Home / Romansa / Suamiku seorang Mata-Mata / Bab 9: Lingkungan baru, kasus baru

Share

Bab 9: Lingkungan baru, kasus baru

Author: sweetchocosin
last update Last Updated: 2024-03-25 18:41:34

Nala, Bayu, dan Blue, duduk melingkar di atas tempat tidur. Bayu memeluk boneka serigala kecilnya. Kata Nala, itu satu-satunya benda yang dibelikan ayahnya, Bram, yang bisa dibawa. Mereka bertiga tampak serius menyusun rencana, membahas soal peran apa yang akan mereka lakukan: menjadi ‘keluarga’ sungguhan.

“Kapan kau mulai masuk kerja?” tanya Blue.

Nala menempelkan telunjuknya ke dagu, berpikir. “Kupikir mulai minggu depan. Pembukaan rumah sakit itu sendiri masih satu bulan lagi. Sepertinya seluruh karyawan masuk lebih awal untuk mempersiapkan segala hal sebelum rumah sakit benar-benar menerima pasien.”

“Sejauh yang kau tahu, rumah sakit ini punya berapa poli?”

Nala menghitung dengan jari-jarinya. “Seingatku, aku melihat ada tujuh papan nama poli. Kandungan, bedah, penyakit gigi dan mulut, orthopaedi, paru, penyakit dalam, dan satu papan terbalik jadi aku tidak tahu apa yang tertulis.”

“Poli anak.” sahut Bayu. “Poli kandungan selalu dibarengi dengan poli anak, kan?”

Blue mengangguk. “Tidak ada yang mencurigakan. Tapi, setiap poli sama-sama punya kesempatan menggunakan obat bius.”

“Narkoba yang didalangi Elang Grup berkaitan dengan obat bius, ya?” tanya Nala.

“Pada dasarnya, memang obat bius. Peneliti mereka mengembangkan jenis narkoba yang bisa lolos uji dan diakui sebagai obat bius. Setelah efek biusnya habis, penggunanya bisa bekerja 3 hari non stop dan merasa bahagia. Saat diuji urin dan darah pun, tidak terdeteksi. Hanya saja, kalau sudah kecanduan, banyak bercak-bercak biru mulai terlihat di persendian mereka dan terasa nyeri saat disentuh. Dan orang yang sudah setidaknya dua tahun mengonsumsi obat itu, kadar bilirubinnya akan meningkat.”

“Ngeri..” Bayu bergidik.

“Efek samping setelahnya lebih ngeri lagi.” sahut Blue. “Dalam lima tahun pemakaian, kau tidak akan sadar kalau sudah memakai ribuan ampul dengan dosis yang semakin hari, semakin tinggi. Menurutmu, bagaimana keadaan ginjal, liver dan organmu yang lain dalam menyaring racun-racun itu?”

“Kenapa mereka tega melakukannya?” potong Nala. “Apa efek positif yang mereka dapat?”

“Uang, tentu saja.” Blue menghela nafas panjang. “Obat itu dijual murah sebagai obat bius karena efeknya yang tidak terdeteksi lewat uji laboratorium jangka pendek. Tentu saja mereka sudah memanipulasi hasil uji di tingkat lanjut dan membayar besar agar bisa masuk pasar rumah sakit.”

“Karena mereka kesulitan bersaing dengan obat bius lain, mereka memutuskan untuk membuka rumah sakit sendiri dan menjualnya dengan bebas. Begitu, kan, maksudmu?” sahut Nala.

“Ya, memang begitu rencananya. Kau ternyata sudah pintar, ya.” Nala meninju bahu Blue cukup kencang, dan Blue mengerang. “Aduh.. pokoknya, selain obat bius, sepertinya mereka ingin menyisipkan obat itu ke dalam makanan para buruh, guna menyuplai jumlah produksi agar meningkat signifikan.”

“Jahat!” seru Nala. “Bagaimana mungkin perusahaan besar seperti itu bisa menjadi perusahaan besar? Kok, bisa tidak ada yang pernah membongkarnya.”

Lidah Blue terasa pahit. Ia terhenyak dengan pernyataan Nala. Sebenarnya, ia dan Sky punya satu rahasia besar yang tak mungkin ia ceritakan pada Nala dan Bayu. Sebuah rahasia kelam yang ingin dipendam rapat-rapat. Sebuah rahasia yang sebenarnya tidak ingin ia ingat lagi. Bahkan, kalau bisa, ia sendiri tidak ingin dilahirkan di tengah-tengah konflik ini.

Melihat Blue melamun, Nala menyenggolnya. “Kau lapar, ya?”

Blue tersentak dan memandangi wajah Nala dan Bayu bergantian. Blue rasa, begini sudah cukup. Ia masih harus melindungi keluarga kecil kakaknya sampai seluruh gembong raksasa jahat itu musnah dan hancur.

“Aku hanya berpikir bagaimana caranya aku menjadi sosok ‘ayah’ betulan selama di sini.” kata Blue, asal. “Lalu, Bayu. Bagaimana dengan sekolahnya? Sebenarnya aku bisa memberikan raport palsu dan mendaftarkannya di salah satu sekolah di sini. Tapi, kita tidak tahu, kan, bisa menetap sampai kapan.”

Wajah Bayu berbinar. Ia memimpikan sekolah. Bertemu dengan teman-teman sebayanya dan bermain game sepuasnya tanpa memikirkan hal rumit orang dewasa. Impian Bayu adalah bermain jungkat-jungkit karena badan ibu dan pamannya terlalu berat baginya dan tak mungkin bisa ia kalahkan.

“Kau bagaimana, Bayu?” tanya Nala.

Merasa paham dengan keinginan anaknya, Nala menggenggam tangan Bayu. Ia mencoba memberi anaknya itu kekuatan agar bisa membuat keputusan besar dalam hidupnya. Di luar mentalnya yang sudah dewasa, Bayu tetaplah anak-anak. Ia butuh tumbuh di antara anak-anak lain yang pastinya bisa membuatnya belajar bersosialisasi.

“Bayu mau sekolah, bu.” Bayu tampak senang. Ia merasa kalau petualangannya kali ini terasa berbeda dan menyenangkan. “Bayu mau sekolah..”

Nala membelai rambut Bayu pelan-pelan. Setiap helainya ia sisipi kasih sayang yang membuat Bayu menguap.

“Oke, sepertinya sekarang jatahnya jagoan ini untuk tidur.” Blue mengangkat tubuh Bayu dan mengantarnya beranjak. “Aku pergi menidurkan Bayu dulu. Kita bahas ini lagi nanti.”

“Besok.” potong Nala. “Hoahhmm.. sebenarnya, aku juga mengantuk.”

Blue tersenyum kecil dan mematikan lampu kamar sebelum menutupnya. Malam itu, mereka bertiga tidur nyenyak. Pekerjaan membersihkan rumah benar-benar menguras tenaga.

Tentu saja, Blue tidur di sofa lantai atas, di kamar yang sama dengan Nala.

--

Nala dengan cekatan memotong kentang dan wortel, sementara menunggu bumbu halusnya matang sempurna. Di dalam dapur, sudah tercium bau wangi rempah-rempah bercampur aroma pinus. Usai mengepel, Nala memutuskan membuat sarapan. Sudah lama ia tidak masak saking seringnya tinggal di hotel.

Saat mengaduk bumbu, rambut Nala menghalangi pandangannya. Ia meraba-raba pergelangan tangannya, mencari karet rambut yang tadi ia sampirkan. Nala mulai panik saat tahu kalau karet itu tidak berada di tempat yang seharusnya.

Deg!

Tiba-tiba seseorang menyentuh tangan Nala yang sedang menahan rambut. Tangan itu membelai rambutnya dan menguncirnya dengan karet. Gerakannya cukup lembut dan terasa sangat berhati-hati agar tak ada satu pun rambut tak sengaja tertarik yang bisa menyakiti Nala.

Nala menoleh dengan wajah bersemu merah. Tentu saja kepalanya sekarang terasa panas. “Ma.. makasih.”

Blue tersenyum jahil. “Ciuman pagi juga diterima, kok.”

Degupan kencang jantung Nala melambat. Ia merasa dipermainkan dan mendorong tubuh Blue dengan sebal. “Kau ini..”

Ding! Dong!

Suara bel terdengar. Tampak sosok wanita muda bertubuh montok membawa sebuah nampan berisi aneka macam kue dan kukis berdiri di ambang pintu. Rambutnya hitam pekat dengan mata sipit menyerupai rubah. Ia memakai kaos berlengan pendek biru dan celana kulot putih panjang. Tubuhnya lebih pendek beberapa senti dari Nala, dan kerah kaosnya miring sebelah. Sepertinya, ia memakai kaosnya agak terburu-buru.

Melihat wajahnya yang malu-malu, Nala menyimpulkan bahwa wanita itu sudah ada disana bahkan sebelum adegan menguncir rambut itu terjadi.

“Eh, halo?” sapa wanita itu.

“Haloo..” Nala memasang senyumnya yang paling ramah. Ia menyenggol Blue dengan sengaja agar tidak kabur dari keadaan tak terduga ini.

“Wah, kalian pasangan yang romantis, ya..” wanita itu memperhatikan Blue dan Nala satu persatu. “Saya Sarah. Dan kalian..”

“Saya Nala, dan ini.. mm.. Bram.”

“Ya, Saya adalah Bram.” Blue nyengir. Ia menerima nampan yang dibawa oleh Sarah, dan mengedipkan matanya ke arah Nala seolah mengejeknya karena ia punya alasan pergi dari sana.

Nala mempersilakan Sarah duduk di ruang tamu. “Wah, senang sekali mendapatkan hadiah. Terimakasih..”

“Sama-sama. Sebenarnya hari ini ada satu orang lagi yang ingin berkabung, tapi ternyata hari ini jadwalnya mengantar anak-anaknya sekolah. Jadi, saya sendirian.”

“Iya, tidak apa-apa. Maaf saya tidak bisa memperkenalkan diri kemarin. Seharian saya membersihkan rumah.”

“Kita yang membersihkan rumah, sayang.” sahut Blue, tiba-tiba. Ia duduk di samping Nala yang mencubitnya pelan. “Kami berdua kemarin sibuk sekali.”

Sarah melihat keromantisan itu dengan muka riang. “Imut-imut sekali. Apakah kalian pengantin baru?”

“Eh, saya punya anak satu.” sahut Nala, buru-buru. Ia tak mau harus menjadi pengantin baru, apalagi yang dianggap sebagai suaminya adalah playboy klub yang doyan cewek pirang.

“Anak kami masih satu.” kata Blue, memperbaiki. Ia melingkarkan tangannya ke bahu Nala. “Ya, kalau anak kami kesepian di rumah ini, mungkin kita bisa memberinya adik. Ya, kan, sayang?”

Nala menahan perutnya yang berkedut-kedut. “Eh, di lingkungan ini apa ada anak yang usianya sepuluh tahun?”

Sarah mengangguk cepat. “Oh? Kelas empat, ya? Kalau begitu, kenapa tidak berteman saja dengan anak saya? Anak saya agak bandel, tapi sebenarnya dia anak yang manis. Meskipun dia jarang pergi keluar karena hobinya bermain game.”

“Ide bagus. Anak ibu sekolah dimana?”

Wajah Sarah kecut. “Bisakah kita mengakhiri panggilan ‘saya dan anda’ ini? Sepertinya kita seumuran. Dan tidak ada alasan spesifik yang mengharuskan saya dipanggil ‘ibu’ disini.”

Blue menelan ludah. Ia tak menyangka bakal dimarahi oleh seorang wanita selain Nala. “Eh, ya. Anakmu sekolah dimana?”

Sarah mengatur kembali mimik wajahnya. Ia menyelipkan sebagian rambutnya ke cuping telinga. “SD Matahari. Letaknya juga sekitar dua kompleks dari sini. Sekolahnya bagus, kok, Nala. Di sana sudah ada makan siang yang menunya diganti setiap hari. Mereka bebas ambil sendiri sesuai porsi masing-masing. Selain itu, ada banyak perkumpulan yang dilakukan di luar jam sekolah seperti bermain alat musik, memelihara kelinci, merakit komputer, dan menggambar.”

“Memelihara kelinci?” sahut sebuah suara.

Sontak Nala, Blue, dan Sarah menoleh. Tampak mata Bayu berkilat senang. Senyumnya sangat lebar, membuat kedua pipinya mengembang. Nala tak sanggup menahan tawa.

“Haha, sini sayang.” Nala melambaikan tangannya. Bayu berlari mendekat dan memberi salam kepada Sarah, sebelum duduk di antara Blue dan Nala.

“Oh, ini ya anaknya? Halo, ini tante Sarah..” Sarah memperkenalkan diri.

“Nama saya Bayu, tante.” sahut Bayu, sopan.

“Bayu, tante Sarah punya anak yang sebaya sama Bayu. Katanya hobi main game.” Nala berujar. “Bayu mau berteman dengan anak tante Sarah?”

“Aldo.” Sarah menambahi. “Nama anak tante Aldo. Nanti sore, kalau Aldo sudah pulang dari sekolah, bakal tante ajak kesini, ya?”

“Oh, sepertinya lebih bagus kalau kita yang gantian berkunjung.” sanggah Nala. “Sepertinya kita juga tidak punya banyak kegiatan, kan, hari ini.. sayang?”

Bayu terhenyak. Baru pertama kali sejak tiga tahun yang lalu ibunya berakting menjadi istri Blue. Ia merasa kalau ibunya tampak belum siap dan nadanya penuh kesan canggung yang dipaksakan.

Blue mengangguk setuju. “Siap, sayang. Tidak sabar rasanya mengunjungi tetangga bersama keluarga.”

Sore itu, sesuai kesepakatan, Bayu, Blue, dan Nala benar-benar berkunjung ke rumah Sarah. Rumah itu lebih besar dari milik mereka. Terdapat kolam renang di halaman belakang, dan juga pondok kayu kecil dengan atap jerami. Asap mengepul dari alat pemanggang daging dan menyebarkan aroma daging bakar sedap ke seluruh sudut ruangan. Di atas kolam, terdapat empat mainan mengapung berbentuk kucing. Sebuah pohon kamboja tumbuh meneduhi pondok, dan bunganya mengotori sebagian kolam. Aroma wanginya tercium samar, tercampur kaporit.

“Maaf, ya..” ucap Sarah. “Karena mendadak, aku cuma bisa bakar daging.”

Nala bergidik. Ia tak tahu kalau menjamu tamu dengan membakar daging bukan termasuk hal mewah bagi penghuni perumahan elit. “Kami berterimakasih sekali karena sudah dijamu. Padahal, seharusnya kami yang mengadakan pesta.”

“Oh, tidak, tidak.” sanggah Sarah. “Ini pesta penyambutan anggota baru kompleks ini. Sebentar lagi, orang-orang akan datang.”

Blue dan Nala saling berpandangan. Mereka tampak gugup dan gelisah. Ini pertama kalinya mereka harus berakting sebagai sepasang suami istri di depan orang banyak. Melihat dari tumpukan piring dan deretan gelas yang disediakan, sepertinya akan ada sekitar 30 orang.

Bayu tampak asyik mendekati Aldo. Mereka berdua saling penasaran satu sama lain.

“Aku Aldo.”

“Sudah tahu. Namaku Bayu.”

Aldo mengernyitkan dahinya. “Kau pernah main game?”

“Sudoku, catur, scrabble, menyusun puzzle,..”

“Bukan.” potong Aldo. “Game sungguhan. Kompetisi dimana kau bisa menindas lawanmu dengan telak.”

“Oh..” kata Bayu. “Aku pernah main monopoli sama pam-ayahku..”

Aldo menepuk dahinya. Ia sudah menyerah. “Kau benar-benar tak tertolong. Ayo, ikut aku.”

Aldo menarik tangan Bayu dan mengajaknya ke kamarnya. Di sana, untuk pertama kalinya Bayu merasa kagum. Ini pemandangan terindah kedua setelah pernah diajak melihat seluruh kota dari atas helikopter di malam hari. Ya, Blue pernah dengan sengaja mengajak Bayu menyelesaikan salah satu misinya menggrebek perambok bank yang membunuh presiden direktur.

Tentu saja kejadian ini tidak pernah diceritakan kepada Nala.

Kamar Aldo seukuran dua kali kamar Bayu. Ada sebuah komputer dengan layar yang sangat besar dan sebuah kursi empuk di depannya. Aldo juga menunjukkan penyuara jemala kokoh yang apabila dipakaikan ke telinga terasa nyaman. Tidak membuatnya pusing sama sekali.

“Kau miskin, ya?” Aldo memastikan. Tatapannya cukup prihatin.

“Aku tidak tahu keluargaku masuk kategori mana.” kata Bayu, sambil mengelus papan ketik komputer yang mulus dan tutsnya enak ditekan. “Tapi, perlengkapanmu ini sungguh.. keren.”

Aldo membusungkan dadanya, bangga. “Ya, sebenarnya, ini tidak ada apa-apanya. Tapi, aku juga sering membanggakannya ke teman-teman yang lain.”

Tiba-tiba, mereka berdua teralihkan dengan suara ribut-ribut di lantai bawah, tempat semua orang berkumpul. Mendengar hal itu, Aldo dan Bayu bergegas turun.

Tampak seorang wanita paruh baya terduduk lemas di atas lantai menangis histeris. Rambutnya terlihat kusut, setengah basah karena air mata dan keringat. Sebagian maskaranya luntur dan bedaknya terhapus setengah. Wanita itu memakai terusan hijau bermotif bunga lili putih besar-besar dan tampak kotor bernoda tanah. Kakinya pun lecet dan sikunya berdarah. Semua orang ramai-ramai mengerubungi.

“Ada apa?” Blue mendekati perempuan itu.

“J.. Joana..” rintih wanita itu. Ia menggigit bibirnya, tampak berusaha untuk menguatkan diri. “Joana, diculik.”

“Siapa Joana?” Bayu bertanya kepada Aldo.

Aldo yang syok dengan jawaban wanita itu, tak sengaja menjawab pertanyaan Bayu dengan nada tinggi. “Anaknya..”

“Ceritakan, dimana kejadiannya?” desak Blue.

Saking lembutnya suara Blue, wanita malang itu memakukan pandangannya. Nala yang melihatnya bergegas mendekat.

“Dia.. orang jahat itu memakai mobil camry putih. Mengambil Joana di depan rumah ini..”

“Plat nomernya?”

“Aku.. aku tidak ingat.”

“Aldo. Cek CCTVmu, sekarang.” Bayu mengingatkan. Aldo tercengang, tapi ia akhirnya menurut. “Pam-ayah, bisa ikuti mobil camry?”

Nala melemparkan penyuara telinga ke arah Blue dan Bayu. Ia pun juga memakainya di telinga kiri. Setelah mengutak-atik teleponnya, Nala menatap Blue dan Bayu satu persatu.

“Aku akan mencoba mencarinya dengan motor. Kau pakai mobilku.” usul Nala ke Blue. Ia pun menatap Bayu. “Kabari kami kalau sudah dapat plat nomernya, oke?” Nala menyerahkan sebuah tablet padanya.

“Siap!”

“Oke, sayang.”

Setelahnya, Blue dan Nala sudah pergi mengejar penculik, sementara Bayu tinggal di rumah Aldo, menekuri CCTV yang mengarah ke pintu gerbang rumahnya sambil menyalakan tabletnya.

Related chapters

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 10: Sosok Misterius

    Saat ini, Nala sedang mengendarai sebuah motor matic hitam yang sudah dimodifikasi sehingga suara knalpot dan mesinnya tak terdengar. Sebuah bagasi juga sudah dipasang di belakang jok untuk memudahkannya membawa beberapa barang penting, misalnya saja sebuah senapan. Kecepatannya, setara dengan mesin baru yang sanggup melaju kencang 3 detik setelah mesin dinyalakan. Sedangkan Blue mengendarai sebuah mobil SUV tua 4 pintu berwarna abu gelap, dengan ban yang tinggi. Meskipun keluaran lama, interior mobil tersebut sudah dimutakhirkan dengan teknologi terbaru.Klik!Blue sudah menghubungkan sambungan telepon satelit dengan Bayu dan Nala ke mobilnya. Ia juga sudah menyalakan layar, yang terhubung dengan tablet yang diutak-atik Bayu.“Roger!” seru Blue. “Sudah kau dapatkan plat nomernya?”“Roger!” Bayu, dikelilingi banyak orang, memantau CCTV. “JK 190 L. Pelaku sepertinya sudah keluar dari kompleks.”“Roger!” seru Blue dan Nala, bergantian.Bayu mengutak-atik tabletnya. Tampak ia sudah bisa

    Last Updated : 2024-03-26
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 11: Bayu galau

    Bayu dan Aldo menyambut Nala dan Blue. Aldo sudah tampak riang. Ia nyaris melompat ke pelukan Blue, kalau tidak ditarik oleh Bayu. Tampaknya, suasana penggrebekan penculik menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya.“Ibu!” seru Bayu. Ia berlari menuju pelukan Nala. Nala bergeming, karena tidak biasanya Bayu bersikap manja. Tapi, ia segera sadar kalau gerak-geriknya sekarang sudah dipantau oleh beberapa pasang mata.“Nala..” kata Sarah. Ia tampak takjub, setengah tak percaya. “Kau tidak apa-apa, kan?”“Kurasa begitu..”Blue berdeham, seolah memberi isyarat kepada Nala agar bersikap sok lemah dan tak berdaya.Nala berhasil menangkap maksud terselubung Blue. “Eh, oh.. ya..” Ia menekan dahinya dan berjalan agak sempoyongan. Bayu memegangi Nala setengah hati, karena tahu ibunya payah saat diminta berakting. “A.. aku agak dehidrasi..”Beberapa orang mengerubungi Nala, namun dengan cekatan, Blue mengambil alih. Ia menyandarkan ke

    Last Updated : 2024-03-27
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 12: "Aku menemukanmu, Ayah.."

    Ini adalah hari pertama Bayu menginjakkan kaki di sekolah pertamanya. Ia, bersama Nala, tidak ada yang jago berakting seperti Blue. Setidaknya, Bayu masih jago menjaga mimik wajahnya agar tidak terdeteksi lawan bicaranya. Kalau sedang dalam keadaan bermain peran, Bayu tidak banyak bicara dan bersikap manja. Ia menggelayutkan badannya ke lengan Nala, seperti yang ia lakukan sekarang.Bayu sudah memakai seragam merah putih yang sudah dicarikan Blue beberapa hari yang lalu. Karena tubuh Bayu agak tinggi dari siswa kebanyakan, Blue memilih menjahitkannya ke seorang kenalan. Saat ini, Bayu tampak seperti bocah SMP yang tinggal kelas dan terpaksa mengulang kelas 4 SD lagi tahun ini.“Apa kurikulum anak SD sekarang?” bisik Nala.“Kalau aku tidak salah ingat, untuk matematika masih membahas KPK dan FPB. Operasi hitung campuran, mengukur sudut sederhana dan pecahan.”Nala terganggu dengan kata ‘sederhana’ yang diucapkan oleh Bayu. “Ibu tahu Bayu sudah meng

    Last Updated : 2024-03-28
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 13: Blue dan alkohol sialan (lagi)

    Buk!Nala menutup pintu mobil dengan kesal. Ia sudah mencium Bayu secukupnya sebelum memutuskan pergi dari cengkraman Bu Anggi, kepala sekolah narsistik.“Ada apa? Kau habis bertemu siapa?” tanya Blue.Nala merebut botol kecil berisi wiski dari tangan Blue, dan menegaknya sekaligus.“Hei! Itu bekal makan siangku nanti.”“Nanti kuganti.” tukas Nala. “Kau yang benar saja. Masa’ tidak menyelidiki tempat ini terlebih dulu?”Blue menghela nafas panjang. Kali ini, ia tahu permasalahannya. “Kau sudah tahu ya?”“Tentang apa? Tentang sekolah ini milik Elang Grup, atau tentang kepala sekolah yang narsis?”“Eh? Apa?”“Lupakan!” sergah Nala. “Kenapa tidak kau beritahu kami, setidaknya aku, kalau sekolah ini juga antek-antek Elang Grup?”“Maafkan aku. Kupikir lebih nyaman kau tidak tahu.”“Aku jauh dari kata nyaman, kau tahu!” Nala bergidik mengingat kembali sikap penuh penekanan Bu Anggi. “Apalagi

    Last Updated : 2024-03-29
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 14: Kelemahan Bayu adalah perempuan

    Bayu memasuki ruang kelasnya setelah Bu Anggi dan Nala pergi. Kelas Bayu cukup luas, berada di lantai empat, selisih dua gedung dari gedung guru dan kepala sekolah. Dinding kelas dipenuhi dengan cat putih dan biru muda yang kalem, memantulkan cahaya lampu yang bekerja tidak terlalu keras karena sinar matahari menerobos masuk. Satu sisi dinding yang menghadap lapangan, terbuat dari kaca tebal yang transparan. Bayu bisa melihat kotanya yaang dipenuhi gedung pencakar langit, dan mengintip anak kelas tiga bermain kasti di lapangan sekaligus dari sana.Di tengah ruangan, terdapat meja besar yang terbuat dari kayu jati kokoh dan gelap, diamplas dan dipernis sedemikian rupa sampai halus dan mengkilap. Di atasnya terdapat layar sentuh canggih, memantulkan gambar-gambar ilustratif macam-macam hewan-hewan bersimbiosis. Sebuah kanvas putih elektronik yang menempel di dinding di belakangnya, membuat gambar-gambar itu tampak menonjol dan atraktif. Di sisi l

    Last Updated : 2024-03-30
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 15: Blue bimbang setengah mati

    Blue menyelimuti Nala yang tertidur pulas di sofa ruang tamu. Secangkir teh sudah ia siapkan di meja, kalau-kalau Nala terjaga saat kerongkongannya kering. Sebuah surat bertulisan ‘Aku pergi dulu, pulang larut.’ ia selipkan di bawah cangkir.Blue memperhatikan Nala sekali lagi. Ia mengecup kening wanita itu sebelum keluar dari rumah. Sebuah kecupan lembut yang amat berarti bagi Blue yang tak mungkin Nala mengerti. Sebenarnya, Blue juga tidak ingin Nala sepenuhnya tahu kalau saat ia sudah jatuh hati.“Bram..” Sesaat sebelum Blue menutup pintu, Nala mengigau. Hal itu membuat hati Blue goyah. Sudah sepuluh tahun lamanya mereka mencari Bram, tapi Nala tetap mencintai suaminya itu. Dalam hati, Blue berharap kalau kejadian pagi ini, di mobil, tidak terjadi saat Nala sedang mabuk. Ia ingin Nala juga mengingatnya. Blue sudah muak menyimpannya sendiri. Tapi, ia sadar. Saat Nala menyadari apa yang sudah mereka lakukan setiap Nala dalam pengaruh alkohol, h

    Last Updated : 2024-03-30
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 16: Mantan pacar Blue?

    “Bayu pulaanngg..”Blue dan Bayu memasuki rumah yang sudah kosong. Selembar selimut diletakkan di atas sofa. Cangkir teh tampak kosong dan ada secarik kertas di bawahnya. Terdapat sebuah tulisan di bawah catatan yang ditinggalkan Blue pagi ini.‘Aku pakai taksi online. Aku lupa harus pergi ke rumah sakit sekarang. Makan malam Bayu kuserahkan padamu.’“Wah, sepertinya kita bebas, nih.”“Kenapa, paman? Ibu pergi kemana?”Blue menyodorkan kertas itu ke Bayu, selagi ia merebahkan diri ke sofa. “Dasar wanita ceroboh.”“Memangnya sudah mau pembukaan?” Bayu melepas kaos kakinya dan meletakkan tasnya. Ia juga mulai melonggarkan dasinya. “Sepertinya, Ibu akan sibuk sekali.”“Memulai sebuah rumah sakit baru memang sulit juga, sih.” aku Blue. “Harus teliti dan cukup detail saat membuat standar prosedur operasional, membuat peraturan manajerial, mengatur keamanan, dan memastikan semua tetap bekerja saling berkesinambungan mengingat

    Last Updated : 2024-03-31
  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 17: Dokter mesum itu siapa, sih?

    Hampir dua puluh lima tahun yang lalu, Nala kecanduan drama korea. Ia selalu memimpikan hidupnya akan diwarnai serangkaian kisah ajaib dan hangat seperti yang dialami tokoh utama wanita di dalamnya. Terkadang, kisah hidup Nala terasa jauh lebih ringan daripada masalah yang dialami tokoh dalam drama, membuat hati Nala sedikit terhibur dan bersyukur. Sayangnya, tokoh yang seperti itu, selalu dibarengi dengan pertemuan manis. Nala, saat masih SMA, benar-benar anak culun yang jarang bergaul dengan lawan jenis. Neneknya bahkan sering meledek. Meskipun begitu, Nala hanya berlagak sebal. Ia tahu, cara meledek neneknya lebih terdengar seperti penghiburan baginya.Saat bertemu Bram, hidup Nala berubah drastis. Kesehariannya menjadi lebih berbunga-bunga dan selalu menantikan hari esok. Biasanya, Nala hanya akan menikmati hari-harinya sebagai kewajiban sebelum maut menjemput. Ia berusaha keras untuk tetap waras di tengah kesendiriannya. Tumpukan laporan keuangan adalah satu

    Last Updated : 2024-04-01

Latest chapter

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 210: Epilog

    Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 209: Hutang yang terbayar

    Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 208: Pengejaran

    Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 207: Sedikit lagi!

    Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 206: Anya berduka

    "Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 205: Selamat tinggal, Pak Was

    Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 204: Meluncur!

    Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 203: Suara letusan

    Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga

  • Suamiku seorang Mata-Mata   Bab 202: Mari tangkap Hartono!

    Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi

DMCA.com Protection Status