"Mulai hari ini, silahkan keluar dari rumah ini tanpa membawa apapun!" ucap Wiguna menjalankan tips selanjutnya, dan ia berharap Hilma langsung berubah pikiran ketika tahu tak mendapatkan apa-apa.
"Mas, maksud kamu apa?""Loh, benar, kan? Kamu bukan istriku lagi. Jadi, ga pantas kamu serumah dengan yang bukan muhrim."Hilma menggeleng."Bukan begitu aturannya, Mas? Lagipula, kenapa Mas Guna sampai setega itu. Walaupun, aku hanya seorang bekas istri, setidaknya Mas punya belas kasih memberiku kesempatan mencari tempat tinggal, bukan langsung menyuruh keluar seperti ini!"Hilma semakin mendekati mantan suaminya."Setidaknya beri aku waktu dua hari. Setelah itu aku akan pergi, walau sebenarnya aku masih berhak di sini selama masa iddah tiga bulan. Tapi aku hanya membutuhkan dua hari. Mas juga harus memikirkan anak-anak. Mempersiapkan mental mereka untuk perpisahan kita."Wiguna terdiam, me"Ya ampun, Hilma. Suamimu itu memang gila, ya? Masa tega sama istri dan anak anak sendiri?"Virda menggerutu kesal dengan wajah memerah."Gara-gara perempuan otaknya sampai geser ga karuan."Ia menggeleng, tak habis pikir dengan kelakuan para lelaki.Hilma duduk di kursi kayu yang berada di teras rumah. Bangunan berlantai satu yang ditempati Virda bersama bibinya berada di Rawamangun. Posisinya yang di depan jalan, membuat mereka bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat.Virda sendiri masih tetap berdiri, mengurai kemarahan yang dirasakan ketika mendengar penjelasan perempuan yang dikenalnya sejak sekolah menengah atas.Menghadapi kemelut rumah tangga karena adanya orang ketiga memang membuang banyak energi.Ia saja yang hanya mendengar, sudah merasakan sakit juga kesal dengan sikap Wiguna, Tanti, dan Nela. Apalagi Hilma yang mengalami langsung.Lebih parah lagi,
Hilma menggeser gorden yang ada di kamar, kemudian membuka jendela. Udara sejuk menerpa kulit putih yang tampak lebih segar. Memberi sensasi seperti berada di pegunungan.Walaupun berada di tengah kota, tetapi udara di sekitar rumah Virda terasa alami. Banyaknya pepohonan dan dan tumbuhan yang ditanam, membuat rumah bercat biru itu tampak asri dan memberikan keteduhan tersendiri.Silau matahari yang memancar masuk melalui jendela membuat salah satu anak lelaki yang terbaring mengerjap, ia membuka perlahan matanya sambil menyesuaikan dengan silau yang menerpa."Assalamu'alaikum, selamat pagi anak Mama."Dengan senyum mengembang, perempuan yang memakai kaos dan celana panjang menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap kepala dan membungkuk memberi ciuman selamat pagi.Anak lelaki yang matanya sudah membuka sempurna itu tersenyum, dan bergerak untuk duduk."Pagi, Ma," ucap Ghani."Ma,
"Hilma!" panggil Wiguna dengan rahang mengeras setelah ia melihat lelaki berjas hitam telah keluar ruangan dengan tergesa.Hilma tersentak mendengar namanya dipanggil dengan nada keras, bahkan anak kecil yang masih berada dalam gendongannya ikut terkejut. Ia mundur selangkah. Melihat hal itu, Mima menatap tak suka pada lelaki yang berteriak di butiknya. Ia segera menghampiri orang yang merupakan calon suami klien-nya."Maaf, Pak, tolong jangan berteriak di sini!" Mima berkata dengan suara tegas. "Itu istri saya, Bu." Wiguna yang merasa tidak enak, bingung mencari alasan. "Istri? Bukannya calon istri Bapak ada di sana?" tanya Mima menyelidik.Ia menunjuk ke arah Nela yang sedang berada di ruang pengepasan."Oh, itu. Itu calon istri kedua saya, Bu," sahut Wiguna salah tingkah.Perempuan dengan wajah oriental itu terlihat mengerutkan kening. Namun, kemudian bersikap biasa
"Mbak, per jam tarifnya berapa?"Hilma langsung membulatkan mata mendengar ucapan lelaki tak dikenal yang berdiri di hadapannya.Mendapati tatapan liar dari lelaki asing yang menyoroti tubuhnya dari atas sampai bawah sambil membasahi bibir dengan satu tangan ingin menyentuh membuat Hilma lebih waspada. "Tolong jaga sikap, ya, Mas!" protes Hilma sambil memundurkan langkah menghindari sentuhan.Lelaki dengan wajah dipenuhi brewok itu tertawa sinis."Ga usah jual mahal, Mbak!" Nih, saya bayar sejuta buat satu jam."Segepok uang dilemparkan di bawah kaki Hilma. Orang yang berlalu lalang menatap heran ke arah dua orang yamg terlihat sedang berbicara. Mereka tampak acuh, berpikir bahwa mereka adalah sepasang kekasih atau suami istri yang sedang bermasalah.Dapat dilihat dari wajah perempuan yang tampak marah. Dan mereka memilih untuk mengabaikan, tak peduli dan tak mau mencampuri u
Pukul sembilan malam.Hilma menyelimuti anak-anaknya yang terlelap tidur, dilihatnya kembali wajah-wajah yang mewarisi gurat kemiripan sang ayah.Dalam usia masih belia mereka dipaksa untuk menerima keputusan orang dewasa yang kadang membuat luka. Namun, terkadang hidup tak memiliki pilihan. Perpisahan punbtak selalu membawa keburukan. Tergantung penyikapan dan kerjasama dari pasangan yang berpisah untuk saling menjaga agar anak-anak tetap mendapat haknya walau dari orangtua yang terpisah.Hilma akan selalu ada untuk mereka, dalam suka duka, sedih bahagia, tangis dan tawa. Sepenuh jiwa, selelah raga akan diperjuangkan segala cita juga cinta untuk kedua buah hati yang dianugerahkan padanya.Ia akan merenda masa depan walau harus tertatih-tatih dalam pencapaiannya."Jadi penguat Mama, ya, Nak!"Satu persatu kening sang anak dikecup, tanda kasih menuju alam mimpi.Sesudahnya
Orang-orang berlarian menuju tangga untuk turun ke lantai satu. Semuanya merangsek maju ke tempat yang ditunjukkan oleh pihak keamanan. Mereka saling berlomba untuk sampai lebih dulu ke arah tangga. Wajah-wajah panik terlihat diiringi suara teriakan dan jeritan para perempuan dan anak-anak.Di belakang, api menjalar dengan cepat, berkobar melahap benda-benda yang ada di dekatnya. Gerakannya meliuk-liuk menyambar ke setiap arah membuat semua orang semakin panik karena api semakin membesar, terlebih lagi ketika menyadari tangga yang dituju disesaki banyak orang.Suara alarm yaang menyala, turut membuat orang yang berada di lantai bawah juga berlarian menuju pintu keluar. Namun, beberapa pegawai lelaki justru melawan arus, mereka mencoba membantu rekannya di atas yang berusaha memadamkan api yang semakin melebar.Tabung-tabung darurat mereka semprotkan dari berbagai arah. Nyala api memantul dari mata para petugas keamanan juga beberapa pegawai
Satu hari setelah kebakaran."Penyebab kebakaran karena faktor kesengajaan. Jadi, memang ada yang berniat membuat toko Anda terbakar," ucap lelaki berkumis tipis yang membuat Wiguna terperangah. Tak mengira ada orang yang berniat menghancurkam sumber kehidupannya."Setelah diselidiki, api berasal dari gudang di lantai dua. Dan setelah kami identifikasi penyebabnya karena sebuah lilin yang sengaja dinyalakan di dekat bahan yang mudah terbakar.""Siapa orangnya, Pak?" Tanti bertanya dengan mimik wajah kesal mengetahui jika kebakaran terjadi karena ulah seseorang."Masih kami selidiki. Hanya saja kemungkinan besar pelakunya adalah orang dalam," sahut lelaki yang memakai jaket kulit."Jangan-jangan Hilma!" sahut Nela, membuat Wiguna menoleh."Ga mungkin!" sanggah Wiguna."Loh, kenapa engga, Mas! Kan, Hilma juga orang dalam. Mungkin dia dendam, makanya sengaja membakar tokomu!" Perempuan ber
Mendengar suara orang berteriak kencang, Hilma beserta lainnya yang sedang mengobrol di teras terkejut dan langsung menengok ke asal suara. Kemudian, mereka saling pandang mempertanyakan kedatangan tamu yang tak diundang.Anak-anak yang sedang bermain menjadi ketakutan dan langsung berlari mendekati Hilma."Ga apa, Sayang. Ada Tante," ucap Hilma merengkuh Cantika yang memeluknya. Dua orang anak lelakinya juga turut dipeluk sambil ditenangkan. Kemudian Hilma meminta tolong kepada Bi Yah untuk membawa mereka ke dalam rumah."Hilma!" Virda menahan pergelangan Hilma yang hendak melangkahkan kaki menghampiri orang asing tersebut, sementara Mima masih terpaku dengan kehadiran mereka yang terlihat tidak bersahabat."Ga apa, Vir." Hilma menyentuh punggung tangan Virda lembut. Sambil mengangguk dengan wajah tenang ia menyakinkan semuanya akan baik-baik saja."Maaf, ya, Mima, ada masalah sedikit. Aku ke depan dulu."
"Gery! Kamu tidak apa-apa?" Patra berusaha membangunkan Gery yang telungkup di lantai, lalu membalikkan tubuh yang penuh luka itu dalam pangkuannya.Gery hanya menggeleng. Ia terlihat ingin bicara, tetapi terlalu lemah.Sementara para pengikut Patra langsung menghadapi orang-orang Jayadi yang langsung menyerang ketika melihat keberadaan mereka, termasuk dua petarung yang kini beralih salam menghadapi lawan. Tubuh besar itu mengincar orang-orang berseragam hitam yang diketahui berseberangan dengan Jayadi. Bagi mereka, orang yang membayar mahal adalah tuannya. Dan yang bertentangan adalah musuh.Terjadi pertempuran menggunakan senjata api, sebagian mereka mencari benda terdekat sebagai pelindung dan bersembunyi di beberapa tempat di ruangan itu. Lima orang pengawal Patra melindungi tuannya yang masih mengkhawatirkan keadaan putra semata wayang. Sementara Jayadi yang dilindungi beberapa orang berhasil mendekati tubuh Hilma. Denga
"Bagaimana, apa kita masuk sekarang?" tanya Wiguna sambil terus mengawasi keadaan di depan yang sedang terjadi pertarungan."Jangan, Wiguna! Kita tidak bisa masuk ke dalam! Sangat berbahaya!" Melihat sekelompok orang berbaju hitam yang terus merangsek maju membuat Noto berpikir dua kali untuk menyerang. Namun, ia tak tahu, apa motif orang yang datang menyerang tersebut. Jika dilihat dari segerombolan orang yang terus berdatangan, tentu ia kalah jumlah. Noto memutuskan untuk terus mengawasi sampai memdapat kesempatan."Tapi bagaimana dengan Hilma? Orang-orang itu akan membahayakannya dan juga anak-anakku," ucap Wiguna resah. "Kita akan menunggu!" Melihat orang yang tadi berjalan gagah ia meyakini jika itu adalah ajudan dari sosok yang sangat dikenalnya. Ia harus memastikan dulu siapa oramg yang tengah menyerang markas di hadapannya itu. "Sembunyikan kepalamu, Guna!" Noto menekan kepala anaknya agar tidak menyembul. Di jalan
"Well. Dua orang ayah dan anak telah bertemu. Sesuatu yang sangat mengharukan!" ucap seorang lelaki paruh baya yang melangkah masuk ruangan sambil bertepuk tangan.Mendengar hal itu Gery dan Hilma melepaskan pelukan lalu menoleh pada asal suara."Uncle Jay!" Gery menyebut nama adik sepupu ayahnya."Yeah. Bagaimana Gery? Kamu bahagia?" tanya Jayadi sambil tersenyum dan melangkah mendekati. Orang-orang berbaju hitam di belakangnya pun turut mengikuti begitu juga Joni."Kau tahu Gery! Perpisahan itu sangat menyedihkan," ucap Jay menepuk pelan pundak keponakannya. "Aku pun sangat mengerti hal itu!" lanjutnya dengan nada suara pelan, terdengar sedih.Gery menghela napas. Ia tahu akan hal itu, mendapati anak satu-satunya memilih mengakhiri hidup karena seorang perempuan membuat pamannya sangat terpuruk. "Namun, aku berharap kau pun mau mengerti." Tubuh kurus yang telah menua itu berdiri tepat di hadapan G
"Joni! Apa yang terjadi?" tanya Gery pada anak buahnya.Anto yang mengikuti langkah Gery langsung terbelalak melihat teman yang dikenalnya di penjara terlihat babak belur. "Itu Bos, saya kasih pelajaran sama anak baru ini. Dia terlalu banyak membantah!" ujar Joni menjelaskan.Gery tak terlalu menanggapi penjelasan yang diberikan, kedua netranya fokus pada perempuan yang terduduk di atas ranjang dengan ketakutan. Sejenak, ia tertegun mendapati rupa yang begitu sama dengan istri pertamanya, setelah itu ia mulai melangkah. Wajah yang mengingatkannya pada Amelia seolah menarik dirinya untuk mendekat.Sementara Anto yang sejak tadi terlihat gundah, langsung membantu Haris yang tak berdaya. Ia langsung memeriksa keadaan temannya."Kamu ga apa, Ris?"Aris tidak menjawab. Sekitar mulutnya mengeluarkan darah, tetapi dengan isyarat mata seolah mengatakan ia akan baik-baik saja. Lelaki yang merupakan tangan ka
Mendapati seseorang menyapanya, lelaki yang sedang menatap pusara itu menegakkan tubuh, dengan pandangan masih ke arah makam mendiang Amira."Ada apa?" Lelaki itu bertanya dingin."Maaf, Tuan Gery, saya diminta menyampaikan ini pada Anda." Seseorang yang memakai pakaian serba hitam itu melangkah, kemudian melewati Gery selangkah dan berbalik menghadap lelaki yang tampak acuh tak acuh tersebut. Ponsel berwarna hitam disodorkan dengan posisi menyala dan berada pada sebuah file yang sudah dipersiapkan.Gery terlihat enggan untuk mengambilnya."Tolong diterima, Tuan. Ini masih berhubungan dengan mendiang Nyonya Amelia," jelas pengawal tersebut.Mendengar nama perempuan masa lalunya disebut, Gery menoleh lalu menatap tajam pada pengawal di hadapannya. Tampak sekali wajahnya terlihat tidak suka.Menyadari perubahan mimik yang tak biasa, tubuh tinggi kurus itu sedikit membungkukkan tubuh. "Maaf, Tuan Gery.
"Mas, Mas Idam kenapa?" tanya Mima melihat saudara lelakinya yang terlihat syok.Mendengar suara yang terdengar panik, Opa Patra menoleh. Wajahnya pun terlihat resah, baru saja ia juga menerima berita yang kurang baik. Namun, melihat cucu menantunya yang membeku, ia langsung menghampiri."Idam apa kamu baik-baik saja?" Dua kali memdapat pertanyaan dari orang yang berbeda, Idam masih terdiam. Mima melangkah lebih mendekat, menepuk bahu orang yang seolah tak sadar."Mas Idam kenapa?"Mendapat tepukan pelan, lelaki itu tersentak lalu menoleh."Hilma, Mim!""Kenapa Mbak Hilma!""Hilma diculik!"Mendengar nama yang tak asing dengan kejadian yang sama baru dilaporkan oleh bawahannya membuat Opa Patra terperangah."Hilma! Diculik!" gumam Opa PatraSementara Mima langsung histeris."Mas, cepat tolong Hilma!""L
"Hilma, kamu akan segera mati!" Wiguna terkejut dengan penuturan istrinya. Bibir tipis yang selalu disukainya dulu itu menggaungkan kata yang mengerikan. Sebegitu bencikah perempuan yang masih terpejam itu pada Hilma. Padahal mantan istrinya tidak pernah menganggu rumah tangga mereka, bahkan perihal nafkah untuk anak-anak pun tak pernah menuntut, diberi berapapun akan diterima, tak diberipun tak pernah mengeluh. Perihal nafkah itu juga baru ia penuhi tiga bulan terakhir.Tring!Ponsel merah muda yang tergeletak tak jauh dari Wiguna, menyala dengan getaran yang membuat benda itu menarik perhatiannya. Ingatan mengenai dugaan sang ayah, jika Nela terlibat dalam penculikan Hilma, terngiang di kepalanya. Sebuah ide muncul untuk memeriksa benda pribadi istrinya itu. Setelah memastikan perempuan di sebelahnya masih tertidur pulas, ia mulai mengambil ponsel itu perlahan, lalu membuka paswordnya. Beruntung masih menggunakam kata sandi
Mendengar mantan istri serta kedua anaknya diculik, Wiguna langsung bangkit berdiri lalu menarik kerah baju ayahnya sampai lelaki berambut putih itu mendongak."Apa yang Anda lakukan terhadap Hilma dan anakku?" ucap Wiguna dengan kemarahan yang membara. Yana yang melihat sang anak berlaku kasar pada Noto langsung menghampiri dan berusaha melerai, akan tetapi Wiguna tidak menghiraukan permintaan ibunya. Ia terus saja mendesak meminta penjelasan.Sementara Noto masih terdiam, kedua matanya terpaku pada tatapan yang menyorot tajam, ia mendapati kekhawatiran juga ketakutan akan kehilangan di manik tersebut."Gun, jangan seperti itu!""Lepasin, Gun! Ga baik kamu bersikap seperti ini!""Guna! Kamu tidak mendengar ibu, ya?""Jangan Guna!" teriak Yana ketika anaknya semakin menarik paksa kerah baju lelaki yang tampak pasrah. Ia menggeleng dengan airmata yamg semakin menderas. Kesalahpahaman y
Idam terpaku pada seseorang yang bersama Mima di meja makan ketika sedang menuruni tangga. Seketika wajahnya berubah cerah pada saat menyadari jika itu adalah kakek dari istrinya. Dengan riang ia mempercepat langkah dan menghampiri kumpulan orang yang tengah tertawa."Opa, kapan datang!" tanya Idam ketika telah berada di depan lelaki paruh baya yang tengah menyuapi Cantika. Satu tangannya mengambil jemari keriput itu dan menyalaminya."Semalam, Nak." "Semalam? Kenapa tidak ada yang memberitahuku!" Lelaki yang mengenakan jas hitam itu menatap pada adiknya meminta penjelasan. "Mima kenapa ga kasih kabar?"Mima yang tengah mengoles roti menengok. "Opa yang minta untuk tidak memberi kabar. Mau buat suprise, eh Mas Idam lagi-lagi pulangnya kelewat malam, bahkan pagi," ucap Mima menggeleng, mengetahui jika saudara laki-lakinya tengah memiliki masalah lagi, selalu seperti itu jika banyak hal yang dipikirkan. Hanya saja ia tidak suka