Di sebuah ruangan bergaya modern dengan banyak guci antik di sekitarnya, tampak seorang perempuan berusia pertengahan dua puluhan duduk di atas sofa empuk. Kaki kirinya bertumpu pada kaki kanannya. Ia memeriksa kuku-kukunya yang baru saja digambar. Tampilannya cukup berkilau karena dihiasi butiran safir merah muda asli. Sudut bibir perempuan itu menjauh, menampakkan senyum puas.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya berperut buncit namun berpawakan tegap memasuki ruangan, diikuti oleh seorang pria yang sepertinya paling tua di ruangan itu.“Anya..” panggil pria paruh baya buncit. Ia duduk berhadapan dengan gadis yang tak mempedulikan kehadirannya itu.“Ya, Pa..” balas Anya, sekenanya. “Aku ada janji ke salon siang ini. Nanti sore ada perkumpulan sepupu Triadmodjo.”Pria paruh baya itu mendesah. “Seharusnya, hari ini kau ada pertemuan di rumah sakit Besari.”Anya menurunkan kukunya sebal. Ia menatap mata papanya itu kesal. “AkuNala, Bayu, dan Blue, baru saja menghabiskan makan malam mereka. Hari ini, karena malas memasak, Blue memutuskan membeli makanan dari luar dan memakannya di rumah. Sekotak pizza dan selusin dimsum. Nala juga memesan seporsi mie pangsit dengan ekstra toping dan minyak cabai. Ia menikmatinya sambil meminum wiski.Perpaduan yang aneh, tapi pada dasarnya Nala memang doyan mencampurkan hal-hal tak lazim.Blue sudah mencegah Nala menemukan stok wiskinya. Karena, sudah dipastikan akan ada hal-hal yang mungkin saja terjadi (ya, semacam itu.) Tapi, Blue tak tega. Itu karena Nala sudah dalam mode putus asa.“Ibu kenapa?” bisik Bayu.Blue mengangkat bahunya. Mereka memperhatikan Nala tampak sendu, memutar-mutar gelas mungilnya. Saat ini, Blue sedang menyembunyikan fakta keberadaan Sky pada Bayu karena ia belum bertemu secara langsung dengan kakaknya itu. Sedangkan Bayu, juga masih menyembunyikan fakta pertemuannya dengan ayahnya di SD Matahari. Bukankah
Di sebuah ruang kerja dengan jendela berkaca lebar, berdiri seorang pria paruh baya yang berpawakan tegap. Hidungnya yang mancung, menghirup aroma kopi hangat yang baru diseduh. Tangan kirinya, ia sarungkan di kantung celananya. Dengan mata setajam elang, ia memperhatikan lalu lalang kendaraan dari balik jendela.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu, terdengar.“Masuk.”Tampaklah seorang pria mengenakan jas dokter dan bermata sipit, memasuki ruangan. Matanya menunduk sedikit, memperhatikan papan nama direktur rumah sakit, Haris Setyawan. Bibirnya berkedut.“Pak Haris.”“Dokter Ferdian.” Haris menoleh. Setelah menyesap kopinya sekali, ia meletakkannya di atas meja kerja. Senyum kapitalisnya mengembang. “Kau cukup… tampan.”“Ada kepentingan apa, pak?” Ferdian menepis ucapan Haris, seolah sedang diburu waktu. Ia tahu pasti kalau direktur sesibuk Haris tak mungkin memanggilnya hanya untuk memberikan pujian.Haris tert
“Berdasarkan hasil survei harian yang dilakukan lembaga survei elektabilitas, jumlah suara sekjen partai politik Bhineka, sekaligus presiden direktur Elang Group, Hartono Triadmodjo, unggul sebanyak 10 persen dari lima calon kandidat lain..”Suara televisi memenuhi ruangan, menemani Nala yang membantu Blue memasak. Nala agak merasa aneh dengan tubuhnya yang malah terasa lebih bugar padahal semalam mabuk berat. Blue yang canggung, memutuskan untuk mengambil alih tugas piket memasak wanita itu pagi ini.“Apa aku harus minum wiski setiap hari, ya?”Blue tercekat. Tangannya berhenti mengaduk sop. “Kau gila, ya?!”Nala agak terkejut dengan tanggapan Blue yang dirasa berlebihan. “Memangnya kenapa? Toh aku tidak menyusahkan.”Wajah Blue memanas. Ia segera memalingkan wajahnya, menyembunyikan pipinya yang bersemu merah.“Wah, sepertinya orang yang bernama Hartono itu mau ikut pemilu.” Bayu baru turun dari kamarnya. Ia segera membantu dua
“Hm, aku Anya.”Nala mengerjapkan matanya. Ia agak khawatir penglihatannya mulai mengada-ada. Sepuluh menit yang lalu, May memberitahunya kalau laboratorium akan kedatangan dokter spesialis patologi klinik. Tapi, dia tak pernah bilang kalau dokter yang dimaksud punya penampilan seperti ini. Nala sudah bertemu dengan banyak dokter berjenis kelamin wanita. Namun, meskipun mereka memiliki perbedaan dalam memilih gaya pakaian, tak ada yang berpenampilan seksi secara terang-terangan seperti sosok yang ada di hadapannya saat ini.Bling-bling dan mencolok.Alih-alih tampak elegan, pakaian yang ia kenakan terlihat cukup berkilau. Sebuah terusan merah mudah penuh gliter yang panjangnya tidak sampai lutut, ditutupi jas dokter berwarna putih yang terlihat cukup rapi. Seolah-olah ia akan berpesta setelah pergi dari rumah sakit.“Pembukaannya besok, kan, ya? Apa aku harus berada di sini? Kalian ngapain sih?” matanya menatap para lelaki satu persatu.
Bayu membuka bungkus permen karetnya. Ia memasukkan dua buah rasa cola ke mulut. Mulutnya sibuk mengunyah sambil membolak-balik buku catatannya.“Aku takjub kau mau mencatat.” kata Blue, melirik kesibukan keponakannya.“Aku juga takjub Joana ternyata orang yang rapi.”Blue mengangkat kedua alisnya. “Waw, bung. Kau sudah punya pacar sekarang?”“Paman!” Bayu berseru. Pipinya memerah. “Aku bukan pria yang seperti itu.”“Hahaha, memangnya pria yang punya pacar seperti apa?”“Maksudku, aku tidak mungkin berpacaran dengan Joana, atau dengan siapapun, di usia segini. Aku masih harus memperjuangkan masa depanku.”Blue berdeham, tak menyangka sebuah petuah keluar dari mulut seorang bocah sepuluh tahun.“J-jadi, itu catatan Joana, ya?”Bayu mengangguk. “Dia meminjamkannya padaku untuk kusalin.”“Memangnya sudah kau salin?”Bayu mendesah pelan. “Sudah. Terpaksa kulakukan meskipun isi pelajaranny
Anya pergi karena sepupunya meneleponnya beberapa kali. Nala bersyukur atas kehidupan sepupunya itu.Seluruh orang yang ada di IGD, menghela nafas panjang begitu sosok Anya dan penjaganya menghilang dari balik pintu.“Aku sesak nafas. Kok bisa, ya?” ujar salah satu dokter wanita. “Dia siapa, sih?”“Anaknya Pak Hartono.” jawab Harsah. Mendengar jawabannya, seluruh ruangan mengeluarkan suara “woo..” dalam nada rendah, nyaris bersamaan.“Pantas keberadaannya menyesakkan.” ucap perawat pria satu. “Aku merinding. Dokter tidak?”Dokter yang dimaksud adalah Ferdian. Tentu saja Ferdian hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum seadanya.“Aku tidak terlalu tertarik.” katanya. Matanya tampak melirik Nala sekilas. Pipi wanita itu memerah.“Tapi kalau dokter bisa menikah dengan anak Pak Hartono, bisa-bisa dokter jadi direktur rumah sakit ini.” ucap perawat dua yang ingin Nala tonjok kepalanya.Ferdian cekikikan. “
Blue sekuat tenaga berkelit. Salah satu kelebihannya adalah kecepatan dan kelincahan. Ia selalu unggul 0,5 detik saat adu lari dengan Sky.Rose, tampaknya dengan seluruh kekuatannya, mengejar Blue. Ia tetap mengepalkan kedua tangannya, hendak melayangkan kepalan itu mengenai wajah pria dengan rambut keriting aneh yang tidak pas.Wajah Blue lolos dua senti. Rose tidak tepat sasaran, hanya karena Blue keseleo. Kini, ia terpojok. Mereka sekarang berada di bawah tandon air.“Tu-tunggu, Rose..” bibir Blue gemetar. Ia takut wajah tampannya rusak. Ibunya pernah mengajari untuk tidak melawan perempuan. Sampai mati ia bertekad untuk tidak membuat perempuan babak belur, kecuali kalau perempuannya adalah seorang kriminal.Tapi, yang ada di hadapannya kali ini adalah perempuan cakep yang sedang kesal.Rose sepertinya tidak peduli. Ia melayangkan tinjunya begitu saja ke arah hidung Blue. Pria itu dengan gesit mengenggam kepalan itu, dan menariknya.
Sky mengelus bibir gelas brendi yang kosong. Ia sudah menghabiskan tiga gelas dan belum mabuk. Matanya mengerjap pelan, berusaha memikirkan penilaian Nala terhadapnya atas perbuatan yang ia lakukan tadi. Kemungkinan, Nala pasti membencinya.“Kau melamunkan apa?” Tiger, membawa nampan berisi dua piring tahu tek, membuyarkan lamunan Sky. Aroma saus kacang yang khas, membuat Sky tergugah.“Aku sepertinya pernah bilang kalau ingin minum brendi.” kata Sky, sinis.Tiger tergelak. “Saus kacangnya mengandung bawang yang baunya menyengat. Kita butuh alkohol.”“Dan itu brendi?”“Kenapa? Bukankah segar?” Tiger menenggak minumannya. Wajahnya tampak puas. “Hm, enak sekali.”Sky malas berdebat. Tenaganya sudah ia habiskan untuk memikirkan istrinya. Setelah menyantap makan malam, ia mengisi gelasnya.“Sepertinya hatimu murung.”“Aku bertemu Nala.”Tiger menganggukkan kepalanya, seolah mengerti perasaan Sky saat ini. “
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi