Kulihat Desty tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan dari Mas Surya. Dia yang sudah melakukan semua hal gila di dalam hidup hanya untuk mendapatkan Mas Janu kembali, tentu saja tidak akan semudah itu terkejut dengan hal seperti ini.
Tapi, hal berbeda jelas terlihat di wajah Mas Janu. Pria itu bak memakan buah simalakama; pucat seperti mayat. Meski dia sendiri pernah menebaknya.
Sesaat, aku bingung harus bagaimana mengambil tindakan. Melihat Mas Surya yang berdiri begitu tegap di depanku, pasti dia sudah mengambil banyak risiko sebelum melakukan hal ini.
“Benar, Mas ... aku akan menikahi Mas Surya segera!” akuku dengan intonasi yang lebih lantang.
Begitulah semuanya menjadi rumit. Mas Janu menekan keningnya yang kuyakin berdenyut hebat.
Sedang di lain kesempatan, Mas Surya malah berbalik ke arahku. Dia tidak percaya akan ucapan yang terlontar dari bibirku barusan. Manik matanya yang dalam dan tegas itu
Bab 38: Kejutan Lainnya“Kamu sudah menyetujuinya, jadi jangan rubah keputusanmu lagi. Lagi pula, aku jarang di rumah karena harus bekerja. Janu dan Desty tidak akan berani mengganggumu lagi setelah itu, dan kamu bisa hidup dengan tenang bersama Nandya.”Aku menelan saliva mendengarnya. Ucapan Mas Surya sangat tidak terduga.“Aku dan Yulia yang datang ke sana, kami mengikuti Mas Janu. Bukankah ....”“Syukurlah Desty tidak sempat melukaimu,” potongnya tanpa mendengar ucapanku lebih dulu.Aku hanya mampu menggelengkan kepala. Sulit sekali berbicara dengan Mas Surya, terlebih jika ingin menentang pria itu.Akhirnya, kuputuskan untuk melakukan hal sebaliknya. Aku diam, menutup bibir serapat mungkin agar Mas Surya tahu kalau aku protes dengan tindakannya.“Ini bukan pemaksaan, karena kamu sendiri juga menyetujuinya. Kalau memang kamu masih ragu, maka pertimbangkanlah sebagai pernik
Bab 39: Warna-Warni PerasaanAku tersenyum getir mendengar permintaan pria itu. entah bagaimana caranya menyembunyikan kekagetan yang teramat sangat di wajahku saat ini.Pria itu pasti menyadari kalau aku tidak pernah menduga akan hal ini. Dia ... yang kutahu alim dan bijaksana, peramah dan senang beribadah.Wajahnya tertekuk di hadapanku. Meski kami tidak sering bertemu, tetap saja kutemukan guratan malu di wajahnya yang menawan itu.Ah ... hidup memang tidak pernah tertebak. Aku sendiri tidak menyangka akan menjanda secepat ini, apa lagi soal hidup orang lain.“Mbak?” panggilnya seraya mengayunkan tangan di depan wajahku.Ternyata aku sudah cukup lama terdiam. Aku yang biasanya berisik dan sangat sibuk ini malah kesurupan roh batu sampai mematung di tempat.“Mbak, anggaplah tidak terjadi apa-apa,” pintanya lagi.Aku sadar sekali, ini adalah permintaan keputusasaan. Baiklah, bukan urusa
Bab 40: Darah dan Air MataMataku nanar menatap jejak merah yang mengering di kedua tangan. Aroma anyirnya yang tajam menusuk hidung dan menembus ke ulu hati. Setetes air mata bersimbah, tepat di antara dua telapak tangan yang terbuka. Lalu, lirihan pelan dari bibir memanggil nama Mas Janu tanpa henti.“Tolong, sembuhlah. Tolong, bangunlah. Aku tidak berniat menyakitimu, Mas.”Tanganku kembali bergetar membayangkan hal buruk yang mungkin terjadi pada Mas Janu. Aku tidak menyangka jika tindakan menyelamatkan diri akan berakhir dengan dibawanya Mas Janu ke rumah sakit. Disusul oleh jeritan Mbok Sunem dan tangisan Nandya di dalam kamar.Kini, aku hanya bisa duduk sendirian di depan IGD Rumah Sakit Lavender seraya berdoa untuk kesembuhan mantan suamiku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain ini.Pilihan terbaik yang bisa kuperbuat adalah menghubungi Desty dengan gawai Mas Janu walau pada akhirnya sumpah serapah
Bab 41: Borgol yang Dingin dan Para Polisi“Jadi, begitu. Apa Mbok Sunem yang Anda maksud itu bisa datang ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?” Polisi muda itu terus menginterogasiku.Dia bahkan tidak percaya saat aku bicara soal Mas Janu dan pernikahan kami yang hancur karena ulah Desty. Dia lebih memilih omongan Desty dan langsung mengunci tanganku dengan sebuah borgol yang dingin.“Lalu bagaimana dengan putri kecilku? Siapa yang akan menemaninya kalau Mbok Sunem kemari, Pak? Apa Anda juga berniat memintaku membawa bayi ke kantor polisi?” Aku mencerca balik.Polisi itu menghela napas. Dia melihat kembali bukti chat Mas Janu yang dikirim olehnya sebelum pintu terbuka dan kejadian na'as itu menimpa melalui gawai.Bukti yang menurutku sangat kuat itu terlihat tidak ada apa-apanya di mata para penegak keadilan ini. Bahkan, pesan tersebut sangat lemah kesaksiannya.“Kalau begitu, A
Bab 42: Pahit dan Manis (Mohon Bijak Membaca)Aku duduk di sebuah kursi panjang dengan ibu mertua. Kami saling menggenggam tangan dan berdampingan dalam resah.Berulang kali ibu mertua menghela napas di sebelahku. Dia terlihat sedih akan apa yang menimpa keluarganya, entah itu Mas Janu atau diriku.Bibirnya yang berkerut terus mengulang tasbih. Aku yakin hatinya juga sangat bergejolak setelah mendengar kabar dari Mas Janu.“Bu, kita ke rumah sakit saja sekarang?” pintaku padanya.Ibu mertua tetap saja diam. Dia menundukkan wajahnya ke lantai dan menatap sendal jepit kusamnya.Wanita itu pasti sangat terburu-buru sampai tidak mengganti daster dan asal ambil selendang untuk menutup kepala. Begitu juga dengan Mas Surya yang masih berbicara dengan para polisi itu.Pakaian rumahannya kusut, di bagian punggung paling parah. Rambutnya juga acak-acakkan. Jelas sekali jika Mas Surya baru saja bangun dari tidur dan
Bab 43: Keputusan Terakhirku“Mb ... Mbok?!” Mataku membelalak seakan ingin melompat. Kudapati Mbok Sunem muncul dari arah dapur dengan sebuah botol susu di tangannya. Dia masih memakai daster yang sama sesaat lalu dan kini memandangi kami berdua. Dari sorot matanya saja, aku paham jika Mbok Sunem jijik padaku serta Mas Surya.“Bu? Apa ini ....” Dia berseru seraya menunjuk ke arahku dan Mas Surya.Barulah aku tersadar jika aku masih memeluk pria itu. Seketika aku melompat dan mendorong Mas Surya sejauh mungkin demi menutupi kesalahan besar yang telah kami lakukan.Mbok Sunem kini memandangku dengan sorot mata kecewa. Wanita itu langsung berlalu begitu saja tanpa sebuah kata yang mampu menenangkan diri ini.Mbok Sunem lekas menghilang di balik pintu kamarku. Dia menutupnya dengan erat dan meninggalkan sedikit bunyi berdebam. Aku paham benar, Mbok Sunem ingin marah namun terkendala posisinya di r
Bab 44: Wanita Pemarah dan KekasihnyaAku memang cukup gila dengan keputusan yang kuambil tersebut. Di saat para wanita di luar sana melepaskan hubungan sepenuhnya dengan keluarga mantan suami, aku malah terjun kembali ke dalamnya.Kini, sudah tidak ada jalan mundur. Aku dan Mas Surya akan benar-benar menikah setelah jadwal pernikahan dikeluarkan kantor KUA.Sekarang, yang tersisa adalah memperbaiki semua dan berdoa siang malam agar apa yang kualami bersama Janu tidak lagi terulang dengan Mas Surya. Pria itu, memang belum sepenuhnya kukenal, tapi ada sebersit keyakinan jika dia bisa memberiku rasa aman di dalam rumah tangga.Hanya sebersit saja, sisanya akan kuupayakan sendiri. Entah itu dengan mengekorinya ke Kalimantan sana atau menjalin hubungan jarak jauh dan bertemu tiga bulan sekali, lalu melepas rindu dengan liar.“Apa pakaian pengantinnya harus sesederhana itu?” Tiba-tiba suara Mas Surya terdengar olehku, dia su
Bab 45: Dua WajahAku mengusap wajah dengan lembut menggunakan selembar tisu. Ekspresi getir tidak dapat kusembunyikan saat duduk dengan tiga orang itu di meja.Terpaksa, aku menghindar untuk beberapa menit sampai hidangan datang dengan ngacir ke toilet seorang diri. Alasan lainnya, agar tidak perlu melihat wajah atasan Mas Surya yang benci denganku.Padahal, hari itu dia yang memulai pertengkaran. Hari itu, dia juga yang membuat keributan. Tapi, dari caranya memperlakukanku, atasan Mas Surya jelas menuduh itu semua salahku.“Hufh, ada-ada saja!” gerutuku usai keluar dari kamar mandi.Lima menit di dalam sana sembari mematut wajah sudah cukup menenangkan diri. Mungkin, makanan yang akan disajikan untuk kami sudah tiba dan aku bisa bergabung kembali dengan mereka.Baru saja hendak pergi, aku dihadapkan dengan sosok bernama Retno tepat di depan pintu toilet perempuan. Pria itu muncul di depan wajahku denga
Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi
Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka
Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa
Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan
Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa
Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq
Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia
Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud
Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.