Aku rasa perasaan itu layaknya cinta monyet pada anak-anak biasanya. Namun seiring berjalannya waktu, rasa itu terus mengalir dengan beragam macam hal yang cukup menyakitkan di hati.
Ada baiknya pula aku menuruti kata-kata ayahku tiga tahun yang lalu ketika aku lulus SMP untuk masuk ke pondok pesantren. Yang otomatis aku terhindar dari gadget, media sosial dan tentu saja, dia.
Kulakukan itu semua dalam batas wajar dan tidak memaksakan diri. Sampai sekarang, entah hidayah apa yang aku dapatkan setelah masuk ke dunia pesantren, aku sudah tidak menyimpan perasaan itu, bahkan aku memutuskan untuk tidak menyukai orang lain saat ini, sampai akhirnya aku menemukan seseorang yang tepat.
Jujur aku senang mendapat chat darinya. Senang karena masih ada yang ingat denganku setelah tiga tahun menghilang dari media sosial. Dan juga senang, karena sudah tidak merasakan letupan aneh itu seperti yang kurasakan beberapa tahun yang lalu.
Mau bagaimanapun, Jundi bagiku adalah teman di sekolah dasar. Atau lebih tepatnya, dia adalah satu-satunya teman cowok yang ku punya. Jujur, dia memiliki wajah yang tidak begitu tampan, dia juga tidak terlalu pintar di beberapa mata pelajaran. Aku bahkan sampai lupa kenapa bisa menyukainya sampai seperti waktu itu. Tapi ada satu yang selalu kuingat darinya, dia adalah anak yang baik.
Kilat menunjukkan cahayanya dengan sangat cepat dan menyilaukan, sedetik kemudian di susul oleh suara gemuruh petir yang dahsyat sehingga membangunkanku dari lamunan.
Kuklik nick name nya yang ternyata sudah kupandangi selama satu menit lebih. Dia menulis “Besok malem kosong ga? Bisa ketemu di caffe upnormal, jam delapan?” Untuk pertama kalinya seorang Jundi mengajakku ketemuan setelah enam tahun kami tidak bertemu.
Jujur aku kaget dengan permintaannya yang sangat tiba-tiba dan tanpa basa-basi itu. Mungkin chat seperti inilah yang aku inginkan darinya tiga tahun yang lalu. Tapi, untuk saat ini aku seperti mati rasa. Aku senang, tapi biasa saja, kalian mengerti kan maksudku?.
Tidak ada salahnya juga menerima tawarannya. Toh, besok malam aku tidak ada janji dengan siapa-siapa. Tadinya aku berfikir untuk bertanya terlebih dahulu “Ngapain?” tapi kutarik kembali pertanyaan tersebut. Berhubung dia adalah teman dekat SD ku dulu. Aku langsung menjawab “Oke”.
Dari jendela kamar, aku melihat langit telah berubah dari mendung menjadi hujan yang cukup deras. Terasa sangat sejuk dan nyaman berada di dalam kamar dengan cuaca sore hari seperti ini. Tidak sampai semenit kemudian aku sudah larut dalam mimpiku tanpa memikirkan apa yang akan terjadi besok malam.
*
-Jundi.
Hujan baru saja reda setelah sholat isya. Semua tanah dan pikiran telah basah malam ini. Basah karena rintik hujan, dan basah karena rindu yang menghujam. Ironisnya, hujan telah mereda, sedangkan rindu tak kunjung merendah.
Aku baru tiba di rumah setelah menyiapkan segala persiapan untuk besok malam. Seperti kemeja flanel warna biru tua, sepatu, sampai kaos kaki baru. Tentu aku tidak akan membeli semua itu kalau saja Amir tidak memaksa.
Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar dengan tempelan-tempelan bintang glow in the dark berbagai macam ukuran. Tapi pikiranku sekarang sedang tidak sedikitpun berada di kamar ini. Pikiranku mengembara jauh ke delapan tahun yang lalu ketika aku masih duduk di kelas empat SD, saat pertama kali bertemu dengan Kintan.
*
Aku di paksa oleh kedua orang tuaku untuk mengikuti ekskul bahasa inggris setelah pulang sekolah. Tentu saja aku menolaknya, karena bahasa inggris adalah pelajaran yang kubenci setelah matematika. Sampai pada akhirnya aku menyerah dan menuruti keinginan mereka karena di iming-imingi dengan sepeda baru.
Sore itu dengan berat hati aku memasuki kelas ekskul dengan langkah yang terseok-seok. Aku langsung memilih kursi paling belakang dan dekat dengan jendela seperti biasa. Kelas bahasa inggris ini di isi oleh murid-murid kelas empat dari macam-macam kelas, sehingga ada beberapa murid yang belum kukenal.
Kelas dimulai. Guruku menjelaskan pelajarannya di depan kelas. Sedangkan aku melamun sambil melihat keluar jendela memperhatikan murid-murid yang lain pulang sekolah dengan jemputannya masing-masing. Sampai sesuatu membuyarkan lamunanku ketika seorang perempuan berdiri di depan kelas dengan sehelai kertas di tangannya.
Aku terus memperhatikan anak perempuan itu. Mataku seperti terpaku kepadanya, sampai akhirnya dia melihat kearahku dan tersenyum. Kemudian JDUAR!!! Kira-kira begitulah perasaanku. Silau dan membekukan, bagaikan tersambar petir. Jantungku berhenti berdetak. Sesuatu yang aneh masuk ke dalam diriku. Perasaan yang belum pernah aku rasakan seumur hidup, sulit bagiku untuk menguraikan perasaan itu menjadi kata-kata. Sesuatu yang hangat dan nyaman, aku merasa menjadi jauh lebih hidup dari sebelumnya. Hanya satu yang aku pikirkan pada saat itu, aku tidak ingin ini segera berakhir.
Sampai pelajaran berakhir aku terus memperhatikan gerak-gerik perempuan tersebut yang belum aku ketahui siapa namanya. Bagaimana caranya berjalan ketika kembali ke kursinya, bagaimana ia menulis dan membuka-buka bukunya halaman demi halaman. Otakku merekam semua itu dengan adegan slow motion, sehingga semua yang ia lakukan bagaikan sedang menari-nari, sangat indah.
Ekskul hari inipun selesai. Kelas yang berlangsung selama satu jam, menjadi begitu singkat. Berat bagiku untuk beranjak dari kursi yang beberapa jam lalu sangat kubenci. Guru sudah mempersilahkan murid-muridnya untuk segera pulang. Aku berfikir inilah saat yang tepat untuk menyapa dan berkenalan dengannya.
Tapi, dia langsung meninggalkan kelas dan berlari dengan teman sebangkunya tadi. Tanpa pikir panjang aku pun mengejarnya. Perasaan aneh itu telah berubah menjadi sebuah energy semangat, mungkin sekarang aku bisa membalikkan seluruh sekolah ini.
Aku terus mengejarnya. Perempuan itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Aku semakin dekat dan dekat, ketika ia sedang melambaikan tangan ke temannya yang sudah lebih dulu di jemput. Hingga ada sesuatu yang membuat langkahku menjadi berat sampai akhirnya aku berhenti berlari.
Aku sadar, ternyata nyaliku tidak sebesar seperti yang aku pikirkan, semangatku baru saja di patahkan oleh rasa tidak percaya diriku sendiri. Aku seperti terpaku di tempatku berdiri, tidak bisa bergerak dan terus memperhatikannya dari kejauhan, sampai sebuah mobil avanza silver berhenti di depan gerbang menjemput perempuan itu, ia masuk ke dalam mobil, kemudian pergi begitu saja tanpa menyadari bahwa ada seorang anak laki-laki culun yang telah memperhatikannya sekitar satu jam terakhir.
Malamnya aku terus memikirkan perempuan tanpa nama tersebut. Masalah sepeda baru sudah kulupakan begitu saja, membuat kedua orang tuaku kebingungan. Aku terus memikirkan apa yang akan terjadi besok ketika aku bertemu dengan-nya lagi, apa yang akan aku ucapkan dan apakah aku sanggup melakukannya? Membayangkannya saja sudah membuatku menjadi orang yang paling bahagia di alam semesta.
...*...
Keesokannya aku tiba di sekolah setengah jam lebih awal, padahal biasanya aku baru sampai ketika bel hampir berbunyi bahkan beberapa kali ketika gerbang sekolah sudah ditutup. Aku duduk di koridor depan kelas sendirian sambil memperhatikan semua murid yang baru saja datang. Berharap perempuan tersebut menunjukkan dirinya di tengah-tengah kerumunan.Aku tidak perlu menunggu lebih lama, karena perempuan itu sudah tiba bersama lima orang temannya. Wajahnya yang berkulit putih dan bersinar bagaikan baru saja terkena air wudhu membuatnya terlihat paling mencolok di antara mereka. Melihat caranya tertawa yang lepas dan tidak tahu malu itu membuatku ingin tertawa juga bersamanya.Aneh. Jika dipikir-pikir, kenapa aku baru bisa mengetahui kalau ternyata di sekolah ini ada perempuan secantik itu. Kemana aja aku selama empat tahun berada di sekolah ini.“Jun, ngeliatin siapa?” tanya teman sekelasku Sidiq dengan senyuman
-Kintan.“Kak Kin… habis sholat, langsung di muroja’ah hafalannya.” Mamaku mengingatkan dari lantai bawah.Entah kenapa orangtuaku selalu memanggilku dengan panggilan ‘kak’, padahal aku adalah anak semata wayang di keluarga kecil ini. Begitulah panggilanku dari kecil, aku juga tidak terlalu mempermasalhankannya. Bahkan mamaku juga suka memanggilku sebagai ‘tuan putri’.Aku baru saja selesai sholat subuh dan segera menjalankan rutinitas seperti di pesantren kembali, yaitu memuraja’ah hafalan. Walaupun aku sudah lulus dari sana, bukan berarti aku akan meninggalkan semua yang telah mereka ajarkan kepadaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengamalkan dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.Aku mulai memuraja’ah hafalan juz dua puluh sembilan. Ketika aku sampai pada surah Al-Haqqah, senyum tipis perlahan muncul di wajahku. Aku teringat saa
Tapi, kesenangan itu menghilang begitu cepat setelah aku menyadari kelompok tahfidz ini hanya akan bertemu seminggu sekali, sama seperti ketika aku satu kelas ekskul bahasa inggris setahun yang lalu. Dan aku akan selalu menjadi pengagum setianya dari kejauhan. Sidiq menyadari apa yang sedang di pikirkan sahabatnya saat itu, ia pun mengeluarkan sebuah rencana baru.“Gue yakin kok tahun ini lo bisa lebih deket sama Kintan.” ucapnya percaya diri.“Karena?” Aku masih tidak yakin.“Karena, lo kali ini sekelompok di kelompok tahfidz. bukan bahasa inggris pelajaran yang nggak lo suka kayak dulu.” Aku mengerti maksudnya.Ada benarnya juga. Setidaknya aku lebih menyukai pelajaran tahfidz dari pada bahasa inggris, itupun karena orang tuaku selalu mendidik anak-anaknya dengan Al-Qur'an setiap hari setelah sholat maghrib dan subuh sehingga kesempatan menghafalku lebih banyak.
-Jundi.“Yaudah kalo gitu lo lupain aja Men. Mau sampai kapan Lo kayak gini terus?” ucap sahabatku Amir, pelan, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia kelihatan sudah sangat putus asa menasehatiku.“Gue gak bisa Mir. Gue udah berusaha sebisa mungkin buat ngelupain dia, tapi tetep aja gak bisa.” Jawabku sambil terus memainkan sebatang rokok ditangan yang belum kunyalakan semenjak setengah jam yang lalu ketika aku duduk di warkop ini.Kali ini Amir diam tidak menjawab, entah apa yang sedang dia pikirkan. “Ayo dong, yang gue butuh itu solusi bro.”Amir masih diam. Aku mendorong bahunya untuk menyadarkannya dari lamunan. Tapi sedetik kemudian dia menggenggam tangan kiriku, sambil menatap tajam mataku. Perasaanku ga enak. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.Aku panik dan berteriak “Dih apaan si lo!” Sambil menghindari waja
Tapi, kesenangan itu menghilang begitu cepat setelah aku menyadari kelompok tahfidz ini hanya akan bertemu seminggu sekali, sama seperti ketika aku satu kelas ekskul bahasa inggris setahun yang lalu. Dan aku akan selalu menjadi pengagum setianya dari kejauhan. Sidiq menyadari apa yang sedang di pikirkan sahabatnya saat itu, ia pun mengeluarkan sebuah rencana baru.“Gue yakin kok tahun ini lo bisa lebih deket sama Kintan.” ucapnya percaya diri.“Karena?” Aku masih tidak yakin.“Karena, lo kali ini sekelompok di kelompok tahfidz. bukan bahasa inggris pelajaran yang nggak lo suka kayak dulu.” Aku mengerti maksudnya.Ada benarnya juga. Setidaknya aku lebih menyukai pelajaran tahfidz dari pada bahasa inggris, itupun karena orang tuaku selalu mendidik anak-anaknya dengan Al-Qur'an setiap hari setelah sholat maghrib dan subuh sehingga kesempatan menghafalku lebih banyak.
-Kintan.“Kak Kin… habis sholat, langsung di muroja’ah hafalannya.” Mamaku mengingatkan dari lantai bawah.Entah kenapa orangtuaku selalu memanggilku dengan panggilan ‘kak’, padahal aku adalah anak semata wayang di keluarga kecil ini. Begitulah panggilanku dari kecil, aku juga tidak terlalu mempermasalhankannya. Bahkan mamaku juga suka memanggilku sebagai ‘tuan putri’.Aku baru saja selesai sholat subuh dan segera menjalankan rutinitas seperti di pesantren kembali, yaitu memuraja’ah hafalan. Walaupun aku sudah lulus dari sana, bukan berarti aku akan meninggalkan semua yang telah mereka ajarkan kepadaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengamalkan dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.Aku mulai memuraja’ah hafalan juz dua puluh sembilan. Ketika aku sampai pada surah Al-Haqqah, senyum tipis perlahan muncul di wajahku. Aku teringat saa
Keesokannya aku tiba di sekolah setengah jam lebih awal, padahal biasanya aku baru sampai ketika bel hampir berbunyi bahkan beberapa kali ketika gerbang sekolah sudah ditutup. Aku duduk di koridor depan kelas sendirian sambil memperhatikan semua murid yang baru saja datang. Berharap perempuan tersebut menunjukkan dirinya di tengah-tengah kerumunan.Aku tidak perlu menunggu lebih lama, karena perempuan itu sudah tiba bersama lima orang temannya. Wajahnya yang berkulit putih dan bersinar bagaikan baru saja terkena air wudhu membuatnya terlihat paling mencolok di antara mereka. Melihat caranya tertawa yang lepas dan tidak tahu malu itu membuatku ingin tertawa juga bersamanya.Aneh. Jika dipikir-pikir, kenapa aku baru bisa mengetahui kalau ternyata di sekolah ini ada perempuan secantik itu. Kemana aja aku selama empat tahun berada di sekolah ini.“Jun, ngeliatin siapa?” tanya teman sekelasku Sidiq dengan senyuman
Aku rasa perasaan itu layaknya cinta monyet pada anak-anak biasanya. Namun seiring berjalannya waktu, rasa itu terus mengalir dengan beragam macam hal yang cukup menyakitkan di hati.Ada baiknya pula aku menuruti kata-kata ayahku tiga tahun yang lalu ketika aku lulus SMP untuk masuk ke pondok pesantren. Yang otomatis aku terhindar dari gadget, media sosial dan tentu saja, dia.Kulakukan itu semua dalam batas wajar dan tidak memaksakan diri. Sampai sekarang, entah hidayah apa yang aku dapatkan setelah masuk ke dunia pesantren, aku sudah tidak menyimpan perasaan itu, bahkan aku memutuskan untuk tidak menyukai orang lain saat ini, sampai akhirnya aku menemukan seseorang yang tepat.Jujur aku senang mendapat chat darinya. Senang karena masih ada yang ingat denganku setelah tiga tahun menghilang dari media sosial. Dan juga senang, karena sudah tidak merasakan letupan aneh itu seperti yang kurasakan beberapa tahun yang lalu.
-Jundi.“Yaudah kalo gitu lo lupain aja Men. Mau sampai kapan Lo kayak gini terus?” ucap sahabatku Amir, pelan, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia kelihatan sudah sangat putus asa menasehatiku.“Gue gak bisa Mir. Gue udah berusaha sebisa mungkin buat ngelupain dia, tapi tetep aja gak bisa.” Jawabku sambil terus memainkan sebatang rokok ditangan yang belum kunyalakan semenjak setengah jam yang lalu ketika aku duduk di warkop ini.Kali ini Amir diam tidak menjawab, entah apa yang sedang dia pikirkan. “Ayo dong, yang gue butuh itu solusi bro.”Amir masih diam. Aku mendorong bahunya untuk menyadarkannya dari lamunan. Tapi sedetik kemudian dia menggenggam tangan kiriku, sambil menatap tajam mataku. Perasaanku ga enak. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.Aku panik dan berteriak “Dih apaan si lo!” Sambil menghindari waja