Bayu menyandarkan punggungnya di tumpukan jerami. Kakinya yang pegal, ia luruskan. Garpu kebun tergeletak di samping tubuhnya yang penuh keringat.
Di dalam kandang, tampak Joana sedang memberi makan beberapa ekor kelinci, Shasti mengumpulkan kotoran-kotoran dengan garpu kebun, dan Aldo yang memperhatikan anak-anak kelinci di dalam inkubator. Nenek Shasti berada di dalam pondok, membuat kudapan.Hari itu, mereka mulai membantu Shasti membersihkan kandang kelinci. Shasti juga sudah mau masuk kelas. Dengan bantuan Joana, teman-teman sekelas bersimpati. Mereka sepakat akan bergiliran membantu nenek Shasti membersihkan kandang dan merawat kelinci. Bu Dewi juga dengan senang hati membuatkan mereka jadwal perawatan sepulang sekolah. Kelompoknya mendapatkan kesempatan di hari pertama.“Aku membersihkan diri dulu, ya..” Bayu memutuskan untuk pergi, melihat situasi sudah cukup bersih dan sepertinya sudah ditangani dengan baik.Joana yang berada di dekatnyaHari ini adalah pesta pembukaan Rumah Sakit Besari. Halaman tengah gedung disulap menjadi tempat pesta luar ruangan yang megah dan gemerlap. Sekumpulan pemusik mengiringi acara malam itu. Suara mereka mengalun menambah suasana bahagia. Upacara peresmian sudah berlangsung dua puluh menit yang lalu.Nala berdiri agak pojok, menikmati kudapan prasmanan yang disajikan. Ia mengenakan gaun warna biru tua dengan payet berkilau yang memikat tiap ia menggerakkan tubuhnya. Potongan gaun yang ramping dan panjang, menciptakan ilusi elegan tak terbantahkan pada tubuh wanita itu. Bagian punggungnya terbuka, dengan detail kerah yang dipercantik dengan kalung mungil tak berliontin. Ia melihat-lihat situasi sambil menyeruput sodanya.Tampak beberapa wajah familiar yang menghadiri pesta pembukaan ini. Walikota, gubernur, petinggi beberapa partai politik, dan orang-orang pemerintahan berpangkat tinggi. Nala memperhatikan orang-orang itu satu persatu. Hartono turut menyapa orang-orang
Bayu dan Aldo tampak sibuk mengerjakan tugas. Beberapa krayon dengan beraneka macam warna berserakan. Sebuah keranjang berisi buah-buahan, menjadi objek lukisan mereka. Untuk urusan ini, keahlian Bayu sama amatirnya dengan Aldo.“Aku tidak pernah bisa menggambar anggur.” Aldo menyesali gambar buah anggurnya yang terlalu bulat. Ia menggunakan tutup botol sebagai cetakannya.“Aku apel. Coba lihat! Bukankah bentuknya malah seperti gigi geraham berwarna hijau?”Aldo memperhatikan gambar teman barunya itu, dan mengangguk prihatin. “Kau pintar. Tapi sepertinya, menggambar bukanlah bakatmu.”Bayu tidak menyesal atas perkataan Aldo karena ia sudah tahu seberapa buruk kemampuannya dalam bidang kesenian. Sama seperti ibunya, Nala.“Menurutmu, mengerjakan tugas seperti ini membosankan, kan?”Bayu menggeleng pelan. “Tidak juga. Asal cepat selesai.”“Kita bisa melakukannya besok. Tugas ini tenggat waktunya kan minggu depan.”
Pesta berlangsung meriah. Setelah bercakap-cakap agak lama dengan beberapa anggota IGD, Ferdian menyusuri setiap sudut aula. Matanya menekuri beberapa tamu undangan yang baginya tak asing. Hartono, seorang pria yang membuat darah dalam tubuhnya berdesir, juga hadir sebagai tuan rumah. Tawanya memenuhi gendang telinganya.Di lain sudut, ia mendapati istri pria bengis itu sedang asyik mengobrol dengan istri-istri para petinggi. Tentunya, penampilan istri Hartono terlihat paling menonjol dan paling menarik perhatian. Segelas rose wine menghiasi tangannya yang kurus.Tepat setelahnya, Ferdian terpaku oleh sosok bergaun biru tua. Siluet tubuhnya indah dan semampai. Degup jantungnya seolah terhenti. Seluruh dunia seolah terfokus hanya pada satu wanita.Tak kuasa, Ferdian mendekati gadis cantik itu sambil membawa sepiring buah potong agar tidak canggung.“Mau?”Nala, gadis cantik itu, dengan anggun mengambil sepotong melon dengan hati-hati. Ferd
Nala melemparkan diri ke atas kasur. Tasnya terpental agak jauh, jatuh masuk ke bawah kolong. Blue yang melihatnya agak was-was. Kakak iparnya bukan orang yang ramah dan mudah didekati kalau suasana hatinya sedang dalam mode macan kumbang.“Na-..”“Kau lihat, kan?” Nala melompat. Ia terduduk dan mengunci tatapan Blue lekat-lekat. Pria itu terperanjat, mempersiapkan diri agar tidak dimangsa. “Kau lihat ekspresi jalang cewek itu? Dia umur berapa, sih? Berani-beraninya menggoda pria beristri.”“Mmm, Nala.. Tapi, Sky bujangan sekarang.”“Apa?!”“I-iya. Maksudku, dia suamimu. Sky suamimu, Bram suamimu dan Ferdian itu seharusnya adalah suamimu. Sial, tak kusangka namanya sudah banyak.”“Terus?”“Sekarang dia sedang menjalankan misinya. Tidak mungkin dia mengaku sudah beristri. Kalau aku jadi Anya, aku pasti akan mencari sampai titik darah penghabisan kalau seandainya dia mengaku sudah beristri.”“Dan dia terima begitu
Mobil Sky melaju agak cepat. Kini, ia melepas penyamarannya sebagai dokter Ferdian yang bermata sipit. Mata cokelatnya menyala, memantulkan lampu mobil yang berlalu lalang di hadapannya. Sorot mata Sky terpaku mengikuti jalan raya.Benaknya kalut. Ia tak pernah ingat pernah membuat istrinya menangis selain meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Barusan, setelah lama tak bertemu, wanita yang ia cintai setengah mati malah menangis karena sikapnya. Bahkan, sosok yang menenangkan tangis Nala malah adik kembarnya.Sky menepi. Sebuah keputusan ceroboh karena ia sedang berada di jalan tol.“Arrgghh…” pria itu berteriak putus asa. Seluruh tenaganya ia kerahkan demi membuat pita suaranya tersiksa. Entah, Sky sempat berpikir untuk menyakiti dirinya sendiri demi menebus penderitaan yang tengah istrinya hadapi.Lama Sky menatap keheningan padang rumput di tepian. Suara jangkrik seolah meredam teriakan konyolnya, seolah dunia bahkan tak sudi mendengarkan rat
Sky bersiap diri. Aroma kayu hangat memenuhi ruangan setelah pria itu bercukur. Kini matanya sipit, menyembunyikan sinar cokelat yang mencolok saat terkena cahaya benderang. Sky mengenakan kemeja polos monokrom dan melipat bagian lengan sampai siku. Dua kancing atas ia biarkan. Tak lupa, ia menyisir rambut yang baru saja diluruskan pagi ini. Sky bercermin sambil membenarkan postur tubuhnya. Kali ini, ia berubah menjadi dokter Ferdian.Perasaannya campur aduk. Semalam, seharusnya ia jaga malam. Namun, sekujur tubuhnya terasa nyeri akibat perasaannya kalut. Ferdian memutuskan untuk bertukar jaga dengan rekan dokternya agar bisa masuk pagi dan mengintip keadaan Nala hari ini. Meskipun, pria itu tak berharap yang muluk-muluk. Bagaimanapun, apa yang sudah ia lakukan memang terlihat cukup kurang ajar di mata istrinya.Sky membuka pintu kamarnya. Seluruh barang yang ada di apartemen tampak kembali seperti semula. Tak ada remahan biskuit dan remot televisi sudah diletakkan
Joana duduk membelakangi Bayu, seperti biasa. Kali ini, mereka sedang menulis apa yang sedang didikte oleh seorang guru. Materi kali ini adalah ilmu pengetahuan sosial, membahas batas-batas negara berupa samudera. Bayu sudah tahu kalau negaranya merupakan negara maritim, dikelilingi lautan luas dan punya banyak ekosistem bahari melimpah. Namun, fokusnya adalah berpura-pura tidak tahu.Blue menjemput Bayu dari rumah Aldo pagi ini. Sarah bersikeras mengantarkan Aldo dan Bayu sekaligus agar tidak memberatkan Blue. Namun, karena Blue ingin memastikan dan bertukar informasi dengan keponakannya, ia memilih untuk menjemput bocah itu. Sarah tak menaruh curiga sedikitpun, tentu saja. Bayu makin mengagumi keluarga Aldo karena kepolosan mereka.Hari ini, Bayu bertekad untuk menjadi sosok lain. Atas izin pamannya, ia sudah menyiapkan strategi. Kalau tidak salah, Bu Dewi pernah mengatakan pada pamannya kalau Bu Anggi tak pernah membiarkan siapapun memasuki kantor kerjanya. Hany
Seorang pria berusia tiga puluhan, lemas tak berdaya. Ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek ketat, seperti celana renang. Dari kulitnya yang berwarna kulit pucat dan rambutnya yang bewarna tembaga, bisa dipastikan kalau pasien ini adalah warga negara asing.Tampak seorang perawat wanita memberikan pertolongan pertama. Ia menekan dada pria itu beberapa kali. Meskipun tubuh pasien itu satu setengah kali lebih besar dari tubuhnya, tenaga yang diberikan perawat itu sanggup menghentak dada. Sedangkan Ferdian memperhatikan layar monitor yang masih menampilkan garis lurus.“Jelaskan!” tuntut Ferdian kepada seorang perawat perempuan lain yang baru tiba membawakan tabung oksigen, di tengah kepanikan itu. Tangannya mencari nadi sang pria. Suara tangis terdengar dari balik tirai, seorang wanita berusia sama dengan pasien, dan satu orang laki-laki berusia dua puluhan. Mereka bertiga sama-sama berkulit putih.“Warga Selandia Baru, Oliver, 34 tahun
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi