"Kamu yakin, tadi Airish pergi bilangnya cuma mau beli susu?" Sambil menggendong Shandy, Juna memandang serius pada wajah Kinan."Yakin, Mas." Wanita itu mengangguk pasti. "Soalnya tadi Shandy nangis terus. Kata Mbak Airish, asinya nggak keluar, makanya dia pergi beli susu formula."Dengan tubuh gemetar, Juna berusaha menopang bobotnya agar tetap seimbang. "Tapi udah berjam-jam, Nan. Kenapa dia belum pulang juga?" Raut panik mendominasi wajahnya. "Tadi pas aku ke minimarket buat beli susu, aku juga nggak ketemu sama Airish. Sebenernya dia ke mana, sih?"Kinan menggigit bibir bawah. Memainkan kuku-kukunya dengan perasaan cemas. "Aku juga nggak tau, Mas. Semoga aja Mbak Airish cepat pulang," ucapnya penuh harap.Juna menghela napas panjang. Ia meminta tolong sejenak pada Kinan untuk memegang Shandy, sementara dirinya akan membuatkan susu formula.“Ssstt .... Ssstt .... Ini susunya, Sayang.” Juna menyumpal mulut Shandy dengan botol susu. Kemudian, ia menatap Kinan. "Aku mau nyari Airish
Juna terhanyut memainkan gitar seraya menyanyikan lagu ciptaannya yang tak pernah bosan-bosan ia dendangkan untuk para pengunjung kedai.Setiap kali menyanyikan lagu ini, maka akan terlintas di kepalanya sosok cantik wanita yang telah menghilang bertahun-tahun dari hidupnya. Benar-benar menghilang tanpa kabar.Entah ke mana Juna harus mencarinya. Ia sendiri tidak tahu apakah wanita itu masih hidup atau mungkin sudah meninggal. Mereka tak pernah bertemu lagi hingga Shandy sudah masuk sekolah TK di usianya yang keenam tahun.Jangan tanyakan apakah Juna sudah melapor kepada pihak berwajib atau belum. Sebab, Juna tentu saja sudah berkali-kali melakukannya. Namun, percuma saja ia melapor pada polisi, karena pihak kepolisian tidak menemukan keberadaan Airish—bahkan sampai saat ini.Juna, keluarganya, dan juga orangtua Airish sudah hampir putus asa mencari wanita itu, sehingga mereka berusaha mengikhlaskan Airish yang entah bagaimana kabarnya.Hanya saja ... jika memang Airish telah tiada, s
Juna mengelus pelan rambut Shandy yang sekarang tengah terbaring di atas kasur. Sedikit tersenyum melihat bagaimana gadis kecilnya itu memejamkan mata dengan raut tak berdosa.Sekilas ia mencium pelipis Shandy, lalu dengan hati-hati mulai melangkah ke suatu arah. Juna berdiri di depan lemari, membuka pintunya, mengambil dompet di dalam kotak lemari untuk kemudian menyimpan gantungan kunci di sana.“Hh.” Juna mengembuskan napas panjang. Kenangan yang lalu selalu berhasil melempar isi kepalanya untuk kembali mengingat wanita yang sangat dicintainya itu.***“Jun, pernah nonton sinetron ‘Cinta dalam Do'a’ nggak?”Juna melirik ke arah laki-laki yang sedang sibuk membuatkan roti bakar pesanan pelanggan. Tapi di tengah kesibukannya itu, kenapa dia masih bisa mengajak Juna bicara?“Kenapa semua orang demam sinetron?” dengkus Juna, lalu menarik gitar yang tergeletak di dekat meja ke pangkuannya. Jari-jemarinya mulai memetik senar satu per satu, mencari notasi yang pas. Tak perlu menunggu lama
“Ayahku sedang tidak ada di rumah. Ada perlu apa? Aku bisa menyampaikannya saat Ayah pulang nanti.”Airish menarik senyuman kecil. “Jadi kau adalah putrinya, ya?” ucapnya. “Ayahmu telah meninggalkan dompetnya di taksi. Tolong sampaikan hal ini padanya.” Dan sepertinya gadis manis yang ia hubungi itu cukup pintar untuk menyampaikan pesan kepada pria itu.“Baik, aku akan menyampaikannya. Tolong Tante jagain dulu dompet ayahku, ya?”“Okay,” jawab Airish. Lalu Shandy kembali membuka suara, “Terima kasih.”Panggilan berakhir.Airish kembali memasukkan kartu nama ke dalam dompet. Namun, ia menemukan sesuatu yang tak kalah mengundang rasa penasarannya.Sebuah gantungan kunci berbentuk keroppi, juga selembar foto di dalam dompet yang baru saja Airish temukan. Dan sekarang wanita itu mengeluarkan fotonya.Melihat seorang laki-laki sedang meletakkan tangan di kedua bahu gadis manis yang tengah berdiri di depannya. Mereka berdua tersenyum menatap kamera. Airish meyakini kalau kedua orang di dala
Dengan sekali gerakan, kini Juna sudah melingkarkan jemarinya di lengan wanita tersebut. Matanya yang nanar menjadi saksi bisu betapa terluka hatinya melihat sosok wanita yang sekarang tengah menatapnya ambigu. Seperti tatapan bingung, tapi juga bercampur kekesalan.Entah apa alasannya, yang pasti Juna tidak peduli. Ia merasa sesak melihat wanita yang selama ini menghilang dari kehidupannya tanpa sebab.“Seharusnya kamu memeluk Shandy,” ucap Juna dengan suara tercekat. Tenggorokannya terasa sangat sakit, seperti terhimpit batu besar.Airish yang tidak mengerti apa-apa hanya membalas ucapan Juna dengan alis mengernyit. Bingung. Ia butuh penjelasan.“CUT!” pekik sutradara yang berada beberapa meter dari mereka. “Apa-apaan ini?! Bukankah yang tidak berkepentingan dimohon untuk menonton dari jauh?” ucapnya tegas. Atau mungkin sedang marah?“Siapa laki-laki itu? kenapa dia tiba-tiba merusak semuanya?” tanya kameramen.Airish menggeleng kikuk. “Aku juga nggak tahu,” sahutnya.Juna menyelami
“Tante Kinan, kenapa jam segini Ayah belum pulang?”Kinan menatap gadis berkulit putih susu yang barusan melontarkan pertanyaan padanya. Sesaat kemudian, matanya beralih melirik jam yang digantung di dinding. Menunjukkan pukul delapan malam. Seharusnya laki-laki itu sudah berada di rumah sejak tiga jam yang lalu. Tapi hal apa yang membuatnya masih belum pulang juga sampai sekarang?“Enggak lama lagi ayahmu pasti akan pulang,” sahut Kinan seraya mengelus rambut Shandy. Sesekali anak itu menguap, kelopak matanya terlihat berat menahan kantuk. “Mendingan Shandy tidur di kamar. Tante temenin sampai Ayah pulang,” tambahnya.“Tapi Ayah gak kenapa-napa, ‘kan?”Kinan tersenyum, mencoba meyakinkan Shandy bahwa tidak ada sesuatu yang buruk pada ayahnya. “Ayah selalu baik-baik saja, karena dia mau menjaga Shandy setiap waktu,” jawabnya.Kali ini Shandy mengembuskan napas panjang. Berharap apa yang Kinan katakan memang benar. Juna baik-baik saja dan tidak akan pernah berhenti menjaganya sampai di
Jadi, kamu mau ketemu dengan pemeran di sinetron, ‘Cinta dalam Do’a’?” tanya salah satu gadis seusia Shandy.“Benar. Aku akan pergi ke lokasi syuting sepulang sekolah bersama ibuku,” jawab anak yang tadi ditanya.“Wow! Itu keren,” sambar yang lainnya. Dan anak itu—yang katanya akan datang ke lokasi syuting—tampak menyunggingkan senyuman bangga. Merasa sangat senang karena dirinya akan bertemu dengan artis-artis yang tengah naik daun.“Nela, apa aku boleh ikut ke lokasi syuting? Aku mau bertemu dengan pemeran ‘Luna’.”Beberapa gadis kecil yang sedang santai dengan percakapan mereka pun kini melirik garang ke arah Shandy. Merasa tidak senang karena Shandy menyambar percakapan mereka.“Aku enggak mau ngajak kamu. Dasar anak kampung!” Lalu mereka tertawa bersama. Menganggap itu adalah lelucon, meskipun mereka sadar bahwa Shandy bisa saja terluka karena ucapan itu.“Mendingan kamu pergi sama guru-guru aja. Bukannya kamu anak emas mereka?” ucap siswi lainnya.Itulah alasan mengapa sebagian
Juna membungkukkan badan seraya menyatukan kedua alis saat menemukan sesuatu di bawah sana. Mengulurkan tangan, mengambil kertas tipis yang setelah dibaca olehnya, ternyata itu merupakan kartu nama Airish. Sebuah alamat dan nomor telepon tertera di sana. Juna terdenyum.Mungkinkah ini cara Tuhan untuk mendekatkan dirinya dengan Airish?***Juna mengundang Kinan makan malam di rumahnya. Dengan beberapa menu makanan seadanya di atas meja, Juna berharap Kinan menikmatinya dengan senang hati.Juna melirik Kinan dan Shandy silih berganti. Tanpa sadar ia menyunggingkan senyuman manis. Jika saja wanita yang duduk di sebelah kursi Shandy itu adalah Airish, maka Juna tak perlu lagi merasakan luka di hatinya.“Gimana rasanya?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Juna untuk Kinan.Kinan menebarkan ekspresi seperti sedang meresapi masakan Juna. “Enak,” gumamnya sedikit tersenyum.“Masakan Ayah selalu yang paling enak,” sambar Shandy.Juna cukup senang mendengarnya. Untung saja dia bisa masak, sehi