"Apa yang kamu lakukan, dengan Renata?" Robi betanya tiba - tiba. Aku yang sedang menyusui Dania, sontak menatapnya binggung. "Maksud kamu?" "kenapa, kamu nggak bilang aku, klo kamu yang nyelamatin dia?" "Oh itu, aku lupa cerita," kilah ku. "Lupa atau emang nggak mau cerita?" ketusnya. "Beneran lupa. Akhir - akhir ini, Ku selalu pelupa," "Kok, bisa kamu bertemu dia?" "Yah, bisalah. Udah diatur sama Tuhan," Aku pun menceritakan semuanya. Walaupun awalnya nggak mua cerita, tapi karena ia sudah tahu jadi mau tak mau harus ku cerita. Ia mengangguk saat mendengar ceritaku. "Trus, kamu tahu dari mana?" tanyaku. "Rian yang cerita ke aku, kalau kamu yang membawa Renata ke rumah," "Emang kapan kami bertemu dia?" "Kemarin. Dia, minta tolong aku bantuin dia," "Trus kamu mau?" "Iya. Aku berikan solusi, dan mungkin itu sangat membantunya," "Oh begitu," aku mengangguk mengerti. "Lain kali, kalau ada apa -apa gini bilangin ke aku ya? jangan kamu diam aja. Nanti kalau ada masalah kamu
Cafe pemilihan Aina ini, sangat tertutup sangat tenang dan tak terlalu banyak pengunjung, siang hari begini. Mungkin saja, harga yang terbilang tinggi. "Silakan pesan Ton. Sesuai perkataan ku tadi, aku yang mentraktir kalian berdua," "Jangan bu, kan saya yang ngajak. Biarkan saya yang bayar," "Bener kamu mau bayar?" tanya ku, meyakinkan. Ia terlihat gugup, saat melihat harga menu makanan yang ada disini, terlihat dari dirinya yang sudah basah karena keringat. Padahal disini, ada Ace. "Iya mbak," "Wow, padahal disini mahal loh Ton. Ini, kamu lihat, minum aja udah habis tiga ratus ribu. Apalagi, makanan. Yakin kamu mau bayar?" tanya Aina, sembari menunjukan minuman yang ada di buku menu. "Iya bu," jawabnya, sedikit gugup. "Ya udah, kalau kamu tetap bersikeras," Kami memilih makanan. Karena aku, yang sudah kenyang, jadi hanya memesan cake. Selain simpel, harga nya juga lumayan murah. Biar nggak banyak Anton bayar. Sama dengan ku, Aina juga memesan cake. Setelah selesai memesan, p
"Bu.. Bu Aina?" ujarnya, terbata - bata, dan keringat dingin saat menatap Aina. Apa dia kenal Aina? sehingga, ketakutan terlihat jelas di wajahnya. "Lakukan sesuatu mas, mereka belum tahu seberapa hebatnya kamu!" hardik Ririn, yang masi merengek pada suaminya. Pria tua itu, diam saja. Dan Aina melirik Ririn dengan penuh emosi. "Lihat! ponselku yang mahal ini dibanting, ayo mas lakukan sesuatu pada mereka!" "Diam!" bentak pria tua itu. "Mas.. kamu membentak ku?" "Minta maaf cepat pada bu Aina," "Aku minta maaf? seharusnya dia yang minta maaf! dia sudah menamparku dan membanting ponselku! Wanita tak tahu diri ini, pantas mendapatkan tamparan dari ku," pungkasnya, yang hendak melayangkan tamparan pada Aina. Segera pria itu, menahan. "Lepaskan aku mas, aku harus memberi dia pelajaran!" "Hey! ada apa ini? kenapa ribut - ribut disini!" satpam, datang menghentikan kami. Para pengunjung di cafe ini, yang tengah menikmati makanan mereka tak lepas memandangi kami sedari tadi. Bisik - bi
Dritt...Dritt..Ponsel ku berdering, saat aku sedang meeting dengan manager di salah satu perusahan produksi yang cukup terkenal di kota ini. Kami akan membahas kerja sama antara perusahan mereka dan toko ku. Deringan ponsel terus saja berbunyi, dan Nama mertuaku terlintas di layar ponsel. Aku berusaha tak mengangkat, tapi hati ini seakan berbisik untuk angkat telpon nya. Apalagi, mama Lina jarang meneleponku pada jam kerja. Paling di sore atau malam hari saat aku Free. gegas aku mengangkat panggilan nya. "Hallo ma, ad-" "Sayang, kamu dimana sekarang?" sambar mertuaku, di ujung sana. Terdengar, suaranya begitu panik, sambil menahan tangis. "Aku lagi meeting ma, ada apa ma? apa ada sesuatu yang terjadi pada mama?" "Bisa ke rumah sakit sekarang?" bukanya menjawab pertanyaanku, mama malah bertanya balik, dengan isakan yang kini sudah aku dengar jelas. Tiba - tiba, saja perasaanku tak enak. "Mama kenapa menangis? mama sakit?" "Bukan mama sayang, tapi suamimu. Ia kecelakaan mobil, m
"Kamu sudah makan, Nak?" tanya papa Bondan, kepadaku. Seharusnya sih sudah, tapi karena mendengar berita ini saat mama telpon, aku tak lupa untuk makan. Bahkan, rasa lapar sudah menghilang begitu saja. "Belum pa," jawabku, dengan menggelengkan kepala. "Maaf ya sayang, tadi mama menganggu kamu. Mama panik, dan dipikiran mama cuma kamu orang yang harus mama telpon dan beri tahu," "Nggak ma, mama nggak ganggu kok. Malahan aku senang, mama menghubungi aku terlebih dahulu," "Udah, aku pesan makanan, buat mama dan Nela. Tenang, ini kesukaan mama sama Nela, timpal Kak Vela, sambil tersenyum. "Papa udah makan? kak Vela udah makan?" tanyaku. "Papa sudah. Tadi, papa sama aku makan bersama."Tadi papa ajak mama, Vel. Cuma mama masih ada urusan di kampusnya Nanda." Pungkas mama."Iya, ma. Uda tahu." Saat sedang ngobrol, pintu rawat dibuka. Dokter keluar dari kamar itu, lalu menghampiri kami."Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya papa, ketika dokter sudah berada di luar."Bapak, ibu dan
"Sayang, kamu pulang aja. istirahat, kasihan Dania yang sudah menunggu dari tadi," ujar mama, saat aku selesai makan. "Tapi ma, aku tak tega meninggalkan Robi yang, belum sadarkan diri," jawabku. "Mama aja yang jaga. Jugaan, sebentar bi Imah juga gantian jagain Robi. Pulanglah sayang, kamu kembali kesini besok saja," "Tapi ma," "Nanti papa temani mama disini," timpal papa.."Jangan. Nanti papa sakit, apalagi nanti asam urat papa kambuh," "Bener kata mama pa, takutnya penyakit papa kamuh lagi. Nanti, aku bilangin Nanda kesini temani mama. Papa, pulang aja." Ujar kak Vela. "Baiklah. Nanti bi Imah, dateng bantuin mama jaga. Nela, pulang ya nak. Besok, kamu datang lagi kesini," pungkas papa. Aku terpakasa menerima, karena ada Dania juga yang membutuhkan ku disana. Besok pagi, aku akan kembali lagi kesini. Tak lama, Nanda datang dengan wajah seduh. "Kaka kenapa? Kok bisa, begini ma?" Tanya gadis cantik itu, tanpa basa - basi. "Masuk tuh, salam kek," hardik kak Vela. Tanpa menggu
"Apa, yang dokter lakukan?" tanyaku, dengan intonasi tinggi sembari menghempas tangannya yang sudah berada di rambut ku. Sumpah! aku sangat takut dan gemetar. Ia tersenyum sinis, saat mendengar ucapanku barusan. "Jangan sentuh aku!" Hardik ku, saat dirinya hendak menyentuh tubuh ku. "Jangan berpura - pura, munafik seperti itu. Aku tahu, kamu menginginkan." Pungkasnya, yang membuat aku tak mengerti. "Apa maksud mu? jangan sekali - kali, anda menyentuh aku. Jika anda menyentuh, aku akan teriak!" "Silakan saja. Silakan teriak! ruangan ini kedap suara," Keringat dingin mulai menjalari tubuhku. "Apa kamu bisa, bertahan bersama pria lumpuh ini? yang tak akan memuaskan hasrat mu?" timpalnya lagi. Kini aku benar - benar syok mendengar tuturan nya. Aku tahu maksutnya. "Ya, aku bisa. Silakan anda pergi dari sini!" "Ahahaha. Jangan bohong kamu. Kamu masi cantik, seksi, masa tak mau mencari kepuasan di luar? ehm, aku bisa memuaskan kamu, cantik." Ujarnya, sambil membelai pipiku. Segera aku
Aku memutarkan rekaman yang sudah aku rekam sedari tadi. Tampak sekali, dokter itu syok. Matanya membulat ke arahku. Mama menatapnya, dengan tatapan tajam. Dengan napas yang memburuh. PLAK... Tamparan keras, mendarat pepat di pipinya. Tamparan mama, kini lebih keras. Aku tersenyum sinis. 'Kamu salah memilih orang.' Batinku. "Kamu, sudah melecehkan menantu saya. Dan gilanya lagi, di depan suaminya yang tengah terbaring leman seperti ini!" teriak mama. Nanda terus saja memeluk ku."Kurang ajar kamu! kamu yang sudah gila, bukan menantu saya! kamu sudah memfitnahnya!" Dokter Adit, yah itu nama dokter yang hampir melecehkan ku tadi. Ia hanya tertunduk. "Sini! ikut saya!" mama menarik, jasnya dengan kasar. Dan lucunya, ia hanya ikut saja tanpa berontak. "Kaka nggak apa - apa?" tanya Nanda. "Nggak Nan, ini udah kali kedua salam sehari dia mau melecehkan kaka. Tapi, sayangnya itu tak berhasil." "Syukurlah kak. Aku lega dengarnya, kaka nggaK apa - apa. Ayok, kita ikut mama lihat dokt
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m