Share

SEBUAH JANJI

last update Last Updated: 2021-08-29 14:57:24

Keesokannya aku tiba di sekolah setengah jam lebih awal, padahal biasanya aku baru sampai ketika bel hampir berbunyi bahkan beberapa kali ketika gerbang sekolah sudah ditutup. Aku duduk di koridor depan kelas sendirian sambil memperhatikan semua murid yang baru saja datang. Berharap perempuan tersebut menunjukkan dirinya di tengah-tengah kerumunan.

Aku tidak perlu menunggu lebih lama, karena perempuan itu sudah tiba bersama lima orang temannya. Wajahnya yang berkulit putih dan bersinar bagaikan baru saja terkena air wudhu membuatnya terlihat paling mencolok di antara mereka. Melihat caranya tertawa yang lepas dan tidak tahu malu itu membuatku ingin tertawa juga bersamanya.

Aneh. Jika dipikir-pikir, kenapa aku baru bisa mengetahui kalau ternyata di sekolah ini ada perempuan secantik itu. Kemana aja aku selama empat tahun berada di sekolah ini.

“Jun, ngeliatin siapa?” tanya teman sekelasku Sidiq dengan senyuman di wajahnya, yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku entah sejak kapan.

“Enggak, lagi bengong aja.” Jawabku ngeles. Karena aku memang terkenal sebagai anak yang suka melamun di kelas.

“Boong lo, gue itu udah empat tahun kenal sama lo. Yang gue liat dari mata lo itu bukan lagi bengong, tapi sedang memperhatikan.” Ucap Sidiq sok tahu. Tapi memang benar kenyataannya begitu.

Aku dan Sidiq selalu sekelas dari kelas satu sampai sekarang. Entah kenapa guruku selalu menempatkan kami di satu kelas yang sama, padahal kami jarang berbicara dan juga tidak terlalu dekat walaupun selalu sekelas. Kami berbicara di saat-saat yang di perlukan saja, dan biasanya selalu Sidiq yang memulai pembicaraan, seperti sekarang contohnya.

Aku menoleh kearah Sidiq, sewot. “Dih sok tau.” Sidiq malah terkekeh. Orang yang aneh, pikirku. Mungkin karena inilah aku tidak bisa berteman dengannya. Sidiq orang yang sangat cerewet dan banyak bicara, sedangkan aku adalah anak yang pendiam di kelas.

Atau lebih tepatnya, Sidiq adalah murid yang rajin dan selalu duduk di kursi paling depan, dia juga tipe murid yang selalu mengingatkan guru ketika ada PR hari ini, tentu saja sifatnya itu membuat aku dan teman-teman sekelasnya kesal.

Sedangkan aku adalah tipe murid yang selalu duduk di kursi paling belakang, bukan karena aku anak yang nakal. Tapi aku adalah murid yang pemalas dan selalu mencoret-coret kertas atau meja ketika guru sendang menjelaskan, kecuali saat pelajaran yang kusukai yaitu SBK dan menggambar.

Sebetulnya ada kesamaan di antara kami, yaitu sama-sama tidak suka bergaul dan kami kutu buku. Bedanya Sidiq lebih suka membaca-baca buku pelajaran, sedangkan aku lebih suka membaca buku-buku fiksi seperti Harry Potter, Percy Jackson, Naruto dan semacamnya.

“Gue tau lo perhatiin siapa.” Katanya sambil meletakkan tangan di pundakku dan ikut memperhatikan perempuan tersebut.

Aku yang sudah tidak memiliki pertahanan untuk mengelak, mulai salah tingkah.

“Namanya Kintan, kelasnya yang paling pojok. Banyak yang suka sama dia. Dulu gue juga suka sama dia, tapi sekarang udah enggak.” Ucapnya terus terang.

“Kenapa udah enggak?” tanyaku penasaran.

“Tuh kan bener si Kintan ternyata.” ledeknya lagi karena sudah berhasil memojokkanku, “Hmm.. karena, udah banyak yang suka sama dia mungkin.”

“Yaa.. walaupun banyak yang suka, tapi kan pasti dia bakal pilih salah satu.” Kataku, seperti tidak terima dengan pemikirannya.

“Itu sih terserah lo. Kalo gue jujur udah ga suka sama dia, gue juga mikir mana mau dia sama gue. Coba lo pikir deh, dia itu cewek yang cukup populer di kelas, temennya banyak, orangnya rame, pinter, cantik, punya mobil juga. Sedangkan gue?” jeda, “Ciuman pertama gue aja waktu kelas dua di gelanggang samudra sama lumba-lumba.” Ucapnya dramatis.

“Iya juga sih.” Aku mengiyakan curhatannya, kemudian kembali memperhatikan perempuan yang ternyata bernama Kintan. Nama yang unik dan lucu ketika di dengar, sangat cocok dengan wajahnya.

“Apalagi sama lo. Mana mau dia sama si tukang bengong di kelas, pendek, introvert dan gak punya teman.” Lanjut Sidiq dengan santai sambil merapihkan rambutnya yang sebenarnya sudah rapih. Aku sadar kalau dia sedang mengejekku.

Aku cukup tersinggung dan berdiri menatap tajam ke arahnya, “Maksud lo apaan?!”.

“Ya lo kan emang tukang bengong, pendek, introvert dan gak punya teman.” dia mengulangi kata-katanya masih dengan wajah tidak bersalah.

Aku sewot dan berteriak ke mukanya, “LO KAN JUGA INTROVERT DAN GAK PUNYA TEMAN!”

“Lah kok lo jadi ngatain gue?!” Sidiq balik membentak, merasa tersinggung juga.

“Kan-lo-emang-introvert-dan-gak-punya-teman.” Balasku sambil membenarakan rambut, meniru gayanya.

“TAPI, GUE BUKAN TUKANG BENGONG KAYAK LO, GUE JUGA GA PENDEK!” Sidiq balas berteriak, gak mau kalah.

“GUE JUGA BUKAN ORANG YANG GAMPANG MENYERAH DAN PENGECUT KAYAK LO!.”

Chaos.

Emosiku semakin terpancing, dan mulai mengeluarkan semua kata-kata yang ada di pikiranku saat itu tanpa menyaringnya lagi.

“GUE BUKAN NYA NYERAH. TAPI GUE TAU DIRI. GAK KAYAK LO!”

“TERUS APA MASALAHNYA SAMA LO?”

“APA!”

“YA APA”

“APA”

“APA”

Kami saling melotot satu sama lain. Tanpa kami berdua sadari, ternyata semua murid yang ada di sana sudah mengerumuni kami, begitu juga dengan Kintan. Kami yang menyadari itu pun langsung terdiam. Hening seketika.

“Pukul! Pukul! Pukul!” salah satu murid berteriak memanas-manasi.

Tentu saja kami berdua tidak akan terpancing. Menjadi pusat perhatian seperti ini saja sudah membuat kami sangat malu. Aku beruntung karena bel masuk sekolah berbunyi tepat waktu dan para guru tiba, merekapun bubar dengan kecewa karena pertunjukkan kali ini tidak begitu seru. Begitulah yang akan terjadi saat sesama bocah culun dan kutu buku ketika bertengkar.

Terlepas dari rasa marahku kepada Sidiq. Aku lebih cemas memikirkan apa yang di pikirkan oleh Kintan terhadapku barusan. Apakah dia akan berfikir kalau aku adalah murid yang selalu membuat keributan, bagaimana kalau ia membenciku di saat pertama kali melihatku. Aku terus mencemaskannya selama pelajaran pagi itu, sampai bel istirahat berbunyi.

Kini hubunganku dengan Sidiq menjadi lebih jauh lagi, dan selama pelajaran tadi Sidiq jadi lebih pendiam. Tidak seperti biasanya yang selalu bertanya ketika ada sesuatu yang belum jelas baginya dan dia yang selalu pertama kali menjawab ketika di berikan pertanyaan. Aku jadi merasa bersalah atas kejadian tadi pagi, setelah di pikir-pikir, mengapa aku tadi harus marah ketika dia berkata yang sebenarnya tentangku.

Aku berniat untuk meminta maaf kepadanya, ketika seseorang berdiri di depan mejaku. Aku mendongak kearah orang tersebut. Sontak aku terkejut karena itu adalah Sidiq.

Sidiq mengulurkan tangannya dan berkata, “Maaf soal tadi. Gua janji bakal bantu lo, sampai lo dapetin dia. Gue yakin lo pasti bisa, gue tau lo bukan orang yang gampang menyerah dan pengecut kayak gue.” Aku balas menjabat tangannya dan sejak saat itu kami pun menjadi teman dekat.

...*...

Related chapters

  • Suka Tapi Tak Cinta   KELOMPOK TAHFIDZ

    -Kintan.“Kak Kin… habis sholat, langsung di muroja’ah hafalannya.” Mamaku mengingatkan dari lantai bawah.Entah kenapa orangtuaku selalu memanggilku dengan panggilan ‘kak’, padahal aku adalah anak semata wayang di keluarga kecil ini. Begitulah panggilanku dari kecil, aku juga tidak terlalu mempermasalhankannya. Bahkan mamaku juga suka memanggilku sebagai ‘tuan putri’.Aku baru saja selesai sholat subuh dan segera menjalankan rutinitas seperti di pesantren kembali, yaitu memuraja’ah hafalan. Walaupun aku sudah lulus dari sana, bukan berarti aku akan meninggalkan semua yang telah mereka ajarkan kepadaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengamalkan dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.Aku mulai memuraja’ah hafalan juz dua puluh sembilan. Ketika aku sampai pada surah Al-Haqqah, senyum tipis perlahan muncul di wajahku. Aku teringat saa

    Last Updated : 2021-08-29
  • Suka Tapi Tak Cinta   RIVAL

    Tapi, kesenangan itu menghilang begitu cepat setelah aku menyadari kelompok tahfidz ini hanya akan bertemu seminggu sekali, sama seperti ketika aku satu kelas ekskul bahasa inggris setahun yang lalu. Dan aku akan selalu menjadi pengagum setianya dari kejauhan. Sidiq menyadari apa yang sedang di pikirkan sahabatnya saat itu, ia pun mengeluarkan sebuah rencana baru.“Gue yakin kok tahun ini lo bisa lebih deket sama Kintan.” ucapnya percaya diri.“Karena?” Aku masih tidak yakin.“Karena, lo kali ini sekelompok di kelompok tahfidz. bukan bahasa inggris pelajaran yang nggak lo suka kayak dulu.” Aku mengerti maksudnya.Ada benarnya juga. Setidaknya aku lebih menyukai pelajaran tahfidz dari pada bahasa inggris, itupun karena orang tuaku selalu mendidik anak-anaknya dengan Al-Qur'an setiap hari setelah sholat maghrib dan subuh sehingga kesempatan menghafalku lebih banyak.

    Last Updated : 2021-08-29
  • Suka Tapi Tak Cinta   PROLOG

    -Jundi.“Yaudah kalo gitu lo lupain aja Men. Mau sampai kapan Lo kayak gini terus?” ucap sahabatku Amir, pelan, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia kelihatan sudah sangat putus asa menasehatiku.“Gue gak bisa Mir. Gue udah berusaha sebisa mungkin buat ngelupain dia, tapi tetep aja gak bisa.” Jawabku sambil terus memainkan sebatang rokok ditangan yang belum kunyalakan semenjak setengah jam yang lalu ketika aku duduk di warkop ini.Kali ini Amir diam tidak menjawab, entah apa yang sedang dia pikirkan. “Ayo dong, yang gue butuh itu solusi bro.”Amir masih diam. Aku mendorong bahunya untuk menyadarkannya dari lamunan. Tapi sedetik kemudian dia menggenggam tangan kiriku, sambil menatap tajam mataku. Perasaanku ga enak. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.Aku panik dan berteriak “Dih apaan si lo!” Sambil menghindari waja

    Last Updated : 2021-08-29
  • Suka Tapi Tak Cinta   MATI RASA

    Aku rasa perasaan itu layaknya cinta monyet pada anak-anak biasanya. Namun seiring berjalannya waktu, rasa itu terus mengalir dengan beragam macam hal yang cukup menyakitkan di hati.Ada baiknya pula aku menuruti kata-kata ayahku tiga tahun yang lalu ketika aku lulus SMP untuk masuk ke pondok pesantren. Yang otomatis aku terhindar dari gadget, media sosial dan tentu saja, dia.Kulakukan itu semua dalam batas wajar dan tidak memaksakan diri. Sampai sekarang, entah hidayah apa yang aku dapatkan setelah masuk ke dunia pesantren, aku sudah tidak menyimpan perasaan itu, bahkan aku memutuskan untuk tidak menyukai orang lain saat ini, sampai akhirnya aku menemukan seseorang yang tepat.Jujur aku senang mendapat chat darinya. Senang karena masih ada yang ingat denganku setelah tiga tahun menghilang dari media sosial. Dan juga senang, karena sudah tidak merasakan letupan aneh itu seperti yang kurasakan beberapa tahun yang lalu.

    Last Updated : 2021-08-29

Latest chapter

  • Suka Tapi Tak Cinta   RIVAL

    Tapi, kesenangan itu menghilang begitu cepat setelah aku menyadari kelompok tahfidz ini hanya akan bertemu seminggu sekali, sama seperti ketika aku satu kelas ekskul bahasa inggris setahun yang lalu. Dan aku akan selalu menjadi pengagum setianya dari kejauhan. Sidiq menyadari apa yang sedang di pikirkan sahabatnya saat itu, ia pun mengeluarkan sebuah rencana baru.“Gue yakin kok tahun ini lo bisa lebih deket sama Kintan.” ucapnya percaya diri.“Karena?” Aku masih tidak yakin.“Karena, lo kali ini sekelompok di kelompok tahfidz. bukan bahasa inggris pelajaran yang nggak lo suka kayak dulu.” Aku mengerti maksudnya.Ada benarnya juga. Setidaknya aku lebih menyukai pelajaran tahfidz dari pada bahasa inggris, itupun karena orang tuaku selalu mendidik anak-anaknya dengan Al-Qur'an setiap hari setelah sholat maghrib dan subuh sehingga kesempatan menghafalku lebih banyak.

  • Suka Tapi Tak Cinta   KELOMPOK TAHFIDZ

    -Kintan.“Kak Kin… habis sholat, langsung di muroja’ah hafalannya.” Mamaku mengingatkan dari lantai bawah.Entah kenapa orangtuaku selalu memanggilku dengan panggilan ‘kak’, padahal aku adalah anak semata wayang di keluarga kecil ini. Begitulah panggilanku dari kecil, aku juga tidak terlalu mempermasalhankannya. Bahkan mamaku juga suka memanggilku sebagai ‘tuan putri’.Aku baru saja selesai sholat subuh dan segera menjalankan rutinitas seperti di pesantren kembali, yaitu memuraja’ah hafalan. Walaupun aku sudah lulus dari sana, bukan berarti aku akan meninggalkan semua yang telah mereka ajarkan kepadaku. Aku berusaha sebisa mungkin untuk mengamalkan dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari.Aku mulai memuraja’ah hafalan juz dua puluh sembilan. Ketika aku sampai pada surah Al-Haqqah, senyum tipis perlahan muncul di wajahku. Aku teringat saa

  • Suka Tapi Tak Cinta   SEBUAH JANJI

    Keesokannya aku tiba di sekolah setengah jam lebih awal, padahal biasanya aku baru sampai ketika bel hampir berbunyi bahkan beberapa kali ketika gerbang sekolah sudah ditutup. Aku duduk di koridor depan kelas sendirian sambil memperhatikan semua murid yang baru saja datang. Berharap perempuan tersebut menunjukkan dirinya di tengah-tengah kerumunan.Aku tidak perlu menunggu lebih lama, karena perempuan itu sudah tiba bersama lima orang temannya. Wajahnya yang berkulit putih dan bersinar bagaikan baru saja terkena air wudhu membuatnya terlihat paling mencolok di antara mereka. Melihat caranya tertawa yang lepas dan tidak tahu malu itu membuatku ingin tertawa juga bersamanya.Aneh. Jika dipikir-pikir, kenapa aku baru bisa mengetahui kalau ternyata di sekolah ini ada perempuan secantik itu. Kemana aja aku selama empat tahun berada di sekolah ini.“Jun, ngeliatin siapa?” tanya teman sekelasku Sidiq dengan senyuman

  • Suka Tapi Tak Cinta   MATI RASA

    Aku rasa perasaan itu layaknya cinta monyet pada anak-anak biasanya. Namun seiring berjalannya waktu, rasa itu terus mengalir dengan beragam macam hal yang cukup menyakitkan di hati.Ada baiknya pula aku menuruti kata-kata ayahku tiga tahun yang lalu ketika aku lulus SMP untuk masuk ke pondok pesantren. Yang otomatis aku terhindar dari gadget, media sosial dan tentu saja, dia.Kulakukan itu semua dalam batas wajar dan tidak memaksakan diri. Sampai sekarang, entah hidayah apa yang aku dapatkan setelah masuk ke dunia pesantren, aku sudah tidak menyimpan perasaan itu, bahkan aku memutuskan untuk tidak menyukai orang lain saat ini, sampai akhirnya aku menemukan seseorang yang tepat.Jujur aku senang mendapat chat darinya. Senang karena masih ada yang ingat denganku setelah tiga tahun menghilang dari media sosial. Dan juga senang, karena sudah tidak merasakan letupan aneh itu seperti yang kurasakan beberapa tahun yang lalu.

  • Suka Tapi Tak Cinta   PROLOG

    -Jundi.“Yaudah kalo gitu lo lupain aja Men. Mau sampai kapan Lo kayak gini terus?” ucap sahabatku Amir, pelan, sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia kelihatan sudah sangat putus asa menasehatiku.“Gue gak bisa Mir. Gue udah berusaha sebisa mungkin buat ngelupain dia, tapi tetep aja gak bisa.” Jawabku sambil terus memainkan sebatang rokok ditangan yang belum kunyalakan semenjak setengah jam yang lalu ketika aku duduk di warkop ini.Kali ini Amir diam tidak menjawab, entah apa yang sedang dia pikirkan. “Ayo dong, yang gue butuh itu solusi bro.”Amir masih diam. Aku mendorong bahunya untuk menyadarkannya dari lamunan. Tapi sedetik kemudian dia menggenggam tangan kiriku, sambil menatap tajam mataku. Perasaanku ga enak. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke depan wajahku.Aku panik dan berteriak “Dih apaan si lo!” Sambil menghindari waja

DMCA.com Protection Status