyenangkan. Sementara Ayunda hanya terdiam, ia sendiri juga tak menyangka jika Sandanu adalah pelakunya. Namun Ayunda merasa jika apa yang ditanyakan Bayu sendiri sudah mewakili keingin tahuannya. “Aku tak ingin membuat kalian kecewa, Bayu..” jawab Sandanu datar dengan senyum sinisnya, “tapi sejauh ini aku telah menjalankan tugasku dengan baik dan semua akan lebih baik jika akhir dari pertemuan kita ini memihak padaku..” “Apa maksudmu?” Bayu semakin tak mengerti. “Paduka Ratu Ayunda mungkin bisa menjelaskan...” Sandanu menunjuk Ayunda. Bayu tentu s