Halo, kakak-kakak pembaca.. Salam kenal, ya.. Terimakasih banyak karena sudah membaca novel dan mendukung penulis pemula seperti saya ini dalam berkarya. Sehat selalu untuk semuanyaa.. Sukses terus yaa.. Salam hangat, Penulis
Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke
Ini adalah hari pertama Bayu menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Ia, bersama Nala, tidak ada yang jago berakting seperti Blue. Setidaknya, Bayu masih jago menjaga mimik wajahnya agar tidak terdeteksi lawan bicaranya. Kalau sedang dalam keadaan bermain peran, Bayu tidak banyak bicara dan bersikap manja. Ia menggelayutkan badannya ke lengan Nala, seperti yang ia lakukan sekarang.Bayu sudah memakai seragam merah putih yang sudah dicarikan Blue beberapa hari yang lalu. Karena tubuh Bayu agak tinggi dari siswa kebanyakan, Blue memilih menjahitkannya ke seorang kenalan. Saat ini, Bayu tampak seperti bocah SMP yang tinggal kelas dan terpaksa mengulang kelas 4 SD lagi tahun ini.“Apa kurikulum anak SD sekarang?” bisik Nala.“Kalau aku tidak salah ingat, untuk matematika masih membahas KPK dan FPB. Operasi hitung campuran, mengukur sudut sederhana dan pecahan.”Nala terganggu dengan kata ‘sederhana’ yang diucapkan oleh Bayu. “Ibu tahu Bayu sudah meng
Buk!Nala menutup pintu mobil dengan kesal. Ia sudah mencium Bayu secukupnya sebelum memutuskan pergi dari cengkraman Bu Anggi, kepala sekolah narsistik.“Ada apa? Kau habis bertemu siapa?” tanya Blue.Nala merebut botol kecil berisi wiski dari tangan Blue, dan menegaknya sekaligus.“Hei! Itu bekal makan siangku nanti.”“Nanti kuganti.” tukas Nala. “Kau yang benar saja. Masa’ tidak menyelidiki tempat ini terlebih dulu?”Blue menghela nafas panjang. Kali ini, ia tahu permasalahannya. “Kau sudah tahu ya?”“Tentang apa? Tentang sekolah ini milik Elang Grup, atau tentang kepala sekolah yang narsis?”“Eh? Apa?”“Lupakan!” sergah Nala. “Kenapa tidak kau beritahu kami, setidaknya aku, kalau sekolah ini juga antek-antek Elang Grup?”“Maafkan aku. Kupikir lebih nyaman kau tidak tahu.”“Aku jauh dari kata nyaman, kau tahu!” Nala bergidik mengingat kembali sikap penuh penekanan Bu Anggi. “Apalagi
Bayu memasuki ruang kelasnya setelah Bu Anggi dan Nala pergi. Kelas Bayu cukup luas, berada di lantai empat, selisih dua gedung dari gedung guru dan kepala sekolah. Dinding kelas dipenuhi dengan cat putih dan biru muda yang kalem, memantulkan cahaya lampu yang bekerja tidak terlalu keras karena sinar matahari menerobos masuk. Satu sisi dinding yang menghadap lapangan, terbuat dari kaca tebal yang transparan. Bayu bisa melihat kotanya yaang dipenuhi gedung pencakar langit, dan mengintip anak kelas tiga bermain kasti di lapangan sekaligus dari sana.Di tengah ruangan, terdapat meja besar yang terbuat dari kayu jati kokoh dan gelap, diamplas dan dipernis sedemikian rupa sampai halus dan mengkilap. Di atasnya terdapat layar sentuh canggih, memantulkan gambar-gambar ilustratif macam-macam hewan-hewan bersimbiosis. Sebuah kanvas putih elektronik yang menempel di dinding di belakangnya, membuat gambar-gambar itu tampak menonjol dan atraktif. Di sisi l
Blue menyelimuti Nala yang tertidur pulas di sofa ruang tamu. Secangkir teh sudah ia siapkan di meja, kalau-kalau Nala terjaga saat kerongkongannya kering. Sebuah surat bertulisan ‘Aku pergi dulu, pulang larut.’ ia selipkan di bawah cangkir.Blue memperhatikan Nala sekali lagi. Ia mengecup kening wanita itu sebelum keluar dari rumah. Sebuah kecupan lembut yang amat berarti bagi Blue yang tak mungkin Nala mengerti. Sebenarnya, Blue juga tidak ingin Nala sepenuhnya tahu kalau saat ia sudah jatuh hati.“Bram..” Sesaat sebelum Blue menutup pintu, Nala mengigau. Hal itu membuat hati Blue goyah. Sudah sepuluh tahun lamanya mereka mencari Bram, tapi Nala tetap mencintai suaminya itu. Dalam hati, Blue berharap kalau kejadian pagi ini, di mobil, tidak terjadi saat Nala sedang mabuk. Ia ingin Nala juga mengingatnya. Blue sudah muak menyimpannya sendiri. Tapi, ia sadar. Saat Nala menyadari apa yang sudah mereka lakukan setiap Nala dalam pengaruh alkohol, h
“Bayu pulaanngg..”Blue dan Bayu memasuki rumah yang sudah kosong. Selembar selimut diletakkan di atas sofa. Cangkir teh tampak kosong dan ada secarik kertas di bawahnya. Terdapat sebuah tulisan di bawah catatan yang ditinggalkan Blue pagi ini.‘Aku pakai taksi online. Aku lupa harus pergi ke rumah sakit sekarang. Makan malam Bayu kuserahkan padamu.’“Wah, sepertinya kita bebas, nih.”“Kenapa, paman? Ibu pergi kemana?”Blue menyodorkan kertas itu ke Bayu, selagi ia merebahkan diri ke sofa. “Dasar wanita ceroboh.”“Memangnya sudah mau pembukaan?” Bayu melepas kaos kakinya dan meletakkan tasnya. Ia juga mulai melonggarkan dasinya. “Sepertinya, Ibu akan sibuk sekali.”“Memulai sebuah rumah sakit baru memang sulit juga, sih.” aku Blue. “Harus teliti dan cukup detail saat membuat standar prosedur operasional, membuat peraturan manajerial, mengatur keamanan, dan memastikan semua tetap bekerja saling berkesinambungan mengingat
Hampir dua puluh lima tahun yang lalu, Nala kecanduan drama korea. Ia selalu memimpikan hidupnya akan diwarnai serangkaian kisah ajaib dan hangat seperti yang dialami tokoh utama wanita di dalamnya. Terkadang, kisah hidup Nala terasa jauh lebih ringan daripada masalah yang dialami tokoh dalam drama, membuat hati Nala sedikit terhibur dan bersyukur. Sayangnya, tokoh yang seperti itu, selalu dibarengi dengan pertemuan manis. Nala, saat masih SMA, benar-benar anak culun yang jarang bergaul dengan lawan jenis. Neneknya bahkan sering meledek. Meskipun begitu, Nala hanya berlagak sebal. Ia tahu, cara meledek neneknya lebih terdengar seperti penghiburan baginya.Saat bertemu Bram, hidup Nala berubah drastis. Kesehariannya menjadi lebih berbunga-bunga dan selalu menantikan hari esok. Biasanya, Nala hanya akan menikmati hari-harinya sebagai kewajiban sebelum maut menjemput. Ia berusaha keras untuk tetap waras di tengah kesendiriannya. Tumpukan laporan keuangan adalah satu
“Ibu pulang.. eh, ups..” Nala memelankan suaranya begitu melihat sebagian lampu di rumahnya padam, menandakan kalau penghuninya sudah tidur. Nala berjalan ke ruang makan, dan mendapati sebuah piring yang ditutup. Nala membukanya dan bau semerbak nasi goreng tampak menggodanya. Ia pun mencuci tangannya di wastafel sebelum menikmati makanan yang sudah sengaja Blue sisakan itu.Nala menggerakkan kakinya agak cepat di suapan pertama, menandakan betapa enaknya masakan Blue. Bram juga pernah membuatkannya sop buntut dan rasanya luar biasa lezat. Blue pun, sebelum ini juga pernah memasakkannya pasta dan beberapa makanan lain. Nala ingin memberikan terimakasihnya kepada ibu mereka, yang telah menurunkan keahlian memasak yang hebat itu kepada kedua anaknya. Nala sangat beruntung.“Wah, apa seenak itu?” tanpa sadar karena keasyikan mengisi perut, Blue mengagetkan Nala.Nala nyaris tersedak dan buru-buru mencari gelas berisi air. Blue membantunya.
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi