"Mas, ayo ikut aku ke kamar, aku bawa kamu biar kamu bisa istirahat dengan tenang." ajak Nadira sambil memapah tubuh suaminya. Chandra tak merespon ajakan Nadira, namun langkahnya mengikuti ke mana Nadira itu membawanya. Karena tubuh mereka begitu sangat dekat dan bersentuhan, membuat Chandra berpikir bahwa ia harus melalukan pelepasan pada Nadira. Nadira dengan susah payah membuka pintu kamar, lalu menuntun tubuh suaminya sampai tiba di atas ranjang. Saat itu karena tidak bisa menyeimbangi tubuh kekar Chandra, Nadira imut terjatuh ketika merebahkan tubuh suaminya. Nadira dapat merasakan benda keras di bawah sana yang sepertinya menuntut untuk keluar, sementara Chandra sendiri merasakan kehangatan ketika dua buah benda menempel di dadanya. Keduanya sempat saling menatap satu sama lain, sebelum akhirnya Chandra tak mampu lagi menahan diri, ia dengan lahap menyantap bibir tipis Nadira dan meletakkan tubuh Nadira di bawah tubuhnya. Kini Nadira berada di bawah kungkungan nya, wanita i
"Sudah jam tujuh, kamu harus berangkat bekerja kan hari ini!" tandas Chandra melingkarkan handuk di pinggangnya. "Nggak papa Mas, aku bisa ambil libur hari ini, buat kam," ucap Nadira mengulas senyum. "Nggak bisa, aku yang keberatan kalau kamu ambil libur, ayo cepat turun, pakai handuk mu," cetus Chandra tak setuju dengan pilihan Nadira. "Mas, kamu kenapa si akhir-akhir ini menghindar terus dari aku?" Nadira nampak mengarahkan pandangannya pada pria yang bergelar suaminya itu, namun Chandra justru terdiam cukup lama tak menanggapi. "Ya udah, oke. Aku akan berangkat kerja hari ini, tapi kamu harus ikut aku ya," sambung Nadira akhirnya mengikuti permintaan Chandra. "Ikut? Untuk apa aku ikut kamu ke kantor, nggak ah," tolak Chandra. Ia keluar dari kamar mandi dan lekas memakai baju. "Kamu harus ikut, karena aku nggak mau sampai kehilangan kamu lagi Mas, saat aku meninggalkan kamu kerja, kamu justru menghilang dan nggak kasih aku kabar. Bahkan sampai sekarang aja kamu nggak kasih ta
"Apa, cerai?"Bak tersambar petir, Nadira terkejut ketika mendengar ucapan cerai dari suaminya ketika ia pulang bekerja. Dua bungkus makanan yang ia pesan di restoran tiba-tiba jatuh ke lantai, kedua tangannya begitu lemas, air mata pun tumpah ruah tak terasa. Sementara Chandra sendiri terlihat tenang menahan semua rasa yang ia simpan sendiri, ia pura-pura tegar, dan memastikan jika keputusannya itu adalah keputusan yang tepat. "Ya, aku ingin kita cerai Nadira, aku sudah tidak tahan lagi melanjutkan pernikahan ini," ucap Chandra membenarkan kalimat yang sempat Nadira dengar. Nadira menatap wajah Chandra sayu, spontan ia menggelengkan kepala dengan cepat, menolak keras perceraian itu. "Mas, kamu nggak boleh bilang kayak gitu, kamu tahu kan kalau seorang suami mengatakan kalimat itu, artinya sudah jatuh talak," lirih Nadira terisak. "Itu memang yang aku mau Nadira, aku menalak dan menceraikan kamu, itu artinya kamu sudah bukan istriku lagi," dengan nada tercekat, Chandra mengatakan
"Nadira, yang sabar ya," ucap Roy, akhirnya ia memilih mendekati Nadira dan menyentuh pundaknya, mengajak Nadira bangun untuk melanjutkan perjalanannya. "Aku akan mengantar mu pulang Nadira." sambung Roy, lalu meminta Nadira untuk menunggu. Roy setengah berlari menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah, dengan tubuh yang basah kuyup, Roy masuk kembali untuk mengambil kunci. Namun langkahnya dihentikan oleh Anita yang tak ingin suaminya itu pergi."Mas, kamu mau ke mana lagi si? Hujan-hujan gini lagi," protes Anita penuh tanya. "Aku mau mengantar Nadira pulang, kasihan dia," ucap Roy jujur. "Apa! Jadi kamu mau mengantar wanita itu pulang? Mas, kenapa tiba-tiba kamu jadi lembek kayak gini, memangnya siapa dia," protes Anita tidak terima. "Sebelum Chandra resmi menceraikan Nadira, dia tetap adik ipar kita, keluarga kita. Jadi aku harap kamu jangan melewati batas!" tegas Roy menatap nanar. Langkah kaki Roy yang pergi meninggalkan rumah, disaksikan oleh Chandra dan juga bu Hesti
Tring... Tring... Ponsel berdering saat Nadira sedang menikmati semangkuk mis instan yang ia buat untuk mengganjal perut, saat itu ia menatap ke arah layar, ada nama Wildan di sana. Meskipun sedikit malas untuk mengangkat telpon, namun Nadira akhirnya memencet tombol hijau. [Ya pak] singkat Nadira bertutur kata. [Nadira, apa kamu hari ini akan datang terlambat? Kenapa hanya kamu yang belum masuk kerja?] tanya Wildan yang menyadari bahwa Nadira tidak ada. [Maaf Pak, hari ini saja izin tidak masuk,] ucap Nadira memberitahu. [Tidak masuk? Memangnya ada apa Nadira, apa kamu sedang sakit?] tanya Wildan penuh selidik. [Ya pak, saya tidak enak badan. Untuk itulah saya izin tidak masuk] jawab Nadira sekenanya. [Udah ke rumah sakit? Aku antar kamu ya kalau belum?] tawar Wildan. [Atau kamu perlu obat apa? Biar aku belikan][Nad?][Nadira?!]Pesan itu tak terbalas karena Nadira sudah keluar dari aplikasi hijau, dan ponselnya sengaja ia matikan karena sengaja ingin ber-sepi bersama dengan
Seorang pria memakai kemeja putih keluar dari pengadilan agama, hari ini adalah sidang terkahir yang tidak dihadiri oleh Nadira untuk yang kesekian kalinya. Perceraian yang hanya diinginkan oleh Chandra itu tak membuat Nadira tergerak untuk hanya sekedar menyaksikan bahwa ia telah benar-benar resmi berpisah dengan suaminya. Nadira lebih memilih berdiam diri di rumah meskipun ia tahu bahwa hari ini jadwalnya pergi ke pengadilan, wanita itu benar-benar tidak sanggup menyaksikan saat hakim mengetuk palu. Ting... Tong.. Bel berbunyi, Nadira tersadar dari lamunan panjangnya di meja makan, wanita itu cukup lama mengaduk kopi yang ia buat hingga tak terasa dingin. Pintu dibuka, Nadira mengulas senyum kecil ketika Karina datang bertamu, wanita itu datang karena diminta oleh Nadira yang sedang kesepian dan rapuh, ia mempersilahkan Karina masuk, duduk bersama di ruang tamu yang terlihat sangat sepi. Karina menatap wajah Nadira penuh iba, ia terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. Nadira n
Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan, Nadira kini sudah mulai bisa menerima kenyataan yang menimpanya, menjadi seorang janda mungkin sesuatu yang sangat memalukan baginya beberapa bulan lalu, tapi kini ia sadar jika semakin lama ia terpuruk, maka akan semakin sulit baginya menemukan kebahagiaan. Hari ini Nadira memutuskan untuk melupakan semuanya, berkat bantuan Karina dan teman-teman lainnya yang selalu ada untuk menguatkan, kini Nadira sudah bisa menyusun hari-hari lagi menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. "Nad, lo udah siap kan masuk kantor hari ini?" tanya Karina me menghampiri kamar Nadira. "Tentu saja, gue udah siap masuk kantor lagi, gue nggak mau larut dalam kesedihan terlalu lama, semua itu nggak akan kembali," ucap Nadira mengulas senyum. "Seriusan lo Nad?" Karina nampak tidak percaya mendengar jawaban dari Nadira, yang membuatnya terkejut. "Iya, gue serius lah, masa gue becanda si, lagian gue mau buktiin kalau gue masih bisa menata hidup gue meskipun
Nadira keluar dari kantor dengan perasaan lega, karena hari ini ia sukses menjalani kehidupan barunya dengan perasaan bahagia. Akhirnya ia berhasil keluar dari zona kepahitan yang selama menguasai dirinya, wanita itu berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi yang akan mengantarkan dirinya pulang. Namun saat sedang menunggu taksi, tiba-tiba berhenti sebuah mobil berwana hitam di hadapannya, pintu pun segera terbuka dan Nadira kini menyadari siapa pemilik mobil itu. "Hai Nadira, sedang apa kamu di sini?" tanya Wildan mengulas senyum. "Saya lagi nunggu taksi Pak," ucap Nadira pelan dan cukup singkat. "Nadira, aku antar kamu aja ya, biar nggak nunggu terlalu lama, taksi jam segini jarang lewat, takutnya nanti kamu kesorean," tawar Wildan dengan tulus. "Maaf Pak, terima kasih sebelumnya, tapi saya masih mau menunggu taksi saja," tolak Nadira tidak enak hati. "Nadira, maafkan aku. Dulu memang mungkin aku sangat berambisi ingin memiliki kamu saat kamu masih menjadi istri Chandra, aku ta