Anya pergi karena sepupunya meneleponnya beberapa kali. Nala bersyukur atas kehidupan sepupunya itu.
Seluruh orang yang ada di IGD, menghela nafas panjang begitu sosok Anya dan penjaganya menghilang dari balik pintu.“Aku sesak nafas. Kok bisa, ya?” ujar salah satu dokter wanita. “Dia siapa, sih?”“Anaknya Pak Hartono.” jawab Harsah.Mendengar jawabannya, seluruh ruangan mengeluarkan suara “woo..” dalam nada rendah, nyaris bersamaan.“Pantas keberadaannya menyesakkan.” ucap perawat pria satu. “Aku merinding. Dokter tidak?”Dokter yang dimaksud adalah Ferdian. Tentu saja Ferdian hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum seadanya.“Aku tidak terlalu tertarik.” katanya. Matanya tampak melirik Nala sekilas. Pipi wanita itu memerah.“Tapi kalau dokter bisa menikah dengan anak Pak Hartono, bisa-bisa dokter jadi direktur rumah sakit ini.” ucap perawat dua yang ingin Nala tonjok kepalanya.Ferdian cekikikan. “Blue sekuat tenaga berkelit. Salah satu kelebihannya adalah kecepatan dan kelincahan. Ia selalu unggul 0,5 detik saat adu lari dengan Sky.Rose, tampaknya dengan seluruh kekuatannya, mengejar Blue. Ia tetap mengepalkan kedua tangannya, hendak melayangkan kepalan itu mengenai wajah pria dengan rambut keriting aneh yang tidak pas.Wajah Blue lolos dua senti. Rose tidak tepat sasaran, hanya karena Blue keseleo. Kini, ia terpojok. Mereka sekarang berada di bawah tandon air.“Tu-tunggu, Rose..” bibir Blue gemetar. Ia takut wajah tampannya rusak. Ibunya pernah mengajari untuk tidak melawan perempuan. Sampai mati ia bertekad untuk tidak membuat perempuan babak belur, kecuali kalau perempuannya adalah seorang kriminal.Tapi, yang ada di hadapannya kali ini adalah perempuan cakep yang sedang kesal.Rose sepertinya tidak peduli. Ia melayangkan tinjunya begitu saja ke arah hidung Blue. Pria itu dengan gesit mengenggam kepalan itu, dan menariknya.
Sky mengelus bibir gelas brendi yang kosong. Ia sudah menghabiskan tiga gelas dan belum mabuk. Matanya mengerjap pelan, berusaha memikirkan penilaian Nala terhadapnya atas perbuatan yang ia lakukan tadi. Kemungkinan, Nala pasti membencinya.“Kau melamunkan apa?” Tiger, membawa nampan berisi dua piring tahu tek, membuyarkan lamunan Sky. Aroma saus kacang yang khas, membuat Sky tergugah.“Aku sepertinya pernah bilang kalau ingin minum brendi.” kata Sky, sinis.Tiger tergelak. “Saus kacangnya mengandung bawang yang baunya menyengat. Kita butuh alkohol.”“Dan itu brendi?”“Kenapa? Bukankah segar?” Tiger menenggak minumannya. Wajahnya tampak puas. “Hm, enak sekali.”Sky malas berdebat. Tenaganya sudah ia habiskan untuk memikirkan istrinya. Setelah menyantap makan malam, ia mengisi gelasnya.“Sepertinya hatimu murung.”“Aku bertemu Nala.”Tiger menganggukkan kepalanya, seolah mengerti perasaan Sky saat ini. “
Bayu sudah memperingatkan pamannya untuk berhati-hati. Tapi, sejujurnya, ia tak berharap banyak.Kini seorang wanita yang Bayu kenal, selain Joana dan Nala tentunya, duduk di atas meja makan. Ia mengunyah apel yang baru saja dikupas oleh Blue. Kakinya ia letakkan di atas paha pamannya itu. Rambut hitam panjangnya menjuntai, matanya melebar, tersenyum riang saat Bayu baru turun dari kamarnya.“Bu Dewi..” desis Bayu, keheranan. Ia asing dengan tampilan wanita itu yang tadi pagi cukup rapi, sekarang hanya mengenakan kemeja pria yang kebersaran di tubuhnya. Celana dalamnya terlihat, dan Bayu memalingkan mukanya.“Halo, manis.” sapa Rose. “Aku bukan akan memberimu les privat.”“Kau merayu guruku, ya, paman?” desak bocah itu.Blue meresponnya dengan gelagat tak nyaman. “Sebenarnya, dia..”“Aku pacarnya.” potong Rose. “Kami sudah punya hubungan sejak sepuluh tahun yang lalu. Mungkin..”“Dua belas..” Blue mengoreksi.“A
Tok! Tok! Tok!Blue mengetuk pintu sebuah apartemen mewah yang berada di lantai atas. Tak berselang lama, terdengar ketukan dari dalam. Ketukan berpola.Blue membalas ketukan berpola itu.Tak sampai semenit, pintu terbuka. Muncul sosok pria dengan keriting keong alami dan berbadan tinggi, tegap, berkulit lebih gelap satu tingkat dari Blue.Sky.“Halo, dik..” Tampaknya, Sky tidak terlalu menyangka Blue menjadi tamu malam ini. Wajahnya dilingkupi kebingungan, dan perasaannya campur aduk.“Sky..” desis Blue. Hatinya terasa perih. “Apa aku tidak boleh masuk?”Sky tersenyum. Ia menarik paksa Blue dan segera menutup pintu. Setelahnya, mereka berpelukan dan saling menepuk punggung masing-masing.“Apa kabar?”“Baik. Seluruh keluargamu juga baik, ngomong-ngomong..”Mereka saling melepaskan pelukan dan berpandangan. Sky menelusuri seluruh tubuh kembarannya lekat-lekat.“Kau mirip aku..”
Bayu menyandarkan punggungnya di tumpukan jerami. Kakinya yang pegal, ia luruskan. Garpu kebun tergeletak di samping tubuhnya yang penuh keringat.Di dalam kandang, tampak Joana sedang memberi makan beberapa ekor kelinci, Shasti mengumpulkan kotoran-kotoran dengan garpu kebun, dan Aldo yang memperhatikan anak-anak kelinci di dalam inkubator. Nenek Shasti berada di dalam pondok, membuat kudapan.Hari itu, mereka mulai membantu Shasti membersihkan kandang kelinci. Shasti juga sudah mau masuk kelas. Dengan bantuan Joana, teman-teman sekelas bersimpati. Mereka sepakat akan bergiliran membantu nenek Shasti membersihkan kandang dan merawat kelinci. Bu Dewi juga dengan senang hati membuatkan mereka jadwal perawatan sepulang sekolah. Kelompoknya mendapatkan kesempatan di hari pertama.“Aku membersihkan diri dulu, ya..” Bayu memutuskan untuk pergi, melihat situasi sudah cukup bersih dan sepertinya sudah ditangani dengan baik.Joana yang berada di dekatnya
Hari ini adalah pesta pembukaan Rumah Sakit Besari. Halaman tengah gedung disulap menjadi tempat pesta luar ruangan yang megah dan gemerlap. Sekumpulan pemusik mengiringi acara malam itu. Suara mereka mengalun menambah suasana bahagia. Upacara peresmian sudah berlangsung dua puluh menit yang lalu.Nala berdiri agak pojok, menikmati kudapan prasmanan yang disajikan. Ia mengenakan gaun warna biru tua dengan payet berkilau yang memikat tiap ia menggerakkan tubuhnya. Potongan gaun yang ramping dan panjang, menciptakan ilusi elegan tak terbantahkan pada tubuh wanita itu. Bagian punggungnya terbuka, dengan detail kerah yang dipercantik dengan kalung mungil tak berliontin. Ia melihat-lihat situasi sambil menyeruput sodanya.Tampak beberapa wajah familiar yang menghadiri pesta pembukaan ini. Walikota, gubernur, petinggi beberapa partai politik, dan orang-orang pemerintahan berpangkat tinggi. Nala memperhatikan orang-orang itu satu persatu. Hartono turut menyapa orang-orang
Bayu dan Aldo tampak sibuk mengerjakan tugas. Beberapa krayon dengan beraneka macam warna berserakan. Sebuah keranjang berisi buah-buahan, menjadi objek lukisan mereka. Untuk urusan ini, keahlian Bayu sama amatirnya dengan Aldo.“Aku tidak pernah bisa menggambar anggur.” Aldo menyesali gambar buah anggurnya yang terlalu bulat. Ia menggunakan tutup botol sebagai cetakannya.“Aku apel. Coba lihat! Bukankah bentuknya malah seperti gigi geraham berwarna hijau?”Aldo memperhatikan gambar teman barunya itu, dan mengangguk prihatin. “Kau pintar. Tapi sepertinya, menggambar bukanlah bakatmu.”Bayu tidak menyesal atas perkataan Aldo karena ia sudah tahu seberapa buruk kemampuannya dalam bidang kesenian. Sama seperti ibunya, Nala.“Menurutmu, mengerjakan tugas seperti ini membosankan, kan?”Bayu menggeleng pelan. “Tidak juga. Asal cepat selesai.”“Kita bisa melakukannya besok. Tugas ini tenggat waktunya kan minggu depan.”
Pesta berlangsung meriah. Setelah bercakap-cakap agak lama dengan beberapa anggota IGD, Ferdian menyusuri setiap sudut aula. Matanya menekuri beberapa tamu undangan yang baginya tak asing. Hartono, seorang pria yang membuat darah dalam tubuhnya berdesir, juga hadir sebagai tuan rumah. Tawanya memenuhi gendang telinganya.Di lain sudut, ia mendapati istri pria bengis itu sedang asyik mengobrol dengan istri-istri para petinggi. Tentunya, penampilan istri Hartono terlihat paling menonjol dan paling menarik perhatian. Segelas rose wine menghiasi tangannya yang kurus.Tepat setelahnya, Ferdian terpaku oleh sosok bergaun biru tua. Siluet tubuhnya indah dan semampai. Degup jantungnya seolah terhenti. Seluruh dunia seolah terfokus hanya pada satu wanita.Tak kuasa, Ferdian mendekati gadis cantik itu sambil membawa sepiring buah potong agar tidak canggung.“Mau?”Nala, gadis cantik itu, dengan anggun mengambil sepotong melon dengan hati-hati. Ferd
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi