Sintya melangkah dengan kesal menuju meja kerjanya. Di sepanjang perjalanan, ia berkali-kali mendengkus kesal sembari merutuki tingkah Amanda yang semakin menjadi. "Cantik sih, tapi kok gitu amat ngejar lelaki. Apa nggak ada harga dirinya sebagai seorang perempuan?" batin Sintya yang masih teringat dengan jelas tingkah dan ulah Amanda yang terus saja berusaha mendapatkan Kevin. Begitu sampai di meja kerjanya, Sintya lantas menghenyakkan tubuhnya di kursinya dengan posisi punggung yang bersandar. Lagi, Amanda menghela napas dalam-dalam lalu ia keluarkan melalui bibirnya yang berbalut lipstik berwarna soft. Tak bisa dipungkiri, meskipun Sintya bersikap seolah-olah tak percaya dengan apa yang ditunjukkan oleh Amanda, foto yang menunjukkan saat Kevin memeluk Amanda pun terus berkelebatan di pelupuk matanya. Hal itu tentu saja membuat pikiran Sintya terus menerka-nerka. Benarkah? Atau hanya sekedar foto editan yang dicetak hanya untuk menghanc
"Kenapa?" tanya Sintya dengan kedua alis yang terangkat saat ponsel milik Kevin diulurkan ke Sintya. "Itu bukti biar kamu percaya sama aku." Sintya lantas menerima ponsel itu, setelahnya, jemari lentik miliknya menekan menu putar pada sebuah rekaman. Seketika terdengarlah suara-suara percakapan Amanda dan Kevin kemarin malam itu. Terdengar dengan jelas di telinga Sintya saat Amanda terus merengek minta tolong agar Kevin secepatnya pergi ke sana. "Aku tahu pasti ada yang direncanakan oleh Amanda, mengingat selama ini dia terus saja berusaha merecoki hubungan kita," jelas Kevin saat rekaman suara itu masih berputar. Ya, Kevin memang menyempatkan diri untuk merekam pembicaraan via telepon itu dengan alasan yang tadi ia katakan pada Sintya. "Ternyata benar kan dugaanku? Amanda ternyata telah menyiapkan sedemikian rupa untuk melanjutkan segala rencananya. Untung saja aku sempat curiga dan merekamnya, dan sekarang rekaman itu bisa dijadikan bukti agar bi
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 172Di sepanjang perjalanan, Kevin terus saja merutuki kebodohan yang dilakukan oleh perempuan yang dulu sempat dekat dengannya itu."Sialan! Amanda benar-benar mempermainkanku. Dan dengan bodohnya aku sempat tertipu daya oleh dirinya. Aku berjanji setelah ini tak akan lagi aku percaya dengan segala ucapanmu yang pasti saja itu adalah bualan. Beruntungnya aku memiliki wanita seperti Sintia yang tidak mengedepankan emosi. Hampir saja hubunganku dengan Sintia kandas karena ulah Amanda. Syukurnya saat Amanda menghubungiku, aku cepat tanggap dan langsung merekam perbincangan kita," gumam Kevin sembari menghela napasnya. Kevin melirik arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Itu artinya Kevin masih memiliki waktu untuk kembali ke kantornya. Meskipun ia tadi sudah minta izin untuk pulang lebih cepat, Kevin tetap ingin kembali untuk meluruskan dan mengultimatum Amanda. Tentu
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 173"Yasudah, aku menunggumu." Kevin mengakhiri acara gombal-menggombalnya dengan Sintia dan dia bersiap untuk menunvgu kekasih hatinya turun dari lantai tiga. Kevin lekas turun dari mobilnya dan berjalan menuju lobi kantor. Kevin melihat ada Sintia sudah berdiri di sana. Tanpa mengulur banyak waktu, Kevin segera menghampiri Sintia dengan seulas senyum. "Hei cantik, lagi nungguin siapa nih? Boleh dong kita kenalan?" tanya Kevin dengan gaya kocaknya yang menggoda Sintia. Tentu saja hal itu membuat Sintia tergelak. Beruntung di sana beberapa karyawan sudah pulang terlebih dahulu jadi tidak ada yang melihat pasangan itu saling lempar senyum. "Apaan sih garing banget deh.""Tapi kamu suka kan?" Kevin menaik turunkan alisnya ke arah Sintia. Sintia hanya bisa menggelengkan kepalanya saja karena tingkah konyol Kevin. "Langsung mau pulang?" Sintia mengangguk. Kevin dan Sintia berniat untuk bergegas beranjak dari sana. Namun, saat kedua langkah pasangan it
"Kenapa nggak ambil baju pengantin di butikmu saja, Ray?" ucap Ravi begitu Raya mengatakan kebingungannya soal kemana ia harus membeli pakaian untuk memberlangsungkan acara pernikahannya. "Nggak! Nggak mau!" jawab Raya dengan cepat. Kening Ravi berkerut dengan alis yang saling bertautan. "Kenapa?""Nggak lah, Rav. Aku maunya beli aja di butik orang.""Di butik kamu kan sama saja, Ray. Baju pengantinnya bagus-bagus dan cantik-cantik. Hitung-hitung aku juga mau nambah omset penjualan di butik kamu," jelas Ravi. "Nggak lah, nanti dikira kamu nggak mau modal. Aku khawatir kalau dikira kamu cuma manfaatin aku." Raya mengungkapkan rasa khawatirnya. Ia pun lantas meraih segelas minuman yang ada di hadapannya lalu menyesapnya. Ravi mengulas senyum. "Sejak kapan kamu memperdulikan omongan orang, Ray? Kalau ada yang julid, kasih tunjuk aja nota pembeliannya," seloroh Ravi sembari mengeluarkan gelak tawa, m
"Loh, Ravi? Kamu di sini? Mana Cahaya?" Suara itu terdengar begitu Raya telah membuka pintu ruangan ganti tersebut. Raya mendengkus kala melihat perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Novita. Orang asing yang selalu saja membuat ulah dan tak suka sekali dengan kedekatan antara Ravi dan juga Raya. Ravi yang mendengar suara yang amat ia kenali pun lantas menolehkan kepala. Seperti yang Raya lakukan, Ravi juga tak suka melihat keberadaan mantan istrinya itu. Ravi yakin, jika Novita hadir, maka keriuhanlah yang akan terjadi. Novita sedikit tersentak kaget saat melihat Raya yang saat ini sedang mengenakan balutan baju pengantin, akan tetapi dengan cepat ia berusaha mengendalikan diri, tak ingin membuat Raya tahu akan perasaannya saat ini. "Cahaya mana, Rav? Jangan mentang-mentang kalian mau nikah, terus ninggalin Cahaya sesuka kamu, Ravi!" sentak Novita memulai gara-gara. "Apa pedulimu sama Cahaya? Sudahlah, jika kamu hanya ingin membuat kerusuhan di sini, mending pergi saja da
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 176"Anda mau bicara dengan saya? Tapi sayang sekali, saya tidak memiliki waktu untuk menanggapi semua ucapanmu. Perkenalkan, saya Raya, pemilik butik ini dan cafe yang dulu pernah menjadi tempat kita bertemu ...." Mata Novita membelalak, ia memang tidak tahu-menahu perihal butik tempat langganannya itu ternyata juga milik Raya. Butik yang masui lima terbesar di kota itu ternyata milik musuh bebuyutannya. Sungguh Novita tidak menyangka sekaya itu ternyata Raya. Pantas saja kalau Ravi kekeh tidak mau kembali lagi dengannya. "Oh jadi ternyata calon istrimu ini kaya raya. Pantas saja kamu kekeh gak mau aku ajak rujuk demi Cahaya, Mas? Ternyata kamu pun sama denganku. Sama-sama gila harta. Aku yakin kamu beli baju di butik ini karena gak mau modal kan?" Novita menyunggingkan senyuman sinisnya pada Ravi. Seolah-olah ia tengah mengejek mantan suaminya tersebut. Raya yang melihat itu pun menjadi tidak terima dengan apa yang Novita katakan. Begitulah orang
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 177"Apa kalian ketawa-ketawa ha! Belum pernah ya lihat orang cantik kayak aku!""Dih kegeeran banget. Muka kayak ondel-ondel dikarungin aja belagu. Huuu!""Awas kalian semua! Pokoknya aku gak terima kalian ginikan! Dasar sialan!" Byur. Tiba-tiba saja tubuh Novita basah kuyup. Novita memalingkan wajahnya mengarah ke pelaku penyiraman dirinya. Matanya membelalak seketika melihat siapa yang membuat dirinya terlihat sekacau itu. "Raya apa yang kamu lakukan!" pekik Novita. Yah, Raya yang sudah menyiram tubuh Novita dengan seember air yang Raya bawa dari dalam butik. Ia begitu kesal karena suara Novita benar-benar mengganggu. Akhirnya Raya memutuskan untuk mengusir iblis betina itu dengan cara yang seperti itu juga. "Pergi gak kamu dari sini! Kalau enggak bukan hanya seember air keran yang sku siramkan ke tubuh kamu melainkan air comberan di selokan depan sana aku juga siramkan ke tubuh kamu. Mau kamu ha!" Novita sedikit beringsut dan memundurkan langk