"Sayang, kamu pulang aja. istirahat, kasihan Dania yang sudah menunggu dari tadi," ujar mama, saat aku selesai makan. "Tapi ma, aku tak tega meninggalkan Robi yang, belum sadarkan diri," jawabku. "Mama aja yang jaga. Jugaan, sebentar bi Imah juga gantian jagain Robi. Pulanglah sayang, kamu kembali kesini besok saja," "Tapi ma," "Nanti papa temani mama disini," timpal papa.."Jangan. Nanti papa sakit, apalagi nanti asam urat papa kambuh," "Bener kata mama pa, takutnya penyakit papa kamuh lagi. Nanti, aku bilangin Nanda kesini temani mama. Papa, pulang aja." Ujar kak Vela. "Baiklah. Nanti bi Imah, dateng bantuin mama jaga. Nela, pulang ya nak. Besok, kamu datang lagi kesini," pungkas papa. Aku terpakasa menerima, karena ada Dania juga yang membutuhkan ku disana. Besok pagi, aku akan kembali lagi kesini. Tak lama, Nanda datang dengan wajah seduh. "Kaka kenapa? Kok bisa, begini ma?" Tanya gadis cantik itu, tanpa basa - basi. "Masuk tuh, salam kek," hardik kak Vela. Tanpa menggu
"Apa, yang dokter lakukan?" tanyaku, dengan intonasi tinggi sembari menghempas tangannya yang sudah berada di rambut ku. Sumpah! aku sangat takut dan gemetar. Ia tersenyum sinis, saat mendengar ucapanku barusan. "Jangan sentuh aku!" Hardik ku, saat dirinya hendak menyentuh tubuh ku. "Jangan berpura - pura, munafik seperti itu. Aku tahu, kamu menginginkan." Pungkasnya, yang membuat aku tak mengerti. "Apa maksud mu? jangan sekali - kali, anda menyentuh aku. Jika anda menyentuh, aku akan teriak!" "Silakan saja. Silakan teriak! ruangan ini kedap suara," Keringat dingin mulai menjalari tubuhku. "Apa kamu bisa, bertahan bersama pria lumpuh ini? yang tak akan memuaskan hasrat mu?" timpalnya lagi. Kini aku benar - benar syok mendengar tuturan nya. Aku tahu maksutnya. "Ya, aku bisa. Silakan anda pergi dari sini!" "Ahahaha. Jangan bohong kamu. Kamu masi cantik, seksi, masa tak mau mencari kepuasan di luar? ehm, aku bisa memuaskan kamu, cantik." Ujarnya, sambil membelai pipiku. Segera aku
Aku memutarkan rekaman yang sudah aku rekam sedari tadi. Tampak sekali, dokter itu syok. Matanya membulat ke arahku. Mama menatapnya, dengan tatapan tajam. Dengan napas yang memburuh. PLAK... Tamparan keras, mendarat pepat di pipinya. Tamparan mama, kini lebih keras. Aku tersenyum sinis. 'Kamu salah memilih orang.' Batinku. "Kamu, sudah melecehkan menantu saya. Dan gilanya lagi, di depan suaminya yang tengah terbaring leman seperti ini!" teriak mama. Nanda terus saja memeluk ku."Kurang ajar kamu! kamu yang sudah gila, bukan menantu saya! kamu sudah memfitnahnya!" Dokter Adit, yah itu nama dokter yang hampir melecehkan ku tadi. Ia hanya tertunduk. "Sini! ikut saya!" mama menarik, jasnya dengan kasar. Dan lucunya, ia hanya ikut saja tanpa berontak. "Kaka nggak apa - apa?" tanya Nanda. "Nggak Nan, ini udah kali kedua salam sehari dia mau melecehkan kaka. Tapi, sayangnya itu tak berhasil." "Syukurlah kak. Aku lega dengarnya, kaka nggaK apa - apa. Ayok, kita ikut mama lihat dokt
Aku segera membuka link yang dikirim Aina, melalui aplikasi hijau..Mataku membelak sempurna, saat melihat vidio yang di unggah....'Kurang ajar!!' Dadaku bergemuruh hebat. Emosi, mulai menguasai diriku. "Kenapa sayang? Kok wajahnya begitu?" Tukas mama, mengagetkan ku. "Vidio apa itu?" tanya mama lagi, yang sudah ikut melihat ke layar ponselku. Terpaksa, aku menunjukan vidio yang tengah viral itu kepada mama. Terlihat, wajah cantik mama berkerut. Lalu, matanya membulat sempurna. "Apaan ini?! kenapa meraka, Playing Victim begini?" ujar mama. Sama dengan ku, beliau juga geram. Siapa yang tidak emosi, di dalam vidio itu terdapat, dokter Adit memberi pengakuan kalau dirinya di fitnah. Dan perlakuan kasar mama, yang menarik kerah baju dokter Adit hingga ke depan, terekam oleh kamera Cctv. Berita tersebut, mengatakan kalau mama dikatakan g i l a, karena marah - marah tak jelas. Lalu, dokter Firma, yang polos di depan kami tadi, ternyata ikut terlibat dalam kasus ini. Ia membela, dokte
"kamu kenal dia, sayang?" Bisik mama pada kak Vela, yang di respon dengan anggukan. "Kamu ngapain, disini Vel?" tanya Vanesa, yang langsung menatap ke arah mama dan aku. "Ada perlu. Kamu sendiri?" "Aku ngikut teman. Ini siapa nya kamu?" "Ini mama ku, ini papa ku, dan ini adik ipar aku." Jawab kak Vela, seraya menunjukan kami satu persatu. "Jadi, itu keluarga kamu Vel?" tanya dokter Vanesa, yang mungkin tak percaya. "Iya, ini keluargaku. Tunggu, bukanya, itu rumah sakit tempat kamu kerja?" "Iya, aku kerja di rumah sakit itu," "Berarti, kamu mengantar teman mu yang maksut itu Dokter Adit?" "Iya," "Siapa yang membuat, berita sembarang ini?" tanya kak Vela, sembari menunjukan berita yang tengah terputar di ponsel nya.Dokter Vanesa, menoleh sekilas ke arah dokter Firman, yang tengah kebingungan. Terlihat, dirinya sudah ketakutan. Sepertinya, dia tahu kalau keluarga kak Vela berpengaruh besar di kota ini. "Ma..maaf, Ka..Kam-" ujarnya, dengan terbata - bata, yang di potong cepat
Setelah sampai di rumah sakit, aku melihat wanita cantik yang tengah duduk di ruang tunggu, sembari sibuk dengan ponselnya. Ia memangku paper bag warana putih. Siapa lagi, kalau bukan sahabat tercantik ku itu. Aina. Lalu, aku menghampiri dirinya. "Udah lama, tunggu nya?" Tanyaku, pada Aina yang sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit."Iya lama. Tapi, nggak apa - apa. Hehehe," Jawabnya sambil terkekeh. "Macet, banget." "Iya.. iya, tahu." Kami berdua pun, jalan beriringan menuju kamar rawat Robi. "Sorry ya, aku baru sempat besuk. Kemarin - kemari, aku sibuk di toko." Ujarnya. "Iya nggak apa - apa, ibu pengusaha!" Candaku, yang diikuti tawanya. "Gimana keadaan Robi?" "Sekarang, udah siuman. Doakan aja, semoga lekas membaik." "Syukurlah," Aku menceritakan perihal masalah yang di deritas Robi, yaitu lumpuh sementara. Lalu, perihal pelecehan itu, sambil membuka kan rekaman audio itu pada Aina. "Apa?! Kok bisa? Sekarang gimana?" "Yah, begitulah. Aku juga, nggak habis pikir. Sek
Insiden dengan dokter Adit tempo hari telah usai. Ia di tahan dan di penjarakan atas kasus pelecehan dan pencemaran nama baik. Setelah mengklarifikasi masalah tersebut, ia meminta maaf kepada aku dan mama serta keluarga kami. Untuk dokter Firman dan Dokter Vanesa sendiri, sudah di tangani oleh pimpinan rumah sakit, tempat mereka bekerja. Pimpinan rumah sakit itu salah satu kerabat papa Bondan. Aku tak tahu lagi, bagaimana nasib mereka selanjutnya. Yang jelas, masalah ini sudah selesai. Satu minggu setelahnya, Robi mengetahui kejadian ini. Ia bertanya kepada aku dan mama Lina, mengenai masalah ini yang kebetulan mama Lina sedang berada di rumah kami. Awalnya, aku hendak menyangkal tapi, wajah mama dan aku sangat jelas terpampang di video itu. Yah, walaupun agak sedikit kabur, tapi itu sangat jelas jika orang yang mengenal mama dan diriku melihat video itu. Mau sembunyi bagaimana pun, ia akan tetap tahu. Apalagi, jejak digital yang belum sepenuhnya terhapus pada dunia maya itu. Apalagi
Mumpung suami di luar negri, jadi hari ini aku akan ke toko untuk mengecek kemajuan toko belakangan ini, selama diriku di rumah. Setelah selesai dari toko, aku tak langsung pulang melainkan singah sebentar di toko bangunan Aina, untuk menjemput dirinya lalu makan siang bersama. "Hay Nel, ayok sini." Panggilnya, saat aku sudah berada di dalam ruangan kerja miliknya di toko bangunan tersebut. Aku mengamati sekitar, ternyata siang begini pelanggan nya banyak sekali. "Banyak banget ya, pelanggan mu?" "Iya, sore lebih ramai. Bahkan sampai aku turun tangan." jawabnya, yang masi fokus di komputer. "Kamu masi sibuk?" "Nggak kok, ini udah selesai." Jawabnya. Setelah berkemas di meja kerja, Aina langusung menarik tanganku untuk segera berangkat. "Mbak Nela!" Teriak sesorang memangilku, dengan suara yang sangat familiar. Siapa lagi kalau bukan Anton. "Eh, Anton." Sapa ku, yang melihat pria itu berjalan mendekat ke arah kami. "Mau ikut, Ton?" Tanya Aina, yang segera pria di depan kami ini
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m