Bab 36: Di Depan Mereka Berdua
Keputusan mengejar itu memang tidak benar, apa lagi kami sudah dipisahkan secara hukum dan agama. Mas Janu dan Desty bukan lagi bagian dari hidupku yang harus dilirik.
Namun, tetap saja aku memutar setir mobil kembali ke jalur sebelumnya demi memuaskan rasa ingin tahuku. Syukur saja kali ini jalanan jauh lebih lengang hingga tidak perlu mengusik kenyamanan orang lain demi keuntungan sendiri.
“Kelewatan banget, sih!” omel Yulia. Dia terlihat jauh lebih geram, seakan selama ini wanita itulah yang ditipu oleh Mas Janu.
“Hakim sudah memberi nasihat kalau Nandya masih tanggung jawabnya, apa dia kira kalau tanggung jawab itu cuma transferan bulanan?” sambungnya lagi.
Kini, Yulia duduk dengan tegak di atas jok. Satu tangan menyangga tubuhnya di dashboard, mungkin Yulia masih mengkhawatirkan guncangan yang aku akibatkan saat menyalip dan mengerem.
“Bener-bener, ya
Kulihat Desty tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan dari Mas Surya. Dia yang sudah melakukan semua hal gila di dalam hidup hanya untuk mendapatkan Mas Janu kembali, tentu saja tidak akan semudah itu terkejut dengan hal seperti ini.Tapi, hal berbeda jelas terlihat di wajah Mas Janu. Pria itu bak memakan buah simalakama; pucat seperti mayat. Meski dia sendiri pernah menebaknya.Sesaat, aku bingung harus bagaimana mengambil tindakan. Melihat Mas Surya yang berdiri begitu tegap di depanku, pasti dia sudah mengambil banyak risiko sebelum melakukan hal ini.“Benar, Mas ... aku akan menikahi Mas Surya segera!” akuku dengan intonasi yang lebih lantang.Begitulah semuanya menjadi rumit. Mas Janu menekan keningnya yang kuyakin berdenyut hebat.Sedang di lain kesempatan, Mas Surya malah berbalik ke arahku. Dia tidak percaya akan ucapan yang terlontar dari bibirku barusan. Manik matanya yang dalam dan tegas itu
Bab 38: Kejutan Lainnya“Kamu sudah menyetujuinya, jadi jangan rubah keputusanmu lagi. Lagi pula, aku jarang di rumah karena harus bekerja. Janu dan Desty tidak akan berani mengganggumu lagi setelah itu, dan kamu bisa hidup dengan tenang bersama Nandya.”Aku menelan saliva mendengarnya. Ucapan Mas Surya sangat tidak terduga.“Aku dan Yulia yang datang ke sana, kami mengikuti Mas Janu. Bukankah ....”“Syukurlah Desty tidak sempat melukaimu,” potongnya tanpa mendengar ucapanku lebih dulu.Aku hanya mampu menggelengkan kepala. Sulit sekali berbicara dengan Mas Surya, terlebih jika ingin menentang pria itu.Akhirnya, kuputuskan untuk melakukan hal sebaliknya. Aku diam, menutup bibir serapat mungkin agar Mas Surya tahu kalau aku protes dengan tindakannya.“Ini bukan pemaksaan, karena kamu sendiri juga menyetujuinya. Kalau memang kamu masih ragu, maka pertimbangkanlah sebagai pernik
Bab 39: Warna-Warni PerasaanAku tersenyum getir mendengar permintaan pria itu. entah bagaimana caranya menyembunyikan kekagetan yang teramat sangat di wajahku saat ini.Pria itu pasti menyadari kalau aku tidak pernah menduga akan hal ini. Dia ... yang kutahu alim dan bijaksana, peramah dan senang beribadah.Wajahnya tertekuk di hadapanku. Meski kami tidak sering bertemu, tetap saja kutemukan guratan malu di wajahnya yang menawan itu.Ah ... hidup memang tidak pernah tertebak. Aku sendiri tidak menyangka akan menjanda secepat ini, apa lagi soal hidup orang lain.“Mbak?” panggilnya seraya mengayunkan tangan di depan wajahku.Ternyata aku sudah cukup lama terdiam. Aku yang biasanya berisik dan sangat sibuk ini malah kesurupan roh batu sampai mematung di tempat.“Mbak, anggaplah tidak terjadi apa-apa,” pintanya lagi.Aku sadar sekali, ini adalah permintaan keputusasaan. Baiklah, bukan urusa
Bab 40: Darah dan Air MataMataku nanar menatap jejak merah yang mengering di kedua tangan. Aroma anyirnya yang tajam menusuk hidung dan menembus ke ulu hati. Setetes air mata bersimbah, tepat di antara dua telapak tangan yang terbuka. Lalu, lirihan pelan dari bibir memanggil nama Mas Janu tanpa henti.“Tolong, sembuhlah. Tolong, bangunlah. Aku tidak berniat menyakitimu, Mas.”Tanganku kembali bergetar membayangkan hal buruk yang mungkin terjadi pada Mas Janu. Aku tidak menyangka jika tindakan menyelamatkan diri akan berakhir dengan dibawanya Mas Janu ke rumah sakit. Disusul oleh jeritan Mbok Sunem dan tangisan Nandya di dalam kamar.Kini, aku hanya bisa duduk sendirian di depan IGD Rumah Sakit Lavender seraya berdoa untuk kesembuhan mantan suamiku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain ini.Pilihan terbaik yang bisa kuperbuat adalah menghubungi Desty dengan gawai Mas Janu walau pada akhirnya sumpah serapah
Bab 41: Borgol yang Dingin dan Para Polisi“Jadi, begitu. Apa Mbok Sunem yang Anda maksud itu bisa datang ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?” Polisi muda itu terus menginterogasiku.Dia bahkan tidak percaya saat aku bicara soal Mas Janu dan pernikahan kami yang hancur karena ulah Desty. Dia lebih memilih omongan Desty dan langsung mengunci tanganku dengan sebuah borgol yang dingin.“Lalu bagaimana dengan putri kecilku? Siapa yang akan menemaninya kalau Mbok Sunem kemari, Pak? Apa Anda juga berniat memintaku membawa bayi ke kantor polisi?” Aku mencerca balik.Polisi itu menghela napas. Dia melihat kembali bukti chat Mas Janu yang dikirim olehnya sebelum pintu terbuka dan kejadian na'as itu menimpa melalui gawai.Bukti yang menurutku sangat kuat itu terlihat tidak ada apa-apanya di mata para penegak keadilan ini. Bahkan, pesan tersebut sangat lemah kesaksiannya.“Kalau begitu, A
Bab 42: Pahit dan Manis (Mohon Bijak Membaca)Aku duduk di sebuah kursi panjang dengan ibu mertua. Kami saling menggenggam tangan dan berdampingan dalam resah.Berulang kali ibu mertua menghela napas di sebelahku. Dia terlihat sedih akan apa yang menimpa keluarganya, entah itu Mas Janu atau diriku.Bibirnya yang berkerut terus mengulang tasbih. Aku yakin hatinya juga sangat bergejolak setelah mendengar kabar dari Mas Janu.“Bu, kita ke rumah sakit saja sekarang?” pintaku padanya.Ibu mertua tetap saja diam. Dia menundukkan wajahnya ke lantai dan menatap sendal jepit kusamnya.Wanita itu pasti sangat terburu-buru sampai tidak mengganti daster dan asal ambil selendang untuk menutup kepala. Begitu juga dengan Mas Surya yang masih berbicara dengan para polisi itu.Pakaian rumahannya kusut, di bagian punggung paling parah. Rambutnya juga acak-acakkan. Jelas sekali jika Mas Surya baru saja bangun dari tidur dan
Bab 43: Keputusan Terakhirku“Mb ... Mbok?!” Mataku membelalak seakan ingin melompat. Kudapati Mbok Sunem muncul dari arah dapur dengan sebuah botol susu di tangannya. Dia masih memakai daster yang sama sesaat lalu dan kini memandangi kami berdua. Dari sorot matanya saja, aku paham jika Mbok Sunem jijik padaku serta Mas Surya.“Bu? Apa ini ....” Dia berseru seraya menunjuk ke arahku dan Mas Surya.Barulah aku tersadar jika aku masih memeluk pria itu. Seketika aku melompat dan mendorong Mas Surya sejauh mungkin demi menutupi kesalahan besar yang telah kami lakukan.Mbok Sunem kini memandangku dengan sorot mata kecewa. Wanita itu langsung berlalu begitu saja tanpa sebuah kata yang mampu menenangkan diri ini.Mbok Sunem lekas menghilang di balik pintu kamarku. Dia menutupnya dengan erat dan meninggalkan sedikit bunyi berdebam. Aku paham benar, Mbok Sunem ingin marah namun terkendala posisinya di r
Bab 44: Wanita Pemarah dan KekasihnyaAku memang cukup gila dengan keputusan yang kuambil tersebut. Di saat para wanita di luar sana melepaskan hubungan sepenuhnya dengan keluarga mantan suami, aku malah terjun kembali ke dalamnya.Kini, sudah tidak ada jalan mundur. Aku dan Mas Surya akan benar-benar menikah setelah jadwal pernikahan dikeluarkan kantor KUA.Sekarang, yang tersisa adalah memperbaiki semua dan berdoa siang malam agar apa yang kualami bersama Janu tidak lagi terulang dengan Mas Surya. Pria itu, memang belum sepenuhnya kukenal, tapi ada sebersit keyakinan jika dia bisa memberiku rasa aman di dalam rumah tangga.Hanya sebersit saja, sisanya akan kuupayakan sendiri. Entah itu dengan mengekorinya ke Kalimantan sana atau menjalin hubungan jarak jauh dan bertemu tiga bulan sekali, lalu melepas rindu dengan liar.“Apa pakaian pengantinnya harus sesederhana itu?” Tiba-tiba suara Mas Surya terdengar olehku, dia su