Bab 64Alika hanya menangis gemetaran saat Farah yang terus memarahi nya. Aku masuk mobil Bersama Robi lalu segera pergi dari situ. Ketika mobil hendak pergi, tiba – tiba terdengar suara dentuman keras dari luar yang membuat aku dan Robi kaget.“Apa itu yang?” tanya ku, dengan wajah terkejut.“Nggak tahu, bukan urusan kita.” Jawabnya, yang hendak melajukan mobil. “MAMA!” Teriak seorang anak kecil, sambil berlari, melewati mobil kami. Sontak, Robi ngerem secara mendadak. Karena merasa penasaran, akhirnya aku segera turun, Robi sempat menahan ku tapi aku bersikeras untuk keluar. Heheheh! terpaksa ia pun turun dari mobil. Betapa kaget nya aku, saat melihat pemandangan di depan mata. Farah yang sudah terkapar dengan dahi yang berlumuran darah.“Aw,” Farah, yang sedang meringis berusaha untuk bangkit. Karena murka, sontak ia menampar Alika. "Dasar pelakor tak tahu diri!" "Cukup! apaan kamu ini, jangan sakit Dia. Mending kamu pergi dari sini! atau mau aku melakukan kekerasan lagi, sepert
Ting! Satu pesan masuk di gawaiku, dari mas Dimas. Aku tersenyum lalu membuka isi pesan nya. [Sayang, besok jadi kan makan siang nya, bareng keluarga ku?] [Jadi dong sayang,] balasku. [Boleh nggak, tempatnya aku yang pilih?] [Yah, tapi aku udah booking di resort Hiro beach, Gimana dong,] Lima menit tak ada balasan. [Sayang, barusan aku cek tempat yang kamu pilih itu, tapi mahal banget, aku belum punya cukup uang,] balasan dari Mas Dimas. Aku tersenyum kecil. Padahal semuanya sudah aku bayar dari tempat sampai menu makanan utama. Aku tak mengapa jika ia tak memiliki uang yang cukup. Toh, aku juga punya uang dan tabungan yang lumayan banyak, karen aku bekerja di salah satu perusahan terkenal dan gajinya tidak main - main. [Sayang, semuanya sudah aku bayar. Kamu, ibu sama Ririn, jangan pikirkan hal itu.] [Makasih sayang, maaf belum bisa buat kamu bahagia,] [Bersama kami aja, aku udah bahagia mas,] [🥰🥰] aku hanya tersenyum melihat emoticon balasan dari mas Dimas. Ah, rasanya
P o v Alika. Setelah kejadian memalukan di resort, aku memutuskan untuk meninggalkan mas Dimas. Tega sekali dia membohongi ku. Tiba - tiba, aku tersadar dengan perkataan mbak Nela saat itu. Ah, rasa malu menyelimuti diriku. Coba saja waktu itu aku percaya, karena dilihat dari wajah ibu dan mas Dimas sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan b o d o h nya aku, mempercayai semua itu. Tapi, kalau apa yang di katakan ibu itu salah, berarti siapa mbak Nela itu? kenapa dia sangat mengetahui keluarga mas Dimas? Karena merasa tak puas dan penasaran, aku pun memutuskan untuk bertemu langsung ke rumahnya, aku sudah izin bos ku untuk libur satu hari, pikiran ku kacau, saat kejadian kemarin. Mbak Nela Pasti ada di rumah, secara mbak Nela kan cuma ibu rumah tangga. Aku bergegas menyiapkan diri dan langsung berangkat ke rumah mbak Nela. Sesampainya di sana, rumah terlihat sepi. Aku mencoba menekan bel yang ada di pintu, dua tiga kali tapi tak ada yang menjawab. Apa dia keluar ya, tapi
"Permisi bu bos, ada yang nyariin ibu di depan," ujar Lili, yang datang menghampiriku, yang sedang turun ke dapur produksi, mengamati pembuatan varian baru, yang akan di expor ke luar kota. "Siapa?" bingung sendiri. Perasaan, aku tak ada janji terhadap siapa pun. "Nggak tahu bu, cewek. Saya juga baru baru lihat muka nya," "Kamu tolong, hubungi toko Dua untuk segera kirimkan bahan - bahan yang sudah saya pesan kan kemarin," kataku pada Lili. Toko Dua, adalah toko sembako milik ku. "Baik bu," Aku pun segera keluar, dan menghampiri tamu yang dimaksud. Wanita itu segera bangkit, saat melihat kedatangan ku. "Mbak Nela," sapa nya, sambil tersenyum. Tapi ada raut ketegangan disana. "Silakan duduk," "Tadi saya kerumah mbak, tapi bibi nya bilang mbak di toko. Jadi saya kesini," jelasnya. "Oh. Ada apa?" tanyaku to the point. Masi banyak pekerja, yang harus aku kerjakan hari ini juga. Karena hari ini banyak pesanan, aku tak sadar kalau belum makan siang. "Mbak, sebelumnya aku minta maa
P O V Robi. Aku masi saja memikirkan Nela, soal insiden di resort tempo hari. Aku tak mau ia pikiran yang ujung - ujung nya menggangu kehamilan nya. Hari ini perasaan ku sangat tak enak, sudah ku suruh ia beristirahat saja di rumah, karena usia kandungan nya yang sebentar lagi akan memasuki sembilan bulan. Mungkin bagi orang - orang ini biasa saja, tapi bagi ku tidak. Aku harus terus mengantisipasi terhadap dirinya. Tadi pagi, sebelum ke toko ia sudah mengeluh kepala nya yg sedikit pusing, aku menyuruh istirahat saja di rumah, dia yang keras kepala tak mau menuruti karena katanya, toko mereka akan melaunching menu baru dengan berbagi Varian dan itu sudah di pesan oleh beberapa perusahaan pangan di luar kota. Saat sedang mengurus berkas- berkas untuk meeting, tiba - tiba ada panggilan masuk dari gawaiku. DRRRITTDRRRITT Ku usap layar, ternyata dari Aina. Tumben. "Hallo Na?" "Hallo Robi, Nela pingsan. Kondisinya lemah, aku akan membawa dia ke rumah sakit. Segera kesana!" ujarnya,
Selama perjalanan pulang, kami hanya diam saja, larut dalam pikiran masing - masing. Bunyi ponselnya mencairkan suasana. "Iya ma, kita udah di jalan mau pulang," ...."Iya ma, kerumah aja kalau mau jenguk Nela." Lalu ponsel pun dimatikan. "Mama yang telpon?" "Iya, mama nanya keadaan kamu, mama mau ke rumah sakit jenguk kamu, tapi udah ku bilang," "Oh oke," Mobil sampai di rumah, segera aku turun. Robi mulai menceramahi ku karena dia tahu aktivitas di toko tadi. Menyebalkan sekali! Padahal tadi itu karena mungkin aku kurang istirahat. Robi terus menceramahi ku, saat sudah di rumah. Apalagi aku yang mengatakan ada kedatangan Alika kemarin. Ia terus saja mengintrogasi ku, dan berujung pertengkaran. Selama membina rumah tangga dengan nya, baru kali ini kami bertengkar. "Tadi Alika ke toko," kataku, yang masi duduk di sofa ruang tamu."Alika? Alika yang nyaris menikah dengan Dimas itu?" Aku mengangguk."Kenapa dia ke toko?" tanya nya, sedikit binggung. "Dia minta maaf kepadaku dan
Sudah hampir memasuki satu bulan ini, aku tidak lagi ke toko. Hanya mengontrol dan memantau secara online, sesekali Robi yang mengambil ahli di toko, entah itu toko sembako dan toko kue."Sayang, ingat makan, minum obat dan istirahat yang cukup," tukas nya, mengingatkan ku. "Siap bos. Ohiya, kamu ke toko atau nggak?" "Nggak. Besok aku ke toko. Kenapa?" "Ehm, aku lagi pengen makan roti di toko," "Entar siang aku antar ke toko mau?" "Kamu nggak sibu?" "Untuk orang yang aku cinta, nggak akan sibuk!" "Idih! gombal," "Biarin. Gombal istri sendiri, kecuali aku gombal satpam komplek," aku hanya tertawa melihat dirinya. "Gimana mau nggak?" tanya nya lagi, setelah melihat diri ku yang hanya merespon dengan tawa. "Mau dong, mau banget!" "Tapi ingat, kamu nggak boleh kerja. Cuma makan aja, abis itu kita pulang." "Siap sayang," nggak apa - apa, intinya aku bisa melepas rindu di toko kue ku. Kalau aku munta cuma main aja, pasti dia nggak akan percaya. Harus dia yang awasi aku. Huh! men
P O V Robi. Begitu dapat telpon dari Bi Ijah, aku segera menuju ke rumah sakit, belum sempat bertanya penyebabnya apa, bi Ijah sudah mematikan telpon. Sepertinya wanita paruh baya itu juga sangat panik. Dengan kecepatan tinggi, aku melajukan mobil hingga sampai ke parkiran rumah sakit. Drittt....Drittt....Telpon ku berdering. Aku mengangkat telpon yang ternyata dari mama. "Hallo ma?" "Hallo sayang, kok rumah sepi? mama sama Nanda ada di rumah kalian, mau ngantar oleh - oleh, Nela mana?" ujar mama di ujung sana. Aku yang tengah berlari kecil, tak menjawab apa yang di tanyakan mama. "Robi? kamu kenapa? kamu di kantor? kenapa ngos-ngosan gitu?" tanya mama lagi."Aku di rumah sakit ma, Kar- " "Siapa sakit? apa Nela yang sakit? rumah sakit mana?" cecer mama, memotong ucapan ku. "Nela ma, aku baru dapat telpon tadi dari bi Ijah, lalu buru - buru ke rumah sakit" "Mama kesana ya, kirim alamat rumah sakit nya," "Iya ma, aku share lock," Tut! Aku mengirimkan alamat rumah sakit kep
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m