POV Randi
POV Citra"Cit, Ibu mohon hentikan kegilaanmu. Taubat Cit," pinta Ibu padaku.Taubat? Haduh ... aku belum siap miskin. Saat bersama Om Randi, semua fasilitas aku dia yang tanggung. Bagaimana bisa tiba-tiba aku jatuh miskin?"Aku harus minta tanggung jawab Raka, Bu. Gara-gara Ayahnya, aku seperti ini. Jadi, sebagai baktinya pada orang tua, dia harus menikahiku.""Jangan Gila kamu, Cit. Mana mau Raka sama kamu yang jelas sudah merusak keluarganya.""Tapi Ayahnya merusak aku, Bu."Air mata ini sengaja aku keluarkan untuk memberikan kesan memang aku sebagai korban. Selain tampan, Raka pun bisa lebih membuat aku bahagia.Pipiku terasa nyeri saat tangan Ibu menamparku. Kenapa Ibu tak mendukungku? Padahal selama ini dia berobat pun uang dari Om Randi. Harusnya dia berterima kasih padaku.
Aku menarik napas panjang saat Citra sudah pergi dari rumahku. Sampai tak bisa berpikir, kok, ada perempuan yang harga dirinya hilang. Dia merebut suamiku setelah itu, datang meminta pertanggungjawaban Raka, anakku.Aku memandang Raka yang sedari tadi mengusap wajah kasar. Anak laki-lakiku tertawa lebar saat menatap aku. Mungkin sama yang ada dipikirannya kalau Citra sudah gila.Mungkin akibat benturan pada kecelakaan waktu itu jadi otak Citra gesrek. Entah mimpi apa semalam aku kedatangan orang model Citra. Masih mudah sudah gila harta, kasihan hidupnya."Ma, jangan dipikirin. Kayanya gila," ucap Raka.Lagi, aku dibuatnya tertawa ketika mengingat dengan lantang Citra bilang dia korban. Haduh, pelakor dasar. Otak belum sempurna dipaksa mikir. Jadinya kacau apa yang diutarakan pada kami."Ah, Mama nggak mikirin, Ka. Lucu aja dengerny
Yasmin memberitahu Raka tentang kabar Papanya. Percobaan bunuh diri Randi bisa tertolong karena Arni cepat membawanya ke rumah sakit.Raka bergeming sesaat. Namun, dia membuka suara perihal kejadian yang sengaja terjadi oleh Randi. Walau tak banyak bicara, dia memeluk sang ibu."Kita sudah punya kehidupan masing-masing, Ma, semenjak dia memilih menduakan cinta Mama.""Iya, Ka. Mama juga tahu."Yasmin bertekad untuk melupakan semua. Kehidupan barunya lebih memberikan dia kebahagiaan. Terlepas dari pria berengsek membuat dia kembali berseri.Raka tak menyangka pikiran sang ayah sedangkal itu. Mencari simpati untuk mendapatkan maaf dengan cara yang salah. Padahal dia tahu kesalahannya begitu besar. Semua tak akan pernah terlupakan oleh Raka. Dia akan terus mengingat perlakuan sang ayah padanya, terutama pada sang ibu.
Karma Untuk CitraPemberitaan kali ini membuat geger Kavling Cagak. Sebab gadis berusia tujuh belas tahun dua hari lalu ditemukan di gudang kosong tanpa busana. Keadaannya parah dengan sekujur tubuh penuh luka lebam.Tubuh wanita tua itu terduduk lemas saat menerima sebuah kabar tentang sang putri. Bulir bening mengalir derat di pipi keriputnya. Kalau saja gadis itu mendengarkan ucapan sang ibu, kejadian naas ini tak mungkin terjadi."Lepaskan! Pergi! Jangan mendekat! Ibu, mereka orang jahat. Argh ....""Dokter, tolong anak saya, Dok.""Iya, Bu. Kami akan berusaha, sepertinya anak Ibu depresi."Wajah kuyu itu begitu terpukul mendengar ucapan sang dokter. Bagaimana tidak, anaknya kini harus mendekam di rumah sakit jiwa karena saat kemarin sadar, dia mencoba menusukkan pisau ke suster.
"Maaf, Mas. Aku tak bisa kembali bersama kamu."Ada yang sakit di dada Randi. Rasanya sama seperti pisau yang tergores di nadinya tadi. Namun, kali ini sakit itu tak berdarah. Melainkan hanya nyeri yang teramat dalam.Yasmin pun tak kuasa menahan bulir bening yang begitu saja luruh ke pipinya. Sekian lama mereka merajut pernikahan, bisa kandas oleh orang ketiga.Penyesalan dalam hati pria itu tak dapat mengembalikan rasa yang terluka olehnya. Air mata yang tumpah begitu deras pun tak akan bisa di hapuskan begitu saja."Aku benar-benar menyesali kebodohanku. Memungut kerikil dan membuang berlian."Yasmin menarik napas, lalu membuang kasar. Tak mau berlama-lama, dia pamit untuk ke luar ruangan."Aku pamit, jaga diri kamu. Jangan berbuat kebodohan lagi.""Yas," ucapnya lirih.
Setahun sudah setelah perceraianku, hidup yang aku jalani bersama Raka terasa lebih baik. Apalagi Raka sudah hampir kelulusan sekolah. Hubunganku dengan Hendri, masih sama seperti dulu. Kami menjalin hubungan pertemanan yang baik. Walaupun dia masih sering meminta aku menjadi istrinya.Sore ini Raka berjanji pulang cepat setelah pulang sekolah. Aku merindukan masa-masa kecil anak lelakiku. Ternyata, dia sudah beranjak dewasa. Aku menggeleng saat melihat kamar tidurnya tak pernah rapi."Amplop apa ini?"Aku membuka perlahan amplop coklat ini. Di sini tertulis sebuah univeritas ternama di Amerika. Sejak kapan Raka memiliki amplop ini?Harusnya aku bahagia saat membaca hasil tes masuk universitas itu. Raka lulus dalam tes seleksi beasiswa unversitas di Amerika. Hati ini sesak, aku tidak ingin berpisah dari anakku. Akan tetapi, tidak boleh egois dengan sikap ini.
Season DuaTidak pernah ada yang namanya mantan anak. Hanya ada mantan istri. Berulang kali Randi meminta maaf pada Raka, sang anak sama sekali tidak mau memaafkannya.Sudah enam tahun lamanya, Raka pun sudah kembali bersama Yasmin. Setelah menempu pendidikan di luar negeri. Kini, mereka terkadang memanggilnya dengan sebutan Dokter Raka."Dia tetap Papa kamu, Nak," ujar Yasmin."Aku sudah lama menganggapnya tidak ada, Ma. Sejak dia mengusir kita. Apa Mama lupa?" Raka mencoba mengingatkan sang ibu."Ka," panggil Yasmin lirih."Sudah, Yas. Jangan paksa Raka, emosinya masih belum stabil. Kalau kamu paksa, malah kalian tidak henti berdebat." Kini Hendri merelai mereka berdua.Yasmin hanya ingin sang anak tetap baik pada sang ayah. Namun, luka di hati Raka belum juga sembuh. Perselingkuhan Randi, membuat trauma besar dalam hidup sang anak.Sejak perceraian kedua orang tuanya. Raka tidak
"Raka."Aku itu menoleh saat suara yang kukenal terdengar memanggil. Aku bangkit, dan langsung mencium takzim Bude Arni. Tidak menyangka bisa bertemu di tempat makan ini."Bude gabung sini," ujar Luna."Boleh, Budhe juga lagi nggak ada urusan."Sejenak aku terdiam, jujur saja tidak begitu suka berlama-lama bersama Budhe Arni. Pasti nanti akan membahas masalah adiknya. Itu sangat aku hindari.Walaupun keberatan, aku harus tetap bersikap ramah. Bagaimanapun Budhe orang tua."Kamu sama Mama sehat, Ka?""Sehat, Budhe."Sejenak kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Setelah itu, Luna lebih dahulu pamit karena jam makan siangnya sudah hampir habis.Aku tahu, setelah Luna pergi, akan ada sesuatu yang membuat moodku kurang baik."Budhe mau bicara, Raka bersedia mendengarkan?""Selagi itu bukan tentang dia."Budhe Arni pasti paham yang kusebut den
"Sus, masih ada pasian nggak?" tanyaku pada suster Bella."Nggak ada Dokter.""Saya mau pulang, terimakasih, Sus.""Sama-sama."Aku sudah tidak sabar mendengar kabar baik dari Angel. Namun, merek semua tidak menemuiku di rumah sakit, melainkan menunggu di rumah. Bikin penasaran saja.Sengaja aku menemui dokter yang menangani Angel. Untung dia sedang tidak ada pasien jadi mau menemuiku dan sedikit berbincang. Katanya, tidak banyak yang berubah dari Angel. Jangan bersenang hati dahulu takutnya dia kembali depresi.Membuat hati Angel senang, itu yang akan aku lakukan. Karena hidup di dunia ini memang untuknya. Ah, bucin sekali aku semenjak tahu Angel audah sembuh, dan berimajinasi macam-macam. Termaksud, memiliki anak banyak darinya. Mungkin gara-gara Suster Bella tadi bicara seperti itu, membuat aku kepikiran.Gegas aku pulang ke rumah, tidak sabar untuk bertemu dengannya. Apalagi melakukan
"Kamu ikhlas, nggak, Ka?""Aku ikhlas, Lun. Sekarang pun kalau dia mau pergi, aku ikhlas."Bibir ini lancar sekali mengucapkan kata ikhlas. Namun, bagaimanapun aku pernah merasa menyesal memutuskan berpisah dengan Angel.Saat ini, apa aku harus menggenggam dia lebih lama dan mempertahankannya?"Aku bangga punya Abang kaya kamu ,Ka.""Bikin, ge-er, deh."Kami tertawa bersama, mengingat masalah yang akan kuhadapi nanti, aku pun pasrah. Mungkin akan ada penolakan dari Angel nanti. Lebih baik kau kembali ke kamar, tapi kamar siapa?Aku menggaruk leher, bagaimana aku bisa lupa kalau Angel seperti mengusir tadi. Aku berada di sini pun karena Angel.Tidak mungkin aku tidur di kamar Luna atau Mama. Bisa-bisa mereka mentertawakan aku."Ke kamar kamu saja, jelaskan padanya. Toh, nanti pun kamu pasti akan menjelaskannya."Saran dari Luna membuat aku sadar.
Mama bertanya kembali apa aku mau tinggal bersama mereka. Mama bisa membantu Ibunya Angel dalam merawat Angel. Namun, aku ragu, karena Angel masih suka histeris dan menyerang.Jika kutolak, Mama pasti sedih. Ia menginginkan aku tetap bersamanya. Sepertinya aku harus meminta pendapat pada Ibu mertuaku, juga Om Hendri jika aku tinggal di sana dengan kodisi istriku yang seperti ini."Kondisi Angel belum stabil, apa tidak akan menggangu kalian?" tanyaku diikuti anggukan Ibu mertua."Nggak, Ka. Kita bantu Angel bersama, Mama mau kalian bahagia secepatnya." Penuturan Mama mambuat aku tersentuh.Aku melirik Om Hendri, seolah meminta pendapatnya. Pria berjas hitam itu tersenyum dan memberikan anggukan tanda dirinya juga setuju dengan permintaan Mama."Demi kebahagiaan kamu, Ka. Mama rela melakukan apa pun, Mama tahu kamu mencintai Angel. Seharusnya Mama mendukung kamu dalam proses menyembuhkannya."Lagi, Mama membuat ak
"Sah." Kalimat itu menggema beberapa jam lalu, disaksikan beberapa orang dari keluarga dan tetangga sekitar rumah Angel. Mereka menyaksikan acara sakral kami.Mama akhirnya menerima pernikahanku dengan Angel. Diiringi isak tangis, ia memelukku erat. Aku tahu ia kecewa, tetapi ini pilihan, dan jalanku. Tidak ada resepsi pernikahan, hanya ada akad biasa yang setelah itu selasai setelah ijab kabul.Mama masih bisa memberikan senyum pada ibunya Angel. Ia pintar menyembunyikan perasaan, dan menjaga perasaan orang lain. Tidak seperti sinetron, dia bersikap tenang, seolah memang ia menerima pernikahan ini dengan ikhlas.Semalam ia menyerah dan memberikan restunya. Ia bilang selalu mendoakan yang terbaik untukku. Kini, aku harus berjuang sebagai seorang suami. Mengembalikan Angel seperti dulu. Menyembuhkan depresi yang dialaminya.Dengan balutan kebaya putih, ia terlihat san
Malati bangkit, tetapi cepat aku menarik lengannya meminta ia kembali duduk, untuk mendengarkan penjelasanku. Bola matanya memutar malas, ya, aku tahu kesalahan membuat wanita berprasangka tidak baik.Seperti yang dikatakan Mama, jangan memberikan seseorang harapan jika kita tidak bisa memberikannya kepada dia. Ah, mumet urusannya."Mel, dengerin aku, ya. Maaf, sebelumnya telah membuat kamu merasa aku memberikan perhatian lebih. Jujur, aku tertarik denganmu. Namun, semuanya tidak bertahan, karena aku masih mencintai Angel.""Laki-laki memang semua buaya. Karena suaminya tidak ada, dan dia tidak sadar, kan? Kamu memanfaatkan keadaan saat Angel sakit? Iya, kan?""Aku nggak seperti yang kamu bicarakan. Aku sungguh mencintai Angel. Aku mau dia sembuh, masalah dia setelah sembuh mau bersamaku atau tidak, aku ikhlas.""Bulsyit,mana ada orang seperti itu. Ka, aku nggak kenal sama kamu, dan sampai saat ini, aku tida
Mama memintaku untuk berpikir ulang menikahi Angel. Namun, aku tetep pada pendirian awal untuk meminang Angel menjadi istriku.Hari ini sengaja aku datang ke rumah Papa untuk meminta pendapatnya. Apa sama dengan yang mama pikirkan atau berbeda. Sudah lama sekali aku tidak meminta pendapat pria yang begitu lama aku musuhi."Pa, aku ingin bicara, bisa?""Raka, kapan datang?""Tadi, Pa. Papa asik menonton TV.""Iya, sampai nggak tahu kamu datang. Bicara apa?""Sebenernya bukan bicara, tapi meminta saran.""Duduk sini."Papa menepuk sofa meminta aku untuk duduk di sampingnya. Aku menghampirinya dan menghempaskan tubuh ini. Film yang ia tonton tidak berubah. Tetap suka denganaction.Raut wajahnya sudah terlihat sangat tua. Namun, sudah lebih segar dari waktu ia bertemu denganku. Mungkin benar kata Budhe Airin, obat kesehatan Papa adalah aku. Bertemu dengan anaknya
Sudah hampir dua bulan Angel masih dengan kondisi yang sama. Hari ini aku segera menemuinya di rumah sakit dengan keadaan ia hampir menyayat tangannya dengan pisau. Ngilu rasanya, aku harus bagaimana?Kasihan ibunya yang sangat cemas mengurus Angel. Sementara, ia terus-menerus memanggil nama sang suami. Aku tahu, ia terlalu cinta, dan aku sadar selama ini jika namaku tidak pernah ada di hatinya."Ibu nggak tega, Nak Raka. Apa Angel harus ada di rumah sakit jiwa?" tanya sang ibu.Angel tidak boleh masuk ke rumah sakit jiwa. Di sana hanya tempat orang tidak waras, sedangkan Angel hanya trauma dan aku yakin ia bisa sembuh total.Apa yang bisa aku lakukan untuknya? Angel sudah terlelap dengan suntikan obat bius. Gegas aku berbicara dengan Dokter Arumi yang menangani Angel."Bisa sembuh kembali, kan, Dok?" tanyaku."Bisa, asal sabar.""Bagaimana caranya, Dok?""Temani dia agar tidak merasa sendi
Sepulang dari menginap di rumah Tante Arni, aku langsung ke rumah sakit. Dari semalam tidak bisa tidur memikirkan Angel, ada apa denganku? Aku tidak mau terlihat bodoh dengan mencinta istri orang lain.Sepanjang jalan, aku terus saja berpikir. Andai saja aku memiliki kekasih, pasti hati ini tidak akan pernah memikirkannya lagi. Apa mulai sekarang harus mencari wanita baru? Tapi, siapa?Melati? Ah, aku ragu, dia baru saja bercerai dari suaminya. Nanti, aku dibilang pebinor. Lebih baik aku cari saja suster muda yang cantik.Kuparkirkan mobil ini di tempat biasa. Aku melangkah masuk ke rumah sakit. Netra ini tidak henti memperhatikan sekeliling. Banyak suster yang menyapa, tapi aku tidak merasa adafell."Dokter Raka, cepat ke IGD. Ada kecelakaan parah."Aku segera berlari menghampiri ruang IGD. Langkah ini berhenti saat melihat seorang wanita yang aku kenal menangis histeris di depan sebuah zenajah.
"Setelah selesai persidangan, kamu mau bagaimana?" tanyaku.Melati menghentikan makannya. "Aku nggak tahu, mungkin akan melanjutkan kuliah, Ka."Om Hendri pernah bilang, Melati tidak melanjutkan kuliah karena menikah dulu. Padahal, kedua orang tuanya yang akan menanggung biaya kuliah Melati. Namun, tetap saja dia tidak mau.Kasihan, andai saja dia kuliah, mungkin sekarang dia bisa menikmati pekerjaan yang tertunda."Kamu sabar saja, pasti hal baik akan datang padamu." Tanpa sadar tangan ini menggenggam tangan Melati."Terima kasih, Ka."Aku seperti mimpi atau ini nyata. Seulas senyum terpancar dari wajah cantik yang berdiri di hadapanku. Langsung aku melepas genggaman tangan ini.Angel, sedang apa ia di sini? Pasti dia berpikir aku dan Melati adalah sepasang kekasih."Hai, Ka," sapanya."Ngel, sedang apa?" tanyaku."Nebus obat Mama, nggak sengaja haus ke kantin.