Sansan menggumpal tangannya kesal. Hampir seharian ia tidak keluar kamar. Sejak kepulangannya subuh tadi, Sansan masuk ke rumahnya melalui tangga menuju lantai atas menuju kamarnya. Sansan tak kunjung keluar kamar.
Berulang kali Nuni memanggilnya, tetapi Sansan beralasan sedang tidak enak badan dan ingin beristirahat saja di kamarnya.
"Bodoh ... bego ... goblok! Argh!" teriaknya frustrasi. Sansan menggaruk kepalanya dan mengacak rambutnya kesal.
"Bodoh banget sih gue!" ucap Sansan menyesali apa yang telah diperbuatnya.
Pukul tiga pagi tadi, saat ia terbangun dari tidurnya. Sansan sudah tidak memakai benang sehelai pun. Badannya terbalut dengan selimut bersama seorang pria yang telah merenggut mahkota dalam hidupnya. Untung saja Sansan membawa pakaian gantinya.
"Ma--maaf," ucap Zidan menyadari apa yang telah dilakukannya.
"Puas lo malam ini?" tanya Sansan dengan air mata yang mulai berjatuhan.
"Maaf, saya ...."
"Gue hanya butuh kartu nama lo," ucap Sansan tanpa menatap pria itu. Zidan akhirnya memberikan kartu namanya kepada Sansan yang diambil cepat oleh gadis itu.
"Sekarang carikan tas gue cepat!" suruh Sansan.
"Di mana?"
"Kamar kosong tujuh," jawab Sansan datar.
"Oke."
Setelah Zidan memberikan tas Sansan, ia pun pergi meninggalkan club. Sansan memakai baju yang dibawanya itu dahulu, baru pulang ke rumah.
Sansan menggeleng membayangkan kejadian itu dengan air mata yang terus menetes membuat aliran sungai kecil di pipinya. Ia sudah gagal menjadi seorang gadis. Sansan pasti membuat neneknya kecewa. Sansan sangat menyesal.
"Zid, kamu belum makan, loh, Nak. Makan dulu, yuk!" teriak Nuni di balik pintu. Sansan sangat malu menampakkan wajahnya sekarang di depan neneknya.
"Aku gak lapar, Nek. Nenek makan sendiri aja, ya," jawab Sansan.
"Ya sudah, tapi kalau lapar ambil sendiri di dapur ya, Nak."
"Iya, Nek."
Walaupun perut Sansan terasa keroncongan sekarang, tetapi ia sama sekali tidak memiliki selera untuk makan. Sansan terus menangisi perbuatannya semalam.
Tangan Sansan merogoh sakunya, menatap kartu nama di tangannya.
"Zidan Leonli. Gue harus minta pertanggungjawaban lo!" ujar Sansan bertekad kuat. Matanya membulat, gigi dan gerahamnya beradu kuat. Tangan Sansan terkepal erat.
***
Lain tempat, Zidan tampak merenung memikirkan apa yang sudah terjadi semalam. Inilah akibat ia mabuk-mabukan tidak kenal tempat. Zidan benar-benar sudah kehilangan kesadarannya tadi malam sehingga meliampaskan semuanya pada gadis itu.
"Bro, gue minta maaf. Gue--"
Zidan mengangkat tangannya, menyuruh lawan bicaranya untuk diam.
"Setelah lo buat gue mabuk, kenapa lo menghilang? Kenapa lo gak mengamankan gue, Fan?"
"Gue juga gak tahu. Pikiran gue sedang kacau, Bro. Jadi gue juga gak ingat apa-apa."
"Terus gimana nasib tuh cewek, ya?" ujar Zidan memijat pelipisnya pelan.
"Lo harus nikahin dia. Y--ya lo ... harus tanggung jawab, Bro. I--iya, kan?"
"Nyokap gue memang pengen gue nikah cepat, tapi gak mungkin, kan, gue nikah sama cewek gak jelas dan murahan kayak gitu."
"Eits, tapi lo udah merenggut kesucian dia, Bro. Lo mesti tanggung jawab, dong."
"Emang lo yakin dia masih suci? Cewek suka main ke club, pasti dia udah pernah melakukan hal yang sama berulang kali."
"Ya, tapi, kan ... terserah lo, deh, gue balik ke ruangan dulu. Masih banyak kerjaan yang belum gue selesein."
"Hmm."
Zidan kembali memijat pelipisnya. Apakah ia harus mencari dan menemui gadis itu? Apakah ia harus bertanggung jawab? Zidan sangat pusing memikirkannya.
***
Setelah hampir seharian tidak keluar kamar. Akhirnya, Sansan memilih keluar kamar juga, karena perutnya yang sudah keroncongan belum diisi sesuap nasi pun dari pagi. Daripada nanti ia sakit, lebih baik Sansan makan saja.
"Sayang, gimana keadaannya, Nak?" tanya Nuni khawatir.
"Ng--udah baikan kok, Nek."
"Ah, syukurlah. Kamu udah makan?"
"Ini baru mau makan, Nek."
"Mau Nenek ambilin?"
"Eh, nggak usah, Nek. Biar aku ambil sendiri aja."
"Ya sudah."
Sansan berjalan ke dapur dan mengambil makanan membawanya ke meja makan. Sansan menghabisi satu piring nasi dengan cepat. Peluh besae membasahi pelipisnya.
"Alhamdulillah, kenyang," ucap Sansan mengusap perutnya.
Setelah itu, ia berjalan ke sofa ruang keluarga tempat neneknya duduk.
"Nek, aku mau ke luar bentar. Ke rumahnya Atid."
"Jangan pulang malam-malam, ya."
"Oke, Nek. Aku pamit, ya. Assalammualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sansan menarik tas kecilnya di atas meja. Ia harus ke rumah Atid—sahabat Sansan—karena ia membutuhkan pertolongan sahabatnya itu.
Seperti biasa, Sansan mengendarai motornya jika bepergian. Ada satu mobil dan dua motor di bagasi rumahnya, tetapi Sansan lebih memilih memakai motor.
***
"Tumben-tumbenan lo ke sini, San." Kalimat itu merupakan kalimat sambutan dari sang pemilik rumah saat mendapati Sansan di depan rumahnya. Sansan hanya mendengkus pelan, lalu langsung masuk ke dalam tanpa disuruh.
"Raqib mana?" tanya Sansan.
"Ke pasar sama nyokap gue," jawab Atid.
Raqib dan Atid adalah saudara kembar tak seiras, karena Raqib adalah perempuan, sedangkan Atid adalah laki-laki.
Raqibta Nasima dan Atid Nasima. Anak dari Amira—tantenya Sansan atau adik dari ibu kandung Sansan.
Ya, mereka adalah sepupuan dan juga bersahabat sejak kecil. Sansan selalu menyebutkan jika ia bersahabat dengan dua malaikat. Ya, seperti kedua sepupunya maksudnya. Nama yang diberikan Amira sangatlah epick.
"Ngomong-ngomong, ngapain lo ke sini? Kayak gak ada kerjaan aja lo."
"Gue pengen lo bantuin gue."
"Bantu apaan? Gue mager, nih. Tugas kuliah gue numpuk. Lo jangan minta bantuan macam-macam, ya!"
"Ish, sok sibuk banget sih, lo. Mana sini tugas lo, biar gue yang kerjain, asal lo mau bantuin gue."
"Wih, yang bener, nih? Eh, emangnya lo ngerti?"
"Ah, udah, deh. Gitu amat lo sama gue. Mau gak, nih, bantuin gue? Ya maulah, ya. Kalau nggak gue tonjok lo."
"Serem amat, Neng. Ya udah, bantu apaan?"
"Lo harus cari orang ini," ucap Sansan memberikan kartu nama kepada Atid yang langsung diambil oleh pria itu.
"Siapa, nih?"
"Udah, cari aja. Lo mesti cari tahu dia orangnya gimana, terus apa kepribadian dia dan apa hal-hal yang sering dia lakukan."
"Kenapa bukan lo aja yang cari nih orang?"
"Gue maunya lo yang cari. Niat bantuin gak, sih?"
"Iya-iya. Emang dia siapa, sih?"
"Udah, entar lo juga tahu dia siapa."
"Hmm."
Selang beberapa menit kemudian. Raqib datang bersama Amira sambil membawa dua kantong plastik besar di tangan mereka.
"Lah, San? Sejak kapan lo dimari? Mau ngutang lagi, ya?" tanya Raqib dengan logat candaannya.
"Hai, Tante," sapa Sansan salim dengan Amira tanpa menghiraukan ucapan Raqib.
"Hai, Sayang."
"Dih, sombong amat lo, San."
"Iya. Gue mau ngutang lagi. Sanggup berapa lo mau minjemin gue?"
"Canda, Sist. Pa kabar?" Raqib lalu memeluk Sansan. Gadis tomboy itu memang hobi bercanda.
"Baik."
"San, mau makan apa? Mau Tante buatin nasi goreng?"
"Ah, nggak usah deh, Tante. Aku udah makan kok tadi."
"Ya udah, Tante ke dalam dulu, ya."
"Iya, Tante.
Raqib menarik tangan Sansan duduk di sofa. "Cerita aja, lo ngapain ke sini?" tanya Raqib penasaran.
"Ra, lo kenal nih orang, gak?" tanya Atid memberikan kartu nama itu pada Raqib.
Mata Raqib melebar melihat kartu nama itu. "Pak Zidan?" ucapnya terkejut.
"Lo kenal?"
***
Hallo. Yuk, baca lagi next chapter. Semoga suka, ya. Bantuin Sansan nemuin Zidan, yuk.
Bagi yang nanya, nikah dadakannya sesuai judulnya kapan? Tungguin aja. Karena ga mungkin kan nikah tanpa persiapan wakaka. Mari kita cari tahu apa arti judul Suddenly Married ini.
Terima kasih yang udah mau baca.
Salam hangat,
~Amalia Ulan
Mata Sansan melebar, sedangkan Raqib mengangguk meyakinkan."Lo kenal di mana?" tanya Sansan."Dia ini bos di tempat gue kerja," jawab Raqib santai."Hah, bos?""Iya. Pak Zidan Leonli. Cowok yang diidam-idamkan karyawan kantor. Untung gue nggak. Sayangnya dia udah punya pacar."Dahi Sansan mengkerut. Pria itu sudah memiliki kekasih dan masih saja ke club? Sansan semakin membenci lelaki seperti itu."Emang kenapa? Lo punya utang sama dia?"Sansan berdecak pelan. Ia menggeleng menjawab pertanyaan Raqib."Tujuan lo apaan, sih, San?" tanya Atid."Udah, deh. Kalian gak usah kepo, ya. Gue mau balik dulu. Bye!"Sansan menarik tasnya, lalu berjalan ke dapur. Ia akan berpamitan dulu dengan Amira.***Zidan mengetuk meja di depannya beberapa kali. Menunggu memang membosankan, tetapi Zidan harus mempunyai kesabaran."Sorry, lama. Tadi macet." Itu merupakan alasan klasik yang selalu digun
Sansan menatap Nuni yang sejak tadi tersenyum sambil menatap ke luar kaca mobil. Ya, Sansan memang memakai mobil untuk mengantarkan neneknya ke rumah sakit."Nek? Nenek ....""Eh, iya. Ada apa, Nak?""Nenek kenapa? Kok dari tadi senyum-senyum gitu?" tanya Sansan heran."Tidak apa-apa, Nak. Nenek cuma lihatin pemandangannya, bagus."Sansan semakin dibuat heran. Bagus apanya? Jika jalanan yang dilewati mereka hanyalah jejeran motor dan mobil yang berdempetan, karena sedang situasi macet.Sansan teringat dengan wanita yang duduk bersama neneknya di ruang tunggu tadi. Apakah ada kaitannya dengan wanita itu? batin Sansan."Oh ya, Nek. Aku boleh nanya, nggak?""Nanya apa, Nak?""Tante yang di sebelah Nenek tadi siapa? Nenek kenal sama dia?" tanya Sansan. Ia juga sedikit heran melihat tatapan ibu itu padanya."Emang kenapa, Nak?""Tante itu natap aku dalam banget, Nek. Aku pikir Nenek kenal sama dia.""Ya.
Hari itu tiba, di mana sang dua insan diperasatukan dalam status pernikahan. Dua pengantin yang akan menempuh hidup baru. Zidan sudah bersiap, jantungnya berdetak kencang tak seperti biasanya. Tangan Zidan dingin dan peluhnya sudah membasahi pelipis. "Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti dengan raut muka kecewa pada Zidan. "Tapi aku, kan, berhasil mendapatkan calon istri sendiri, Ma." "Bukan Reni yang Mama harapkan. Mama sudah menyiapkan calon istri yang baik untuk kamu, tapi sekarang kamu nggak jadi menikahi dia!" "Aku nggak tahu siapa gadis pilihan Mama, jadi nggak ada kewajiban bagi aku menikahi dia, Ma." "Intinya, Mama kecewa sama kamu," ucap Wanti keluar dari kamar Zidan. Ia hanya bisa menghela napas gusar. Dering ponsel Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu. Nomor tidak dikena muncul di layar HP Zidan. Siapa, ya? tanya Zidan dala hati, tanpa pikir panjang ia langsung mengangkat telepon. "Hallo?"
"Aku mau ngomong sesuatu," ucap Zidan yang membuat jantung Sansan berdetak tak karuan. Apakah Zidan mengetahui siapa Sansan yang sebenarnya? "Saya tahu kau pun sama kagetnya dengan pernikahan dadakan ini, tapi kau tenang saja, saya akan menafkahimu dan memberikan semua kebutuhanmu." Dahi Sansan mengkerut saat Zidan berubah berbicara formal padanya. Ia jadi bingung untuk menjawab. "Terima kasih, Pak Zidan." Mata Zidan melotot saat wanita yang sudah sah menjadi istrinya itu memanggilnya dengan sebutan Pak. Apa ia tak salah dengar? "Kau memanggilku Pak?" Sansan menunduk, menahan cekikikan yang akan keluar dari mulutnya. "Iya, karena aku tahu Pak Zidan tampak lebih dewasa. Sangat jauh dengan umurku yang masih belasan," ucap Sansan sopan, dengan suara yang lembut dan pelan. Zidan mengusap mukanya pelan. Baru mengetahui jika istrinya adalah seorang remaja. Apakah mamanya tak salah pilih? "Jadi,
"Zidny, kamu pikir saya mau bermain dengan anak kecil seperti kamu?"Sansan terdiam. Sedikit lega, karena ucapan Zidan bukanlah yang ia takutkan."Ambil selimut, tidur di sofa!" suruh Zidan."Kok di sofa, Pak? Kan kasurnya masih lapang," protes Sansan pelan."Jangan banyak protes. Cepat tidur di sana!" suruh Zidan. Sansan mengangguk saja, ia menarik selimut lalu membawanya ke sofa yang ada di kamar itu.Sansan langsung membaringkan badannya di sofa, walaupun sofa itu kecil, tetapi masih bisa menampung badan mungil Sansan.Zidan lalu mematikan lampu. Ia pun membaringkan badan di kasur, dengan keadaan gelap seperti ini, ia tak akan bisa melihat wajah anak kecil itu, pikir Zidan.Sedangkan Sansan, ia tak terbiasa tidur dalam keadaan gelap. Sansan lebih suka tidur dengan lampu yang menyala. Setidaknya ada sedikit penerangan. Namun, sekarang semuanya gelap."Aku nggak bisa tidur kalau gini," ucap Sansan pelan. Ia lalu me
Tak terasa, matahari sudah berganti tugas dengan bulan yang menemani malam. Zidan berjalan mondar-mandir sembari menggigit ibu jarinya. Bagaimana jika wanita itu meminta pertanggungjawabannya? Zidan sudah menikah, bisa kacau semuanya. Sansan yang sejak tadi memperhatikan Zidan hanya menyunggingkan senyum sinis. Ia lalu memainkan ponsel di tangannya sebentar. Setelah itu, Sansan meletakkan ponselnya di nakas. Ia dan Zidan sama-sama di dalam kamar. Namun, Zidan tak menganggap ada Sansan di sana. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Bunyi notifikasi HP Zidan langsung mengalihkan perhatian pria itu, ia pun segera mengambil HP-nya yang tergeletak di kasur. Ada satu pesan belum terbaca. Zidan pun membuka pesan itu. 'Bagaimana? Jadi ketemuan sekarang, kan, Tuan Zidan Leonli Terhormat?' Zidan kembali mondar-mandir tak jelas sembari memegang ponselnya. "Ada apa denganmu, Pak?" tanya Sansan pura-pura tidak tahu.
Sansan masih terdiam. Jantungnya berdetak kencang. Sansan kembali melihat Zidan yang menatapnya."Ya. Aku mencintaimu, Ren! Aku mencintaimu. Kenapa kamu tega selingkuhin aku, Ren? Kenapa kamu malah ...." Tiba-tiba Zidan memeluk badan Sansan membuat wanita itu terkejut.Sansan memutar bola matanya malas, sakit hati mendengar peruturan Zidan yang ternyata bukan mencintainya, tetapi dihantui bayang-bayang mantan. Sansan mendengkus pelan, ia pun mendorong badan Zidan melepaskan pelukannya. Namun, Zidan kembali memeluk Sansan.Akhirnya, wanita itu pasrah saja. Pasrah dianggap mantan Zidan yang amat ia cintai. Sansan jadi penasaran dengan mantan Zidan."Sayang, di sini dingin. Kita ke kamar, yuk!" ajak Sansan, karena sudah mengantuk. Zidan mengangguk saja. Lalu, Sansan membopong badan Zidan ke lantai dua, masuk kamar di mana mereka pertama bertemu.Sansan membantu Zidan berbaring di sana. Laki-laki itu menurut saja, ia sudah mabuk berat dan sulit t
"Hallo, Zid. Ini gue ... Alvian." Sansan terdiam sebentar. Apa tujuan sang mantan itu meneleponnya? "Zid. Gue mohon jangan ditutup teleponnya. Gue ada di belakang lo sekarang," ucap Alvian di seberang telepon. Mendengar kata di belakangnya, buru-buru Sansan menoleh, membalikkan sebagian badannya menatap pria yang sedang menelepon Sansan sekarang. Namun, Sansan kembali menatap depan, mengabaikan sosok Alvian yang berdiri di belakang. "Mau apa lo?" tanya Sansan cepat. "Gue ... gue ...." "Ish, cepetan. Mau apaan, ha?" "Gue kangen sama lo, Zid." Degh! Kenapa suara itu semakin mendekat? Sansan tak bisa mengelak, karena Alvian sudah berada di belakang punggungnya sekarang. Reni yang memperhatikan sejak tadi yakin, jika Sansan memiliki hubungan spesial dengan pria itu. Tampak dari sorot mata Alvian yang sangat mencintai Sansan. "Ih, nggak usah pegang-pegang!" ucap Sansan melepaskan rangkulan
Zidan tak bisa membendung air matanya. Di depannya terdapat gundukan tanah yang masih bewarna kemerah-merahan, bersama papan nisan yang baru saja ditancapkan.Zidan mengusap air matanya. Penyesalan memang datangnya di akhir, jika datang di awal, mungkin Zidan tidak akan menangis di sini sekarang."Maaf," lirih Zidan mengusap papan nisan itu."Maafin aku, Zid," lirihnya. Gigi Zidan gemertak, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.Seseorang yang sangat ia cintai, yang Zidan harapkan hidup bahagia bersamanya, ternyata dengan cepat meninggalkan Zidan.Isakan Zidan terdengar jelas. Air matanya berlinang deras. Hanya menangis yang mampu Zidan lakukan sekarang.Apakah ia sudah gagal? Zidan gagal sebagai ayah. Ia terlalu bodoh."Maafin aku, Zid. Maafin aku, nggak bisa nyelamatin anak kita. Gara-gara aku, anak kita tidak jadi lahir dengan selamat!"Bayi Zidan dan Sansan tak berhasil diselam
Sansan hanya bisa terbungkam, tak dapat berbicara. Benarkah seorang Raqibta, sepupu yang paling dekat dengannya ternyata membencinya selama ini?Apa salah Sansan? Apa yang sudah diperbuat Sansan sampai Raqib membencinya?Mobil Raqib menepi untuk berhenti. Keduanya sama-sama tak membuka suara, keheningan pun melanda."Kenapa lo bisa benci sama gue?" tanya Sansan.Raqib tertawa pelan. "Lo masih tanya kenapa?""Gue bahkan masih anggap omongan lo tadi bercanda, Ra. Lo nggak nge-prank gue, kan?" tanya Sansan yang masih setengah percaya."Buat apa gue buang-buang waktu nggak jelas gitu. Gue ulangi sekali lagi. Gue ... benci sama lo!" Nada bicara Raqib pun berubah dratis, tak seperti biasanya.Air mata Sansan lolos begitu saja. Ia menepuk-nepuk pipinya, memastikan sekali lagi apakah ini mimpi buruknya, akan tetapi Sansan harus menerima pahitnya kenyataan jika ini semua adalah nyata."Gue
Kejujuran itu menyakitkan jika diungkapkan, tetapi juga pahit jika disembunyikan. ~Lanlia***Beberapa bulan kemudian ....Kini, kandungan Sansan sudah memasuki bulan ke-9. Ia sudah sering marathon dan memperbanyak gerak, agar nanti proses persalinan lebih lancar.Rumah tangga yang dijalani Sansan dan Zidan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Apalagi saat Sansan baru mengetahui, jika suaminya itu sangatlah pencemburu.Saat itu, Sansan tak sengaja bertemu dengan teman SD-nya yang laki-laki dan dilihat oleh Zidan, suaminya itu langsung cemburu dan mendiamkannya selama dua hari. Padahal teman cowok Sansan itu hanya mengundangnya ke acara pernikahannya.Sansan kadang tertawa melihat Zidan yang sangat posesif, akan tetapi jika terlalu cemburuan jugalah tak baik. Harusnya mereka saling percaya saja, kan?"Zid, kandungan kamu sudah besar, ya, udah kayak sembilan bulan aja. Padahal tiga bulan lagi b
Sansan tersentak dari tidurnya. Entah kenapa suasana tampak mengusiknya yang sedang terlelap. Mata Sansan mengerjap. Gelap! Pantas saja. Dirinya, kan, tak bisa tertidur jika mati lampu.Sansan meraba ke samping. Kosong! Ke mana Zidan? Kenapa suaminya itu tak berada si sebelahnya? Namun, Sansan tak sengaja menyentuh sesuatu di bantal Zidan. Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi kamar. Lampu kelap-kelip pun tampak mengelilingi seisi kamar. Sansan pun terduduk di atas kasurnya.Apa yang terjadi? Sansan masih terheran-heran. Ia pun terkejut menatap lantai kamar yang sudah berserakan kelopak mawar merah. Sansan pun berniat turun. Ia juga terkejut, karena melihat pintu balkon kamarnya terbuka.Kaki Sansan pun tergerak untuk melangkah ke arah balkon. Ia seperti menatap bayangan seseorang di sana. Jangan-jangan maling, pikir buruk Sansan.Saat dirinya sampai di balkon. Tidak ada siapa-siapa. Sansan menatap ke langit malam yang bertabur binta
Apa yang terjadi semalam? Kenapa bisa ada Sansan palsu? Ini semua ternyata sudah menjadi rencana dari Sansan sendiri.Setelah Zidan selesai menelepon kemarin. Sansan sangat panik. Ia tak tahu harus berbuat apa dan memikirkan apa yang akan terjadi nanti malam jika Zidan tahu rahasianya.Namun, selang beberapa menit, ketukan pintu memecahkan lamunan Sansan. Ia pun segera ke ruang depan untuk melihat siapa tamu yang tak diundang itu datang.Mata Sansan melebar saat mengetahui siapa yang datang. Refleks Sansan pun memeluk seseorang itu."Raqib," lirih Sansan pelan.Ya, yang datang ke rumahnya tiba-tiba itu adalah Raqibta. Ada apa Raqib datang kemari? Bukannya ia sudah kecewa dan tak ingin bertemu Sansan lagi? Setelah pernyataan yang diungkapkan Sansan dulu, Raqib sama sekali tak menghubungi Sansan lagi, bahkan nomor Sansan dibloknya. Mereka putus kontak.Maka dari itu, melihat Raqib datang kemari, membuat Sans
Malam ini, Zidny benar-benar sudah berada di taman. Ia pun hanya menunggu kedatangan Zidan yang katanya sebentar lagi sampai.Sebenarnya Zidny begitu deg-degan, tetapi ia berusaha menyembunyikannya dan mencoba terlihat biasa saja. Zidny tak boleh lengah.Taman ini begitu ramai. Orang berlalu-lalang dan terdapat banyaknya yang menjual berbagai makanan. Tak dipungkiri jika Zidny tergoda untul mencicipinya. Akan tetapi, ia sudah membawa bekal. Zidny membawa kue yang ia buat siang tadi—spesial untuk Zidan."Hmm ... kue ini, kan, emang untuk Mas Zidan. Nggak-nggak, aku harus beliin satu lagi!"Zidny lalu melangkah membeli beberapa makanan yang tampak di depan matanya, ada sate, bakso, cilok, dan somay."Nah, lengkap!" ucapnya. Ia pun kembali duduk di kursi yang dilengkapi meja itu."Mana, sih, Mas Zidan. Katanya bentar lagi," ucap Zidny kesal."Ini udah datang," ucap Zidan tiba-tiba sudah ber
Saat Zidan pulang, ia sudah melihat istrinya menangis. Buru-buru pria itu menghampiri Zidny dengan perasaan cemas."Zid, kamu kenapa?" tanya Zidan."Ngg--nggak pa-pa, kok, Mas.""Kamu ... ingat Nenek lagi, ya?"Walaupun bukan itu penyebab sebenarnya Sansan menangis, tetapi ia benarkan saja, agar Zidan tidak curiga."Ya udah, jangan sedih lagi, ya," ucap Zidan merengkuh badan istrinya itu ke pelukan."Baksonya mana?" tanya Sansan, karena Zidan masuk kamar tanpa membawa apa pun."Ada di dapur. Nggak mungkin aku bawa ke kamar. Ya udah, ayo makan dulu," ajak Zidan. Tangannya menyeka air mata istrinya yang masih berbekas di pipi."Penjualnya botak, kan?" tanya Sansan memastikan."Iya, botak. Nih, fotonya." Zidan memperlihatkan foto penjual bakso tadi yang sudah berkepala botak."Ih, kamu hebat!" Sansan berbinar-binar. Aneh sekali ngidam istrinya itu.
Daritadi Zidan sudah berkeliling mencari tukang bakso. Ia mengacak rambut frustrasi. Sebenarnya sudah banyak penjual bakso yang ia temukan, tetapi penjualnya tidak ada yang botak. Sesulit inikah menjadi penjual bakso yang berkepala pelontos? Lagipula ngidam istrinya sangatlah aneh. Zidan menyesal menganggap ini hal yang mudah.Telepon Zidan berdering. Nama Zidny muncul di layar, buru-buru Zidan mengangkatnya."Halo, Zid?""Kamu ke mana aja, sih? Kok nggak pulang-pulang."Lah? Pertanyaan macam apa itu?"Aku lagi beliin bakso buat kamu.""Oh, iya. Terus, udah dapat belum, Mas?""Belum. Penjualnya berambut semua. Gapapa, ya, yang berambut?""Nggak mau!""Ya udah, aku keliling lagi, nih.""Oke, Mas."Telepon pun dimatikan. Zidan kembali memutar setir mobilnya. Ke mana lagi ia harus mencari penjual bakso yang tak berambut?Siapa pun t
Untuk merayakan atas kehamilan cucu pertama. Wanti mengadakan syukuran yang dihadiri teman-teman sosialitanya. Wanti sangat senang, karena sebentar lagi akan menjadi nenek. Ya, itulah yang ia nanti-nantikan sejak dulu. Makanya ia sangat nyinyir menyuruh Zidan untuk menikah."Wan, menantumu cantik, ya.""Iya, Wan. Keliatannya juga sholeh, ya. Duh, beruntung anakmu.""Menantumu juga keliatan lebih muda, ya."Sansan hanya bisa tersenyum malu-malu saat teman-teman mertuanya itu memujinya terang-terangan. Tiba-tiba Wanti merangkul bahu Sansan."Iya, dong. Menantu siapa dulu," ujar Wanti dengan sombongnya, membuat teman-temannya tertawa. Sansan hanya bisa tersenyum kikuk. Apakah mertuanya itu akan tetap seperti ini, jika rahasia itu terbongkar?"Eh, iya. Sudah berapa bulan itu kandungannya?" tanya Meri menatap perut Sansan yang sudah sedikit menonjol."Emm ...." Sansan kebingungan menjawab. Tidak mu