Aku menghela napas panjang, melonggarkan dada yang terasa seperti sedang diimpit batu lalu mengembuskannya perlahan. Mata ini kembali memanas, tetapi sekuat tenaga kutahan air mata yang sudah hampir melaju melewati pelupuk.“Apa Mayla bersedia? Kenapa dia tidak sekalian ikut?” tanyanya lagi.“Bu, Mayla....” Menggantung kalimat, mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan kabar ini kepada Ibu tanpa disertai derai air mata.“Mayla kenapa. Dia baik-baik saja kan?”“Iya, Bu. Kita lupakan saja dia, Bu. Aku sudah tidak berhak lagi memikirkan wanita itu. Sebab sekarang ini dia sudah menjadi milik Gus Azmi!”Alis Ibu bertaut sambil menatapku dengan mimik bingung. Apa penjelasanku terlalu berbelit-belit sehingga Ibu tidak paham dengan apa yang aku maksud. Haruskah mengulangi perkataan tersebut supaya dia mengerti?“Maksud kamu apa, Bram. Ibu ora mudeng?”“Ma–Mayla sudah menikah dengan Gus Azmi beberapa hari yang lalu. Dia menolak lamaran aku, Bu.” Tersenyum samar, menutupi luka yang menganga di d
‘Allahu Akbar. Kuatkan hati hamba untuk menghadapi semua cobaan yang mendera.’ Mengusap wajah, melangkah masuk menuju kamar yang biasa ditinggali oleh Mayla. Mungkin besok aku akan meliburkan Andita di toko dan meminta dia merapikan barang-barang yang masih ada.[An, besok toko nggak usah buka. Kamu ke rumah saya saja, bantuin beres-beres barangnya Mayla.] Segera kukirim pesan kepada wanita bermata sayu itu.[Loh, Pak. Memangnya Bu Mayla nggak ikut ke sini?] balasannya.[Kamu tinggal ke sini saja. Tidak usah banyak tanya.][Maaf, Pak]Astagfirullah...Kenapa tiba-tiba emosi ini jadi meninggi saat Andita menanyakan masalah Mayla. Pasti dia merasa sakit hati dengan ucapanku.[Saya minta maaf karena ucapan saya agak kasar sama kamu, An.] send.Centang dua, tetapi tidak dibalas.“Kenapa banyak sekali barang-barang perempuan di rumah ini, Bram?” tanya Ibu saat masuk ke dalam kamar yang pernah ditempati selama beberapa bulan oleh wanita yang teramat aku cintai.“Ini punya Mayla, Bu!” jawabk
“Ini sudah selesai semua, Pak,” ucapnya lagi sambil menepuk-nepuk tangan yang berdebu.“Oke. Saya bawa ke mobil.” Berjalan menghampiri, mengangkat kardus besar berisi barang-barang Raihan serta Mayla kemudian meletakkannya di dalam mobil.“Ini, Pak.” Aku terkesiap ketika Andita sudah ada di belakang dan menyodorkan satu buah kardus lainnya.Biar badannya kecil, ternyata dia kuat juga ngangkat barang berat. Nggak sia-sia punya karyawati seperti dia. Sudah rajin, jujur, supel, kuat lagi.“Jangan diliatin terus. Belum halal!” celetuk Ibu membuat diri ini menjadi salah tingkah.Andita tersenyum manis, memamerkan cerukan di pipi yang membuat dia bertambah memesona.“Memangnya Bu Mayla nggak balik lagi ke sini, Pak?” tanya Andita seraya menggeser kardus.“Nggak, An,” jawabku.“Berarti Bapak ikut tinggal di Tegal juga dong?” tanyanya lagi, menatap penasaran wajah ini.Ah, tatapannya biasa-biasa saja, kok. Nggak ada tanda-tanda cinta di dalam sana. Dasar Ibu suka ngarang.“Nggak juga, An. Say
"Kenapa ngerem mendadak seperti ini sih, Pak. Jidat saya jadi benjol nih!" protesnya sembari menunjukkan benjolan di dahi."Maaf, saya tidak sengaja!""Akhir-akhir ini Bapak terlihat aneh. Doyan marah-marah. Nggak kaya Pak Bram yang aku kenal. Jangan-jangan, Bapak lagi PMS ya? Jadi uring-uringan.""Kamu anak kecil mana ngerti urusan orang dewasa!""Aku udah dua puluh lima tahun, Bapak. Kecil dari mananya. Tetangga saja sampai ngasih julukan sama aku perawan tua!""Kamu perawan tua, saya bujang lapuk!" Tertawa renyah sambil menatap wajah imut Andita."Nggak jelas banget, ih!" Dahi gadis berbulu mata lentik itu berkerut-kerut sambil menatap wajahku dengan mimik heran."Berarti kita punya julukan yang sama, An!" Lagi, aku tertawa ngakak. Menertawakan nasibku yang selalu susah mendapatkan jodoh, walaupun tampangku cukup lumayan tampan. Banyak yang bilang wajahku mirip sekali dengan Omar Daniel.Tapi, entah mengapa dengan wajah seperti ini aku justru sulit mendapatkan jodoh. Mungkin Allah
“Saya kesini hanya mau mengantarkan barang-barang milik Mayla. Itu saja. Sekalian mau minta maaf karena sudah mengganggu hidup kalian.”Gus Azmi menghela napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ada kelegaan yang tergambar, juga senyum yang terkembang lebar.“Ya sudah. Saya permisi dulu. Titip Mayla. Jangan pernah sakit hatinya seperti dulu Ibnu melakukan hal itu kepadanya. Karena jika njenengan sampe menyakiti hati Mayla, njenengan akan berhadapan dengan saya. Assalamualaikum!” Aku berujar sambil menepuk pundak Gus Azmi kemudian masuk ke dalam mobil.“Mas Bram. Sekali lagi saya minta maaf. Tolong jangan ada dendam yang tersimpan. Sungguh. Saya merasa sangat bersalah kepada sampean.”Aku mengangkat satu tangan, mencoba mengulas senyum seikhlas mungkin, walaupun bibir terasa kaku.“Hai perawan tua, romannya sibuk amat?” sapaku meledek Andita yang sedang sibuk melayani para pengunjung.“Apa sih, Bujang lapuk. Saya lagi sibuk, jangan ganggu!” sahut perempuan berkerudung abu-abu itu t
Andita membuang muka menghindari tatapanku. Apa ini saatnya dia jujur bahwa sebenarnya dia menyimpan rasa kepadaku seperti apa yang dikatakan oleh Ibu?Ah, jangan terlalu gede rasa, Bram.“Maaf, Pak. Saya mau beres-beres barang yang baru datang. Permisi!” Dia beranjak dari duduknya, membuatku spontan mencekal lengannya.Andita menatap wajahku kaget. Hingga tanpa sengaja pandangan kami salin berserobok.“Duduk dulu, An. Saya belum selesai bicara sama kamu,” lirihku dan segera dituruti oleh wanita berparas cantik itu.“Memangnya ada apa lagi, Pak?” Dia menatapku canggung.Aku mengangkat kedua ujung bibir.“Saya penasaran, kepingin tahu siapa wanita yang mencintai saya. Mau saya lamar!” godaku.“Ba–Bapak serius?”“Iya, serius.”Andita menggigit bibir bawahnya yang terlihat gemetar. Aku terkekeh melihat ekspresinya itu. Lucu, lugu, menggemaskan.“Noh, kan. Bapak belum apa-apa sudah tertawa. Pak Bram mah nggak asyik!” rutuknya sambil memonyongkan bibir manja.Aku menatap lamat-lamat wajah
“Maa syaa Allah, Habibi qolbi. Kenapa malah menangis? Apa Mas menyakiti perasaan kamu? Dan, untuk apa kamu minta maaf?” Dia mengangkat daguku, mengusap air mata yang terus saja berlomba-lomba meluncur dari kedua sudut netra dengan ujung-ujung jarinya.Aku menghambur ke dalam pelukannya. Merengkuh tubuhnya yang terasa lebih berisi dengan erat, menumpahkan kembali air mata yang tidak jua bisa aku bendung.“Jangan tinggalkan aku ya, Mas,” ucapku lagi.Gus Azmi mengangkat wajahku yang kubenamkan di dada bidangnya. Entah mengapa perasaanku semakin kesini semakin sensitif. Mudah sekali terbawa perasaan, merasa takut kembali ditinggalkan oleh orang yang aku cintai.Sebab, selama enam bulan menikah dengan guru ngaji putraku, perlahan tetapi pasti cinta itu menelusup ke dalam hati, terpatri erat dalam sanubari. Bagiku, tidak begitu sulit untuk mencintai seorang Gus Azmi. Lelaki penuh dengan kelembutan, kasih sayang serta kesabaran yang tiada habis-habisnya.Dia tidak pernah berkata kasar ataup
Kebiasaan, main gendong-gendong saja tanpa memberi kode atau aba-aba. ‘Kan, aku kaget jadinya.“Memangnya nggak berat gendong adek, Mas?” tanyaku seraya mengalungkan tangan di leher Gus Azmi. Takut dia tidak kuat menopang tubuhku yang semakin menggendut akhir-akhir ini. Berat badan saja sudah naik lima kilo, padahal usia kehamilan masih sangat muda. Tidak bisa dibayangkan jika sudah hamil tua nanti.Gus Azmi merebahkan tubuhku perlahan di atas pembaringan, menatap intens wajahku sambil sesekali menyunggingkan bibir tipisnya.“Sebenarnya kamu itu berat sekali loh, Dek. Tapi, Mas seneng karena Allah masih memberikan tenaga kepada Mas untuk meggendong wanita yang Mas cintai.” Dia berujar pelan.Gus Azmi berbaring miring di sebelahku, dengan satu tangan menopang kepala, sementara tangan yang satunya terus saja mengusap-usap perut gendutku.“Dek Mayla tambah cantik sekarang. Semenjak hamil, auranya itu berbeda. Lebih terlihat memesona, bikin Mas tambah dek-dekan kalau sedang bersama Adek!”
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem