Keputusannya sudah bulat, Angi tetap melanjutkan ujian keduanya untuk mendapatkan mustika itu.
Angi tak ingin membuang kesempatan ini untuk bisa mendapatkan mustika merah yang legendaris.
Angi mulai melakukan perjalanannya tepat saat matahari mulai terbit.
Di ufuk timur terlihat warna jingga cantik yang merona membuat mata tak ingin rasanya berkedip.
Sayup-sayup suara serangga hutan mengiringi keluarnya sang matahari yang menyemburatkan cahaya kebesarannya pada alam.
Tak terelakkan indahnya suasana hutan ditengah pagi buta yang dingin dan kaku ini. Tak seperti malam hari lalu, malam yang penuh tantangan menguras tenaga dan perasaan.
Sungguh aneh makhluk-makhluk di muka bumi ini, begitu penurut dengan sang mentari. Tak ada satupun yang berani melawannya, bahkan sang iblis sekalipun.
Sebelum Angi melanjutkan perjalanannya, Ki Slamet sempat berwasiat agar ujian kesabarannya jangan menjadi sia-sMasih berada di gunung kedua, Angi melangkahkan kakinya dengan penuh kepastian dan hati-hati. Ia tahu, bahwa ujian yang akan ada di hadapannya akan lebih berat dibandingkan dengan ujian sebelumnya. Kini, ia memasuki sebuah wilayah hutan belantara yang sangat padat dengan pohon-pohon besar. Para pohon itu seperti memiliki posisinya sendiri. Entah mengapa setiap Angi bergerak maju pohon-pohon tersebut seperti berpindah posisi. Hal yang sangat aneh dan sangat mengganggu tentunya, namun Angi tetap dengan pendiriannya bahwa ia tidak akan menyakiti para penunggu si gunung ini.Lalu, Angi penasaran dengan pergerakan pohon-pohon itu. Dengan reflek Angi berputar dan berdiri di hadapan para pohon itu. Benar saja, mereka memang mengikuti gerakan Angi. Angi melipat kedua tangannya dan menyimpannya di bagian depan dadanya. Ia menatap heran kenapa pohon-pohon itu sangat usil. Mungkin, bisa saja mereka menginginkan sesuatu yang ada di tubuh Angi. Tapia apa? Siapa yang ta
Malam pun tiba dengan sejuta suara nyanyian ala hutan belantara. Angi pun melanjutkan perjalanannya. Ia bahkan tak sempat untuk beristirahat. Tubuh Angi sudah kelelahan karena tidak tidur selama 2 hari 2 malam. Keadaan tubuhnya semakin memburuk. Namun, ia tak ingin menunda perjalanan ini demi sang mustika merah.Suara gonggongan anjing hutan menghiasi gelapnya malam. Hanya sinar bulan purnama yang membantu menyinari jalan di tengah hutan belantara itu. Udara dingin menyelimuti suasana hutan. Semakin malam, para makhluk penunggu hutan semakin bermunculan. Tak sedikit makhluk yang hadir dan ingin menantang Angi yang sedang melintasi wilayah kekuasaannya. Angi sempat lupa, kali ini ia mengunci ilmu kanuragannya agar tak banyak makhluk yang mengincar keberadaannya. Waktu berjalan seperti merangkak. Angi tak sabar untuk segera tiba di Gunung Kidul, tempat mustika merah itu berada. Ket
Perjalanan yang sangat menakjubkan untuk Angi yang baru saja keluar dari goa kaki gunung itu. sungguh di luar nalar manusia. Goa itu bisa menjadi jalan pintas menuju gunung kidul. Jarak yang terbentang dari puluhan kilometer yang menghubungkan beberapa gunung bahkan harus melewati lautan. Tak disangkan, kini Angi bisa memijakkan kakinya di gunung kidul. Angi teringat dengan ucapan sang tuan tabib bahwa di gunung kidul terdapat seorang petapa suci. Siapakah gerangan petapa suci itu? tidak ada yang tahu. Angi berharap petapa suci itu bisa menunjukkan cara untuk mendapatkan mustika merah itu. mustika legendaris yang diperebutkan di dunia perdukunan. Kesempurnaan mustika itu tiada bandingannya dengan mustika yang lain. Bahkan sepasang ilmu kanuragan pun tidak bisa menandingi kesaktian seseorang yang memiliki mustika merah. Mustika yang terbuat dari berlian merah itu, berlian yang hanya 3 saja di belahan muka bumi ini. hanya orang yang berhati suci dan mampu
Wasiat sang kakek buyut akan menjadi pedomannya selama menggunakan mustika merah legendaris itu. Angi pun mohon izin untuk pamit kembali menunaikan tugasnya sebagai seorang paranormal. Dengan mustika merah sudah di tangan, Angi bukan menjadi senang, bahkan menjadi sombong dengan kekuatan maha kuasa mustika itu. Setelah menerima mustika itu, beban tanggung jawab menjadi lebih besar dari sebelumnya. Ia benar-benar harus menjaga hati, mata, pikiran dan nafsunya. Sungguh ini lebih berat dari memikul beban 1000 ton besi. Banyak pertanyaan dalam pikiran Angi yang terus berputar di kepalanya tentang bagaimana harus menggunakan mustika ini dengan bijak. Tunggu dulu, jangankan untuk menggunakannya bahkan untuk menyatukan diri dengan sang mustika Angi belum tau bagaimana caranya. Kakek buyut sama sekali tidak memberikan kata kunci untuk bisa menaklukan sang mustika ini. Harus dari mana An
Anak-anak semua dibedakan di tempat yang lebih kecil dan terpisah dari kedua orang tua mereka. Bahkan sesekali Angi memergoki para wanita menahan air mata dari kesedihan mereka. Anak-anak itu seraya tunduk dengan seseorang yang berada di hadapannya. Bertubuh besar dan tinggi. Wajah menyeramkan tanpa ada nada ramah sedikitpun. Rambut panjang menghiasi pundaknya yang selebar beton. Tentu saja, anak-anak itu tak ada yang berani merajuk, menatap laki-laki besar itu saja rasanya sudah hampir mati. Badan anak-anak itu bergetar, keringat dingin membanjiri seluruh tubuh. Air keringat menetes semakin deras dari pelipis mereka. Lelaki bertubuh besar itu mematung dengan tatapan mata terus melirik ke seluruh penjuru ruangan. Di sisi lain, para orang tua jompo juga memiliki tempat berdoa sendiri. Mereka berada di barisan paling depan. Para orang tua itu telrihat sudah memasrahkan diri mereka di hadapan sang dewata. Entah
Mungkin pagi ini akan terjawab semua rasa penasarannya akan ritual doa yang tak biasa itu. Pagi pun menyapa dengan hangat. Matahari muncul dangan perlahan. Tidak terlalu pamas tidak juga terlalu mencolok.Sinarnya memberikan rasa hangat dalam suasana desa yang sangat dingin di pagi hari. Tak terlihat hewan berteriak kegirangan atas hadirnya matahari. Semua terdiam dan gak banyak acara. Matahari terlihat muram dengan kehadirannya di atas desa ini. Kehangatannya hanya membuat suasana desa menjadi lebih terang tanpa ia bisa mendapatkan kebahagiaan dari makhluk yang sudah ia beri kehangatan. Kemudian, Angi berjalan keluar dari rumah tempat ia beristirahat. Ia mencoba berjalan mengelilingi halaman rumah itu. Beberapa kandang ayam terlihat di samping rumah para warga. Ayam-ayam itu ada, dan mereka hidup. Hanya mata mereka yang meilirik ke arah Angi. Tak ada sedikitpun suaranya keluar. Sorotan para m
Malam hari pun mulai menyapa sang langit yang biru nan cerah. Warna gelap mulai menghiasi langit. Bintang-bintang berkedip malu untuk muncul menghiasi langit. Inilah tanda ahwa tidak akan turun hujan di mala mini. Sungguh malam yang sangat indah, tepat sekali dijadikan sebuah acara hajatan untuk seorang kaya raya yang sedang mengadakan pesta pernikahan anaknya.Malam ini tidka ada tanda-tand apapun dari warga desa yang belakangan ini sedang memerhatikan keberadaan Angi. Kali ini mereka disibukkan oleh acara Pak Jiman. Sementara, untuk Angi dibiarkan dulu karena mereka tahu bahwa nisanak satu ini tidak menunjukkan tanda-tanda bahaya. Lalu, pada pukul 7 malam sebuah pidato dibuka oleh sang pemangku acara hajat tersebut. Semua warga telah memenuhi halam rumah Pak Jiman yang saat ini sedang duduk di singgasananya. Pesta yang diadakan dengna mewah ini tak tanggung-tanggung diadakan selama tiga hari tiga malam. sungguh penghamburan biaya tapi bagi Pak Jima
Suara itu terdengar jelas. Kisman memerhatikan sekitar berharap tidak ada yang akan menerjangnya. Sedangkan Angi tetap tenang. Ia menajamkan pendengarannya ke segala penjuru mata angin. Indera penglihatan ia fokuskan pada setiap gerakan yang mungkin saja muncul dihadapannya. Lalu, Kisman dan Angi mulai melangkah lagi dengan perlahan yang sempat berhenti sejenak. "Krek!" "Krak!" Suara ranting kering yang terinjak itu semakin dekat dengan mereka. Angi mencoba menenangkan Kisman yang mulai panik. Ia sangat takut hingga badannya gemetaran. Lalu, Angi mencoba memerhatikan sekeliling dan menggunakan kekuatan batinnya. Ia tahu ini bukanlah makhlul gaib melainkan seekor binatang buas. "Kita harus cepat," Ucap Angi pada Kisman.Angi dan Kisman berlari secepat mungkin dan benar saja, hal itu memancing sang serigala lereng gunung muncul dan mengejar mereka. Berlari saja tidak cukup, kec