Masalah dengan Darkam muncul di hari ketiga Pak Mantri sakit. Lelaki bertubuh tinggi-besar itu memukuli tetangganya karena merasa terganggu dengan igauan Pak Mantri. Ketika Mardian kembali dari lembah Waepo di suatu sore, dia menemukan ayahnya menangis bagai anak kecil.
“Nak, dia memukul Ayah terus!”
“Siapa, Ayah?”
“Si Darkam yang tinggi-besar itu. Katakan padanya, Nak, agar jangan memukul Ayah. Ayah tidak berbuat salah apa-apa.”
Sesuatu terasa menggelegak di dada Mardian. “Ayah jangan khawatir. Aku akan berbicara dengannya dan aku berjanji akan membuat Darkam mengerti. Dia tak akan berani menyentuh Ayah lagi.”
“Bica
“Bajingan busuk itu mainnya lama sekali, sih?” Pramoedya mulai geram. “Bagiamana kalau kita seret saja si brengsek itu? Kurang ajar dia membuat kita menunggu selama ini dan jadi santapan nyamuk!” “Aku setuju,” sahut Mardian. “Baiklah, biar aku yang menyeretnya ke sini.” Tan Djiman menawarkan diri. “Biar aku saja,” cegah Pramoedya yang bergegas meloncat pergi. Mardian menoleh pada Tan Djiman. “Lalu bagaimana perempuan itu?” “Itu urusan kami.” Tan Djiman menyalakan rokok mu
Menghilangnya Darkam membuat geger seluruh penghuni barak. Ditambah pengakuan Tan Djiman sebagai orang terakhir yang bersama Darkam. “Darkam pergi dengan seorang wanita. Mungkin gundik salah satu penjaga. Tapi aku tidak tahu ke mana mereka.” Tan Djiman menjelaskan. “Keterlaluan! Si keparat itu isi kepalanya cuma sekalangkangan perempuan.” Yang lain menanggapi. “Tapi, ke mana kira-kira dia pergi? Apa Darkam berhasil melarikan diri dari sini?” sahut penghuni barak yang lain. “Itu tidak mungkin,” kata Tan Djiman. “Sekalipun Darkam berhasil keluar dari kamp busuk ini, dia tidak akan mungkin bisa meninggalkan Pulau Buru.”
Itulah alasan Mardian mau berteman dengan Rohana, gadis kelabu bermata bulat yang ditemuinya di dasar jurang yang rasa tubuhnya melekat di lidah dan tak bisa diludahkan. Satu-satunya teman yang percaya bahwa Darkam hidup kembali dan ingin mencelakainya. “Saya mempercayai Bung seperti saya mempercayai diri saya sendiri,” kata Rohana hari itu. “Jangan khawatir,” sambungnya, “saya tahu Bung sama sekali tidak gila ataupun depresi.” “Kau sungguh-sungguh percaya padaku, soal Darkam itu?” “Saya melihat Darkam sejelas melihat Bung di sini. Bagimana mungkin saya mendustainya?” “Ana, kau
Di suatu malam yang cerah dengan bulan purnama bersinar terang Ana mendatangi barak Mardian lalu mengajaknya ke tempat biasa mereka duduk berbincang-bincang. Ke halaman belakang barak di dekat pohon jati. “Saya lihat Bung tampak tidak keruan. Karena itu, saya pikir ada yang ingin Bung keluhkan kepada saya,” kata Ana. “Pramoedya dan Tan Djiman sepertinya sudah tidak lagi peduli padaku, tidak lagi mempercayaiku. Mereka seperti menjaga jarak denganku,” keluh Pramoedya. “Kau tahu, Ana. Aku rasa kau benar soal mereka. Ya. Teman yang tak mampu mengerti dan membaca perasaan temannya tidak pantas disebut teman.” Ana mengeluarkan sebatang sigaret lalu mulai merokok. “Seorang teman s
Tiga bulan setelah rencana besar Mardian dan Ana dibuat Darkam sama sekali tidak muncul. Dia baru muncul kembali saat hari kedua kamp dilanda wabah untuk yang kedua kalinya. Ana yang melihat kemuncul Darkam bergegas memberitahu temannya. “Bung, saya melihatnya. Darkam datang lagi!” katanya memberitahu Mardian yang tengah duduk di samping ayahnya yang kembali terbaring sakit. “Apa? Darkam datang lagi?” “Benar, Bung. Tapi kali ini tidak sendiri. Saya melihatnya bersama seorang perempuan berkebaya kuning bertubuh sangat kurus.” Mardian menatap Ana dalam-dalam. “Bersiap-siaplah Ana, mereka sudah bersatu untuk melawan kita. Sepertinya orang-orang mati bersatu ingin menghancurkanku.” “Darkam membawa temannya?” “Bukan teman. Pelacurnya. Dia juga mati di tanganku. Darkam pasti mempengaruhi perempuan jalang itu untuk membalas dendam padaku. Karena sebelum-sebelumnya dia tidak pernah mendatangiku. Ah, mungkin saja ini
Mardian jatuh tersungkur di dekat ranjang mendiang Pak Mantri. “Ayah, kenapa kau meninggalkanku, kenapa Ayah? Kenapa?” Mardian menangis tersedu-sedu. “Kau keparat, Tuhan! Kau mengambil ayahku dan membuatku merana. Kau keparat!” dia berteriak menggila. “Kenapa, Tuhan? Kenapa? Apa salahku pada-Mu sehingga kau begitu kejam menyiksaku? Apa salahku, Bangsat?!” Teriakan dan tangisan Mardian menggemparkan semua penghuni barak. Pramoedya datang bersama Tan Djiman dan Sersan Andi. “Mardian, tenangkan dirimu, Kawan. Jangan seperti ini. Kau menyakiti dirimu sendiri, kau menyakiti Pak Mantri di atas sana,” bujuk Pramoedya. “Mardian, ini semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Kita tudak berbuat sesuatupun untuk mencegahnya. Nak, tenangkan dirimu. Ikhlaskan kepergian ayahmu. Agar Pak Mantri bisa beristirahat dengan damai di surga,” kata Sersan Andi yang berjongkok di sisi Mardian. “Dengar, Mardian. Hidup tidak serta merta berakhir saat jiwa seseorang meninggalkan raganya. Kehidupan f
“Dengarkan aku, Ana. Dengarlah.” “Saya mendengarkan, Bung,” ujarnya, tersenyum. “Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, aku harus menceritakan padamu apa yang terjadi. Aku harus melakukannya sebelum harus melupakannya.” “Silakan, Bung. Ceritakan seluruhnya, tumpahkan pada saya.” Ana menopang dagu, matanya menatap lurus ke dalam mataku seperti yang selalu dilakukannya bila tengah mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian. Sigaretnya mengepul di sela-sela jari. Akan tetapi, benarkah itu Ana? Apakah yang duduk di hadapanku sambil menopang dagu itu Ana? Ana, benarkah itu kau? Kau ada di sini? “Tentu saja ini saya, Bung. Saya di sini dan akan selalu di sini menemani Bung.” &
Keesokan harinya beberapa orang tetangga mendatangiku dengan kemarahan. Aku telah meresahkan banyak orang kata mereka. Tawaku di malam buta, tangisanku, dan teriakanku mengganggu tidur mereka. Aku memohon maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. “Baiklah, kami memberi Bung satu kesempatan lagi. Tapi, jika Bung kembali membuat keributan, kami akan mengusir Bung atau mengirim Bung ke rumah sakit jiwa,” kata salah satu dari mereka. Mendengar ancaman itu, Ana yang bertolak pinggang di sampingku merah padam. “Tidak, Ana. Jangan lakukan itu,” aku segera menghentikan Ana yang telah bersiap memuntahkan caci-makinya. Tapi aneh, orang-orang sepertinya tidak melihat Ana. Mereka saling melempar pandang satu sama lain sambil mengerutkan dahi. &nb