Ainsley kembali terdiam. Bukankah Dixon tahu pasti jawabannya? Mengapa dia masih saja bertanya? "Aku memang tahu jawabannya, Ainsley," celetuk Dixon. Ainsley terkejut mendengar pengakuan Dixon. Apa Dixon tahu apa yang sedang Ainsley pikirkan? "Tapi siapa tahu sekarang jawabannya sudah berbeda, telah berubah," lanjut Dixon. "Tidak berbeda dan tidak akan ada yang berubah," kata Ainsley. "Aku hanya ingin mengucapakan terima kasih saja. Dan aku sudah mengucapkannya. sekarang aku akan matikan teleponnya," lanjut Ainsley. "Tunggu dulu, Ainsley." "Ada apa lagi?" "Selamat malam, Ainsley," kata Dixon terdengar begitu manis. Diam-diam Ainsley melebarkan senyum. Hati kecilnya ingin sekali membalas ucapan selamat malam dari Dixon, tetapi logikanya menyururhnya untuk tidak mengatakan apa pun. "Sekarang kau boleh tutup teleponnya," kata Dixon lagi. "Hm." Dengan secepat kilat Ainsley memutus sambungan teleponnya. Dan setelah itu Ainsley bernapas lega, seolah ia baru saja lolos dari kejaran
Ainsley jadi sangat ingin tahu tentang kisah cinta orang tuanya, ia sangat penasaran. "Saat itu kakekmu yang memberitahu daddy di mana keberadaan mommy-mu. Saat itu juga daddy ingin menyusul mommy di rumah keluarganya." "Tapi bukankah daddy bertunangan dengan bibi Helena? Apa kalian membatalkan pertunangan kalian juga?" tanya Ainsley cerdas. Freddy terdengar menghela napas berat. Kemudian menggeleng. "Ini adalah keegoisanku. Aku yang memutuskan hubunganku dengan Helena dan membatalkan pertunangan kami, demi mencari Brianna. Aku sangat yakin saat itu Helena keberatan tetapi dia setuju dan mendukungku. Akhirnya aku benar-benar pergi mencari Brianna. Tetapi saat itu Brianna sedang ada pekerjaan di luar kota, jadi aku tidak bertemu dengannya, hanya bertemu keluarganya saja. Tapi aku mengatakan maksud kedatanganku pada Jack—pamanmu." "Tapi bagaimana aku bisa yakin kau serius dengan ucapanmu, sedangkan aku mendapat undangan pernikahan dari Helena?" sela Brianna membalas Freddy. "Undang
Edison menatap Ainsley lekat, menunggu respon gadis itu. Ainsley terdiam cukup lama. Pikirannya melayang-layang di udara. Pikirannya seketika dipebuhi oleh satu orang, yaitu Dixon. Ya, mendengar ciri-ciri yang sibetkan oleh Edison, Ainsley langsung terpikirkan satu nama. Dan tidak mungkin ada Ainsley lain. Pasti Ainsley Luvena Ashton. 'Dia memesan kue, untukku, dalam rangka apa?' Dalam hati Ainsley bertanya-tanya. "Kak Ainsley, mengapa kau diam saja?" desak Edison tak sabar. "Aku tidak tahu, Ed, kenapa kau tidak tanya langsung padanya saja tadi?" tanya Ainsley. "Sudah kutanya. Tapi dia bilang dia tidak harus memberitahuku, dia bilang ini bukan urusanku jadi aku tak perlu tau," jelas Edison. "Kalau memang kau Ainsley yang dia maksud, lebih baik kau jauhi saja dia, Kak," kata Edison lagi. "Kenapa memangnya?" tanya Ainsley mengerutkan kening. "Iya, karena tampangnya seperti badboy. Aku siap melindungimu jika dia berbuat macam-macam padamu, Kak." Ainsley terkekeh. "Baiklah, mohon
"Semoga kau mendengar pesan yang aku titipkan pada orang tuamu, jangan buka kotaknya sebelum membaca tulisan ini," gumam Ainlsey membaca kartu ucapan tersebut. "Jangan buka kotaknya sebelum melewati pukul dua blasas malam kalau tidak nanti bisa-bisa kotak ini meledak," lanjutnya membaca. "Ish, apa-apaan dia, sok misterius!" cibir Ainsley pelan. Lalu Ainsley menengok jam di dinding yang telah menunjukkan pukul 00:11. "Sudah pukul dua belas malam? Sekarang aku bolah buka kotaknya." Aisley melanjutkan membaca tulisan itu dan selesai sampai di sana. Ainsley mengedikkan bahu pelan, namun ia menurut saja dengan apa yang ada di dalam tulisan itu. Ainsley membuka kotak tersebut dan ia menemukan ada kotak kecil di dalam kotak tersebut. Tak lupa sebauh kartu ucapan disematkan di sana juga. "Aku berikan benda berharga milikku ini untukmu. Tapi jangan pernah kau buka jika kau masih tidak mau menerimaku. Simpan saja sampai kau mau membuka hati untukku." Ainsley mengerutkan kening setelah memb
"Kau mendengarnya, Dixon. Aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Ainsley ketus. "Hahaha ... ya, aku mendengarnya. Hanya saja aku tidak percaya aku aka mengundangku di hari spesialmu itu," tutur Dixon. "Hanya untuk balas budi saja," kata Ainsley datar. "Benar begitukah?" Dixon menautkan alis. "Memangnya apa lagi? Jangan terlalu memandang tinggi dirimu, Dixon!" "Bukankah aku memang tinggi?" balas Dixon mencoba bergurau. Ainsley mencebik kesal. "Lagi pula bukan hanya kau saja yang di undang. Emily dan Luke juga akan diundang," kata Ainsley mempertegas bahwa itu bhkan undangan spesial untuk Dixon. "Hmm, sepertinya aku memang telah memandang tinggi diriku sendiri," celetuk Dixon. "Ehem, besok kita akan uji coba produk kita, bukan?" Ainsley segera mengganti topik karena ia mulai merasa canggung.. "Ya, kau boleh membawa kenalanmu jika kau mau," balas Dixon. "Tidak. Sebaiknya harus benar-benar orang lain agar tidak terjadi kesalahpahaman atau semacamnya. Jika orang yang melakukan u
"Dixon, kau mengagetkan paman." "Ah, maafkan aku, Paman. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Tadi aku mau mengetuk pintu tapi ternyata pintunya sudah terbuka," jelas Dixon. Freddy mengangguk-angguk paham. Kemudian Freddy beralih menatap pitrinya. "Ainsley, apa kau mau berangkat bersama Dixon?" tanya Freddy. "Dad, aku—" "Kalau kau keberatan kau boleh menolak, aku tidak akan memaksa," kata Dixon menyela. Ainsley menghela napas pelan. "Aku akan berangkat bersamamu," kata Ainsley cepat. Brianna tak kuasa untuk menyembunyikan senyumannya. Ia tersenyum begitu lebar. "Freddy, ayo kita berangkat sekarang," kata Brianna cepat sebelum Ainsley berubah pikiran. "Baik, ayo!" balas Freddy menggandeng tangan sang istri. "Dixon, kau hati-hati memyetir," lanjutnya. "Baik, Paman." Dixon mengangguk. "Ayo kita juga berangkat," ajak Dixon. Ainsley hanya menganggukkan kepalanya pelan. Dixon mengulurkan tangannya untuk menggandeng tangan Ainsely, dan dengan malu-malu Ainsley mengulurkan tangannya.
Ainsley menatap Dixon sesaat kemudian menggeleng. "Tidak. Aku tidak berminat," kata Ainsley lalu mengambil duduk di kursi panjang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dixon menyusul dan duduk di sisi Ainsley. "Mau cokelat?" tanya Dixon menawari coklat yang diayunkan di depan Ainsley. "Tidak, terima kasih." "Kau sengaja menolak semua yang aku tawarkan, huh?" tanya Dixon. Ainsley mengangkat bahu acuh. Dixon membuka bungkusan cokelat itu lalu dengan sengaja ia menyuapkan cokelat itu pada Ainsley. "Emm ... emm ... Dixon, apa yang kau—" "Buka saja mulutmu, atau cokelat ini akan mengotori permukaan bibirmu," kata Dixon memaksa. Dengan kesal dan terpaksa, Ainsley membuka mulutnya dan cokelat itu masuk ke dalam mulutnya. "Kata orang makan cokelat bisa membuat kita tenang. Apa kau lebih tenang sekarang?" tanya Dixon. "Aku akan jauh lebih tenang jika kau pergi dari sini," kata Ainsley ketus, namun Dixon tak menganggapnya serius. Biar bagaimana pun Dixon merasa ada yang sudah berubah d
"Sebaiknya Anda turun, Tuan," kata salah seorang yang turun dari mobil yang menghadang. "Freddy, kau tahu siapa dia?" tanya Brianna menyelidik. "Aku tidak tahu. Kau di sini saja, biar aku yang turun," kata Freddy terdengar seperti perintah. Brianna menghela napas berat. "Hindari hal-hal yang berbahaya, Freddy. Bicarakan saja baik-baik apa pun yang terjadi," pinta Brianna. "Aku mengerti," balas Freddy kemudian turun dari mobil. Brianna terlihat cemas. Sudah lama sekali mereka tidak mengalami masalah yang mengharuskan mereka untuk bertarung, terutama setelah kelahiran Ainsley. Itu berarti sudah sekitar dua puluh tahun. Tetapi sekarang terjadi lagi. Brianna pikir zaman sekarang dunia bisnis sudah bersih, tidak ada penyerangan seperti ini, namun kapan pun zamannya, perselisihan tidak bisa dihindari. Brianna terus memperhatikan suaminya dari dalam mobil. Tak hanya itu saja, Brianna pun memperhatikan orang-orang yang menghadang mereka. Brianna menjadi pengamat. Takut-takut mereka atau
Seorang gadis termenung sendiri di depan cermin. Wajah ayunya dihiasi air mata yang membasahi pipinya. Paras yang berseri itu tampak tersirat kesedihan, atau entah itu perasaan haru. Dia tengah mengingat masa-masa yang telah berlalu. Dia sama sekali tidak menyangka hari ini akan tiba, hari yang akan menjadi hari berbahagianya. Ia tidak percaya bahwa orang yang ia pikir sangat ia benci ternyata hari ini akan menikahinya. Hari ini ia akan melepas masa lajangnya dan setelah hari ini statusnya akan berubah. Gadis itu mengangkat tangannya dan menggerakkan jemarinya untuk menghapus air matanya yang jatuh semakin deras. Puk! Sepasang tangan menepuk bahu gadis itu pelan sambil menatap gambaran diri yang terpantul pada cermin. "Aku tidak percaya aku sudah dewasa, Mom, aku masih ingat saat aku menangis meminta dibelikan permen kapas tapi daddy melarang," ujar gadis itu yang tak lain adalah Ainsley. Seorang yang dipanggil mommy itu tersenyum hangat. "Putri mommy memang sudah dewasa, dan dia
Dua minggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari waktu terus berputar. Tanpa disadari hari demi hari telah terlewati. Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu. DE BRIGHTENING akhirnya akan launching produk barunya. Di ballroom sudah dipadati para tamu undangan yang begitu banyak. Kali ini dua perusahaan Emperor dan Dynamit menggelar acara dengan sangat meriah. Lebih meriah berkali-kali lipat dibandingkan saat launcing produk mereka pertama kalinya. Pelaksaan acara hari ini berbeda dengan saat itu. Selain acaranya yang lebih meriah, kali ini juga tersedia banyak hadiah berisi paket DE BRIGHTENING yang lengkap untuk para tamu yang beruntung dan tentunya para tamu yang ikut berpartisipasi memeriahkan acara. "Kita semua bisa lihat penampilan facial wash yang resmi keluar hari ini, sangat cantik, bukan?" seorang narator tengah memandu acara saat ini, yang akan menjelaskan tentang produk-produk yang baru saja mereka luncurkan. "Hanya ada satu varian facial wash?" tanya salah s
Jalanan yang mulai lengang membuat Ainsley berani menaikkan kecepetan berkendaranya. Namun tiba-tiba ia terpaksa harus menghentikan laju mobilnya karena sebuah mobil berhenti di tengah jalan, menghalangi jalan yang akan Ainsley lewati. Ainsley membunyikan klakson berkali-kali namun beberapa orang di sana tak ada yang bereaksi.. "Sial! Apa mereka semua tuli? Apa yang mereka lakukan di sana? Jika mobil mereka mogok kenapa tidak memanggil montir saja? Haih ... aku tidak boleh tertahan di sini," gerutu Ainsley pelan. Ainsley memutuskan untuk turun dari mobilnya dan segera menghampiri mereka. "Maaf, apa yang terjadi pada mobil kalian? Kenapa berhenti sembarangan dan menghalangi jalan?" tanya Ainsley berusaha untuk sopan. Empat orang laki-laki itu berbalik badan dan menatap nyalang ke arah Ainsley bersamaan. "Maaf, jika mobil kalian mogok dan butuh montir aku bisa panggilkan montir untuk kalian, tapi bisakah kalian menepikan mobilnya dulu, aku harus pergi sekarang," lanjut Ainsley. "K
"Secara keseluruhan kau sudah menguasai semuanya, Ainsley. Apalagi dalam menembak kau sangat jago. Sebentar lagi aku akan memberikan ujian padamu dan jika kau mampu bertahan maka kau bisa dinyatakan lulus," ujar Alex. "Sebenarnya lulus atau tidak itu hanya formalitas saja, yang terpenting kau sudah menguasai tekniknya. Kau hanya harus berani menerapkannya di medan pertarungan," sambung Brandon. "Aku sangat senang bisa berlatih disini, bisa dilatih oleh kalian. Tetima kasih atas segala hal yang sudah kalian ajarkan padaku. Aku akan siap menjalani ujiannya, kapan pun itu. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengecewakan kalian. Kalian sudah bekerja keras jadi aku juga harus bekerja keras," ujar Ainsley serius. "Kau siap untuk ujian?" tanya Alex mengulang pertanyaan. "Aku siap!" balas Ainsley mantap. "Meskipun itu mendadak?" tanya Alex lagi. "Ya, itu tidak masalah." "Bagus. Aku suka semangatmu, Ainsley," puji Brandon. "Oh ya, hari ini kebetulan aku ada acara, jadi kau bisa pulang l
Iklan untuk promosi sudah disebarluaskan di internet. Banyak sekali warganet yang berkomentar positif. Mereka sangat penasaran pada produk baru DE BRIGHTENING setelah keluarnya body wash dan body lotion yang sangat fantastis itu. "Aku senang mereka memberikan respon positif. Ini membuat kita bisa semakin semangat dan maju, benar?" kata Ainsley sebagai pembuka percakapan. Tadinya Ainsley ingin berkumpul dengan rekan-rekannya sebentar saja, tapi karena mendapati komentar-komentar warganet yang menunjukkan ketidak sabarannya terhadap produk baru mereka, Ainsley jadi lupa pada rasa lelahnya. "Benar, aku jadi semakin tidak sabar ingin segera meluncurkan produk kita secepatnya," sambung Emily bersemangat. "Sepertinya kita perlu mengadakan perayaan untuk pencapaian kita," imbuh Luke. "Tidak, janga dulu. Kita belum mencapai apa-apa. Kita bahkan belum meluncurkan produknya," lanjut Dixon. "Hanya makan-makan saja, Dixon. Lagipula mumpung Ainsley ada di sini, kan? Jarang-jarang Ainsley bisa
"Selamat pagi," sapa Ainsley datang ke meja makan. "Pagi, Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?" balas Freddy bertanya. "Aku baik, Dad." "Kau sepertinya semakin kurus, Ainsley, ayo makanlah yang banyak," sambung Brianna. "Oh ya? Aku sama sekali tidak kurus, Mom, itu pasti hanya perasaanmu saja," jawab Ainsley. "Pokoknya kau harus makan yang banyak. Ini, mommy ambilkan. Kau butuh banyak nutrisi untuk latihan, jadi kau juga harus makan yang banyak, jangan pikirkan tentang diet," kata Brianna menasehati. "Iya, Mommy sayang. Memangnya siapa pula yang diet? Dan kapan aku pernah diet?" "Tapi kau selalu makan sedikit. Sekarang kau tidak boleh makan sedikit, apalagi hanya makan buah saja." "Kau sedang menasehati dirimu sendiri, Brianna?" sela Freddy menggoda. "Apa?" "Hahaha ... ya begitulah saat kau muda. Kau bisa lihat dirimu dalam diri putri kita," celetuk Freddy. "Tapi mommy benar, kau memang harus makan yang banyak, Ainsley," lanjut Freddy lagi. "Iya iya, Dad. Aku akan habiskan i
"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh merindukan kekasihku sendiri?" kata Dixon menggoda. Ainsley tersipu malu. "Tentu saja boleh, aku pun merindukanmu," balas Ainsley. "Sial! Kenapa kalian bermesraan di depan kami?" Brandon menggerutu kesal. "Kau masih belum memiliki kekasih? Aku pikir kau mengejar Rose teman satu tim camp-mu," celetuk Dixon. "Jangan bahas itu lagi. Kau seperti tidak tahu bagaimana dan siapa Rose saja. Akan aku hadiahi villa mewah untuk siapa pun yang berhasil memiliki Rose," kata Brandon sedikit sinis. Pasalnya Rose orang yang sangat cuek dan sangat sulit didekati. Selama lima tahun berada di satu tim yang sama, belum pernah sskali pun Brandon mendapatkan perhatian dari Rose. Tidak Brandon, tidak siapa pun. Karena memang begitulah Rose. Dixon tertawa. "Bagaimana kalau aku yang berhasil mendapatkan Rose? Aku tidak ingin hanya mendapatkan villa, aku ingin dihadiahi pulau yang kau miliki itu," celetuk Dixon. "Kau mau itu? Ambil saja. Khusus untukmu aku akan berikan a
"Aku ingin mengusulkan sesuatu untuk produk kita, boleh?" tanya Emily. "Hm, apa?" tanya Dixon tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Bagaimana kalau kita sekaligus mengeluarkan shampoo?" kata Emily. Dixon seketika menghentikan aktivitasnya lalu mengalihkan perhatiannya pada Emily. Begitu pula dengan Luke yang juga mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang tengah ia garap. "Shampoo?" "Iya. Produk yang keluar lebih dulu sudah ada body scrub, untuk melengkapi kebutuhan toiletries kita juga harus meluncurkan shampoo, bukan? Untuk kebutuhan wajah kita meluncurkan facial wash, jadi aku rasa tidak ada salahnya kita luncurkan shampoo juga," tutur Emily. "Bagaimana menurutmu, Dixon? Akan kita luncurkan bersamaan dengan ini atau mungkin kau punya rencana lain?" tanya Luke meminta pendapat Dixon, yang sejatinya adalah orang yang mengepalai proyek tersebut. "Hmm, kalau aku sih setuju-setuju saja. Menurutku bagus juga jika kita mengeluarkan produk shampoo juga. Karena aku sudah memilik
Ainsley sudah selesai mandi sejak belasan menit yang lalu. Kini ia duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu kedatangan Dixon sambil memainkan ponselnya. Ainsley menelpon seseorang yang akan ia ajak kerjasama dalam beberapa waktu ini. "Hallo, Jeremy, maafkan aku mengganggumu malam-malam begini. Aku tahu seharusnya tidak membicarakan soal pekerjaan di luar jam kerja," ujar Ainalsley sudah menyampaikan permintaan maafnya sebelumnya. "It's okay, Ainsley. Aku mengerti kesibukanmu. Tidak perlu sungkan," balas orang bernama Jeremy itu, yang adalah orang dari jasa periklanan. Mereka sudah cukup akrab setelah beberapa kali pertemuan dan juga sering mengobrol via telepon, tentu saja untuk membicarakan pekerjaan. "Jadi, apa yang kau perlukan, Ainsley?" tanya Jeremy. "Hmmm ... begini, Jeremy. Aku ingin kau buatkan iklan yang berisi beberapa clue untuk menarik perhatian calon pelanggan. Buat iklan itu agar ramah di internet dan juga aku ingin kau pasang iklan itu di gedung Emperor," pinta Ainsl