Di dalam perpustakaan, petugas piket telah berkumpul. Ran adalah orang terakhir yang memasuki ruangan setelah Aksa, selaku guru pengawas piket hari itu. Kemudian Aksa membagi petugas menjadi tiga kelompok, beserta tugasnya agar lebih efektif.
Siswa perempuan, mendapatkan bagian menata buku yang ada dalam kardus. Untuk siswa laki - laki, mendapatkan bagian yang lebih berat, seperti menata rak buku, dan mengangkat barang berat lainnya. Sebelum rak ditata, semua anggota membersihkan debu dari sisa - sisa semen yang berada di lantai dan jendela.
Semuanya terlihat kooperatif, meskipun ada yang bermalas - malasan.
Setelah debu dibersihkan, rak buku yang baru dibeli, dimasukan ke dalam perpustakaan. Dibariskan rapi, sesuai arahan Aksa. Buku - buku yang telah dikelompokkan berdasarkan jenisnya, mulai diletakkan berurutan di rak. Mereka bekerja dengan baik sesuai tugasnya, dan penataan perpustakaan hampir selesai.
"Ran, setelah ini mau makan bersamaku?"
Haii gimana nih ceritanya? Seru gak? Aku suka part ini, karena akhirnya Ran menemukan apa yang dia cari. Gimana menurut kalian? Tulis di kolom komentar ya... Have a good day dear^^
Ran berlari menembus hujan, membiarkan tubuhnya basah, dan tak peduli tatapan orang - orang yang menatapnya. Sekalipun ia ingin sekali bertemu dengan Venus, bukan seperti ini caranya. Ternyata bukan dia yang tidak mencari dan berusaha menemukan pria itu. Tetapi pria itulah yang selama ini menyembunyikan diri dan tidak mau ditemukan. Ran merasa selama ini ia hanya membuang-buang waktu, berharap pada orang yang sama sekali tidak mengharapkannya. Ternyata Tuhan berbaik hati menunjukan jawaban untuk membuatnya sadar, sekalipun dirinya menjadi hancur berkeping-keping untuk menyambut jawaban itu. Adit yang berteduh di kanopi parkiran, mencoba memanggil Ran untuk mengajak gadis itu berteduh. Namun tidak ada jawaban, hingga membuatnya harus menerjang hujan, menghampiri gadis itu. "Ran, mau kemana?" ujar Adit sembari menarik lengan Ran dan membuat gadis itu berbalik menghadap padanya. Betapa terkejutnya Adit ketika mendapati mata Ran merah, dengan bulir air ma
Adit mengarahkan motornya masuk ke dalam parkir basemen, sebuah apartemen. Ia menghentikan motornya tak jauh dari tangga yang mengarah ke apartemen tersebut. Kemudian ia turun dari motor sembari melepaskan helm yang dipakainya, dan ia letakkan di atas motor."Ini dimana Dit?" tanya Ran sembari turun dari motor dibantu oleh Adit."Hujan di luar masih deras Ran, ini tempat terdekat dari sekolah kita. Rumahku," kata Adit ragu - ragu, "Kamu gapapa kan?"Ran mengangguk, lalu menata rambutnya yang acak - acakan karena helm.Ran dan Adit pun berjalan menaiki tangga tersebut, menuju ke lantai dua, dimana unit apartemen Adit berada.Sesampainya disana, Adit memasukkan kode sandi apartemen-nya, dan membuka pintu tersebut, mempersilahkan Ran masuk.Ran melepaskan jas hujan yang ia pakai, lalu ia berikan pada Adit sebelum memasuki apartemen tersebut. Kemudian Ran melangkah masuk hati - hati, sembari mengamati tata ruangan berukuran 25 meter persegi itu."Aku tinggal
"Ran mau nonton film apa?" tanya Adit.Ran melihat kedua tangannya di depan dada, sembari mengamati deretan poster film yang sedang tayang hari itu. Tidak ada film yang menarik perhatiannya. Film yang ingin dia tonton, sudah tidak tayang lagi, padahal waktu itu ia telah membeli tiket untuk menonton bersama Sunny. Sayangnya pertemuan dengan Aksa merusak rencana menonton itu.Mengingat Aksa, Ran kembali murung. "Aku gak tahu, ikut aja.""Atau mau beli es krim Ran?"Ran menoleh, menatap teman kelasnya itu. "Boleh, itu lebih baik, habis itu mau mampir ke toko buku gak?" Adit mengangguk setuju. "Why not?"Setelah mengisi perut dengan mie ayam dan es kelapa muda beserta camilan yang Adit beli siang tadi, mereka langsung menuju mall. Tepat ketika hujan mulai reda.Ide itu muncul dari Adit yang ingin menghibur Ran. Setelah mendapati sisa-sisa kesedihan dibalik mata gadis itu.Sesampainya di tempat es krim yang terkenal di mall itu, mereka menuju kasir untuk
Sepanjang film berlangsung, terdengar tangis sesegukan dari para penonton. Ran sendiri mencoba menahan diri dengan menautkan kedua tangannya. Karena jika ia tidak menahan dan melepaskannya begitu saja, dirinya akan semakin tidak terkontrol. Ia tidak ingin menjadi beban dari teman-temannya. Seketika ponsel Adit bergetar. "Aku keluar dulu ya, terima telepon," katanya pada Ran. Ran mengangguk. Kemudian Adit berjalan keluar, dibimbing penjaga bioskop. Ia berdiri di pojok dekat kamar mandi, dan langsung menerima panggilan tersebut. "Halo Pak Aksa?" ujarnya menyapa seseorang yang berada di seberang panggilan itu. "........." "Di bioskop, menonton film Kukira Kau Rumah, sama Angga dan Kinan." Tut! Seketika panggilan telepon mati, setelah Adit menyebutkan kegiatan yang dilakukan Ran saat ini. Adit memandang ponselnya selama beberapa detik. Ia sendiri agak bingung dengan tingkah gurunya itu. Ini bukan jam pelajaran, kenapa harus memantau kegiatan muridnya
Sunny berlari menghampiri Ran dan Kinan yang sedang sibuk menyapu lantai aula. Lalu dengan brutal, ia merangkul kedua sahabatnya itu, hingga hampir terjatuh. "Hai guys, apa kabar?" katanya, Kinan berbalik badan dengan bersemangat, hingga menjatuhkan sapu yang ia pegang ke lantai. Sudah tiga hari setelah upacara pemakaman Ayahnya, Sunny tidak berangkat sekolah. Ia dan Ran khawatir, Sunny tidak akan bisa mengikuti Ujian Akhir Semester. Ia sempat mengira Sunny akan putus sekolah, dikarenakan masih berduka dan trauma setelah kecelakaan yang menimpanya. Karena di sekolah, Sunny akan bertemu lagi dengan orang-orang yang membulinya, sekalipun dirinya sendiri tidak tahu persis siapa pelaku yang membully Sunny. Ran berbalik badan dan memeluk kedua sahabatnya itu dengan lemas. Suasana hatinya masih tidak baik semenjak mengetahui kebenaran tentang siapa sebenarnya Aksa. Sebuah kebenaran yang belum mampu ia ceritakan kepada Kinan dan Sunny. Sunny menatap Ra
Angga mengumpulkan seluruh anggota kelasnya di kantin sekolah, untuk mendiskusikan acara class meeting yang akan berlangsung minggu depan. Yaitu tepat setelah Ujian Akhir Sekolah dilangsungkan. Angga membagikan selebaran yang berisi lomba dan persyaratan dari panitia class meeting kepada teman-temannya. "Oke kita bahas lomba olahraga dulu ya. Disini ada voli, basket, futsal, dan marathon. Siapa yang mau mengajukan diri?" kata Angga. Adit lantas menunjuk beberapa orang yang akan bergabung dalam tim basket dan futsalnya. Ia sendiri menguasai semua bidang lomba yang Angga sebutkan. Namun hanya dua lomba itu yang waktunya tidak bertabrakan, dan bisa ia sanggupi. Angga pun menyetujui keputusan Adit, jika orang-orang yang ditunjuk tidak keberatan. "Aku ikut marathon!" teriak Kinan bersemangat, "Kayaknya seru, aku gabung aja." Angga menatap Kinan dengan heran. "Kau yakin? Rutenya jauh loh," ujarnya. "Bisa aku sanggup, masuki
Setelah membeli gaun yang mereka inginkan, Ran, Kinan dan Sunny berhenti di sebuah kedai makanan. Kedai yang selalu mereka kunjungi. Kedai itu menjual berbagai jenis ricebowl, dan minuman yang disukai anak muda saat ini. Mereka bertiga memang memiliki selera makanan yang sama, dan cenderung mudah jika memilih makanan saat bersama. Mereka memilih tempat duduk yang tak jauh dari kasir, selagi menunggu pesanan disiapkan. "Oh ya Sunny, kamu gak kerja lagi jadi ojol?" tanya Ran. "Akunku kena banned setelah kejadian kecelakaan itu karena aku gak menyelesaikan pesanan customer. Baru aku urus kemarin dan masih proses," jawab Sunny. "Loh kamu gak jelasin ke kantornya kondisimu saat itu?" tanya Kinan. "Customer udah terlanjur kasih bintang satu. Mau tidak mau aku harus nunggu," jelas Sunny dengan wajah murung. Ran menghembuskan napas pelan sembari meraih tangan Sunny dan mengusap punggung tangan itu. "Gapapa... nanti aku bantuin cari kerja. Atau
"Aku bertemu dengan Venus," kata Ran yang membuat kedua sahabatnya menghentikan kegiatan mereka dan menatapnya dengan terkejut. "Kapan? Dimana? Masih ganteng? Cepet jelasin!!" ujar Kinan tidak sabar. Ran meletakkan sendok makanannya, dan menjadi murung. "Apakah dia tidak sesuai ekspektasimu? Atau jadi jelek?" tukas Sunny mencoba menebak jawaban dari raut wajah Ran. ** "Ternyata dia Pak Aksa." "APA???!!!" seru Kinan dan Sunny bersamaan. "Gimana bisa?" kata Sunny. Tidak ada jawaban dari Ran. "Tunggu dulu... kalo iya, kenapa kamu gak mengenali Venus? Eh maksudku Pak Aksa?" tukas Kinan. Sunny pun mengangguk setuju dengan pernyataan Kinan barusan, yang terdengar masuk akal. "Terakhir ketemu Venus aku berumur sepuluh tahun. Beda banget sama Venus yang aku lihat, meskipun setelah aku amati gak jauh berbeda. Dari mata, bibir dan hidung, masih sama," kata Ran semb
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un
Ran menghentikan langkahnya sembari mendongakkan kepala ke lantai dua. Ia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang masih terasa ganjil dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, dengan alasan yang dia tidak ketahui. Adit ikut menghentikan langkah dan menatap gadis itu. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal juga?" Ran mengangguk, dengan pandangan yang masih menuju lantai dua. "Kamu juga Dit?" "Yah apapun itu, biarlah jadi urusan mereka." "Kamu benar." "Yaudah ayo makan di pestanya Sunny, sebelum acara itu berakhir," kata Adit. Ran menatap pria itu. "Dit, makan di resto hotel aja ya, aku gak terlalu nyaman sama keramaian." Adit tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan menuju restoran yang berada di sebelah lobi hotel. Pemandangan restoran itu langsung mengarah ke view kota Jogja, yang akan indah bila disaksikan malam hari. Jalanan yang begitu ramai dengan gemerlap lampu kota dan lampu kendaraan. Mereka mem
"Sialan lu, kita hampir ketahuan!" ujar Ben kesal. PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Sunny. Sunny yang lemas, tak bisa melakukan apa-apa. "Udah ngechat Ran belum?" tanya Ben. "Barusan gua chat," jawab Grace sembari menunjukan ponsel Sunny yang berada dalam genggamannya. Ben menghembuskan napas kasar, sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kemudian ia berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela. Seketika terdengar suara langkah kaki seseorang dari jauh, yang membuat mereka bersiaga. Sunny yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah besar, diletakkan di pojok ruangan. Kemudian Ben menarik Grace dalam pelukannya, dan mendorong gadis itu ke dinding. "Kalian kalo mau bermesuman jangan disini," ujar Adit. Jantung Ben dan Grace seolah disambar petir, mendapati kehadiran pria itu bersama Ran. "Kalian juga kenapa berduaan?" ujar Ben. Ran mendengus kesal. "Sialan kau Ben, menakutiku hanya untuk melindungi hubungan rahasi
Ran mendorong Aksa dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terjatuh di lantai. Kemudian ia keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya bingung dengan kenyataan yang tadi ia lihat, bahwa pria itu telah menikah dengan seorang wanita. Pernyataan cinta tadi, membuat hatinya kian kesal karena merasa dipermainkan. Terjawab sudah semua teka-teki yang selama ini ia simpan sendiri di hati, kenapa pria itu menghilang tak berkabar. Ran tidak memilih lift untuk turun ke lantai utama. Ia menggunakan tangga darurat, menghindari Aksa yang mengejarnya. Napas Ran mulai tersenggal-senggal, ketiika ia sampai di lantai tiga. Kakinya pun terasa ngilu, akibat menuruni tangga menggunakan heels. Ia cukup menyesali keputusannya yang menggunakan tangga darurat. Menyiksa diri sendiri, hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak menghargainya. Ran melepas heelsnya, dan menuruni tangga tanpa alas kaki. Seketika saat ia mencapai lantai dua, terlihat sekelebatan se