Kiran dan Arland sudah berlalu pergi, kini tinggal dirinya sendirian di dalam kamar. Langsung mengunci pintu kamar dan terduduk lemas di lantai. Bersandar di sudut dinding, sambil menekuk kedua lututnya dan menumpukan kepalanya di sana.Rasanya capek, lelah dan kepalanya begitu sakit. Seolah serangan kuat sedang menghantam isi kepalanya.Yang tadinya begitu terlihat kuat dan baik-baik saja seolah tanpa rasa takut, kini justru sebaliknya. Tangannya gemetaran, bahkan suara tangis itu kembali terdengar.“Maafin aku, Ma. Aku tahu ini salah, tapi kalau nggak begini, Papa makin membuatku stress. Rasanya sakit sekali ketika papa bilang membenciku.”Di saat bersamaan, ponsel miliknya berdering. Menyambar benda pipih itu, tampak nama Ziel yang tertera di sana. Tak ingin menjawab, tapi entah kenapa ia selalu kalah jika berhadapan dengan Ziel. Seolah ingin menyembunyikan sesuatu pun rasanya bisa dia tebak tanpa harus ia katakan terlebih dahulu.“Hallo,” sahutnya perlahan.“Kamu nangis?”Ziel lan
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, itu artinya sudah nyaris lebih dari satu jam dirinya berada di cafe ini. Tak melakukan apa-apa, hanya mengobrol dengan Giska dan Puja. Karena jika diam di rumah, justru membuatnya semakin sedih dan kepikiran akan masalahnya.“Balik sekarang?” tanya Puja.“Iya, Rel. Ntar Om Leo bisa marah kalau lo telat pulang,” tambah Giska.“Tadi gue juga nggak pamit waktu pergi, ya udah ketebaklah pulangnya gimana,” respon Karel santai.Padahal Puja dan Giska pikir tadi dia sudah mendapatkan izin keluar, tapi ternyata kabur tanpa izin.“Auto diamuk lagi lo ntar.”“Minta Kak Ziel jemput aja,” usul Giska.Seperti biasa, jika Ziel yang turun tangan, posisi Karel lebih aman. Karena Leo seolah melepaskan Karel begitu saja jika sudah bersmaa Ziel tanpa rasa takut ataupun curiga.“Kak Ziel nggak di rumah. Dia lagi pergi ke Sulawesi.”“Dih, pantesan lo rada-rada sensi juga perkara pembahasan kita tentang Kak Ziel. Efek ditinggal LDR toh,” ledek Puja.“Siapa yan
Ziel mengantarkan Karel pulang. Sebenarnya Ziel berat melepaskan gadis ini meskipun pulang ke rumah dia sendiri, hanya saja ia tak bisa memaksa lagi jika pilihan inilah yang dia ambil.Sampai di halaman rumah, Ziel hendak turun dari mobil. Namun, Karel menahan niat cowok itu.“Kenapa?”“Kak, apa aku membuatmu terbebani?”Ziel menatap Karel dengan fokus. “Kenapa masih saja membahas hal itu? El, kamu masih belum yakin padaku, tapi mengatakan ingin melanjutkan hubungan itu denganku.”“Kakak hari ini ada kerjaan penting, kan. Bahkan begitu jauh posisinya. Tapi gara-gara aku menghubungimu, malah membuat kerjaan itu kamu tinggalkan dan kembali ke sini. Bagaimana kalau nanti kita ...”Ziel meletakkan jemarinya di antara dua bibir Karel, membuat kata-kata gadis itu terhenti seketika.“Sudah ku katakan, kan … kamu itu segalanya buatku. Bahkan demi kamu, pekerjaan bukanlah apa-apa. Jadi, ketika kamu sedih, apa mungkin aku akan mengabaikanmu?”“Kamu yang selalu ada untukku,” sahut Karel.“Sampai
Setelah bicara panjang lebar dengan kedua orang tuanya, Ziel segera menuju kamar. Melepaskan kemeja yang masih ia kenakan dan bersiap menuju kamar mandi. Jam sudah menunjukkan nyaris pukul 12 malam. Kantuknya sudah hilang jika jam segini masih belum tidur. Ya, apalagi kalau bukan memilih bergelut dengan kerjaan.Segera mandi dan membersihkan diri. Perjalanan sekian jam, membuat tulangnya berasa remuk. Selesai mandi, kembali mengecek ponselnya yang ada di kasur.“Sudah jam segini dia masih online saja,” gumam Ziel langsung menelepon gadis itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Karel.“Udah jam berapa ini, Rel. Kamu masih belum tidur juga. Katanya besok mau sekolah,” ujar Ziel langsung memberondongi Karel dengan omelannya.“Tahu tidak, Kak. Aku barusan habis perang dunia sama Papa. Rasanya seperti otakku mau meledak saat ini. Jadi, aku nggak akan bisa tidur. Kantukku seakan hilang seketika.”Sontak mendengar pengakuan dia, membuat Ziel ikutan snewen. Ini kalau dekat, suadah ia samperin dia. M
“Apa, Sayang!? Tante di teras samping!” balas Kiran sedikit berteriak, membalas panggilan Karel dari arah dalam rumah.Karel menghampiri Kiran yang posisinya berada di teras samping. “Tante, bantuin,” ujarnya pada Kiran yang saat itu sedang menyiram beberapa pot pohon bunga mawar kesayangannya.“Zi, bantuin Karel bentar, Nak!” teriak Kiran memanggil Ziel, dengan posisinya yang masih membelakangi Karel.Ziel yang tiba-tiba muncul, malah tersenyum mendengar perkataan mamanya.“Mama yakin memintaku untuk membantu Karel ganti baju?” tanya Ziel sambil bersidekap dada, meminta kepastian pada mamanya.Seketika Kiran langsung balik badan, terlihat Karel yang datang masih mengenakan tanktop dan hot pants.“Masa Kak Ziel yang bantuin aku, Tan?” Karel memastikan perintah Kiran pada Ziel, sambil menunjukkan semua tetengannya yang berupa seragam sekolah juga.“Sebagai seorang anak yang patuh pada mamanya, aku bisa lakuin kok, Ma. Serius,” tambah Ziel menggoda mamanya.Kiran menggeplak lengan putra
Sarapan bersama dengan Kiran dan juga Arland. Yap, sebuah keluarga impian yang begitu didamba oleh Karel. Meskipun mamanya sudah tiada, padahal berharap bisa makan bareng dengan papanya. Namun itu seolah hanya jadi impian yang entah kapan akan terwujud.Makan bareng mungkin memang pernah terjadi, hanya saja seolah berada di dunia masing-masing. Tak ada efek kekeluargaan, ataupun sikap normal seorang ayah dan anak.“Ingat apa yang Tante bilang, kan, Karel. Nanti pulang sekolah kamu ke sini. Daripada ntar kamu bingung lagi siapa yang bisa bantuin ganti perban, gantiin baju, nyisirin rambut.”Karel tak menjawab ataupun membalas perkataan Kiran, tapi malah mengarahkan pandangannya pada Ziel yang duduk di kursi sampingnya.“Lah, kenapa malah Ziel yang dilirik. Kan Tante yang lagi ngomong,” ujar Kiran pada Karelyn.Ziel menyelesaikan makannya, kemudian meneguk minumannya. Kini fokusnya tertuju pada kedua orang tuanya.“Maaf, Ma, Pa. Bukannya aku nggak setuju jika Karel di sini, tapi bukanka
Apa sekarang ini yang dinamakan sebuah karma? Tadi kesal karena Ziel dekat dengan seorang cewek selain dirinya, padahal dia bilang tak ada hubungan apa-apa. Sekarang justru dirinya yang kena tulah. Ya siapa lagi ‘dia’ yang di maksud oleh Ziel kalau bukan Arga. Heran banget, kenapa dia selalu dan masih ngintilin dirinya.“Ngapain aku minta tolong sama dia,” berengutnya.Karel akhirnya memutar posisi duduknya jadi membelakangi Ziel. Daripada dia mikir kalau antara dirinya dan Arga masih ada hubungan. Di tak dan pikirannya, Ziel lebih baik dari cowok manapun yang ia kenal.Ziel menyibak rambut panjang Karel ke arah depan dia. Mambuat dirinya lebih mudah kembali memasang kancing rok itu.“Sepertinya kamunya yang gemukan deh, Rel. Makanya kancingnya lepas,” ujar Ziel ketika memasang kembali benda itu.“Ih, enak aja. Berat badan ku masih seperti biasa,” berengut Karel tak terima ketika Ziel mengatakannya dirinya gemuk. Bukan gemuk lagi, tapi terlalu kurus gara-gara tekanan bathin malah. K
Seperti yang sudah direncanakan tadi, kini Karel sedang berjalan melewati lorong kelas hendak menuju ke ruangan kepala sekolah. Sedangkan Giska dan Puja menunggunya di kantin.Mengetuk pintu itu perlahan. Setelah ada balasan dari dalam, barulah ia melangkah masuk ruangan itu.“Silakan duduk,” ujar laki-laki paruh baya yang berstatus sebagai kepala sekolah.Karel langsung duduk di kursi yang posisinya berhadap-hadapan dengan meja.“Hmm, maaf, Pak. Kata Giska dan Puja, Bapak meminta saya untuk datang ke sini. Kalau boleh tahu, ada masalah apa ya Pak?”Laki-laki itu menarik napasnya singkat, kemudian memulai percakapan.“Begini, Karel. Sebenarnya ini bukan masalah yang besar, apalagi sampai berpengaruh dengan nilai-nilai kamu di sekolah. Tapi Bapak hanya ingin jika orang tua kamu bisa sesekali datang atau ikut serta dalam pertemuan para wali murid. Ya, Bapak tahu betul jika papa kamu adalah tenaga pengajar, tapi setidaknya bisa kan menyempatkan datang di acara-acara penting sekolah. Toh
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke