Selama perjalanan pulang, kami hanya diam saja, larut dalam pikiran masing - masing. Bunyi ponselnya mencairkan suasana. "Iya ma, kita udah di jalan mau pulang," ...."Iya ma, kerumah aja kalau mau jenguk Nela." Lalu ponsel pun dimatikan. "Mama yang telpon?" "Iya, mama nanya keadaan kamu, mama mau ke rumah sakit jenguk kamu, tapi udah ku bilang," "Oh oke," Mobil sampai di rumah, segera aku turun. Robi mulai menceramahi ku karena dia tahu aktivitas di toko tadi. Menyebalkan sekali! Padahal tadi itu karena mungkin aku kurang istirahat. Robi terus menceramahi ku, saat sudah di rumah. Apalagi aku yang mengatakan ada kedatangan Alika kemarin. Ia terus saja mengintrogasi ku, dan berujung pertengkaran. Selama membina rumah tangga dengan nya, baru kali ini kami bertengkar. "Tadi Alika ke toko," kataku, yang masi duduk di sofa ruang tamu."Alika? Alika yang nyaris menikah dengan Dimas itu?" Aku mengangguk."Kenapa dia ke toko?" tanya nya, sedikit binggung. "Dia minta maaf kepadaku dan
Sudah hampir memasuki satu bulan ini, aku tidak lagi ke toko. Hanya mengontrol dan memantau secara online, sesekali Robi yang mengambil ahli di toko, entah itu toko sembako dan toko kue."Sayang, ingat makan, minum obat dan istirahat yang cukup," tukas nya, mengingatkan ku. "Siap bos. Ohiya, kamu ke toko atau nggak?" "Nggak. Besok aku ke toko. Kenapa?" "Ehm, aku lagi pengen makan roti di toko," "Entar siang aku antar ke toko mau?" "Kamu nggak sibu?" "Untuk orang yang aku cinta, nggak akan sibuk!" "Idih! gombal," "Biarin. Gombal istri sendiri, kecuali aku gombal satpam komplek," aku hanya tertawa melihat dirinya. "Gimana mau nggak?" tanya nya lagi, setelah melihat diri ku yang hanya merespon dengan tawa. "Mau dong, mau banget!" "Tapi ingat, kamu nggak boleh kerja. Cuma makan aja, abis itu kita pulang." "Siap sayang," nggak apa - apa, intinya aku bisa melepas rindu di toko kue ku. Kalau aku munta cuma main aja, pasti dia nggak akan percaya. Harus dia yang awasi aku. Huh! men
P O V Robi. Begitu dapat telpon dari Bi Ijah, aku segera menuju ke rumah sakit, belum sempat bertanya penyebabnya apa, bi Ijah sudah mematikan telpon. Sepertinya wanita paruh baya itu juga sangat panik. Dengan kecepatan tinggi, aku melajukan mobil hingga sampai ke parkiran rumah sakit. Drittt....Drittt....Telpon ku berdering. Aku mengangkat telpon yang ternyata dari mama. "Hallo ma?" "Hallo sayang, kok rumah sepi? mama sama Nanda ada di rumah kalian, mau ngantar oleh - oleh, Nela mana?" ujar mama di ujung sana. Aku yang tengah berlari kecil, tak menjawab apa yang di tanyakan mama. "Robi? kamu kenapa? kamu di kantor? kenapa ngos-ngosan gitu?" tanya mama lagi."Aku di rumah sakit ma, Kar- " "Siapa sakit? apa Nela yang sakit? rumah sakit mana?" cecer mama, memotong ucapan ku. "Nela ma, aku baru dapat telpon tadi dari bi Ijah, lalu buru - buru ke rumah sakit" "Mama kesana ya, kirim alamat rumah sakit nya," "Iya ma, aku share lock," Tut! Aku mengirimkan alamat rumah sakit kep
P O V RobiTak tenang hatiku melihat orang yang aku cintai harus terbaring lemah. "Aku harus segera cari tahu!" ujar ku, sambil bangkit. "Tunggu dulu," Mama menarik tangan ku, untuk tetap duduk disamping nya. "Aku titip Nela ya ma," "Robi! mama bilang duduk!" "Aku nggak tenang ma, aku harus tahu siapa pelaku nya, aku akan periksa cctv. lalu, aku akan cepat balik lagi kesini." "Udah lah ma, kasian kaka nggak tenang. Kan ada kita disini. Nanti kan ada juga orang tua kak Nela," sahut Nanda, yang ikut membantu aku menyakinkan mama. "Sebentar lagi, orang tuanya sampai. Bagaimana jika mereka melihat kamu nggak ada?" "Tinggal mama, bilang yang sebenarnya," "Kamu yah, kalau dibilang selalu membantah. Kamu nggak dengar tadi dokter bilang apa? dan kamu nggak mau dengar hasil nya gimana?" Terpaksa aku kembali duduk, menunggu hasil operasi sambil berdoa. Selang beberapa jam, operasi itu tak kunjung usai. Aku semakin gugup. "Mbak Lin!" panggil mama Nisa - mama nya Nela- sambil berlari.
P O V Robi. Setelah sampai di rumah, aku segera memeriksa rekaman Cctv. "Tuan, minum dulu." Ujar bi Ijah, sambil menyerahkan segelas air putih kepada ku. "Terima kasih bi," segera ku ambil, lalu ku tekuk hingga tandas. Memang sedari tadi, aku sangat haus dan belum ada apa - apa yang masuk. Ku amati rekaman Cctv. Rekaman mulai berputar dari pagi hingga kejadian. Nela yang sedang menata bunga tiba - tiba, dihampiri oleh seorang wanita tua. Aku tak mengenali wanita itu. Lalu, datang seorang pria, yang tak asing lagi bagiku. Ku amati lebih dekat dan ternyata benar, dialah orangnya. Tangan ku mulai mengepal, menahan emosi. Ternyata itu wanita tua itu ibunya, mereka datang bersama untuk melabrak istriku. Tak menunggu lama, aku segera menyalin rekaman itu, lalu segera pergi. "Bi, jaga rumah ya. Aku mau pergi dulu, kalau ada apa - apa, segera kabari." "Baik tuan," "Ehm, ini untuk bibi. Terima kasih, bi Ijah udah dengan sabar menunggu di rumah sakit," aku menyerahkan tiga uang merah kepa
Aku terbangun, menatap langit - langit kamar yang asing. Aku berusaha mengingat, apa yabg terjadi, tapi kepalaku begitu berat. Yang ada dalam benak adalah 'suami' ku. Aku sangat merindukan dia. Serasa sudah lama tak menatap wajah tampan dan teduh suamiku itu. Yang aku lihat pertama adalah mama Lina dan Nanda. "Bi," panggil ku pelan, berharap dia datang. "Ma, kak Nela udah sadar." Itulah suara yang kudengar. Suara Nanda yang memangil mama. "Sayang, kamu udah sadar nak?" tanya mama, sambil menghampiriku. Aku hanya mengangguk, berat untuk menjawab. Tubuh terasa lemas, sehingga aku meras sakit pada seluruh tubuhku. Terlebih perut. Sontak aku memegang perutku yang tak membuncit lagi. "Ma, di mana bayi ku? kenapa perutku sudah mengecil?""Sayang, kamu tenang dulu." "Kenapa aku tak mengingat apa - apa?" aku mulai terisak. "Sayang.." mama Lina memeluk ku. "Mama. Dimana anak ku? apa ada terjadi hal buruk kepadaku?" "Tidak! cucu mama ada di kamar sebelah, lagi tidur." Jawab mama. Aku m
Setelah lebih dari lima hari dirawat di rumah sakit, akhirnya aku pulang ke rumah bersama putri ku, atas seizin dokter. "Obat nya, jangan lupa diminum ya bu," ujar salah satu perawat, sambil menatap ke arahku. Aku hanya tersenyum menangkapi. Mobil Papa Bonda, sudah menunggu kami, dan siap untuk melaju. Di dalam mobil, ada mama Lina dan papa Bondan. Karena kedua orang tuaku, menunggu kami di rumah. Setelah lumayan lama di perjalanan, akhirnya kami tiba juga di rumah. Mama dan papa siap menyambut kedatangan kami. Dania Larasati Maharani. Itulah nama putri kami. Atas kesepakatan bersama kedua keluarga, putri kami diberi nama Dania Larasati Maharani. Mama segera mengambil ahli mengendong Dania, dari genggaman mama Lina. "Cucuku, cantik banget kamu." "Ayok masuk," Para bapak - bapak lagi duduk bercengkerama, di ruang tengah. Sedangkan para ibu - ibu, lagi asyik bermain bersama si dede manis ini. Karena merasa haus, aku segera beranjak ke dapur untuk mengambil minum. "Mau kemana nak?"
Setelah Dani selesai ASI, ia pu tertidur pulas. Ah, wajah cantik itu tak jenuh - jenuh aku menatapnya. Saat hendak menidurkan Dania, agar aku bisa melanjutkan pekerjaan ku dari rumah, tiba - tiba terdengar ketokan pintu kamar. Tok tok..."Non, non!" Teriak bi Ijah, sambil mengetuk pintu kamar. Aku yang sedang meniduri Dania, segera buru - buru keluar. Untung Dania tak terbangun oleh teriakan bi Ijah. "Ada apa bi?" Tanya ku, sambil membuka pintu kamar. Wajah bi Ijah memucat. "Itu non, diluar.." bi Ijah, blak - blakan mengatakan nya. "Kenapa bi? Ada apa diluar?" tanya ku, dengan kening berkerut. Jujur, aku juga sedikit terkejut."Ada dua orang, yang datang nyari non sama tuan, sambil marah - marah. Dia ingin bertemu non. Sudah bibi katakan non nggak bisa di ganggu, dan tuan nggak ada di rumah. Tapi mereka ngotot, ingin bertemu," "Siapa? ""Saya Nggak tahu non, dua orang perempuan. Satunya sudah tua, satunya masi muda." Jawab bi Ijah. "Ya sudah, saya ke depan dulu temuin mereka. B
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m