“Dokter Sandy!!” seru Arum.
Danu langsung berdecak sambil tersenyum sinis ke arah Dokter Sandy. Ia masih kesal saat mengingat ucapan terakhir Dokter Sandy padanya tempo hari di telepon.
“Kita bertemu lagi, Tuan!” Kini Dokter Sandy menyapa Tuan Arya dan Tuan Simon.
Tuan Arya dan Tuan Simon hanya tersenyum sekilas sambil menganggukkan kepala. Sementara Danu masih bergeming di posisinya dan kini semakin menggenggam erat tangan Arum. Dokter Sandy melihat reaksi Danu dan hanya tersenyum masam.
“Kamu sendiri ngapain ke sini? Sengaja membuntuti kami?” sergah Danu.
Ia tahu jika tempo hari Dokter Sandy membuntuti Arum. Danu tahu dari Beni, orang suruhannya.
“Akh … Anda terlalu curiga pada saya, Tuan. Saya ke sini untuk menyerahkan berkas Nona Nadia. Bukankah mulai hari ini penyelidikannya akan diusut lagi. Jangan-jangan Anda ke sini juga untuk hal itu.”
Danu tidak menjawab hanya melirik Do
“Apa ini?” tanya Tuan Rafael.Keesokan harinya usai melakukan panggilan dengan Nyonya Lani. Tuan Rafael bertemu dengannya di sebuah kafe. Nyonya Lani langsung menyodorkan sebuah botol kecil ke arah Tuan Rafael.“Itu adalah benda yang dapat membantu kita, Tuan,” jawab Nyonya Lani.Tuan Rafael mengangkat alisnya satu sambil menatap tajam ke arah Nyonya Lani. Ia mengambil botol kecil itu dan membacanya.“Vitamin?” Tuan Rafael semakin menunjukkan keterkejutannya. Sedangkan Nyonya Lani malah tersenyum melihat reaksinya.“Botolnya bertuliskan vitamin, tapi isinya bukan. Saya sudah mengganti semuanya.”Tuan Rafael menghela napas panjang.“Lalu mau Anda berikan kepada siapa? Arum atau Danu? Lalu bagaimana kalau mereka benar-benar mati setelah meminumnya. Polisi akan mengetahui lebih dulu penyebabnya dan tentu saja Anda bisa langsung ditangkap, Nyonya.”Nyonya Lani tertawa mendengar penjelasan Tuan Rafael.“Anda polos sekali, Tuan. Memang benar yang Anda katakan, tapi asal Anda tahu cara ini s
“Apa, Mas?” jawab Arum.Ia sangat terkejut saat tiba-tiba Danu keluar dari kamar mandi, urung mandi malah berdiri tegak di depannya. Danu terdiam, bahunya naik turun mengolah udara dengan tatapan mata elangnya nan tajam.Arum terlihat bingung dan memperhatikan Danu dengan seksama. Hingga perlahan Danu menunjukkan sebuah test pack yang baru ia temukan di laci vanities. Mata Arum menunjukkan keterkejutan dan itu ditangkap oleh Danu.“Ini punyamu, kan?” tanya Danu.Arum tidak menjawab hanya berulang menelan saliva sambil menatap tanpa kedip ke arah Danu. Cukup lama mereka saling diam, hingga akhirnya Danu berjalan mendekat dan duduk di tepi kasur. Matanya menatap Arum dengan sendu.“Kamu … hamil, Sayang?”Arum menarik napas panjang, membalas tatapan Danu dengan senyuman kemudian mengangguk. Seketika sebuah senyuman terkembang indah di raut tampan Danu. Matanya berkaca-kaca lalu berhambur memeluk Arum.
“Lani!! Kamu apa-apaan?” seru Tuan Prada.Ternyata sosok yang mendekat itu adalah Nyonya Lani. Di sebelahnya tampak Citra berjalan dengan santai. Mereka berdua mengenakan pakaian yang glamour. Sepertinya baru saja menghadiri sebuah acara penting.Nyonya Lani tersenyum sekilas ke Tuan Prada kemudian menatap Arum yang duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Mata Nyonya Lani kini menelisik Arum dengan seksama kemudian berhenti saat matanya tertuju ke perut Arum.“Apa benar anak yang kamu kandung itu anak Danu, Arum?” tiba-tiba Nyonya Lani bersuara seperti itu.Seketika Danu terperangah mendengar ucapan ibu tirinya. Ia bahkan bersiap berdiri. Namun, tangan Arum lebih dulu mencegah dan menenangkan Danu.Danu melirik sekilas dan menganggukkan kepala. Ia menurut dan kembali duduk tenang di samping Arum.“Lani, kamu jangan asal ngomong. Mana mungkin itu bukan anak Danu.” Kini malah Tuan Prada yang membelanya.Nyonya Lani berdecak kemudian memilih duduk di sebelah Tuan Prada. Ada Citra juga yan
“Gak, Ma. Aku gak mau. Aku gak mau jadi gembel dan jatuh miskin,” ucap Citra.Dia tampak panik dan ketakutan. Nyonya Lani hanya tersenyum menyeringai.“Terus kita harus gimana, Ma? Hans juga kenapa belum bergerak, katanya dia punya cara untuk menjatuhkan Arum. Mana buktinya?”Nyonya Lani menarik napas panjang sambil menatap Citra dengan kesal.“Jaga mulutmu, Citra!! Jangan keras-keras kalau bicara. Kamu mau rencana kita gagal?”Citra terdiam sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Bersamaan matanya tampak beredar memperhatikan sekitar. Ia lupa jika sedang berada di rumah dan tentu saja para penghuni rumah ini lebih memihak kepada majikannya dari pada dia.“Ayo, kita ke kamar! Ada banyak hal yang harus kita bicarakan di sana.”Nyonya Lani bangkit lebih dulu diikuti Citra. Mereka berjalan dengan tergesa dan masuk kamar dengan bunyi pintu yang bedebam. Tanpa mereka sadari ada yang sejak dari tadi memperhatikan gerak gerik ibu dan anak itu dengan seksama.Sementara itu, Danu, Arum da
“Cerai??!!” tanya Danu dan Arum secara bersamaan.Tuan Prada tersenyum sambil menganggukkan kepala. Pria paruh baya itu kini terdiam lama sambil menatap Danu dan Arum secara bergantian. Danu yang pertama kali tersenyum sambil menyentuh tangan papanya.“Jujur, aku sangat lega mendengarnya, Pa. Meski perceraian kadang diartikan dengan kesedihan, tapi aku bahagia mendengarnya.”Tuan Prada langsung tersenyum lebar sementara Arum hanya diam, tidak berkomentar. Tentu saja reaksi Arum mendapat perhatian Tuan Prada kali ini.“Kamu tidak suka Papa bercerai dengan Mama Lani, Arum?”Arum buru-buru menggelengkan kepala.“Tidak, Pa. Apa pun keputusan Papa, saya setuju saja. Hanya saja, apa Mama sudah tahu mengenai ini?”Tuan Prada berdecak, menautkan kedua tangan sambil menggelengkan kepala.“Tidak. Aku sengaja tidak memberi tahunya. Sengaja Papa mengurus semuanya dengan diam-diam, bahka
“Selamat pagi, Tuan Arya. Apa yang bisa saya bantu hari ini?” tanya Arum.Hari itu, baru saja sampai kantornya Arum sudah mendapat panggilan dari Tuan Arya. Tuan Arya di seberang sana tersenyum saat mendengar suara Arum.“Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan Tuan Simon. Apa kamu ada waktu hari ini?”Arum terdiam sejenak sambil menatap Lisa yang baru saja masuk ke ruangannya.“Eng … tunggu sebentar. Saya lihat jadwal saya dulu, nanti saya beri kabar lagi, Tuan.”“Iya, baiklah. Saya akan menunggu. Tolong, kabari saya secepatnya, ya!!”Arum mengangguk, tapi tentu saja gerakannya itu tidak terlihat oleh Tuan Arya. Tuan Arya sudah mengakhiri panggilannya tanpa menunggu jawaban dari Arum.“Lisa, apa saja jadwalku hari ini?” Kini Arum sudah mengalihkan pertanyaan ke Lisa.Lisa menghentikan langkahnya, berdiri di depan meja Arum sambil memeriksa tablet yang ia bawa.
“SIALAN!! BERENGSEK!!!” maki DanuIa meremas foto itu dan melemparnya ke lantai. Budi hanya diam mengamati dan tidak berani mengambil foto yang sudah lecek itu.“Cari tahu siapa pengirimnya!! Akan aku cincang habis jika ketemu!!!” sergah Danu penuh amarah.Budi hanya diam sambil berulang menganggukkan kepala. Tanpa berkata apa-apa lagi, Danu berjalan keluar ruangan. Sementara Budi langsung merunduk, mengambil foto yang baru saja diremas Danu. Ia sangat penasaran mengapa bosnya semarah itu usai melihat foto tersebut.Pelan, Budi membuka foto tersebut dan langsung tercengang. Ia melihat Arum sedang digendong oleh asisten Tuan Arya. Arum tampak terlelap dalam gendongan asisten Tuan Arya. Sementara Tuan Arya berjalan di sisinya melirik Arum dengan tatapan penuh arti.Budi makin penasaran dan melihat ke dalam amplop. Di sana masih ada beberapa foto interaksi Arum dan Tuan Arya. Mereka tampak saling mengobrol di sebu
“Iya, Tuan. Saya masih bisa melanjutkan ceritanya,” jawab Arum dengan mantap.Tuan Simon tersenyum sama halnya reaksi yang ditunjukkan Tuan Arya. Mereka kembali terdiam, menunggu Arum meneruskan ceritanya.“Saya berlari masuk kamar dan sembunyi di lemari. Tidak disangka pria itu juga masuk kemar bersama Anjani. Anjani langsung ditarik dan dihempaskan dengan kasar ke atas kasur. Saya bisa melihat dari rongga kayu di pintu lemari. Namun, saya tidak punya keberanian untuk keluar dan menolongnya.”Arum menunduk dan berurai air mata. Tuan Simon dan Tuan Arya hanya diam sambil berpandangan dalam satu pemikiran yang sama.“Kalau kamu tidak bisa meneruskannya, kamu bisa berhenti, Arum.” Tuan Arya yang bersuara.Perlahan Arum mengangkat kepala dan menggeleng.“Tidak. Saya sudah lama menjadi pengecut dan ini saatnya saya ungkapkan semua. Saya ingin tahu siapa sebenarnya pembunuh Anjani.”Tuan Arya
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak