Malam kian beranjak larut dan sunyi. Aku membenamkan tubuh ke dalam selimut, mencoba memejamkan mata menjemput lelap, mengistirahatkan badan serta hati yang terasa lelah. Tidak lupa juga mematikan ponsel. Menghindari panggilan masuk dari orang-orang terdekatku.Namun entah mengapa, walaupun berusaha untuk memejamkan mata, hati ini terus saja berkelana. Aku selalu saja memikirkan perempuan yang siang tadi bersama Abraham di mal.Ya Allah. Kenapa aku harus merasa seperti ini?Kenapa aku harus marah melihat dia bersama wanita lain?Dia itu bukan siapa-siapa aku. Dia dekat sama aku juga hanya karena kasihan melihat aku selalu disakiti oleh Mas Ibnu.Kembali membuka mata, menyalakan ponsel memutar murrotal supaya hati merasa tenang. Aku tidak mau terus-menerus memikirkan kaki-laki yang tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.Menyibak tirai, membuka pintu ketika sebuah mobil berwarna merah terparkir di depan rumah dan Gus Azmi keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Raihan terlihat sangat
Ponsel dalam tas Gus Azmi terus saja berdering. Pria berpenampilan sederhana itu segera keluar, menerima panggilan dari seseorang di seberang sana dengan wajah terlihat gusar.Ada apa?“May!” Mendesah sebal ketika Abraham menghampiri sambil tersenyum.“Kamu ngapain, Bram. Kirain sudah pulang?” tanyaku sambil merengut.“Lah, aku dari tadi di belakang kamu, loh. Masa kamu nggak tahu?” Alis tebal pria berambut gondrong itu bertaut hingga hampir menyatu.“Memangnya aku ada spionnya. Bisa lihat orang yang ada di belakang?!”Abraham tertawa. Ih, dasar nggak jelas. Memangnya ada yang lucu dan bisa membuat orang tertawa?“Kalau ada Gus Azmi ada aku di sebelah kamu juga nggak kelihatan, May. Dia yang lebih mencolok karena dia itu calon suami kamu!” Dia berujar sambil mengambil posisi mendorong kursi roda, membawa Raihan menemui dokter ortopedi, memeriksakan perkembangan kesehatan kaki anakku.“Dek Mayla, maaf saya harus pulang ke Tegal sekarang. Ada keperluan mendesak di sana. Sekali lagi saya
“Terus, kalau kamu bareng terus sama Athira, aku harus bilang wow, gitu?!” dengkusku sambil mendorong kursi roda membawa Raihan menjauh dari toko bunga.Hatiku benar-benar kesal dibuatnya. Ngapain pakai pamer-pamer kalau malam bareng sama sugar baby-nya, memangnya keren banget apa!Duduk di kursi teras, mendengkus kesal karena ternyata kunci rumahku tertinggal di mobil Abraham.“Kenapa, Mbak Mayla Yasni. Nggak bisa masuk ya?” tanya Abraham sambil nyengir kuda. Nyebelin.Aku hanya diam enggan menyahut. Melipat kedua tangan di dada, mengerucutkan bibir kesal kepada pria berambut panjang itu.“Kamu kenapa sih, May. Akhir-akhir ini kamu terlihat uring-uringan dan sering marah-marah. Apa kamu ada masalah sama Ibnu?” Abraham menarik kursi dan duduk.“Bukan urusan kamu!” sungutku kesal.“Iya, memang bukan urusan aku. Tapi kamu sering bersungut-sungut di depanku. Kalau aku salah, aku minta maaf. Apa jangan-jangan, kamu masih marah gara-gara kejadian di mal tempo hari?!” Dia menatap menyelidik
“Maksud aku, kamu tinggal di rumah aku dan aku tinggal di sini. Biar aman. Kalian berdua itu amanah yang dititipkan oleh almarhumah Ibu sama aku. Amanah orang yang sudah meninggal itu berat, May. Nggak bisa ditawar-tawar!” terang Abraham panjang lebar.“Aku bisa jaga diri aku sendiri, Bram. Kamu nggak usah merasa terbebani karena pesan Ibu. Insya Allah Ibu juga mengerti dengan keadaan aku sekarang. Kayaknya kalau aku tinggal di Tegal lebih aman. Mas Ibnu tidak akan pernah mengganggu.”“Apa kamu yakin?”“Insya Allah, Bram.”“Tapi aku tidak memberi izin, Mayla. Aku nggak mau kamu tinggal di dekat rumahnya Gus Azmi.”Alisku bertaut mendengar jawaban dari Abraham.“Kenapa aku mesti izin sama kamu. Kan aku bukan siapa-siapa kamu?” Menatap wajah lelaki bertubuh tegap tersebut ingin tahu reaksi Abraham.“Kalau begitu aku akan menghalalkan kamu. Supaya aku bisa melindungi kamu dan bisa menjalankan amanah Ibu dengan baik!”Mataku membeliak kaget mendengar ungkapan dari Abraham. Apa diam-diam d
“Nggak, Mayla. Aku nggak mau kamu pindah ke Tegal!” cegah Abraham dengan nada meninggi ketika aku berpamitan.Andita yang sedang sibuk melayani customer, langsung menatap ke arah kami dengan sudut mata sudah menganak sungai.“Jangan pergi, Bu. Saya nanti sama siapa di sini?” Andita ikut menimpali.“Nanti Pak Bram bisa cari karyawan baru lagi, An. Saya dan Raihan sudah tidak aman lagi berada di kota ini. Ayahnya Raihan selalu mengganggu hidup kami!” Aku berusaha mengulas senyum.“May. Tolong dengerin aku. Aku akan selalu melindungi kamu dan Raihan. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kalian, Mayla!” Abraham duduk di sebelahku, lebih dekat dari biasanya.“Tapi aku harus pindah ke Tegal, Bram. Aku juga nggak mau terus-menerus merepotkan kamu.”“Kamu tidak pernah merepotkan aku sama sekali, Mayla. Aku justru senang jika kamu selalu melibatkan aku di dalam masalah kamu.”“Kalau aku di Tegal juga kita masih bisa bertemu, Bram. Kamu bisa main-main ke sana, aku juga bisa silaturahmi ke sini. Kita a
“Tante. Kok muka tante dilipet begitu?” Athira menghampiri, menyalamiku dan mencium punggung tanganku dengan takzim.“Pasti Om Bram yang bikin Tante merengut ya? Jangan diambil hati kalau dia ngomong, Tante. Om Bram memang begitu. Galak, bawel, hobi PHPin orang. Aku aja katanya mau diajak nonton sampe sekarang belum diajak pergi. Keburu aku pulang ke Semarang kalau begini!” rutuk Athira panjang lebar.“Memangnya kamu tinggal di Semarang?” tanyaku penasaran. Ingin tahu lebih jauh tentang gadis manis itu.“Iya, Tante. Aku tinggal sama Mama dan Ayah tiri aku di sana. Om Bram juga sering datang ke sana loh. Kapan-kapan main ke rumah aku ya Tante. Biar Mama kenal sama Tante. Mama pasti senang. Dulu Tante Lusi juga pernah main sekali. Cuma ... Dia godain Ayah di sana, jadi Mama marah dan mengusir Tante Lusi!”Alisku bertaut mendengar cerita Athira. Sebenarnya dia ini siapanya Abraham. Kenapa Lusi juga pernah bertandang ke kediaman orang tuanya Athira?“Kamu apanya Om Bram, Ra?” Memberanikan
“Kenapa diam. Mana ATM-nya?” Lusi menimpali, sambil menodongkan tangan memasang wajah sombong.“Tidak ada!”“Kamu jangan macam-macam sama kami, Mayla. Kamu di sini itu sendirian!” gertak pria berkulit sawo matang tersebut, menatap nyalang wajahku. Sorot mata Mas Ibnu sudah dipenuhi dengan kebencian.Di mana cinta yang selalu dia ucapkan dulu. Tidak adakah lagi cinta dan kasih sayang walaupun hanya sebutir tepung di dalam hatinya, sehingga dia terlihat begitu membenci dan tidak ada belas kasihan sama sekali terhadap diri ini.“Mayla. Mana kartu ATMnya?!” Mas Ibnu mulai meninggikan nada bicara, membuat pertahananku sedikit goyah karena takut dia berbuat nekat dan melukaiku.Aku masih memiliki Raihan yang sangat membutuhkan kasih sayang dariku. Jika terjadi sesuatu denganku, maka siapa yang akan menjaga serta merawat dia.“Mayla. Jangan buat kesabaranku habis ya!” Lelaki berjambang tipis itu merebut paksa tas yang menggantung di pundak, menarikku hingga diri ini hampir terjatuh.“Jangan
“Aku sama Kak Andita nggak ditawari, Om?” celetuk Athira seraya memonyongkan bibir manja.“Maksud Om kalian semua!” jawab Abraham terlihat salah tingkah.“Iya deh, yang lagi jatuh cinta. Yang diingat Cuma sang pujaan hati. Ada keponakan di depan mata juga terlupakan.” Athira tertawa renyah menggoda sang paman.Namun, tidak dengan Andita. Aku lihat wajah gadis berusia dua puluh lima tahun itu langsung terlihat berubah. Pendar di wajahnya meredup, menunjukkan rasa cemburu yang terpendam dalam di dasar sanubari.Astagfirullah ....Aku lupa bahwa dia sudah memendam rasa sejak lama kepada Abraham. Dia mengagumi laki-laki berwajah tampan itu, dari semenjak kami bertemu dan bekerja sama.Tapi, apakah salah jika sekarang ini aku juga memiliki rasa yang sama dengan dia?***#Tiga minggu kemudian.Hari ini, aku kembali harus menghadiri sidang perceraianku dengan Mas Ibnu. Semoga saja persidangan kali ini berjalan lancar, seperti persidangan sebelumnya. Tidak apa-apa jika Mas Ibnu tidak menghadi
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem