NEXT[Kita harus bertemu. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.]Vivia menghela malas membaca pesan itu. ‘Lewin?’ pikirnya. Ada apa perempuan itu tiba-tiba menghubungi? Desainer pribadinya yang mengambil cuti melahirkan, tiba-tiba mengirimkan pesan ingin bertemu. Bahkan itu terdengar seperti pemaksaan.“Ada apa?” Vivia berbicara di telepon. Setelah membaca pesan Lewin, ia langsung menghubungi mantan desainernya. “Sudah berapa kali aku katakan, belajarlah sopan saat mengirimkan pesan padaku.”“Maaf, Bu Vivia, aku terlalu kalut.” Lewin meminta maaf setelah memikirkan isi pesannya. “Tapi ini sangat penting, aku ingin bertemu dengan Anda.”“Apakah itu penting bagiku sampai harus menemuimu?” tanya Vivia dengan nada acuh, seperti kebiasaan angkuhnya.“Ini... tentang masa lalu. Shera baru saja menemuiku di rumah.”Mendengar nama Shera disebut, Vivia menghentikan pekerjaannya. Masa lalu... sudah pasti menyangkut awal pernikahannya dengan Albian.“Aku kirimkan alamat padamu. Temui aku sa
Vivia meremas jari-jarinya. Shera ternyata tidak merasa puas setelah merampas Albi darinya. "Tidak!" tegas Vivia berbisik. "Apa pun itu, dia tidak boleh tau tentang masa lalu!" "Tapi, Bu, bagaima jika dia sudah tau? Saat menemuiku, Shera curiga aku menyimpan rahasia darinya.""Sekali aku bilang tidak, ya tidak! Tetap tutup mulut busukmu itu jika tak ingin aku menghancurkan semua yang kau miliki!" ancam Vivia tegas, kata-katanya tidak sekedar ancaman yang bisa diabaikan. Vivia adalah orang yang akan melakukan apa yang ia katakan. "Jika kau mencintai keluargamu, maka jangan pernah membuka mulut. Biarkan dia curiga atau bahkan memaksa kau berkata jujur, tapi jangan kau coba berkhianat padaku, camkan itu!" Kenapa harus mengkhawatirkan yang sudah berlalu? Semua barang bukti sudah hancur sejak tujuh tahun yang lalu. Shera tidak mungkin bisa menuntutnya tanpa barang bukti!"Ingat, Lewin, hanya kau satu-satunya saksi dari kejadian itu. Jika terbongkar, itu berarti dari kau. Dan jangan lup
"Kau membantu Vivia mengganti isi botol vitaminku dengan obat penggugur kandungan. Sebab itu lah kau bisa melanjutkan kuliah, dan menjadi desainer pribadinya. Kau membunuh janinku demi mendapatkan impianmu!" kata Shera penuh penekanan. "Ti-tidak. Itu tidak benar."Sekuat apa pun Lewin berkilah, dia tidak akan bisa mengelak dari fakta itu. Karena hanya Shera dan orang yang menolongnya lah yang tahu tentang vitamin dan obat penggugur kandungan. Tujuh tahun yang lalu. "Di mana, di mana nomor ponsel rumah sakit itu?" gumam Shera menahan sakit. Tangannya menggeser layar ponsel mencari-cari nomor telepon rumah sakit tempatnya kontrol kandungan selama ini. Tapi sampai nomor terakhir yang dia baca, nomor itu tidak juga ditemukan."Aku yakin sudah menyimpannya. Tadi di mana itu?" kata Shera lagi berbicara sendiri. Sudah sekita setengah jam ia merasakan kakinya bagaikan lumpuh dan perut memulas. Ia harus segera ke dokter jika tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada janinnya. "Ibu akan me
Lewin tersentak oleh pertanyaan Shera. Wajah bayi tercinta datang ke pelupuk mata, menunjukkan senyum yang selalu berhasil menentramkan hatinya. Lewin tidak pernah membayangkan berpisah dengan bayinya, apalagi jika harus direbut seperti yang barusan Shera katakan.Haruskah Lewin meminta maaf pada Shera, mengakui kesalahannya dan meminta pengampunan dari sang sahabat? Ia tahu, kata-kata Shera bukan sekadar omongan semata, nada suara itu mengandung dendam yang berkobar. Akan tetapi, Lewin juga mengingat perkataan Vivia agar terus menutup mulut. Bayinya juga dijadikan ancaman oleh Vivia jika berani berkata jujur pada Shera.Lantas, bagaimana ini? Lewin mulai gemetar memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang."Kau tidak mendengarku, Lewin? Aku harus mengulangi kalimatku lagi?""Aku tidak mengerti ucapanmu!" sahut Lewin ketus, mengelak tuduhan Shera."Tidak mengerti katamu? Lewin, kau bahkan tidak tahu apa yang terjadi padaku. Sampai aku keluar dari rumah sakit, kau bahkan tidak menunj
Malam yang dingin disertai hujan adalah saksi dari rasa sakit yang Shera rasakan sekarang. Ia bersimpuh di depan makam ayahnya, menatap gundukan tanah yang sudah hampir rata. Semua kenangan masa lalu terus menggerogoti pikiran, bercampur baur dengan ucapan Lewin siang tadi. Tangan kecilnya merayap di atas gundungan makam sang ayah, mencakar dan meremas tanah itu di dalam genggaman."Ayah, kau tak pernah mengajarkanku membenci dan dendam. Kau selalu mengatakan agar aku melupakan ibu, yang pergi meninggalkan kita saat aku masih sangat kecil. Kau juga yang berkata aku adalah cinta suci, yang tak boleh membalas kejahatan seseorang." Ia mengenang masa kecilnya saat sang ayah masih hidup, pria itu adalah teladan yang sangat Shera dengarkan pesan-pesannya."Aku sudah melakukannya, Ayah. Aku membuang kebencian itu dari hatiku, meski tak pernah benar-benar menghilang. Aku menyalahkan diriku lah yang tak bisa menjaga kehormatan, membuat malu Ayah hingga memutuskan mengakhiri hidup. Aku menghuku
Tak butuh waktu lama Shera menunggunya. Tiga puluh menit sejak Albi berkata pulang, lelaki itu sudah berdiri di ambang pintu utama. Matanya menatap Shera lekat, sangat lekat dan terpana. Mata itu bahkan tidak bergerak beberapa saat, sampai Shera menggerakkan tangan menunjuknya. Jari telunjuk gadis itu digerakkan lamban, memberi isyarat agar Albian datang."She...ra," panggil Albi, suaranya tercekat melihat penampilan Shera malam ini. Lingeri seksi yang menunjukkan lekuk tubuh Shera, bahan transparan itu membuat pemandangan Albi semakin terpikat. Shera sangat seksi, mengundang rasa birahi yang langsung menyambar Albian."Kau akan tetap berdiri di sana?" kata Shera berbisik pelan, sebelah kakinya diangkat dari kaki yang lain, membuka pahanya sedikit. Sungguh, pemandangan itu membuat Albi semakin tak kuasa. Belahan paha Shera sangat indah dari kejauhan."Ke mari. Sekarang!" perintah Shera masih dengan isyarat jari.Albian yang terpana pun tak mampu menahan kakinya untuk bergerak maju.
Sepasang manusia tanpa sehelai pakaian itu, terkejut oleh suara Vivia. Albi melepaskan tubuh kekasihnya, menatap Vivia yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sorot mata wanita itu sangat tajam bagaikan belati yang siap mencabik seluruh tubuhnya. Albian yang tadi dirasuki birahi, perlahan kembali kesadarannya.“Vi?”“Ya! Jika matamu belum buta, kau tengah melihatku sekarang. Benar. Aku, perempuan yang masih sah sebagai istrimu, tengah melihat kau bersetubuh dengan pelacurmu!” sentak Vivia, kemarahan tak bisa ia tanggung melihat perbuatan dua manusia yang tak punya rasa malu.Cemburu tentu saja. Munafik jika Vivia mengatakan dirinya tidak cemburu melihat suami yang ia cintai, justru menginginkan gadis lain. Marah sudah pasti. Meski ia berkata dirinya akan merelakan Albi pada Shera, sebagai wanita yang menemani Albian selama tujuh tahun ini, ia tentu marah melihat suaminya bersetubuh dengan wanita lain. Bahkan, mereka melakukannya di rumah milik Vivia, di depan matanya.Tubuh Vivia sampai
Setelah kejadian malam itu, Albi menjadi banyak termenung. Shera berusaha menggoda dan menghiburnya, tapi semua yang dilakukan bagaikan hambar di hati Albi. Jika biasanya ia sangat senang melihat Shera bermanja padanya, sekarang semua seperti tidak berarti. Albian terus memikirkan Vivia, merasa sangat bersalah padanya.“Bi, makananmu akan dingin,” peringat Shera menunjuk makanan di depan Albi, membuat lelaki itu tersadar dari pikiran. “Sampai kapan kau akan seperti ini? Aku sudah memilih diam sejak tadi malam, tapi sampai kita makan siang pun kau masih termenung seperti ini? Apa sebenarnya yang kau pikirkan?”“Entah lah, She...” sahut Albi, menyuap makanan ke dalam mulutnya. Tapi, makanan itu terasa serat di tenggorokan, tak mampu ditelannya. “Aku tidak bisa makan.”“Kau serius? Kau bahkan tidak sarapan pagi tadi, dan sampai sekarang tidak merasa lapar?” Shera mengerutkan kening tidak senang. “Jangan bilang kau terus merasa bersalah padanya, Albi, aku tidak suka!”Apakah ini bentuk ra