Aku tercengang mendengar ibunya Citra membantah tentang kondisi sang anak. Apa ia tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu apa-apa? Wanita tua itu hampir saja terjatuh kalau Raka tak menopang tubuh ringkihnya."Mau Raka antar?"Wanita tua itu menepis tangan Raka. Wajahnya nampak memerah seperti menahan amarah. Lalu, ia memindai ke arah aku dan Raka bergantian."Kalian sengaja membuat hidup anakku menderita?""Kami? Maksud ibu, gara-gara kami?"Aku mengulang pertanyaan. Apa yang dipikirkan wanita tua di hadapanku sampai ia mengalahkan kami. Sudah jelas anaknya yang merebut suamiku. Lantas, malah menyalahkan.Ia melangkah gontai meninggalkan kami. Raka menunjuk wanita itu dengan kepala agar aku mengikutinya. Apa lagi yang
"Kalau dia orang tua yang bertanggungjawab, tidak ada perceraian antara Mama dan dia."Mbak Arni bergeming menatap Raka. Anakku sudah tak bisa mengubah pendiriannya. Jika ia tak mau, maka tak akan ada yang bisa membujuknya. Sekalipun aku.Aku mulai paham dengan kondisi ini. Raka dewasa sebelum waktunya. Ia dipaksa menjadi kuat dan mandiri oleh keadaan. Bagaimanapun, sikapnya kini menjadi lebih sensitive."Yasmin, anakmu kenapa keras kepala sekali?" Mba Arni kini bertanya padaku."Mba, Raka memang seperti itu. Dari dulu sampai sekarang ia memang tegas. Bedanya hanya kini tanpa perasaan.""Pusing saya, lagian kenapa kalian nggak ke rumah dan menceritakan semua kegilaan Randi?""Untuk apa Budhe? Aku nggak sudi Mama memohon untuk seseorang yang nggak pantas untuknya.""Raka! Biar Budhe
POV RAka"Raka kenal Citra sebelumnya?" tanya Mama padaku.Rasanya nyeri di dada begitu kencang saat nama gadis itu disebut. Mama kembali mengingatkan aku pada saat kejadian ini terjadi pada diriku."Ka, si Citra kayanya ngeliatin, tuh," ujar Reno menyenggol lenganku.Aku mengikuti arah ke mana tangan Reno menunjuk. Benar, Citra langsung tertunduk saat aku melihat ke arah dia. Ada apa?Citra salah satu murid perempuan yang banyak ditargetkan oleh beberapa temanku untuk menjadi pacarnya. Selain pintar, cantik, plus kulitnya putih bersih persis kulit bayi.Pernah satu kesempatan aku memergokinya sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Kalau tidak salah dia menyebutnya dengan panggilan Om.
Aku menepuk pundak Raka, saat itu juga ia mengerjapkan mata berkali-kali. Apa aku salah bertanya itu tentang Citra?"Ka, nggak usah di jawab.""Nggak apa-apa, Ma. Aku memang kenal Citra memang dia teman satu sekolahku. Sempet kesal saja dia merusak rumah tangga kedua orang tuaku."Benar dugaanku memang Raka mengenal Citra. Kenapa aku lupa jika mereka satu sekolah, sampai bertanya pada Raka. Bodohnya Mamamu ini, Ka.Sebuah pesan masuk kembali muncul di ponselku. Mba Arni mengirimkan beberapa pesan tentang Mas Randi.[Yas, Mba mohon jenguk Randi. Dia mau bertemu sama kamu.]"Ada apa, Ma?" tanya Raka."Budhe kamu kirim pesan katanya mau ketemu Mama, tapi udah Mama bales nggak bisa ke sana."Aku terpaksa berbohong pada Raka agar ia tak emosi. Ju
Aku masih tak percaya Mas Rafi tega menuduh macam-macam padaku hanya karena membela Mas Randi yang menurutnya sempurna. Aku melirik Hendri sekilas, wajah pria di sampingku datar saja. Ia pandai menyembunyikan ekspresi, sekali pun sedang marah.Mas Rafi masih menggebu-gebu melihat aku dan Hendri. Apa yang harus aku jawab pun tak akan bisa memuaskan baginya. Ia akan tetap menuduhkan hal yang tak aku lakukan."Dia pengacaraku.""Kekasih berkedok pengacara?" Mas Rafi begitu emosi mendengar jawabanku. Benar, ia tak percaya dengan apa yang aku katakan.Percuma juga menjelaskan padanya kalau ternyata ia kekeh dengan apa yang dipikirannya. Mau menjawab apa lagi. Atau ia ingin mendengar jawaban kalau Hendri kekasih gelapku?"Tolong, jangan memancing keributan. Saya ini pengacara yang mengurus perceraian Yasmin. Anda bisa saya tuntut, l
POV CitraDuniaku seakan runtuh saat kecelakaan itu terjadi. Pertengkaran dengan Om Randi membuat kami harus menerima nasib buruk. Apa ini karma yang aku terima?Aku keguguruan, rasanya sedih mengingat hal terakhir saat di mobil bersama Om Randi. Aku benar-benar tak percaya jika dia tak menginginkan anak. Dada ini masih terasa sesak saat mengingat kejadian kemarin."Aku hamil, Om," ucapku.Aku menantikan jawaban Om Randi. Akan tetapi, pria di sampingku tak menggubris ucapanku. Sampai aku menggoyang-goyangkan tubuhnya."Om, aku hamil."Om Randi menghentikan laju mobil dan meminggirkannya. Lalu, dia menatap aku dengan wajah berbeda dari biasanya."Om, sudah bilang, pakai pengaman. Sudah Om kasih uang, kan, untuk membeli pil.""Aku lupa minum, Om."
POV RandiAku terbangun dengan miris. Melihat kondisi tubuh ini yang tak bisa bergerak sama sekali. Di hadapanku terihat Mba Arni menangis sesegukan melihat kondisi menyedihkan akuAku memindai sekeliling, tak ada Raka dan Yasmin. Kemana mereka? Ah ... aku lupa jika aku sedang proses persidangan dengan istriku. Aku pun lupa jika telah menyakiti hati Yasmin.Raka anakku membenciku setelah tahu aku mengkhianati Ibunya. Berkali-kali dia menghajarku dengan tanganya. Cacian dan makian di tujukan padaku olehnya.Di mana Citra? Terakhir aku bersamanya? Dia selamat atau tidak? Ah ... kenapa saat menyedihkan dia tidak ada? Kandungannya bagaimana?"Yaa--Yasmin, Ma--na?" tanyaku pada Mba Arni."Kamu sudah sadar? Yasmin nanti Mbak telepon. Sabar, ya."Mba Arni langsung mengambil ponsel berkali-kali dia
POV Citra"Cit, Ibu mohon hentikan kegilaanmu. Taubat Cit," pinta Ibu padaku.Taubat? Haduh ... aku belum siap miskin. Saat bersama Om Randi, semua fasilitas aku dia yang tanggung. Bagaimana bisa tiba-tiba aku jatuh miskin?"Aku harus minta tanggung jawab Raka, Bu. Gara-gara Ayahnya, aku seperti ini. Jadi, sebagai baktinya pada orang tua, dia harus menikahiku.""Jangan Gila kamu, Cit. Mana mau Raka sama kamu yang jelas sudah merusak keluarganya.""Tapi Ayahnya merusak aku, Bu."Air mata ini sengaja aku keluarkan untuk memberikan kesan memang aku sebagai korban. Selain tampan, Raka pun bisa lebih membuat aku bahagia.Pipiku terasa nyeri saat tangan Ibu menamparku. Kenapa Ibu tak mendukungku? Padahal selama ini dia berobat pun uang dari Om Randi. Harusnya dia berterima kasih padaku.