Albian sampai tersedak oleh napasnya sendiri. Vivia mendengar pembicaraan mereka dari luar?Benar. Sudah lebih dari lima menit Vivi berdiri di balik pintu dan mendengarkan perbincangan dua orang di hadapannya itu.Mengetahui Albi mencarinya, Vivi buru-buru ingin segera bertemu dengan Albi. Hatinya sangat berbunga-bunga, ada rasa bangga yang begitu besar Vivia rasakan kala mengetahui Albi merindukan dirinya. Tapi saat akan membuka pintu, tiba-tiba saja Vivia mengurungkan niat.Ada rasa ingin tahu yang tiba-tiba merongrong hati Vivi.Apakah dugaannya benar, bahwa selama tujuh tahun ini Albian tidak bisa melupakan Shera? Dan oleh rasa ingin tahu itu ia memilih diam di balik pintu, memastikan dugaannya pasti salah.Nyatanya, Vivi yang salah. Semua perlakuan Albi selama beberapa hari ini hanya kebohongan untuk menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya Albi memang masih mengharapkan Shera. Bahkan... ingin bermalam di rumah perempuan itu? Dadanya sangat sesak menyadari diri diperbodoh oleh suami
“Katakan, kau tidak rela pelacur ini mati? Kau takut kehilangan dia?”“Dia bukan pelacur, dan kau tidak berhak mengambil nyawa seseorang—"“Dia pelacur! Perempuan ini hanya pelacur yang kau tinggalkan demi karier!” sambar Vivi mengingatkan Albi akan masa lalu. “Kau lupa? Kau membuangnya dan memilih aku, semua itu karena posisi yang kau dapatkan sekarang!”Jika bukan karena Vivia, Albi hanya seorang lelaki biasa. Mungkin dia akan lolos di tes kepolisian, tapi, apakah mungkin kariernya bisa secepat sekarang? Bahkan teman-teman seangkatan Albi saja, masih banyak yang hanya memiliki posisi Tamtama. Sedangkan Albi, berkat bantuan ayahnya Vivi, lelaki itu sekarang menduduki kursi komisaris besar dengan tiga lambang melati di pundaknya.“Ayahku bukan tanpa alasan memberimu posisi yang tinggi, dan aku bisa menjatuhkanmu kapan pun aku mau!” lanjut Vivia, memberi peringatan untuk Albi. “Kau masih ingin membela pelacur ini?”“Aku tidak membela siapa pun, cepat lepaskan Shera. Kau tidak berhak m
“Vivia, Vivia, tunggu!”“Vivia, kau harus mendengar penjelasnku.”Albian berusaha mengejar istrinya yang sudah lebih dulu keluar dari ruangan itu. Sejak tadi Vivi berteriak menyuruhnya keluar, tapi Albi tidak bergerak sama sekali. Lebih baik Vivi yang memilih pergi daripada melihat wajah dua orang yang sangat ingin ia bunuh detik ini juga.“Via, Vivia!” Albi tarik pergelangan tangan Vivi sampai perempuan itu terpaksa menghentikan langkahnya. “Vi, dengarkan aku dulu. Kau tidak bisa mengambil keputusan begitu saja, hanya karena aku menghentikanmu membunuh Shera.”“Lantas, aku harus menjadi saksi betapa menjijikkannya kalian berdua? Aku harus bertahan dengan suami yang hanya memanfaatkan diriku saja? Albi, sadar dirilah sedikit! Masih banyak laki-laki di luar sana yang berharap menikah denganku, tapi aku memutuskan memilihmu!” pungkas Vivia terus terang.Ia cantik, anak seorang jendral dan memiliki beberapa saham di dunia bisnis. Vivia juga anak tunggal, sudah tentu seluruh aset keluarg
“Apa yang kau bicarakan, Bi? Kenapa kau berkata seperti itu di telepon? Vivia setuju bercerai denganmu? Atau kau yang memaksa dia untuk bercerai?” Rentetan pertanyaan dari Shera sama sekali tidak dijawab lelaki itu. Albi sibuk menyetir mobilnya, menatap fokus ke depan sana seakan Shera tidak pernah berada di sebelahnya. Gadis di sisinya itu membutuhkan penjelasan atas ucapan Albi di dalam telepon tadi. “Albi, katakan sesuatu. Kau yakin akan menceraikan istrimu?” Bagaimana mungkin Vivi menyerah secepat itu? apakah benar perkataannya di ruangan tadi, bahwa Vivi akan bercerai dengan Albian? Melihat betapa gigihnya Vivi ingin menunjukkan bahwa Albi hanya miliknya, rasanya tidak akan secepat itu Vivia bercerai. Sampai rambutnya botak pun, Shera tidak yakin Vivia benar-benar mau bercerai dengan Albi. “Albi, jangan hanya diam. Kau harus menjelaskan padaku, apa benar kalian akan bercerai? Kau memaksanya?” “Aku tidak memaksanya, She, dia yang ingin bercerai dariku.” Albi sangat frustasi ak
Setelah mengantarkan Shera, Albian bergegas kembali ke rumahnya bersama Vivi. Ia tak mau hancur sendiri. Seperti kata Shera, Albi berhak mendapatkan apa yang sudah ada di tangannya sekarang. Jika Vivi bisa mengancam, kenapa tidak dengan Albi?Namun, ketika ia memasuki pekarangan rumah besar itu, Albi terkejut melihat pemandangan di depan pintu. "Apa yang dilakukan perempuan itu?" Albi bertanya sendiri, seulas senyum muncul di bibirnya. Segera ia parkirkan mobilnya dan buru-buru menghampiri Vivia dan beberapa asisten rumah tangganya."Kau sudah berkemas? Jadi, kau yang akan meninggalkan rumah?" kata Albi, berpikir Vivi mungkin memilih meninggalkan rumah dan segala isinya. "Apa?" "Tidak, aku tidak akan menghentikanmu. Meski rumah ini pemberian orang tuamu, sudah sepatutnya memang aku yang mendapatkannya. Tapi sebelum kau pergi, banyak yang harus kubicarkan."Vivia tertawa sumbang. Sangat lucu ia rasa perkataan suaminya yang... sangat tak tahu malu."Ini barang-barangmu, aku sudah men
Albi gila! Ia adalah laki-laki gila yang tak punya rasa malu sedikit pun. Ketika dirinya sudah ketahuan curang dalam pernikahan pun ia masih sanggup mengancam kembali istrinya. Sungguh Vivia tidak menduga suami yang selama ini bersikap biasa saja, ternyata memiliki hati yang sangat kejam. Vivia salah... Albi tidak selemah yang ia lihat selama ini."Tidak... dia tidak boleh mengancamku seperti ini," bisik Vivi kalut. Jika selama ini Albi lah yang selalu ia tekan oleh ancaman, sekarang busur itu seperti berbalik arah menyerangnya. Vivia sangat frustasi oleh bukti rekamanan yang dimiliki Albi. Dengan adanya itu, ia tak bisa melakukan apa pun sekarang. Hingga hari sudah beranjak malam, Vivi masih duduk di kursi teras rumahnya, sifat arogan dan penuh percaya dirinya sudah luntur setelah dengan bodoh terjebak ucapan sendiri. Bercerai dan merelakan Albi hidup bahagia dengan Shera, adalah sesuatu yang tak ingin Vivi pikirkan. Karier Albi harus hancur, barulah Vivi bisa lega melepaskan lelak
"Nona Shera, apa yang terjadi di ruangan Ibu Vivi kemarin? Kami mendengar ribut-ribut di dalam sana. Dia bertengkar dengan suaminya?" "Benar, kami mendengar sepertinya Ibu Vivi menyebut-nyebut cerai dan perempuan lain. Apakah Pak Albian berselingkuh?"Shera dihujani pertanyaan oleh rekan-rekan kantor. Seperti lalat diberi sampah mereka berebut berbicara, bahkan terang-terangan mempertanyakan hal yang sangat sensitif. "Apa? Um... aku tidak paham pertanyaan kalian," sahut Shera berpura bodoh. Tidak mungkin ia terang-terangan menceritakan pertengkaran yang terjadi di ruangan Vivia, namanya akan terseret-seret dan dipandang sebagai gadis murahan, andai mereka tahu bahwa Shera sendiri lah biang dari pertengkaran itu."Ah ... jangan bercanda, Nona Shera. Kami yang di sini saja bisa mendengar meski tidak jelas, sedangkan kau ada di sana bersama mereka. Tidak mungkin kau tuli dan buta, tak tahu mereka membicarakan apa, kan?" kata yang lain menimpali.Wanita bernama Artha mendekati Shera, l
Tak bisa Shera tampik keterkejutan di wajahnya. Ia yakin Albian berkata ia akan bercerai dan atas permintaan Vivi, tapi apa yang baru saja Vivia katakan sangat berbanding terbalik.Apakah ini hanya akal-akalan Vivi saja, agar namanya tidak menjadi buruk di kantor? Ya... Shera berpikir, Vivia mungkin ingin mempertahankan posisinya di kantor ini agar tidak pernah tersingkirkan oleh yang lain. Vivi memang licik, bahkan ketika sebentar lagi ia akan menyandang status janda, posisi sebagai pembicara utama masih menjadi obsesinya.Persetanlah dengan semua itu. Mau Vivia menjadi apa pun, itu bukan urusan Shera. Tujuannya adalah, membuktikan pada perempuan itu bahwa dirinya masih bisa merebut Albian!“Shera, kenapa hanya diam? Semua orang menunggu jawabanmu,” kata Vivi, menarik Shera dari pikiran panjangnya tentang kelicikan perempuan itu. Shera mengembus napas sesaat sebelum memberikan jawaban.“Sejak awal aku katakan, aku tidak peduli dengan urusan orang lain. Tapi karena Ibu Vivi berkata de
Satu-satunya orang yang bisa menolong Shera adalah Edward. Dalam hal apa pun itu, hanya Ed yang selama ini bisa Shera andalkan mengurus masalahnya. Meski Shera sudah membuat sangat banyak kesalahan, Edward masih dengan sabar di sisi gadis itu, bahkan tak sungkan Ed meminta maaf meski Shera yang melakukan kesalahan. Entah apa yang terjadi padanya sampai begitu sensitif, hanya karena Shera mempertanyakan apakah pria itu tulus padanya.“Edward, kau sedang demam?” Shera mengulurkan punggung tangannya ke kening Edward, suhu badan pria itu tidak panas. Tidak mungkin Edward badmood karena PMS kan? Dia laki-laki.“Aku baik dan aku tidak demam. Shera, tolong jawab pertanyaanku. Apakah semua yang kita lalui selama ini tidak berarti bagimu? Apakah kesabaranku menunggu hanya kau anggap sebuah lelucon, sampai kau pikir aku tidak tulus mencintaimu? Untuk apa aku bersabar menunggu, jika aku tidak tulus padamu?” sahut Edward, kali ini kalimatnya lebih panjang.Selama tujuh tahun ini sudah banyak hal
“Kamu nggak berangkat ke kantor?” tanya Shera yang melihat Albi bermalas-malasan di depan televisi. Pria itu menggeleng, seperti orang yang tak punya harapan hidup saja kelakuannya. Jujur Shera merasa tidak senang melihat Albi hanya diam di rumah.“Bi, kau harus tetap bekerja,” katanya, mengambil posisi duduk di sebelah pria itu.“Untuk apa? Adi Wangsa akan tetap memecatku.” Albi memeluk istri keduanya, membawa Shera ke dalam pelukan. “Mendingan aku habiskan waktu bareng kamu, kan?”Hah! Bukan seperti ini yang Shera inginkan. Meski dia dengan terpaksa harus menikah dengan Albi, dia sama sekali tidak berharap berduaan seperti ini terus menerus. Sejujurnya, bahkan Shera muak mendapat ciuman seperti sekarang dari Albi.“Bi...” bisiknya, menarik diri dari ciuman Albi yang bertubi-tubi di lehernya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Kau takut kehilangan pekerjaanmu ‘kan? Tapi, meski nanti akan seperti itu, kau tidak boleh bolos bekerja. Kau harus tetap hadir di kantor, meski hanya u
Setelah pertemuan dengan Lewin, setiap hari Vivi menerima pesan dari gadis bodoh itu, sebagai bukti Shera sudah meminum obat yang dia berikan. Seperti hari itu, Vivia tersenyum melihat Video saat Lewin memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol vitamin Shera. Bertepatan sekali memang, warna dan bentuk obat penggugur kandungan yang ia beli sama persis dengan vitamin milik Shera. Gadis itu pasti tidak curiga jika yang ia minum adalah obat untuk membunuh janinnya.[Shera sudah meminum obatnya. -Lewin]Sebuah foto ikut terkirim di bawa pesan yang Lewin kirimkan. Vivi hanya membacanya tanpa membalas satu kata pun.Tak berselang lama, pesan masuk lagi ke ponselnya dan itu lagi-lagi dari Lewin.[Kapan obatnya akan bereaksi, Bu Vivi? Sudah tiga hari Shera minum tapi tampaknya dia baik-baik saja. -Lewin][Sabar. -Ibu Vivi]Hanya kata itu yang Vivi kirimkan.Obat itu memang tidak langsung menunjukkan reaksi apa-apa saat diminum. Tapi di dalam sana, perlahan obat itu akan membuat gerak si janin m
Mendapat kesempatan berkuliah juga diberikan rumah yang layak di tengah kota, siapa pun pasti tergiur untuk mendapatkan semua itu. Tak ubahnya dengan Lewin, dia sangat ingin bisa berkuliah dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang desainer. Tapi melenyapkan nyawa seseorang sebagai taruhan, apakah itu bisa dia lakukan? Gadis belia itu menatap tak percaya pada wanita di depannya.“Melenyapkan bayi Shera?” bisik Lewin bertanya pada dirinya sendiri. Meski janin itu belum lahir ke muka bumi, tetap saja dia memiliki nyawa. Melakukan apa yang dikatakan oleh gadis di depannya ini sama saja membuat Lewin menjadi seorang pembunuh.“Kamu salah orang kalau berpikir aku akan melukai temanku dan janinnya. Dan aku katakan padamu, aku akan melaporkan rencanamu ini pada polisi!” kata Lewin tegas.Sejak tadi Lewin berusaha bersikap ramah, berbicara sopan dengan memanggil gadis seusianya itu dengan sebutan kakak, sebab dia pikir untuk menghormati pelanggan yang datang. Tapi setelah mendengar permintaa
“Aku sudah menghubungi orang itu, dia bernama Edward. Ketepatan sekali, ternyata pria itu pemilik perusahaan yang menaungi Shera sebagai desainer. Jadi... dia tidak akan curiga saat aku menghubunginya.”“Hm... bagus. Atur pertemuan dengannya. Aku ingin mengetahui banyak dari pria itu, sebelum melancarkan rencana ini.” Sebelum berperang, Vivia akan mengumpulkan peluru untuk membidik targetnya tepat sasaran. Dia membutuhkan banyak informasi dari pria bernama Edward itu.“Sudah, Bu Vivia. Aku sudah mengatur semuanya. Ketepatan sekali, pria itu akan berkunjung ke Indonesia dalam minggu ini.”Tampaknya keberuntungan tak pernah meninggalkan Vivia. Dia tersenyum membayangkan bagaimana terkejutnya wajah Shera nanti saat bertemu pria itu.“Selain dia yang menyokong hidup Shera selama ini, ternyata pria itu juga yang menolong Shera tujuh tahun yang lalu.”“Maksudmu?” Vivia tak sabaran kala mendengar kata ‘tujuh tahun yang lalu’.“Saat Shera kehilangan janinnya. Pria itu yang menolong Shera dan
“Baik. Tunggu aku di Indonesia, aku akan membawakan Shabi padamu.”Sejak dulu, Edward tidak pernah mengingkari ucapannya. Tak pernah pria itu menolak apa pun yang Shera pinta, meski itu terbilang permintaan yang sangat mustahil. Shera tak merasa khawatir lagi akan permintaan Albi. Dia percaya seutuhnya pada Ed, jika Shabi akan segera datang ke hadapannya. “Aku akan membuat kau bahagia di awal, Bi. Sebelum menjatuhkanmu sangat sakit,” bisik Shera menyentuh rambut pria itu. Dia elus pelan, seperti seorang ibu memanjakan putranya. Tak ubahnya dengan Shera, di tempat lain pun Vivia mengatur rencana baru untuk mengungkap betapa jahatnya seorang Shera. Dia tertawa terbahak-bahak saat menerima email dari seorang pesuruh. “Wah, aku harus mengakui kau begitu cerdik, Shera. Di balik wajah polos yang pamerkan, ternyata kau tak beda liciknya dariku.” Sekali lagi dia tertawa, tak menduga gadis yang ia anggap lugu ternyata jelmaan iblis seperti dirinya. Gadis polos dari mana yang akan memanfaa
“Kau tahu, tujuh tahun lamanya aku menikah dengan Vivi, tapi dia tak bisa memberiku keturunan. Aku sangat merindukan seorang anak, Shee, aku ingin segera bisa bertemu dengan anak kita,” ucap Albi ketika melihat senyum manis Shera tiba-tiba memudar. ‘Dan tentu saja anak itu alasan kuat bagiku kembali padamu, Shera. Aku tidak ingin anakku bertumbuh tanpa kehadiran seorang ayah.’ Dia melanjutkan kalimat itu di pikiran, sebab tak ingin Shera menduga Albi menikahinya hanya karena seorang anak. “Bi.” Shera melepas tangannya dari leher Albi. “Aku paham kau sangat ingin bertemu anak kita. Tapi... bukankah kita juga harus sedikit bersabar? Anak itu tumbuh tanpa seorang ayah sampai dia berusia enam tahun. Kita... kita tidak bisa buru-buru dan membuatnya terkejut, bukan begitu?” imbuhnya, meski jelas terlihat senyum itu bagaikan dibuat-buat. Benarkah semua bukti yang Vivi tunjukkan? Benarkah anak itu sudah tiada, dan Shera hanya mengulur waktu? Tapi apa alasan Shera tidak berkata jujur saja? A
Ketika Albi memasuki ruang private restoran itu, dia menemukan Vivia sudah menunggunya di sana. Segera Albi mengambil salah satu kursi di depan Vivi, lantas tak sabaran dia bertanya.“Apa yang akan kau tunjukkan?”Vivia tersenyum kecut menatap pria yang masih resmi sebagai suaminya. Sangat buru-buru, seakan Albi tak ingin berlama-lama menatap wajahnya. Miris. Pria yang selama ini ia harapkan akan menua bersama, sungguh menyakiti hatinya.Tanpa mengatakan apa pun, Vivia mendorong map di atas meja, tepat ke depan Albi.“Katakan, apa isi map ini?” tanya Albi, ragu dia menyentuh map berwarna cokelat itu. “Vivia, sebelumnya kau harus tahu. Aku tidak akan peduli perkataanmu, jika berpikir akan merusak hubunganku dan Shera. Apa pun yang berusaha kau lakukan, percayalah aku dan Shera tidak akan terpengaruh.”“Bahkan jika kekasih yang sangat kau cintai itu mendustaimu?” Vivia balik bertanya.Mata Albian bergetar. Apakah dia akan memaafkan jika Shera melakukan kecurangan? Hatinya tak yakin, t
Tangan lelaki itu menggandeng Shera turun dari mobilnya. Mereka baru saja kembali dari rumah pak Arifin dan Bu Wati dengan perasaan bahagia. Ia tersenyum menatap wajah gadis yang sejak lama dia cintai. “Ada apa menatapku seperti itu?” tanya Shera, memutar kenop pintu masuk utama rumahnya. Mengecup kening Albi, dia kemudian masuk lebih dulu. “Aku sangat bahagia, akhirnya bisa memenuhi janjiku untuk menikahimu.” Dari belakang Shera memeluk pinggang Albi, menyandarkan wajahnya di punggung bidang pria yang kini resmi menjadi suaminya di dalam agama. “Terima kasih, Bi. Aku juga sangat bahagia, akhirnya kau memenuhi janji itu.” Dia peluk perut Albi lebih erat, seperti dunianya adalah sepenuhnya ada pada pria itu. “Lantas, kapan surat cerai akan kau kirimkan pada Vivia?” “Secepatnya, tentu saja. Aku sudah meminta pengacara membuatkannya untukku.” Shera mengangkat wajahnya dari punggung Albian, berputar dan berdiri di depan pria itu. “Secepat itu?”“Bukankah kita ingin ini secepatnya? A