Mardian jatuh tersungkur di dekat ranjang mendiang Pak Mantri. “Ayah, kenapa kau meninggalkanku, kenapa Ayah? Kenapa?” Mardian menangis tersedu-sedu. “Kau keparat, Tuhan! Kau mengambil ayahku dan membuatku merana. Kau keparat!” dia berteriak menggila. “Kenapa, Tuhan? Kenapa? Apa salahku pada-Mu sehingga kau begitu kejam menyiksaku? Apa salahku, Bangsat?!”
Teriakan dan tangisan Mardian menggemparkan semua penghuni barak. Pramoedya datang bersama Tan Djiman dan Sersan Andi. “Mardian, tenangkan dirimu, Kawan. Jangan seperti ini. Kau menyakiti dirimu sendiri, kau menyakiti Pak Mantri di atas sana,” bujuk Pramoedya.
“Mardian, ini semua sudah menjadi kehendak Tuhan. Kita tudak berbuat sesuatupun untuk mencegahnya. Nak, tenangkan dirimu. Ikhlaskan kepergian ayahmu. Agar Pak Mantri bisa beristirahat dengan damai di surga,” kata Sersan Andi yang berjongkok di sisi Mardian. “Dengar, Mardian. Hidup tidak serta merta berakhir saat jiwa seseorang meninggalkan raganya. Kehidupan f
“Dengarkan aku, Ana. Dengarlah.” “Saya mendengarkan, Bung,” ujarnya, tersenyum. “Aku sudah tidak tahan dengan semua ini, aku harus menceritakan padamu apa yang terjadi. Aku harus melakukannya sebelum harus melupakannya.” “Silakan, Bung. Ceritakan seluruhnya, tumpahkan pada saya.” Ana menopang dagu, matanya menatap lurus ke dalam mataku seperti yang selalu dilakukannya bila tengah mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian. Sigaretnya mengepul di sela-sela jari. Akan tetapi, benarkah itu Ana? Apakah yang duduk di hadapanku sambil menopang dagu itu Ana? Ana, benarkah itu kau? Kau ada di sini? “Tentu saja ini saya, Bung. Saya di sini dan akan selalu di sini menemani Bung.” &
Keesokan harinya beberapa orang tetangga mendatangiku dengan kemarahan. Aku telah meresahkan banyak orang kata mereka. Tawaku di malam buta, tangisanku, dan teriakanku mengganggu tidur mereka. Aku memohon maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. “Baiklah, kami memberi Bung satu kesempatan lagi. Tapi, jika Bung kembali membuat keributan, kami akan mengusir Bung atau mengirim Bung ke rumah sakit jiwa,” kata salah satu dari mereka. Mendengar ancaman itu, Ana yang bertolak pinggang di sampingku merah padam. “Tidak, Ana. Jangan lakukan itu,” aku segera menghentikan Ana yang telah bersiap memuntahkan caci-makinya. Tapi aneh, orang-orang sepertinya tidak melihat Ana. Mereka saling melempar pandang satu sama lain sambil mengerutkan dahi. &nb
Aku terbangun dan membuka jendela di pagi hari bulan Desember 1977. Langit suram, angin berembus kencang. Ana tidak ada di sisiku, buku-bukunya pun tidak ada. Mungkin dia pulang sewaktu aku terlelap. Aku mencondongkan tubuh ke luar jendela. Seorang perempuan tua menggendong bayinya melintas di jalan: ke mana kau akan pergi? Dia menjinjing bungkusan: Apakah itu susu? Di seberang jalan seorang gadis menoleh ke kanan dan ke kiri: siapa yang sedang kau nantikan? Seorang loper memarkirkan sepedanya di depan sebuah rumah mewah, dia membawa koran pagi di keranjangnya: berita apa yang kau bawa pagi ini? Aku sudah berdiri terlalu lama di tepi jendela. Ketika pada akhirnya aku membalikan tubuh, kudapati radio tuaku bergemeresak lirih di atas meja. Aku menghampirinya, menarik ke atas antenanya, dan mengeraskan sedikit suaranya. Dari tempat yang entah di
Semakin hari kebencianku terhadap Parta berkembang menjadi ambisi untuk membalas dendam. Bermalam-malam aku tak tidur. Aku menghabiskan hampir seluruh waktuku untuk menyusun rencana di atas kertas yang kemudian kurobek-robek. Aku tidak bisa menghabisi Parta seperti menghabisi Darkam. Jika aku melakukan itu aku akan ditangkap polisi dan dilempar ke penjara. Tidak, aku tidak mau hal itu terjadi. Aku telah kalah dalam pertempuran dengan nasib buruk dan kebusukan sejarah. Kali ini aku tak sudi kalah lagi. Parta menemukan tepat tinggalku. Dia mengetuk pintu dan melakukan segala cara agar aku keluar dari persembunyian. Beberapa kali aku berpikir ini kesempatan yang baik untuk menyelesaikan urusanku dengannya. Dia yang datang kepadaku, ke sarangku. Namun demikian, aku tidak punya cukup keberanian untuk membuka pintu bahkan sekadar mendeka
Tiga hari berselang Parta kembali mengetuk pintuku. Aku belum punya jawaban untuk diberikan karena memang tidak pernah memikirkannya. Sudah cukup aku memberontak terhadap Tuhan dan diriku sendiri, terhadap negaraku, tidak. Namun, segalanya berubah setelah sore dia mengajaku berjalan-jalan dan memperkenalkanku kepada Marni. Pesona gadis mida itu sungguh kuatnya sehingga mampu menarikku ke dalam lubang gairah untuk dapat memilikinya seutuhnya. “Jika saya kaya raya nanti—tentu saja dari hasil kerja keras saya sendiri bukan dari pemberian ayah—saya ingin mendirikan sekolah-sekolah di daerah pedesaan lengkap dengan perpustakaannya. Saya ingin mencerdaskan generasi muda bangsa ini agar tidak selalu tunduk dan mengalah pada ketidak adilan. Agar berani menyiarakan pendapat, menuntut hak yang dimiliki dan menegakan keadilan,” kata Marni waktu itu. “Say sudah lelah, sangat lelah sekali melihat banyak orang menjadi kor
Malam yang turun tanpa nostalgia mengingatkanku akan satu malam saat aku masih di kamp kosentrasi Pulau Buru. Seperti ini: langit yang gelap penuh dengan kerlap-kerlip bintang yang seperti kunang-kunang. Bulan yang separuh mengambang rendah. Berdiri di depan jendela aku menatap luas cakrawala. Mencoba membuka diri sekali lagi pada kehidupan. Yang dikatakan Parta dan Marni sore tadi adalah benar. Aku memenjarakan diriku sendiri dengan rasa kecewa dan putus asa. Aku tidak hidup tapi juga tidak juga mati. Sangat menyedihkan. Langit dini hari di atas kota ini semakin indah. Cahaya bintang tampak seolah bertambah terang, bertambah hidup. Tiba-tiba aku terseret kembali ke masa lalu. Aku memejamkan mata untuk meleburkan diri dengan ingatan. “Berbohong adalah satu dari sekian banyak pelanggaran yang hampir semua orang pernah melakukannya,” sahut Tan Djiman setelah Pramoedya selesai bicara saat itu. “Bahkan seringkal
Tawaku hampir meledak saat aku tahu yang dimaksudkan markas oleh Parta adalah lubang perlindungan dari tentara Belanda penduduk Pada Suka di masa lalu. Bung Kasim menjemput kami di muka lubang perlindungan. Ada sekitar dua puluh orang anggota partai yang telah berada di dalam yang semuanya tidak kukenal dan tidak ingin aku kenal. Bung Kasim selaku pimpinan tertinggi partai menjelaskan apa yang harus kami lakukan. Aku dan Parta bertugas mencari simpatisan di Pada Suka, sementara yang lainnya akan memainkan peran yang telah ditentukan untuk meyakinkan orang-orang di sana. “Ingat, apa pun yang terjadi, jangan sampai kalian memberitahukan tempat ini. Jika ada salah satu dari kalian yang merasa mulai dicurigai, segera tinggalkan Pada Suka dan pergi melalui jalan utara.” “Bagaimana dengan Marni? Apakah Marni juga akan b
Aku terus memikirkan Marni meskipun sekarang telah di Pada Suka untuk sebuah misi. Marni adalah angin segar sekaligus cahaya baru dalam hidupku. Dia memberiku harapan, masa depan, impian dan hasrat dan gairah. Seperti datangnya sang juru selamat Marni datang disaat yang tepat dalam hidupku. Kehampaan yang membeku perlahan mencair lalu menguap. Rasa sepi menepi. Semangat bergejolak. Dari Marni aku belajar apa yang kulewatkan selama aku terasing dari dunia dan mendekam di kamp kosentrasi pulau buru. “Kehidupan sekarang telah berubah sama sekali,” kata Marni pada suatu hari. “Pasca geger komunis dan penangkapan besar-besaran dulu itu, sekarang kita hidup di dunia di mana krisis kemanusiaan menjadi hal yang tidak menarik lagi. Kebanyakan dari kita melarikan diri dengan berpura-pura baik-baik saja, tidak ada masalah, dan memilih tidak peduli atas apa yang terjadi karena tidak mau berurusan dengan orang-orang pemerintahan. Memang, berisikap menurut saja itu adalah langkah yang ama
Mardian telah tiba pada batas akhir kekuatannya. Di hadapannya malam mengundurkan diri seperti yang terjadi di atas gunug menjelang fajar. Rohana berdiri duduk di sampingnya. Sosoknya semakin nyata, semakin utuh, semakin abadi. "Tepat pada saat ini, Ana, akhirnya aku mengerti sudah rahasia alam semesta. Aku tahun jalan setapak jiwa terkadang tumbuh dengan begitu cepat, kerap hanya mengenal malam. Malam yang sangat luas nyaris tak terbatas, gersang dan hampa. Namun, aku katakan padamu : kita akan lolos, Ana.Kita berdua akan terus hidup. Meskipun, ya, pasti dalam situasi yang sangat jauh berbeda.""Maha karya yang luar biasa selalu lahir dari kelam malam. Keindahan yang menakjubkan terinspirasi dari bintang-binta di langit dan rembulan yang menggantung rendah. Kelam mala. Kadang menenggelamkan jiwa manusia dalam lubang keputusasaan yang dalam, yang tak berdasar. Kelam malam membuat manusia sampai menutup mata dan menggadaikan idealismenya sendiri. Kelam malam melahirkan manusia menjadi
"Tunggu dulu, Bung. Jangan pergi dulu. Ada satu kisah yang ingin saya ceritakan kepada Anda sebelum Anda pergi." "Baiklah, Ana. Kalau begitu silakan bercerita." Aku lahir dan dididik menurut agama Islam. Bahkan saat masih kecil dan sepanjang masa remajaku, aku di sekolahkan di sekolah-sekolah Islam. Aku mengaji ilmu agama di sore dan malam hari. Dan lebih sering lagi ketika datang bulan suci. Namun saat berusia sembilan belas tahun aku meninggalkan kegitaan keagamaanku itu, aku mulai kehilangan kepercayaan atas apa yang telah diajarkan padaku. Dilihat dari apa yang bisa kuingat, aku tak pernah benar-benar memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Aku sekadar percaya pada apa yang telah diajarkan padaku dan pada hal-hal yang berlaku di masyarakat luas. Namun, saat usiaku menginjak dewasa dan aku mulai mampu memahami kehidupan, kepercayaan ini perlahan mulai goyah. Aku melihat bahwa mayoritas ajaran-ajaran agama yang diterima tanpa pertanyaan dan ditopang ole
“Bung masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapati ketinggian sejati. Aku mencoba mencapainya. Tapi aku tak cukup kuat mendaki. Kakiku terkilir dan aku jatuh berguling-guling.“Kembali lagi ke bawah, aku menangis. Aku tak bisa mencapai ketinggian itu dan aku tidak tahu cara mencapainya. Dala
“Kami meninggalkan Pada Suka dengan sepeda. Pak Mantri yang memboncengku. Sepanjang perjalan Pak Mantri menjelaskan bahwa Paman Darto baik-baik saja.“ ‘Kau jangan cemas. Pamanmu baik-baik saja. Sekarang dia masih berada di Pada Suka. Yang terpenting sekarang kau harus pergi sejauh mungkin. Jendral Sudarto berencana mengarakmu di alun-alun.’“Aku menjelaskan pada Pak Mantri bahwa aku tidak tahu harus pergi ke mana dan bagaimana. Aku tidak punya teman dan keluarga selain pamanku.“Jangan cemas. Aku sudah mengatur keberangkatanmu. Kau akan naik mobil yang membawa gula kelapa ke kota. Setelah itu, carilah kereta jurusan Cirebon. Tunggulah pamanmu di sana.’“Aku berterima kasih pada Pak Mantri. Aku memeluknya saat mengucapkan selamat tinggal dan berjanji akan mengirim telegram begitu tiba di Cirebon nanti.“Tapi apa yang terjadi kemudian, yang kudengar dari bisikan angin, ternyata ada persekongkolan—sebuah drama—yang telah direncanakan untuk menghancurkanku. Lebih kejam lagi, pamanku send
"Ana apa kau masih di dalam aku?""Ya, Bung, saya masih di dalam Bung.""Aku ingin menyelesaikan ceritaku. Aku terbangun untuk memberitahumu bagian terakhir dari ceritaku.""Saya akan mendengarkan Bung. Saya akan selalu mendengarkan Bung. Bung juga masih belum menjawab pertanyaan saya, mengapa Bung kembali ke desa itu lagi?”“Bersabarlah, Ana. Aku pasti akan menceritakannya padamu; kisahku pada akhirnya akan sampai pertanyaanmu.”“Setelah memejamkan mata aku mematikan senter. Kegelapan yang pekat dengan cepat menelan sekujur tubuhku dan mengempaskannya ke dalam kehampaan. Suara malam terdengar lebih jernih. Kesunyian terasa begitu lembut. Waktu berhenti dan menjadi bisa di amati. Yang lainnya, semua yang lain berubah menjadi aku. Yang ketiga dalam segitiga. Yang bersatu menafikan cahaya.“Aku merasakan ketenangan yang aneh, berdamai dengan diri sendiri. Sesuatu yang seperti tirai berat terangkat. Semilir angin berembus. Kegelapan retak, melebar, dan berhamburan. Di atasku aku mendapat
Saya melihat semuanya. Apa yang tidak orang lihat saya menyaksikannya. Dunia benar-benar gelap waktu itu. Harapan seperti kabut tipis yang mudah menguap. Saya adalah saksi bisu dari ketidak adilan tanah moyang saya. Jika saya bisa berseru, saya pasti akan berteriak paling nyaring. Waktu itu, adalah pagi yang biasa. Benar-benar tak ada satu pertanda apa pun dari malam harinya. Saya membuka pintu. Tak ada yang asing di udara, tak ada yang ganjil di langit. Tapi, dunia kemudian berubah dengan sangat cepat, tanpa aba- aba , tanpa peringatan , tanpa pertanda. Hanya salakkan anjing. Itulah awal mulanya. Salakkan anjing terdengar dari arah hutan Pada Suka. Tapi, apa yang salah dengan salakkan anjing? Tentu saja tidak ada. Di hutan itu memamng masih banyak binatang liar. Babi hutan, anjing liar, monyet, dan yang lain-lain. Karena itulah, hampir atak ada yang sepesial dengan anjing yang menyalak pagi hari itu. Kecuali saya yang merasa aneh, yang lainnya sama sekali tidak peduli."Ayah, ada apa
Ana melipat kakinya dalam posisi bersila. “Pak Jendral, sebaiknya Pak Jendral segera menangkap Bung Tan Djiman. Sebelum segala sesuatunya terlambat.”Jendral Sumarto mengerutkan alis. “Apa maksudmu? Mengapa aku harus menangkan Tan Djiman?”“Karena Bung Tan Djimanlah yang membantu Bung Mardian dalam rencana balas dendamnya pada kehidupan ini. Bung Tan tak lain dan tak bukan merupakan keponakan Bung Kasim. Bung Tan juga seorang komunis. Dialah salah satu otak dibalik huru-hara selama ini. Dalang dari geger-geger. Bung Tan Djiman memiliki banyak jaringan. Dia sangat cerdik dan licik. Bung Tan Djiman memiliki banyak uang yang dapat membeli apa pun yang dia mau. Karena itulah orang-orang bersedia menjadi pengikutnya.”“Aku tidak percaya pada surga. Tapi aku percaya pada kesedihan. Aku tidak percaya pada penderitaan. Tapi aku percaya pada kematian. Kebebasan, pembebasan dan kemanusiaan. Aku tidak percaya lagi pada omong kosong selain tiga hal itu. Tidak bahkan pada penyesalan.”“Apa maksudm
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j
Jendral Sumarto masih tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya. Ada penyesalan yang menggumpal di dada, membuatnya sesak dan sulit bernapas.“Saya yakin Pak Kolonel sudah berbicara banyak pada Anda, Pak Jendral.” Suara itu begitu tenang, penuh kedamaian, dan hampir tanpa emosi. “Saya berjanji akan membantu Anda, saya akan mengatakan segala sesuatunya kepada Anda, apa yang Anda ingin ketahui.”Jendral Sumarto duduk di sebelah Rohana, punggungnya menyandar ke dinding batu sumur tua itu. Dia mengangsurkan sigaret dan korek api. Ana mengambilnya sebatang dan menyalakannya.“Aku tidak pernah menyangka akhirnya akan begini,” ujar Jendral Sumarto. “Semua memang salahku. Ya, aku bertindak terlalu sembrono. Aku terlalu memaksa Mardian, aku mendesaknya, aku menghancurkan hidupnya, harapannya, sisa-sisa kesadarannya. Aku sendiri yang meminta Marni untuk mendekati Mardian seperti dia mendekati Parta. Agar aku dapat mengorek informasi mengenai keterlibatan Bu Mantri dengan orang-orang komunis j