Beranda / Romansa / Suamiku seorang Mata-Mata / Bab 7: Apakah kami akhirnya menetap?

Share

Bab 7: Apakah kami akhirnya menetap?

Penulis: sweetchocosin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-03-23 09:31:36

“Hoahmm..”

Nala meregangkan tubuhnya. Tangannya mengenai kepala Bayu yang sudah lebih dulu terjaga dan memilih membaca novel detektif.

“Pagi sayangnya akuuu..” Nala menarik pipi Bayu dan mengecupnya.

Bayu menarik diri. “Ibu bau alkohol.”

Mendengar hal itu, Nala menghembuskan nafas ke arah telapak tangannya. “Ha.. Ha.. Wah, iya. Ibu semalem mabuk, ya?”

“Kayaknya, sih, begitu.”

Nala menekan kepalanya. Ia merasa seolah ada sesuatu yang terlupakan, entah apa. “Blue mana?”

“Paman sudah pergi daritadi.”

“Eh? Kemana?”

Bayu mengangkat bahunya. “Mencari hotel baru, mungkin. Atau ke klub.”

Nala tertawa. “Mana ada klub yang buka pagi-pagi?”

Bayu melirik ibunya yang tampaknya masih setengah terjaga. Bayu juga membantu Nala membersihkan kotoran di kedua matanya. “Aku tidak bilang paman pergi pagi-pagi. Kurasa dia belum pulang sejak kemarin.”

“Kenapa?”

“Karena kamar mandinya kering saat aku pakai subuh tadi, dan paman sudah tidak ada. Kupikir, antara dia pergi buru-buru tanpa mandi, atau memang belum pulang sejak kemarin malam.”

Bulu kuduk Nala berdiri, khawatir dengan otak Bayu yang punya pemikiran tajam dan kritis. Dalam hati, ia berdoa agar kepintaran Bayu membawanya ke tempat yang benar kalau sudah besar nanti.

“Ya, sudah. Ayo kita turun. Bayu belum sarapan, kan?”

Bayu menekuk ujung halaman buku yang sedang dibacanya, dan menutupnya. Ia menyingkap selimut dan mengikuti Nala bersiap-siap.

“Kita benar akan pindah?” tanya Bayu, di sela-sela mereka menunggu lift terbuka.

“Karena jarak hotel ini dan rumah sakit lebih dari setengah jam, sepertinya memang harus cari hotel baru.”

“Kenapa tidak sewa rumah saja?”

Nala menimbang-nimbang keputusan itu. “Ibu tidak terlalu suka hidup bertetangga. Akan repot kalau sering ada sosialisasi dan biasanya orang-orang suka ikut campur masalah orang lain. Ibu tidak ingin pamanmu ketahuan.”

“Ya, paman agak konyol.” Bayu tampak sepakat. Matanya tampak waspada memperhatikan sosok pria berpakaian serba hitam yang ikut menunggu lift. Jam tangan pria itu berada di tangan kanan. Samar-samar, Bayu yang berada tepat di sebelahnya, mencium aroma kayu hangat dari pakaian yang pria itu pakai.

“Kalau menetap, nanti akan banyak pertanyaan, kenapa Bayu tidak sekolah? Kenapa sering pindah-pindah? Apa pekerjaan ayah Bayu? Kenapa kelihatannya menganggur saja di rumah? Hal-hal semacam itu yang ibu tidak suka dari kehidupan bertetangga.”

“Ya, akan ribet kalau aku selalu pindah sekolah tiap semester berakhir. Kita tak pernah berada di kota yang sama lebih dari 6 bulan.”

“Kau benar.” Nala menarik tangan Bayu saat pintu lift terbuka. Mereka berdua segera memasukinya, diikuti oleh pria serba hitam itu. “Administrasi saat akan daftar sekolah adalah urusan yang paling ingin ibu hindari.”

“Bagaimana pekerjaan ibu? Bukankah ibu harus bertemu dengan banyak orang yang sama? Berbeda dengan teller, ibu biasanya bertemu orang yang berbeda, kan?”

Nala mengangkat bahunya. “Ibu juga tidak tahu. Mungkin beberapa hal itu bisa kita pikirkan lagi nanti, setelah kita mendapatkan sesuatu.”

Bayu menghela nafas panjang. Bayu yakin ibunya pasti menemukan sesuatu sehingga memutuskan untuk menjadi seorang pegawai di rumah sakit. Sebelumnya, mereka juga menemukan beberapa poin-poin penting keberadaan ayahnya, Bram, yang mengarah ke kota ini.

Bayu belum melihat garis besarnya, tapi, Bayu yakin kalau ayahnya memang sengaja meninggalkan jejak agar bisa ditemukan oleh rekan yang mencarinya.

Tempat makan hotel terlihat cukup lapang. Ada banyak panci panas yang berjejer, menawarkan berbagai macam lauk pauk hangat yang baru saja dimasak. Bau rempah-rempah mengelilingi satu ruangan. Di sebelahnya, terdapat lusinan macam buah dan, tentu saja, juga ada anggur hijau kesukaan bayu. Tempat minum juga menyediakan barisan es dan limun yang sudah membuat mulut Nala kering. Karena alkohol, kerongkongannya terasa terbakar sekarang.

Meja makan tak terlalu ramai karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Namun, tampaknya dapur masih tetap sibuk mengingat beberapa orang yang mengantri di belakang Bayu dan Nala kian lama semakin padat.

Bayu membawa nampan yang berisi penuh dengan anggur hijau. Di mejanya, sudah ada susu cokelat dingin, dan sepiring nasi kari.

“Asyik sekali menunya. Ada kari, ada susu, ada anggur.” Bayu antusias melahap kari. Ia sangat menyukai kari. Sebenarnya, semua itu karena ibunya hanya bisa memasak kari.

“Ibu juga dapat semur daging dan mendapatkan potongan-potongan besar.” Nala mengambil sesuap nasi dan memakannya. Ia tersenyum cerah. “Ini lezat.”

“Karinya juga enak, bu.”

“Wah, kalau begitu, kita makan yang banyak hari ini, ya.”

Tiba-tiba, mereka didekati sesosok pria. “Wah-wah, kalian sarapan tanpaku lagi.” Dan pria itu adalah Blue. Ia mengenakan jaket berselubung dan celana jeans belel.

“Paman, cepat ambil makanan dan makan bersama kami.” seru Bayu.

“Iya. Semur disini enak. Cicipi juga jus markisanya. Ya, ampun, rasanya segar sekali.” sahut Nala.

Blue menatap wanita itu lekat-lekat dan tampak bertanya-tanya. Semalam mereka sudah melakukan sebuah dosa yang.. sebenarnya cukup Blue nikmati. Melihat Nala tak begitu merasa terganggu dan terlihat baik-baik saja, Blue yakin kalau Nala benar-benar mabuk. Ia lega dan merasa galau di saat bersamaan. Sebuah perasaan yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

“Apa? Wajahku cemong, ya?” Nala menyadarkan Blue. Ia mengelap wajahnya, mengira kalau ada sesuatu yang membuat wajahnya aneh.

“Kupikir, makin hari kau tampak jelek saja.” kata Blue, menyembunyikan perasaannya.

“Apa kau bilang?!”

Blue menepuk kepala Bayu. “Ah, melihat orang jelek pagi-pagi membuatku lapar sekali..” Blue berjalan meninggalkan meja, dan membaur dengan orang-orang yang mengantri makanan.

“Kenapa bisa kakak beradik punya sifat yang berbeda seratus delapan puluh derajat.” gerutu Nala.

“Memangnya Ayah bagaimana?”

Nala menyeruput jus markisanya. “Ayahmu adalah sosok yang penyayang. Dia tak pernah sekalipun membiarkan ibu melakukan tugas yang berat seperti mengangkat bak berisi pakaian yang akan dijemur, atau memindahkan pot, bahkan mencuci hotpot sukiyaki. Ibu juga tidak pernah membersihkan kamar mandi lagi sejak menikah. Bukankah ayahmu itu hebat?”

“Kedengarannya seperti Ayah sedang diperbudak.”

Nala meninju kepala Bayu, pelan. “Tentu saja bukan begitu, anak nakal.”

“Aduh.. lalu tugas ibu apa? Kan ibu juga tidak bekerja.”

“Ibu bertugas untuk memastikan ayahmu agar memakai pakaian bersih dan wangi setiap hari, memakan makanan bergizi, dan memberikan pelayanan emosional paripurna.”

“Pelayanan emosional itu apa seperti saat Ibu mencium Paman?”

Nala terhenyak. Ia tak menyangka kalau Bayu menanyakan hal itu secara tiba-tiba dan tidak ada basa-basi sebelumnya. “Itu karena.. Bayu..”

“Aku tahu. Ibu masih mencintai Ayah dari nada bicara ibu saat ini. Ibu pasti cuma kebingungan karena memang Paman terlihat mirip sekali dengan Ayah.”

“Ya, ampun. Kau ini pintar sekali.”

“Siapa yang pintar? Bayu, ya? Itu, kan, karena aku gurunya.” Blue datang membawa nampan berisi kari dan jus markisa. Ia bahkan meletakkan tiga paha ayam besar di piringnya. Dari aroma tubuhnya, bisa dipastikan kalau ia baru datang dari klub. Perpaduan aroma parfum wanita dan alkohol.

Bayu menggeser tubuhnya ke dekat Nala karena ia tak ingin terlalu dekat dengan bau alkohol yang terlalu menusuk hidung.

“Kau datang-datang malah menyombong, ya.” ledek Nala.

“Aku tidak mengatakan hal yang salah, kan?”

Melihat piring Blue, Bayu tampak iri. “Wah, Paman mendapatkan potongan daging terbaik.”

Blue mengunyah makanannya dengan bangga. “Kau mau?” Blue pun membagi dagingnya.

“Sejak kapan kau suka kari?” Nala agak terkejut Blue memilih mengambil kari seperti Bayu, alih-alih semur daging yang direkomendasikaannya.

“Entahlah. Sejak kau yang masak mungkin?”

Bayu tertawa. “Wah, kurasa kita satu pemikiran. Kari ibu adalah yang terbaik di dunia. Tapi masakan lainnya tidak.”

“Benar juga.” Blue ikut meledek. “Apa kau ingat saat dia masak sop ayam?”

Bayu mengernyitkan dahi. “Astaga, aku masih ingat baunya. Kok bisa ada orang yang memasak sop seamis itu, ya?”

“Kalian berdua, hentikan.” Nala sudah nyaris menyirami kedua manusia di depannya dengan jus markisa, namun ia tahan demi marwah keanggunannya sebagai seorang wanita beradab. Nala menoleh ke arah Blue yang akhirnya sibuk memotong ayam. “Darimana kau? Ke klub lagi?”

“Sejak kapan kau peduli kegiatanku?”

Nala mendengus kesal. “Bukan begitu maksudku.”

Blue menghabiskan paha ayamnya. Setelah menyeruput jus markisa, ia menatap Bayu dan Nala bergantian. “Sebenarnya, aku memang dari klub.”

Bayu dan Nala saling berpandangan dan menghela nafas panjang. Sebuah jawaban yang memang sudah diprediksi sebelumnya.

“Tebak, aku bertemu siapa..” kata Blue, yang membuat suasana menjadi berubah.

“Siapa?” desak Bayu.

“Bram?” tebak Nala.

“Apa Paman bertemu ayahku?”

Blue menggeleng. “Kalian salah semua. Maaf, ya. Tidak ada yang dapat hadiah.”

“Blue, kalau kau tidak serius kali ini, aku bersumpah jus markisa ini akan…”

“Woaa woaa..” Blue menghentikan tangan Nala yang sudah akan mengangkat gelasnya. “Sabar, dong, tante pemarah. Aku, kan hanya bercanda.”

“Bagian mana yang menurutmu bercanda, hah?”

Blue menghabiskan nasinya dan meletakkan sendok dan garpunya sejajar. “Aku bertemu seorang wanita.”

“Apa itu hal yang bagus?” tanya Bayu, ragu-ragu, mengingat pamannya adalah seorang playboy kelas kakap.

“Tentu saja, iya. Dia pernah bercerita padaku kalau punya karyawan bertangan kidal yang tampan.”

Nala menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Blue? Apakah di dunia ini cuma Bram yang bertangan kidal dan berwajah tampan?”

Blue menggeleng pelan. “Bisa tidak jangan menyelaku bicara?”

Nala mengangkat tangannya dan menyerah. Ia membiarkan Blue menyelesaikan ceritanya.

“Ya, wanita itu seorang pengacara yang memiliki kantor di kota lain. Di kota yang kita singgahi sebelum kota ini. Dia mengatakan padaku kalau karyawan tampannya itu adalah sosok yang hangat dan misterius. Karena wanita ini sepertinya menyukai si pria, ia sering memancing pria itu agar tergoda. Bahkan pernah menjebak si pria dengan alkohol, tapi dia malah mabuk sendiri dan pria itu tetap sadar.”

Blue berdeham. Wajahnya memerah karena ia tiba-tiba teringat peristiwa semalam yang berhubungan dengan alkohol.

“Terus?” desak Nala.

“Tentu saja pria itu bertanggung jawab. Saat wanita pengacara ini ketiduran di meja, si pria dengan sok jagoan malah menggendongnya ke tempat tidur, dan menyelimutinya. Setelah itu, si pria itu pergi tanpa menyentuhhnya sedikit pun dan mengajukan surat pengunduran diri seminggu setelahnya.”

“Apa poin penting dari ceritamu itu?”

“Yah, dalam keadaan setengah sadar, wanita itu bertanya, kenapa pria itu tidak menyentuhnya padahal banyak pria yang mengantri ingin menjadi suaminya. Pria itu bilang, kalau dia sudah punya anak dan istri yang menunggu di rumah.”

Jantung Nala berdegup kencang. “Tapi, di dunia ini, pria kidal yang tampan pasti ada yang punya anak dan istri juga, kan? Bukan hanya Bram saja.”

Blue menggeleng pelan. “Kurasa itu Bram. Karena wanita itu memastikan ada tato trisula kecil di balik telinga kiri pria itu. Sepertinya ia sempat sekelebat melihatnya saat digendong ke kamar.”

Nala terhenyak. Rasanya sepuluh tahun pencariannya berbuah hasil. Selama ini, ia selalu merasa kehilangan banyak petunjuk karena hanya menemukan poin dan hal penting yang tidak diketahui maknanya. Semua petunjuk itu hanya asumsi dan mereka hanya berpegangan pada harapan semu, tak pernah benar-benar mendapati kesaksian sejelas ini.

“Nala, tidak ada pria lain di dunia ini yang kidal, tampan, beranak dan beristri, yang memiliki tato trisula kecil di balik telinga kirinya.”

“A.. apa kau yakin?” Nala butuh kepastian.

“Aku benar-benar yakin. Karena yang memiliki tanda itu hanya ada dua orang di dunia ini.”

“Apa?”

Bayu mengerjapkan matanya dan spontan menyahut, “Itu artinya hanya Paman dan Ayah yang punya tato trisula? Jadi, pria yang ditemui pengacara wanita itu, kemungkinan besar adalah ayahku?”

Blue mengangguk. “Sebelum kejadian itu, wanita ini pernah tak sengaja melihat komputer Sky yang menyamar sebagai karyawan itu. Katanya, isi komputernya berisi banyak kasus hukum yang berkaitan dengan medis dan rumah sakit. Selain itu, Sky memesan sebuah tiket perjalanan ke kota ini.”

“Kapan kejadiannya, paman?”

“Tiga bulan yang lalu.”

Nala mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, dia memang ada disini tiga bulan yang lalu. Tapi, siapa yang bisa memastikan kalau dia tidak pindah kota lagi?”

“Tidak. Aku yakin Sky masih berada di kota ini.”

“Dari mana kau tahu akan hal itu?”

“Karena baru saja ada rumah sakit umum baru yang berdiri di kota ini. Yang mencurigakan dari rumah sakit itu adalah, pembangunannya yang ditutup-tutupi dan seolah dibuat bukan untuk bangunan rumah sakit. Dari yang aku selidiki, denah yang ditandatangani oleh pemerintah mengesahkan pembangunan rumah susun untuk para lansia sebagai dinas sosial tambahan. Tapi, entah bagaimana, dalam sebulan bangunan itu diresmikan sebagai rumah sakit.”

“Eh?”

“Nala. Kemungkinan besar, rumah sakit tempatmu bekerja sekarang adalah..”

“.. tempat Ayah berada sekarang.” sahut Bayu.

Mereka bertiga terdiam, berusaha menekuri benang merah dari rentetan peristiwa yang terjadi. Blue memang yakin kalau kakaknya masih berada di kota ini dari tidak adanya pergerakan mencurigakan saat ia mencoba menyelidiki kota ini malam-malam.

Tepat saat itu, sosok pria berbaju serba hitam kembali muncul di hadapan Bayu. Ia berdiri di depan pintu ruang makan, dan tampak memperhatikan sesuatu dari jauh. Entah bagaimana, Bayu merasa kalau orang itu sedang memperhatikannya. Belum sempat ia meyinggung soal pria misterius mencurigakan, tiba-tiba Blue membuyarkan lamunannya.

“Sepertinya, kali ini kita harus menetap di sebuah rumah sungguhan.” Blue menyimpulkan. Ia punya firasat kalau akan ada hal yang lebih besar yang akan mereka hadapi setelah ini, sehingga mereka butuh tempat pulang yang pasti.

“Apa? Kau serius, kan?” Nala langsung menutup mulutnya karena ia berteriak tanpa sadar.

Sedangkan Bayu, tersedak kuah kari.

Bab terkait

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 8: Tempat asing

    Dalam waktu kurang dari seminggu, Nala, Bayu, dan Blue, sudah menemukan rumah layak huni yang dekat dengan rumah sakit tempat Nala bekerja. Mereka memilih perumahan yang tidak terlalu ramai, dan dekat dengan fasilitas umum agar tidak terlalu sering keluar lingkungan. Rumah mereka dua tingkat, dengan bagasi dan taman lebar yang menjadi satu dan memiliki banyak kaca di bagian belakang. Dindingnya cukup tinggi, membuat suasana di dalam rumah cukup sejuk, didukung dengan sirkulasi udara yang bagus. Lantai bawah rumah ini terdiri dari ruang tamu yang juga bisa menjadi ruang keluarga, kamar mandi kecil, dan dapur. Sedangkan di lantai atas terdapat satu kamar kecil, satu kamar mandi dan satu kamar besar dengan kamar mandi dalam. Luas tanahnya tak begitu besar, sekitar separuh luas tanah rumah Nala dan Bram sepuluh tahun lalu. Kalau dipikir-pikir, kota tempat tinggal Nala dulu memang kota kecil yang harga tanahnya cukup murah. Sedangkan kota ini adalah ibukota negara, ya

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-24
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 9: Lingkungan baru, kasus baru

    Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibar

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-25
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 10: Sosok Misterius

    Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-26
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 11: Bayu galau

    Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-27
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 12: "Aku menemukanmu, Ayah.."

    Ini adalah hari pertama Bayu menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Ia, bersama Nala, tidak ada yang jago berakting seperti Blue. Setidaknya, Bayu masih jago menjaga mimik wajahnya agar tidak terdeteksi lawan bicaranya. Kalau sedang dalam keadaan bermain peran, Bayu tidak banyak bicara dan bersikap manja. Ia menggelayutkan badannya ke lengan Nala, seperti yang ia lakukan sekarang.Bayu sudah memakai seragam merah putih yang sudah dicarikan Blue beberapa hari yang lalu. Karena tubuh Bayu agak tinggi dari siswa kebanyakan, Blue memilih menjahitkannya ke seorang kenalan. Saat ini, Bayu tampak seperti bocah SMP yang tinggal kelas dan terpaksa mengulang kelas 4 SD lagi tahun ini.“Apa kurikulum anak SD sekarang?” bisik Nala.“Kalau aku tidak salah ingat, untuk matematika masih membahas KPK dan FPB. Operasi hitung campuran, mengukur sudut sederhana dan pecahan.”Nala terganggu dengan kata ‘sederhana’ yang diucapkan oleh Bayu. “Ibu tahu Bayu sudah meng

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-28
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 13: Blue dan alkohol sialan (lagi)

    Buk!Nala menutup pintu mobil dengan kesal. Ia sudah mencium Bayu secukupnya sebelum memutuskan pergi dari cengkraman Bu Anggi, kepala sekolah narsistik.“Ada apa? Kau habis bertemu siapa?” tanya Blue.Nala merebut botol kecil berisi wiski dari tangan Blue, dan menegaknya sekaligus.“Hei! Itu bekal makan siangku nanti.”“Nanti kuganti.” tukas Nala. “Kau yang benar saja. Masa’ tidak menyelidiki tempat ini terlebih dulu?”Blue menghela nafas panjang. Kali ini, ia tahu permasalahannya. “Kau sudah tahu ya?”“Tentang apa? Tentang sekolah ini milik Elang Grup, atau tentang kepala sekolah yang narsis?”“Eh? Apa?”“Lupakan!” sergah Nala. “Kenapa tidak kau beritahu kami, setidaknya aku, kalau sekolah ini juga antek-antek Elang Grup?”“Maafkan aku. Kupikir lebih nyaman kau tidak tahu.”“Aku jauh dari kata nyaman, kau tahu!” Nala bergidik mengingat kembali sikap penuh penekanan Bu Anggi. “Apalagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-29
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 14: Kelemahan Bayu adalah perempuan

    Bayu memasuki ruang kelasnya setelah Bu Anggi dan Nala pergi. Kelas Bayu cukup luas, berada di lantai empat, selisih dua gedung dari gedung guru dan kepala sekolah. Dinding kelas dipenuhi dengan cat putih dan biru muda yang kalem, memantulkan cahaya lampu yang bekerja tidak terlalu keras karena sinar matahari menerobos masuk. Satu sisi dinding yang menghadap lapangan, terbuat dari kaca tebal yang transparan. Bayu bisa melihat kotanya yaang dipenuhi gedung pencakar langit, dan mengintip anak kelas tiga bermain kasti di lapangan sekaligus dari sana.Di tengah ruangan, terdapat meja besar yang terbuat dari kayu jati kokoh dan gelap, diamplas dan dipernis sedemikian rupa sampai halus dan mengkilap. Di atasnya terdapat layar sentuh canggih, memantulkan gambar-gambar ilustratif macam-macam hewan-hewan bersimbiosis. Sebuah kanvas putih elektronik yang menempel di dinding di belakangnya, membuat gambar-gambar itu tampak menonjol dan atraktif. Di sisi l

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-30
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 15: Blue bimbang setengah mati

    Blue menyelimuti Nala yang tertidur pulas di sofa ruang tamu. Secangkir teh sudah ia siapkan di meja, kalau-kalau Nala terjaga saat kerongkongannya kering. Sebuah surat bertulisan ‘Aku pergi dulu, pulang larut.’ ia selipkan di bawah cangkir.Blue memperhatikan Nala sekali lagi. Ia mengecup kening wanita itu sebelum keluar dari rumah. Sebuah kecupan lembut yang amat berarti bagi Blue yang tak mungkin Nala mengerti. Sebenarnya, Blue juga tidak ingin Nala sepenuhnya tahu kalau saat ia sudah jatuh hati.“Bram..” Sesaat sebelum Blue menutup pintu, Nala mengigau. Hal itu membuat hati Blue goyah. Sudah sepuluh tahun lamanya mereka mencari Bram, tapi Nala tetap mencintai suaminya itu. Dalam hati, Blue berharap kalau kejadian pagi ini, di mobil, tidak terjadi saat Nala sedang mabuk. Ia ingin Nala juga mengingatnya. Blue sudah muak menyimpannya sendiri. Tapi, ia sadar. Saat Nala menyadari apa yang sudah mereka lakukan setiap Nala dalam pengaruh alkohol, h

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-30

Bab terbaru

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 210: Epilog

    Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 209: Hutang yang terbayar

    Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 208: Pengejaran

    Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 207: Sedikit lagi!

    Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 206: Anya berduka

    "Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 205: Selamat tinggal, Pak Was

    Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 204: Meluncur!

    Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 203: Suara letusan

    Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 202: Mari tangkap Hartono!

    Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi

DMCA.com Protection Status