"Tante! Tante! Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!" celoteh Sabrina, putri semata wayang Elfira, istri mendiang Mas Restu sahabat suamiku.
Dadaku berdebar tidak karuan mendengar pengakuan bocah berusia lima tahun itu, dan mendadak rasa curiga memenuhi rongga dada, khawatir kalau Mas Abi diam-diam telah mengkhianati pernikahan kami yang sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun itu."Mama dan Om nggak pake baju?" Aku bertanya seraya menatap wajah polos gadis kecil itu."Iya, Mama sama Om Abi sampai keringetan, katanya capek!" jawabnya lagi, dengan mimik polos selayaknya anak kecil ketika sedang bercerita kepada temannya.Aku memang sering membawa Sabrina pulang ke rumah karena selalu merasa kesepian jika putra kedua dan ketigaku sudah berangkat ke sekolah, sementara Zarina putri sulung kami sudah berumah tangga, bahkan saat ini sedang mengandung anak pertamanya."Apa Mama dan Om Abi sering melakukan itu di rumah Sabrina?" cecarku lagi, walaupun sebenarnya ada yang tercabik-cabik dalam hati.Bocah berusia lima tahun itu hanya mengangguk, lalu menautkan telunjuk di bibir, meminta aku untuk tidak mengatakan kepada siapa pun."Soalnya kata Mama dan Om Abi ini rahasia, dan aku nggak boleh cerita sama orang lain!" katanya lagi."Oke, Tante janji nggak bakal cerita ke siapa pun." Aku berusaha mengulas senyum, walaupun nyatanya air mata lolos begitu saja dari sudut netra.Segera memalingkan wajah, agar Sabrina tidak tahu kalau aku sedang menangis. Ya Allah, apa benar suamiku telah melakukan hal serendah itu dengan Elfira?Hatiku terus bertanya-tanya serta menduga-duga, hingga akhirnya terlintas di pikiran untuk segera menanyakan semuanya ke mereka."Assalamualaikum!"Aku segera menghapus jejak air mata yang telah menganak sungai di pipi ketika mendengar Elfira mengucapkan salam, menjawab salam darinya dan tidak lama kemudian perempuan yang usianya lebih muda dua belas tahun dariku itu berjalan menghampiri lalu menyalami serta mencium punggung tangan ini penuh dengan ketakziman.Melihat mamanya datang Sabrina langsung berlari menghambur ke dalam pelukannya dan bergelayut manja seperti biasanya.Terus kuperhatikan gerak gerik wanita berusia tiga puluh dua tahun di hadapanku, tidak ada yang mencurigakan. Dia terlihat baik juga sopan, bahkan ketika bertemu dengan Mas Abi selalu saja menghindar juga menundukkan pandangan."Kok tumben jam segini Sabrina sudah kamu ambil, Dek?" tanyaku, masih bersikap biasa kepadanya.Aku memanggilnya dengan embel-embel 'dek' sebab sudah menganggap dia seperti adik sendiri, apalagi usia kami juga terpaut lumayan jauh walaupun dari segi fisik maupun wajah tidak terlihat begitu kentara perbedaannya. Aku yang rajin merawat diri masih terlihat sepantaran, bahkan banyak yang mengira kalau usiaku masih tiga puluhan."Iya, Mbak. Soalnya aku capek banget hari ini. Badanku terasa lemas, pusing. Makanya aku pamit pulang cepat ke Mas Abi," jawabnya sambil tersenyum.Memang jika diperhatikan dia terlihat sedikit pucat, tidak sebugar biasanya."Yasudah kalau begitu saya permisi dulu, ya Mbak!" pamit Elfira kemudian, kembali menyalami serta mencium punggung tanganku dengan penuh khidmat lalu menggandeng putrinya keluar.Aku mengekor di belakang mereka, menatap penuh tanda tanya punggung wanita yang sudah dua tahun ini bekerja di restoran milik suami karena saat ini ia menjadi orang tua tunggal dan harus mencukupi kebutuhan Sabrina tanpa mau dikasihani oleh siapa pun."Kamu yakin masih bisa pulang sendiri, Dek?" tanyaku memastikan, karena dia terlihat sempoyongan ketika berjalan."Insyaallah saya tidak apa-apa, Mbak. Mbak Hanin tidak usah khawatir!" Lagi, dia tersenyum kepadaku, memamerkan kedua ceruk di pipinya."Kalau begitu hati-hati di jalan!" Aku melambaikan tangan, lalu membantu Sabrina naik ke atas motor sebab Fira terlihat kepayahan saat mengangkat tubuh putrinya."Ingat, ya Tante. Jangan bilang ke siapa-siapa soal yang tadi, soalnya ini rahasia kita berdua!" bisik Sabrina dengan ekspresi polosnya, tanpa mengetahui bahwa di sini ada hati yang amat terluka mendengar ceritanya.Ingin rasanya aku menanyakan kebenaran dari cerita itu, akan tetapi aku tidak mau bertindak gegabah. Tidak mungkin kan jika memang benar-benar melakukannya mereka akan mengakuinya, bisa jadi malah semakin bermain rapi supaya penghianatan itu tidak terendus olehku.Menutup pintu rumah, ketika melintasi ruang tengah mataku tertuju pada potret yang menggantung di bilik dinding. Terlihat Mas Abi berdiri tegap layaknya seorang pemimpin, menggunakan baju koko berwarna abu-abu serasi dengan gamis yang aku kenakan."Kemarin kan Om Abi main ke rumah aku loh? Kami main petak umpet, tapi Om sama Mama aku ngumpetnya di dalam kamar, ditutup selimut, dan pas aku masuk Om Abi sama Mama lagi nggak pake baju. Seru deh!"Kata-kata Sabrina kembali terngiang di telinga. Aku mengambil oksigen secara perlahan, mencoba melonggarkan dada juga menetralisir degup jantung yang mendadak berdenyut tidak karuan.Rasa gelisah seketika menyelimuti pikiran, khawatir Mas Abi benar-benar melakukan hal yang selama ini tidak pernah terlintas dalam angan, sebab ia adalah sosok panutan, laki-laki salih yang tidak pernah meninggalkan salat lima waktu serta sunahnya.Bahkan sejak kecil, Zarina begitu mengidolakan ayahnya, selalu meminta kepada Sang Pencipta agar diberikan jodoh yang sama persis seperti Mas Abi."Pokoknya Ayah itu pria idaman banget. Saleh, penyayang, setia, makanya aku selalu meminta kepada Allah supaya disisakan satu saja laki-laki seperti beliau!" ucap Zarina, selalu memuji Mas Abi baik di depan maupun di belakang orangnya.Aku selalu mengaminkan doa anakku, sebab yang aku rasa selama ini Mas Abi memang sosok lelaki yang mendekati sempurna, bahkan sudah dua puluh lima tahun lamanya kami hidup bersama tidak pernah sekali pun ia berkata kasar, selalu memperlakukan aku selayaknya ratu sehingga banyak sekali yang merasa iri dengan sikap suamiku itu.Paket komplit, itu yang selalu dikatakan oleh orang-orang, dan aku merasa bangga serta terbuai dengan segala pujian yang terdengar.Hari ini, karena celoteh seorang anak kecil rasa cemas juga was-was mendadak menyelimuti hati yang selama ini tidak pernah sekali pun menaruh prasangka terhadap suami, sebab ia terlalu alim untuk dicurigai.Astaghfirullahaladzim ....Mengucap istighfar sambil mendaratkan bokong perlahan di sofa, mengambil tasbih lalu terus berzikir memohon ketenangan hati kepada Illahi Rabbi. Aku tidak mau terus menerus berprasangka buruk terhadap Mas Abi, karena sepertinya dia bukan laki-laki seperti itu. Jangankan melakukan zina, kepada yang bukan mahramnya saja ia selalu menjaga pandangan, tidak mau mengotori mata dengan menatap yang tidak halal baginya.***Senja perlahan berganti malam. Kedua anakku pun sudah kembali dari sekolah, sementara Mas Abi belum juga menampakkan diri."Bunda kok kelihatan gelisah? Ada apa?" tanya Zafir, anak bungsuku."Nungguin ayah kamu, Dek. Kok tumben jam segini dia belum pulang ya?" sahutku dengan perasaan cemas bercampur was-was."Mungkin restorannya lagi rame, Bun? Apa mau disusul saja? Kalau mau biar saya antar!""Boleh!" Menerbitkan senyuman sambil mengusap rambutnya."Yasudah saya ambil kunci motor dulu, Bunda juga jangan lupa pakai jaket, takut kedinginan di jalan!""Iya, Sayang."Aku lekas masuk ke kamar, mengambil jaket Mas Abi yang tergantung di belakang pintu lalu memakainya dan menghampiri Zafir yang sudah menunggu di halaman.Untung saja si bungsu sudah memiliki Surat Izin Mengemudi jadi kami tidak merasa khawatir jika di jalan bertemu dengan polisi.Restoran terlihat sedikit sepi, bahkan para karyawan tengah sibuk membersihkan tempat usaha kami.Sejak aku dan Mas Abi menikah, kami berdua memang mempunyai usaha restoran ayam bakar, dari mulai jualan di pinggir jalan sampai sekarang sudah dikenal hingga ke kalangan selebritis juga para penulis terkenal di Indonesia.Tentu saja perjalanan kami dalam membangun bisnis ini tidaklah mudah, harus melewati ribuan rintangan terlebih dahulu hingga mendulang kesuksesan seperti sekarang ini."Loh, Bu Hanin? Tumben ke restoran malam-malam?" sapa seorang karyawati, menarikku dari lamunan."Iya, Mbak. Lagi kepingin mampir. Bapak ada?" tanyaku dengan intonasi selembut mungkin."Loh, bukannya Bapak sudah pulang sejak sore tadi ya, Bu?" Jawaban itu cukup membuat diri ini merasa kaget, pasalnya Mas Abi belum sampai rumah hingga saat ini.Astagfirullah ....Lagi-lagi perasaan curiga memenuhi rongga dada, apalagi setelah mendengar cerita dari Sabrina.Ke mana perginya Mas Abi? Apa dia ke rumah Fira?Merogoh tas yang aku bawa, mengambil ponsel lalu berjalan sedikit menjauh dari Zafir, menghubungi nomor Mas Abi dan tidak lama kemudian terdengar suara lembut nan mendayu-dayu suamiku mengucapkan salam."Waalaikumussalam, Ayah ada di mana?" tanyaku, masih berusaha santai."Ayah masih di restoran, Bun. Memangnya kenapa? Tumben Bunda telepon jam segini? Pasti sudah kangen ya?" godanya.Biasanya hati akan berbunga-bunga jika mendengar gombalan dari laki-laki yang menyandang gelar suami itu, namun tidak untuk kali ini. Dadaku terasa panas, seiring dengan air mata yang berlomba-lomba meluncur dari balik kelopak. Aku benar-benar tidak percaya kalau Mas Abi yang terkenal salih serta taat beribadah itu sudah mulai pandai melakukan kebohongan."Kok diem, Bunda? Ada apa, Sayang? Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya lagi."Saya di restoran, dan kata pegawai kita Ayah sudah pulang sejak sore. Saya tahu Ayah sedang berada di mana, jadi tolong pulang sekarang dan kita bicarakan masalah ini di rumah!" Memutus sambungan telepon secara sepihak sampai lupa mengucapkan salam.Mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu besar lalu membuangnya secara perlahan. Lekas menghapus air mata yang terus saja memburai membasahi pipi, mengayunkan kaki menghampiri si bungsu kemudian tersenyum kepadanya.“Ada apa, Bun? Kok muka Bunda kelihatan sembab? Bunda menangis?” Dua bulat bening milik Zafir terus terpantik ke wajah. “Nggak kok, Dek. Mana mungkin Bunda menangis, memangnya Bunda anak kecil?” elakku, tetap berusaha menerbitkan senyuman kepada remaja berusia delapan belas tahun itu.“Tapi mata Bunda kelihatan memerah, wajah Bunda juga sembab?”“Bunda enggak apa-apa. Ayo kita pulang. Ayah kamu katanya sudah sampai di rumah!” Zafir mengangguk patuh lalu memakaikan helm di kepalaku. Dia memang selalu bersikap manis kepadaku, persis seperti Mas Abi. “Pegangan, ya Bun. Soalnya aku paling merasa nyaman kalau dipeluk sama Bunda!” perintahnya, dan aku segera mencubit pinggang jagoanku yang telah beranjak remaja namun masih selalu
“Mas Abi!” panggilku seraya keluar dari persembunyian, membuat mata suami serta perempuan di sebelahnya membelalak hingga hampir lepas dari kelopak.“Bu—nda?” gagap pria itu, segera menjauhkan tangannya yang tengah menggenggam jemari Elfira.“Jadi benar kalau selama ini kalian berdua memiliki hubungan spesial?” Menatap tajam wajah mereka berdua.“Semua tidak seperti yang kamu lihat, Bun. Ayah bisa jelaskan semuanya!” Dia berjalan menghampiri, mencoba meraih tangan ini namun aku segera menepisnya.“Apanya yang mau dijelaskan, Mas. Semua sudah terpampang nyata, kalau kalian berdua telah bermain di belakangku, mengkhianati aku!”“Mbak, aku bisa jelaskan. Aku sama Mas Abi memang tidak memiliki hubungan apa-apa, Mbak. Mbak jangan salah sangka!” Kini wanita perebut suami orang itu ikut bicara.Aku mengangkat satu ujung bibir, sedikit mendongak menahan genangan air mata agar tidak luruh di hadapan mereka. Namun sekuat apa pun diri ini menahan, bulir-bulir bening tersebut tetap merembes melew
"Ini maksudnya apa, Mbak? Hutang? Mas Abi punya banyak hutang?" Tanpa disangka Elfira mengejar hingga ke dapur, menanyakan kebenaran dari apa yang baru saja aku katakan.Aku menoleh sambil tersenyum, lalu menatap wajahnya yang terlihat semakin memucat dengan perasaan tidak karuan.Ingin rasanya menjambak rambutnya, mencakar wajahnya, lalu membanting tubuhnya ke lantai, namun enggan mau melakukan sebab itu termasuk kekerasan. Aku tidak mau menghabiskan banyak waktu di persidangan, apalagi jika harus mendekam di balik jeruji besi karena apa yang telah aku lakukan. Biar tangan Allah saja yang bekerja, dan aku sebagai hamba cukup meminta keadilan atas apa yang sudah Mas Abi dan Elfira lakukan."Kenapa? Kamu nggak nyangka ya kalau Mas Abi punya hutang? Banyak, Dek. Banyak sekali. Nanti juga kamu tahu siapa saja yang bakalan nagih ke dia, karena mulai detik ini saya sudah tidak mau lagi ikut mengurus masalahnya. Pusing kepala saya karena harus membagi penghasilan restoran untuk membayar hut
Tidak ada yang berubah di setiap pagi. Sambil menunggu anak-anak pulang dari musala aku selalu menyiapkan teh hangat juga sarapan untuk semua, lalu berjibaku dengan pekerjaan lainnya karena kebetulan Asisten Rumah Tangga di rumah ini sedang cuti melahirkan.Meskipun dalam hati menyimpan luka begitu dalam aku harus tetap tersenyum, menjalani peran seperti biasa tanpa menunjukkan bahwa saat ini keadaanku sedang tidak baik-baik saja.Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk bercerita, mengungkapkan segalanya kepada anak-anak sebab tidak mungkin selamanya menyimpan luka ini sendiri. Aku tidak akan sanggup."Bun!"Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba sebuah tangan menyentuh lembut bahu ini, menoleh lalu tersenyum saat melihat Zafran anak keduaku."Sudah pulang, Anak Saleh?" tanyaku kemudian, dengan senyum terukir di bibir.Zafran tidak menjawab, dia malah menghambur memelukku.Ah, ada apa ini? "Kenapa, Sayang?" Aku bertanya seraya membelai rambutnya yang sudah sedikit memanjang."Nggak t
"Memangnya berapa hutang Ayah ke kamu, Van?" tanyaku, mengulik informasi dari menantu karena selama ini Mas Abi tidak pernah cerita apa-apa tentang hutangnya."Nggak banyak, Bun. Hanya tiga puluh lima juta, tapi kan Bunda tahu sendiri uang saya sudah habis dipakai untuk renovasi rumah, jadi tabungan saya sudah habis, sisa yang dipinjam Ayah saja karena memang uang tersebut dialokasikan untuk biaya persalinan Zarina!" jawab Revan terdengar sungkan."Yasudah, tolong kamu jaga baik-baik Zarina, sebentar lagi Bunda ke rumah sakit sekalian bawa uangnya!""Baik, Bun. Kalau bisa jangan lama-lama, ya Bun. Soalnya Zarina nanyain Bunda terus.""Iya, Van. Ini Bunda sudah mau siap-siap.""Terima kasih. Sekali lagi saya minta maaf karena sudah merepotkan Bunda."Tidak sama sekali, Sayang.""Assalamualaikum, Bun!"Aku menutup sambungan telepon setelah menjawab salam, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya menahan kesal karena diam-diam Mas Abi meminjam uang kepada menantunya tanpa sepengetahuan darik
Sambil menahan air mata aku memilih pulang ke rumah, ingin menenangkan hati yang terasa begitu sakit luar biasa. Katanya jodoh itu cerminan diri. Tetapi kenapa jodohku ternyata memiliki sifat asli seperti ini? Apa sembah sujudku selama ini tidak diterima, Ya Rabb?Bertahun-tahun lamanya aku selalu berusaha menjadi manusia yang baik serta bertaqwa, menjalankan perintah Allah tanpa ada satu pun yang dilanggar, tidak pernah lalai melakukan ibadah baik yang wajib maupun sunah supaya mendapatkan ketenangan hidup juga jodoh terbaik, namun nyatanya jurang terjal tetap menghalangi kebahagiaan yang aku pikir akan kekal abadi.Apa mungkin cerminku retak sehingga bayangannya tidak sesuai dengan apa yang selalu dilakukan, atau sebenarnya selama ini aku terlalu sombong, terlena dengan kehidupan dunia sampai merasa menjadi orang paling baik juga taat hingga Allah mengirimkan cobaan seberat ini sebagai teguran agar aku mengoreksi diri?Mobil milik Mas Abi sudah terparkir di halaman rumah, menandaka
“Jadi kamu sudah tahu semua, Fran? Kamu tahu kalau ayah kamu selingkuh?” tanyaku sambil menatap tidak percaya wajah anakku.“Kamu nggak usah pura-pura syok, Bunda. Pasti kamu yang kasih tahu dia kan? Kamu sengaja menelanja*gi saya di depan anak-anak supaya saya terlihat buruk di mata mereka!” tuding Mas Abi.Buk!Sebuah tinju mendarat di rahang pria itu, membuat dia terhuyung lalu jatuh terjerembap.“Jangan sakiti Bunda saya, atau Anda akan berurusan dengan saya! Saya sudah tahu semuanya sejak dulu. Saya sering memergoki Anda pergi dan berkencan dengan perempuan lacu* itu, tetapi sengaja diam karena saya tidak mau menyakiti hati Bunda. Saya tidak mau melihat Bunda menangis, tetapi karena sekarang Bunda sudah tahu semua makanya saya pun berani berbicara. Saya tahu Bunda sangat mencintai Anda, begitu menghormati Anda karena menganggap Anda itu laki-laki alim juga sempurna, padahal Anda tidak ubahnya seperti sampah!” maki Zafran panjang lebar, terus menunjuk wajah Mas Abi dengan api amar
“Menikahlah, saya ikhlas, daripada kalian terus menerus melakukan dosa zina.”“Dan ingat satu hal, Mbak. Saya akan melaporkan Zafran ke polisi supaya dia dihukum karena sudah berani menyakiti ayahnya sendiri!” Dia mulai berani mengancam.“Silakan saja, karena saya juga pasti akan melaporkan Adek ke kantor polisi atas kasus perzinaan juga perselingkuhan. Bagaimana?” Aku mengancam balik, lalu melenggang masuk meninggalkan mereka berdua dengan perasaan sakit yang semakin memenuhi rongga dada.Mungkin ini sudah saatnya aku menepi, menjauh dari kehidupan Mas Abi mencari kebahagiaan sendiri.Aku memiliki anak-anak yang begitu menyayangi diriku, dan mereka pasti akan senantiasa menjagaku hingga akhir waktu.Mengetuk pintu kamar Zafran, menggenggam hendelnya lalu mendorongnya perlahan ketika mendengar sahutan dari dalam. Pemuda berperawakan hampir sama seperti Mas Abi itu rupanya baru selesai melaksanakan salat malam, tersenyum kepadaku lalu berjalan mendekat dan menghambur memelukku.“Maaf
Esok harinya, aku kembali datang ke rumah sakit menyusul Zafran yang sejak kemarin masih setia menunggui Mas Abi, ditemani oleh Safania, karena aku berniat mengenalkan dia dengan calon ayah mertuanya sebagai bentuk ikhtiar, siapa tahu setelah melihat calon menantunya Mas Abi bisa memiliki semangat hidup kembali.“Tadi dokter baru saja memeriksa, dan kata dokter keadaan Ayah semakin bertambah parah, Bun. Dokter juga sudah angkat tangan,” ujar Zafran ketika aku baru saja sampai.“Innalillahi, ya Allah. Terus, apa kata dokter lagi?” tanyaku.“Tidak ada. Dokter hanya menyuruh kita untuk terus berdoa supaya ada keajaiban dari Allah,” jawab anakku, membuat dada ini terasa semakin sesak karenanya.Kupandangi wajah pucat Mas Abi, ekspresinya terlihat begitu sedih juga kelelahan.“Mas, saya minta maaf karena belum berhasil membuat anak-anak datang ke sini menjenguk Mas Abi. Tetapi lihat, saya bawa calon menantu kita. Namanya Safania. Dia adalah ca
Aku menatap lekat wajah Zafran yang tengah berdiri di sebelahku.“Maaf, Dokter. Saya tidak mau menandatangani surat pernyataan ini, karena saya yakin kalau ayah saya masih bisa sembuh,” tolak anakku kemudian.“Untuk masalah itu terserah Mas dan Ibu, karena keputusan mutlak ada di tangan kalian,” kata dokter lagi. “Tapi sebagai sesama muslim, saya hanya ingin mengingatkan supaya Bapak ditunggui, minimal oleh putra-putrinya jika memang beliau sudah bercerai dengan Ibu, karena di saat seperti ini Bapak juga butuh dukungan dari orang-orang terdekat. Dan jika pun beliau tidak panjang umur, beliau akan merasa bahagia karena ketika sedang sakaratul maut semua anaknya mendampingi dan mendoakan beliau,” imbuhnya, benar-benar mengena di hati.Sepertinya aku harus terus berusaha membujuk Zarina dan Zafir untuk menjenguk ayahnya, sebab takut kalau Mas Abi memang sudah hendak pergi, hanya saja merasa berat karena sedang menunggu mereka berdua.“Ya sudah, kalau
Dua hari sudah berlalu setelah acara pertunangan Zafran dengan Safania, dan sekarang mereka sudah mulai mencicil barang-barang yang akan dijadikan seserahan.Sebagai seorang ibu aku menyarankan supaya Zafran membawa calon istrinya saat berbelanja barang yang akan dibawanya nanti, supaya menyesuaikan selera Safania dan tidak salah beli. Takut mubazir jika hanya kami yang berbelanja.“Calon istrinya Zafran cantik banget, ya Bunda Zarina. Anak orang kaya tapi kelihatan kalem, sopan, juga kelihatan sayang banget sama Bunda Zarina,” komentar salah seorang tetangga ketika tanpa sengaja bertemu di warung sayur.“Alhamdulillah, Bu. Doain ya, semoga pernikahan mereka berdua lancar nantinya. Jangan lupa juga nanti pada ikut ngebesan,” jawabku sambil mengukir senyum.“Iya. Omong-omong tapi kok Pak Abi nggak ikut nganter ya? Padahal kemarin sebelum kita jalan beliau ada loh, malah nanya ke saya ada acara apa, saya jawab ada acara lamaran, tapi habis itu
POV Hanina.“Fran, coba kamu lihat ke depan. Ayah sudah sampai apa belum?” Aku meminta anak keduaku untuk mencari Mas Abi di antara para tamu yang datang, karena sebentar lagi rombongan akan berangkat menuju rumah Pak Sadewa untuk melamar Safania putrinya.“Iya, Bun.” Zafran yang sudah terlihat gagah dengan kemeja berwarna abu-abu segera mengayunkan kaki ke depan, akan tetapi katanya tidak melihat sang ayah dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya.Aku pun segera menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi nomor mantan suami malah sedang berada di luar jangkauan.Apa dia lupa kalau hari ini aku mengundangnya datang untuk mendampingi sang anak melamar pujaan hatinya?“Abi belum datang, Mbak?” tanya Mas Rendi sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Belum, Mas. Nomornya juga enggak aktif,” jawabku.“Ke mana dia kira-kira. Tapi Mbak Hanina udah kasih tahu kalau hari ini ada acara kan?” tanyanya lagi.
Hari ini, aku datang menjenguk Elfira sekaligus membawakan makanan kesukaannya. Kupandangi dari kejauhan wajah cantiknya, karena semenjak menjadi pasien rumah sakit jiwa dia selalu berpenampilan rapi, selalu memoles wajahnya dengan make-up dan kata dokter yang menangani dia selalu mengatakan kalau saat ini sedang menunggu aku pulang dari restoran.“Kalau menurut saran dan pendapat saya, Pak. Sebaiknya Bapak merujuk Ibu, siapa tahu dengan cara kembali hidup bersama Bapak beliau memiliki semangat hidup, karena obat penyakit jiwa yang sesungguhnya adalah dukungan dari orang-orang terdekat. Soalnya kalau saya perhatikan, Ibu itu sangat mencintai Bapak, sementara Bapak setiap membesuk saja selalu bersembunyi, tidak mau menemui Ibu dengan alasan trauma dianiaya. Padahal, bisa jadi jika Bapak melakukan pendekatan, membantu kami tim medis untuk mengobatinya mungkin penyakit Bu Elfira tidak akan separah sekarang,” ujar dokter panjang lebar ketika aku hendak pamit setelah s
“Mas?” Aku yang sudah terpejam membuka mata secara perlahan karena mendengar Elfira memanggil namaku.“Apa kita sudah berada di surga? Tadi Bina ngajak aku ke surga loh?” racunnya sambil mengedarkan pandang.“Ini rumah sakit, bukan surga!” ketusku.“Kenapa aku ada di rumah sakit?” Wajah wanita itu terlihat kebingungan. Entah dia sedang bersandiwara dan berpura-pura, atau memang akibat dari halusinasi.“Kamu mencoba mengakhiri hidup dengan cara memotong nadi.”“Bunuh diri?” “Iya. Lihat tangan kamu, diperban kan? Tolong jangan bertingkah konyol, Fira. Jangan bikin Mas tambah susah. Lagian bunuh diri itu bukan jalan keluar dari semua masalah, tetapi justru malah menambah masalah baru. Memangnya dengan bunuh diri semuanya langsung selesai dan kamu bakalan masuk surga? Yang ada kamu bakalan jadi kerak di neraka untuk selamanya,” nasihatku panjang lebar, siapa tahu Elfira paham dengan apa yang tengah aku katakan.“A
"Teruslah sakiti perasaan Bunda sampai rasa benci semakin memenuhi rongga dada kami!" Aku terkesiap ketika mendengar suara Zafir, menoleh ke arahnya lalu berjalan menghampiri, hendak mengusap pipi anak yang teramat kurindukan namun dia malah menghindari sentuhanku.Remaja berusia sembilan belas tahun itu kemudian berjalan mengikuti ibunya, terlihat kepayahan saat melangkah karena dia masih harus menggunakan tongkat.Pun dengan Zarina. Anak perempuanku satu-satunya itu terus menatap penuh dengan kebencian, lalu segera bergabung bersama dengan yang lainnya.Dan herannya, mereka terlihat begitu menghormati Rendi, seolah sahabatku itu yang perlu mereka hargai, bukan aku yang notabene adalah ayah kandung mereka.Perlahan mobil yang dikemudikan oleh suaminya Zarina berjalan meninggalkan parkiran. Aku terus menatap kendaraan roda empat tersebut hingga menghilang di balik tikungan, kembali merema* dada yang terasa sesak seolah tidak ada lagi pas
“Ayah minta maaf, Fran. Ayah mengaku salah,” kataku penuh dengan penyesalan.Zafran kemudian kembali melajukan mobilnya karena di belakang banyak yang meneriaki juga menekan klakson berkali-kali, akan tetapi kali ini dia tetap fokus mengemudi, tidak lagi mau berbicara kepadaku seperti sebelumnya.Bodoh. Aku sudah merusak suasana yang sudah mulai mencair dengan pertanyaan konyol yang aku ajukan.Zafran menepikan mobilnya ketika kami sampai, akan tetapi dia menolak ketika aku ajak singgah. Pasti dia marah karena perkataanku tadi. Ya Allah ...“Saya pulang, semoga Ayah cepet sehat. Jangan lupa melakukan salat taubat, banyak-banyak beristigfar supaya hati Ayah terasa lapang!” pamit Zafran.“Kamu tidak mampir dulu, Fran?” Menatap wajah tampan anakku.“Lain kali saja. Assalamualaikum!”Tanpa menunggu aku menjawab salam, Zafran sudah terlebih dahulu menutup kaca mobil dan langsung pergi begitu saja.Bodoh. Aku memang b
Sepertinya ada yang sengaja memanfaatkan momen retaknya hubunganku dengan Hanina untuk mendekati dia, sebab jika dilihat-lihat, kayaknya ada perasaan spesial di hati Rendi, dan mungkin secepatnya dia akan menggantikan posisiku di tengah-tengah mereka.Ya Allah ... apa jadinya aku jika suatu saat nanti melihat Rendi bersanding dengan mantan istri? Pasti rasanya sakit sekali, jika melihat wanita yang masih begitu aku cintai harus melabuhkan cintanya kepada sahabatku sendiri.Kembali meletakkan ponsel, mengurungkan niat untuk meminta bantuan kepada Rendi, sebab takut dia semakin besar kepala juga semakin merasa begitu dibutuhkan. Aku tidak mau menjatuhkan harga diri di depannya.Tidak lama kemudian pintu kamar inapku terbuka, seiring munculnya dokter Umar dengan stetoskop menggantung di leher. Dokter muda dengan wajah penuh kharisma itu tersenyum sambil mengucapkan salam, lalu berjalan menghampiri dan menanyakan keadaanku saat ini.“Alhamdulillah sud